KEBERAGAMAN DALAM PERSATUAN

Sukarno-Hatta

Bogor (10/5) Setelah sekian lamanya berada di dalam belenggu penjajahan, pada tanggal 17 Agustus 1945 rakyat Indonesia dengan proklamasi menyatakan dirinya bangsa yang merdeka. Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dilakukan oleh Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan dengan tekad dan keyakinan, dilandasi dan dijiwai oleh suatu cita-cita luhur, sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Rancangan UUD itu sendiri sebenarnya merupakan hasil karya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekan (Dokuritsu Jumbi Cosakai), sebuah badan yang terbentuk pada tanggal 29 April 1945 dan diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 dan beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Pada masa sidang kedua, anggotanya ditambah dengan 6 orang sehingga jumlah anggotanya menjadi 68 orang.

Dalam sidangnya yang pertama, pada tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, badan ini membahas asa dan dasar Negara Indonesia Merdeka. Salah satu pidato penting dalam sidang pertama ini diucapkan oleh anggota Ir. Sukarno yang menyarankan lima dasar negara dengan nama PANCASILA. Seluruh saran para anggota dalam sidang pertama ini dibahas dalam masa reses dan pada tanggal 22 Juni 1945 disepakati rancangan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Sehari sesudah Proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1945 dalam sidangnya yang pertama menetapkan tiga buah keputusan yang sangat penting bagi kehidupan negara, yaitu:

  1. Mengesahkan dan menetapkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Dasar 1945.
  2. Memilih Sukarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
  3. Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh oleh Komite Nasional.

 

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia secara bersama-sama disebut sebagai lembaga kepresidenan Indonesia, memiliki sejarah yang hampir sama tuanya dengan sejarah Indonesia. Sebab pada saat proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia belum memiliki pemerintahan.

Barulah sehari kemudian 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi yang menjadi dasar untuk mengatur pemerintahan UUD 1945 dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa.

Dari titik inilah perjalanan lembaga kepresidenan bersejarah dimulai. Dapat dikatakan lembaga negara adalah lembaga kepresidenan (lembaga negara adalah lembaga pemerintahan dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara dari negara dan untuk negara yang bertujuan untuk membangun negara itu sendiri).

Sejarah perjalanan lembaga kepresidenan Indonesia memiliki keunikan tersendiri, sebagaimana tiap-tiap bangsa memiliki ciri khas pada sejarah pemimpin mereka masing-masing. Perjalanan sejarah yang dilalui lembaga kepresidenan diwarnai setidaknya tiga atau bahkan empat konstitusi.

 

Periode 1945–1950

Periode 18 Agustus 1945-15 Agustus 1950 adalah periode berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kelak kemudian disebut sebagai UUD 1945. Periode ini dibagi lagi menjadi dua masa yaitu, pertama, antara 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 saat negara Indonesia berdiri sendiri, dan kedua antara 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950 saat negara Indonesia bergabung sebagai negara bagian dari negara federasi RIS.

Menurut UUD 1945, lembaga kepresidenan, yang bersifat personal, terdiri atas seorang Presiden dan seorang Wakil Presiden. Lembaga ini dipilih oleh MPR dengan syarat tertentu dan memiliki masa jabatan selama 5 tahun. Sebelum menjalankan tugasnya lembaga ini bersumpah di hadapan MPR atau DPR.

Menurut UUD 1945:

  1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
  2. Presiden dibantu oleh satu orang wakil Presiden
  3. Wakil Presiden menggantikan Presiden jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
  4. Presiden menetapkan peraturan pemerintah
  5. Presiden dibantu oleh Menteri
  6. Presiden dapat meminta pertimbangan kepada DPA
  7. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI
  8. Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian serta perjanjian dengan negara lain atas persetujuan DPR
  9. Presiden menyatakan keadaan bahaya
  10. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik
  11. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
  12. Presiden memberi gelar dan tanda kehormatan
  13. Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan  DPR
  14. Presiden berhak menveto RUU dari DPR
  15. Presiden berhak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam keadaan mendesak.

 

Pada 18 Agustus 1945, untuk pertama kalinya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh PPKI. Dalam masa peralihan ini kekuasaan Presiden sangat besar karena seluruh kekuasaan MPR, DPR, dan DPA, sebelum lembaga itu terbentuk, dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun tugas berat juga dibebankan kepada Presiden untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan UUD 1945.

Hanya beberapa bulan pemerintahan, KNIP yang menjadi pembantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA meminta kekuasaan yang lebih. Hal itu kemudian direspon oleh lembaga kepresidenan dengan memberikan kekuasaan untuk menetapkan haluan negara dan membentuk UU melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang dikeluarkan pada 16 Oktober 1945. Kurang dari sebulan, kekuasaan Presiden berkurang dengan terbentuknya Kabinet Syahrir 1 yang tidak lagi bertanggung jawab kepadanya melainkan kepada Badan Pekerja KNIP. Pada tahun-tahun berikutnya ketika keadaan darurat,29 Juni 1946- 2 Oktober 1946, dan 27 Juni 1947- 3 Juli 1947, Presiden mengambil alih kekuasaan lagi. Begitu pula antara 29 Januari 1948 – 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat Presidensial (bertanggung jawab kepada Presiden).

Saat pemerintahan, termasuk di dalamnya lembaga kepresidenan, di Yogyakarta lumpuh dan tidak dapat menjalankan tugasnya saat Agresi Militer Belanda II. Sementara pada saat yang sama, atas dasar mandat darurat yang diberikan sesaat sebelum kejatuhan Yogyakarta, suatu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang didirikan di pedalaman Sumatera (22 Desember 1948 – 13 Juli 1949) mendapat legitimasi yang sah. Kondisi inilah yang menimbulkan pemerintahan dan juga lembaga kepresidenan ganda. Sebab pemerintahan darurat itupun memiliki pimpinan pemerintahan (atau lembaga kepresidenan) dengan sebutan Ketua Pemerintahan Darurat. Hal inilah yang sering menimbulkan kontroversi dan polemik berkepanjangan mengenai status pemerintah darurat dan status ketua pemerintah darurat.

Bagi sebagian pihak, PDRI dan juga Ketua Pemerintahan Darurat adalah penerima tongkat estafet pemerintahan dan kepemimpinan nasional saat pemerintahan di ibukota tertawan musuh. Oleh karena itu kedudukannya tidak bisa diabaikan. Apalagi pada 13 Juli 1949, Ketua Pemerintah Darurat Syafruddin Prawiranegara secara resmi menyerahkan kembali mandat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta yang pulang dari tawanan musuh. Namun bagi pihak lain, tidak mundurnya Presiden dan wakil Presiden secara resmi menunjukkan tongkat estafet pemerintahan dan kepemmpinan nasional tetap dipegang oleh Sukarno dan Mohammad Hatta yang tertawan. Apalagi perundingan-perundingan, seperti Perjanjian Roem-Royen, dilakukan dengan pemerintahan dan lembaga kepresidenan tertawan bukan dengan pemerintah darurat.

Periode 1949–1950

Pada periode 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950, RI bergabung dalam negara Federasi Republik Indonesia Serikat dengan kedudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan berlakunya 2 konstitusi secara bersamaan di wilayah negara bagian RI, yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Pada 27 Desember 1949, Presiden RI Soekarno telah menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Asaat sebagai Pemangku Jabatan Presiden.

Menurut Konstitusi RIS, lembaga kepresidenan yang bersifat personal terdiri atas seorang Presiden. Presiden dipilih oleh Dewan Pemilih (Electoral College) yang terdiri atas utusan negara-negara bagian dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum menjalankan tugasnya, Presiden bersumpah dihadapan Dewan Pemilih.

Berbeda dengan UUD 1945, Konstitusi RIS mengatur kedudukan dan kekuasaan, tugas dan kewenangan, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan secara lebih rinci. Selain itu dalam sistematika Konstitusi RIS, hal-hal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan tidak terletak dalam satu bab khusus melainkan tersebar di berbagai pasal. Menurut Konstitusi RIS (secara khusus):

  1. Presiden berkedudukan sebagai Kepala Negara
  2. Presiden merupakan bagian dari Pemerintah [pasal 68 (1) dan (2), 70, 72 (1)];
  3. Presiden tidak dapat diganggu-gugat dan segala pertanggung jawaban berada di tangan kabinet [pasal 74 (4), 118 (2), dan 119];
  4. Presiden dilarang: (a). rangkap jabatan dengan jabatan apapun baik di dalam ataupun di luar federasi, (b). turut serta atau menjadi penanggung perusahaan yang diadakan negara federalmaupun negara bagian, (c). dan mempunyai piutang atas tanggungan negara [pasal 79 (1), (2), dan (3)]. Larangan (b) dan (c) tetap berlaku selama tiga tahun setelah Presiden meletakkan jabatannya [pasal 79 (4)];
  5. Presiden maupun mantan Presiden diadili oleh Mahkamah Agung atas pelanggaran jabatan atau pelanggaran lainnya yang dilakukan dalam masa jabatannya [pasal 148 (1)]
  6. Hal keuangan Presiden diatur dalam UU federal [pasal 78];
  7. Presiden dengan persetujuan Dewan Pemilih membentukKabinet Negara[pasal 74 (1) – (4)];
  8. Presiden menyaksikan pelantikan Kabinet [pasal 77];
  9. Presiden menerima pemberitahuan Kabinet mengenai urusan penting [pasal 76 (2)];
  10. Presiden menyaksikan pelantikan anggota Senat [pasal 83];
  11. Presiden mengangkat ketua Senat [pasal 85 (1)] dan menyaksikan pelantikannya [pasal 86];
  12. Presiden menyaksikan pelantikan anggota DPR[pasal 104];
  13. Presiden mengesahkan pemilihan ketua dan wakil-wakil ketua DPR [pasal 103 (1)];
  14. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 128 (1) dan (2), 133-135; 136 (1) dan (2), 137, dan 138 (3)];
  15. Presiden bertindak secara administratif/protokoler dalam urusan legislatif [pasal 187 (1) dan 189 (3)].
  16. Presiden dengan pertimbangan senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Mahkamah Agung untuk pertama kalinya [pasal 114 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 114 (4)];
  17. Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung memberi grasi dan amnesti [pasal 160];
  18. Presiden dengan pertimbangan senat mengangkat Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota-anggota Dewan Pengawas Keuangan untuk pertama kalinya [pasal 116 (1)] dan memberhentikan mereka atas permintaan sendiri [pasal 116 (4)];
  19. Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian internasional atas kuasa UU federal [pasal 175];
  20. Presiden mengangkat dan menerima misi diplomatik [pasal 178];
  21. Presiden memegang kekuasaan militer [pasal 183 (1) dan (3)];
  22. Presiden memberikan tanda kehormatan menurut UU federal [pasal 126].

 

Selain bertindak secara khusus, sebagai bagian dari pemerintahan dalam fungsi administratif/protokoler, Presiden, menurut konstitusi, antara lain:

  1. Menjalankan pemerintahan federal [pasal 117];
  2. Mendengarkan pertimbangan dari Senat [pasal 123 (1) dan (4);
  3. Memberi keterangan pada Senat[pasal 124];
  4. Mengesahkan atau memveto UU yang telah disetujui oleh DPR dan Senat[pasal 138 (2)];
  5. Mengeluarkan peraturan darurat (UU Darurat) dalam keadaan mendesak [pasal 139];
  6. Mengeluarkan perauran pemerinta[pasal 141];
  7. Memegang urusan hubungan luar negeri [pasal 174, 176, 177];
  8. Menyatakan perang dengan persetujuan DPR dan Senat [pasal 183];
  9. Menyatakan keadaan bahaya [pasal 184 (1)];
  10. Mengusulkan rancangan Konstitusi Federal kepada Konstituante [pasal 187 (1) dan (2)], dan mengumumkan Konstitusi tersebut [pasal 189 (2) dan (3)] serta mengumumkan perubahan konstitusi [pasal 191 (1) dan (2)].

 

Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur sangat pendek. RI dan RIS mencapai kesepakatan pada 19 Mei 1950 untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, di hadapan sidang DPR dan Senat, diproklamasikan berdirinya negara kesatuan Republik Indonesia menggantikan negara federasi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS diubah menjadi UUDS 1950 berdasarkan UU RIS No. 7 Tahun 1950. Pada hari itu juga, Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.