Peranan Museum Dalam Pendidikan

Peranan Museum dalam Pendidikan

Ajeng Ayu Arainikasih, S.Hum., M.Arts
Departemen Arkeologi Universitas Indonesia

Sekitar sebulan yang lalu saya berkunjung ke salah satu museum sejarah di daerah Jakarta Pusat. Bertepatan dengan waktu kunjungan saya ke museum tersebut, ada pula satu kelas siswa SD (sekitar 40 anak) yang sedang melakukan kunjungan museum. Mereka tampaknya merupakan siswa SD Swasta dari daerah sekitar museum. Saat itu, satu pemandu museum sibuk menjelaskan berbagai hal kepada puluhan siswa tersebut. Walaupun pemandu menjelaskan mengenai sejarah benda masterpiece museum yang menurut saya cukup menarik, namun banyak anak yang tidak mendengarkan dan sibuk melihat-lihat benda lain di ruangan kecil tersebut.

Pemandangan seperti itu juga saya jumpai di museum perjuangan lainnya di bilangan Jakarta Selatan. Anak-anak SD yang berjumlah lebih dari seratus dikumpulkan dalam satu ruangan besar di bagian depan museum. Mereka sibuk mendengarkan dan mencatat keterangan dari satu pemandu museum. Setelah selesai dari ruangan ‘pendahuluan’ tersebut, tur museum pun dilanjutkan. Pemandu bercerita menggunakan pengeras suara kepada ratusan anak, mereka berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain hingga seluruh museum ‘terjelajahi’.

Dari kedua contoh kasus di atas, timbul pertanyaan, apakah kunjungan ke museum seperti itu efektif? Apakah hanya dengan mendengarkan dan mencatat saja informasi yang disampaikan dapat dicerna dan diingat oleh anak-anak? Lebih jauh lagi, apakah kunjungan museum dapat menimbulkan rasa cinta terhadap sejarah dan budaya Indonesia? Teorinya memang museum seharusnya berperan penting dalam pendidikan, namun dengan gaya kunjungan sekolah ke museum yang pasif yang biasanya dilakukan di museum-museum Indonesia, apakah tujuan pendidikan tersebut sudah tercapai? Dalam tulisan ini saya berusaha untuk mendiskusikan peran museum dalam pendidikan dengan melihat dari sudut pandang kunjungan sekolah ke museum.

Eileen Hooper-Greenhill dalam bukunya yang berjudul Museum and Gallery Education (1991:120-122) dan Timothy Ambrose & Crispin Paine dalam buku mereka Museum Basics (2006:50-52), menyebutkan bahwa ada tiga komponen utama dalam kegiatan kunjungan sekolah ke museum. Yakni persiapan sebelum kunjungan, kunjungan ke museum, dan aktifitas setelah kunjungan. Kegiatan persiapan idealnya dilakukan di kelas (di sekolah) sebelum kunjungan ke museum di laksanakan. Pada tahap ini siswa seharusnya diberitahu mengenai apa yang akan mereka lihat, lakukan, dan pelajari di museum. Siswa juga seharusnya sudah mempelajari tema yang akan dibahas saat kunjungan ke museum. Apabila memungkinkan, guru juga sebaiknya telah ‘survey’ ke museum bersangkutan.

Kegiatan kunjungan ke museum itu sendiri sebaiknya diisi oleh berbagai aktifitas yang tidak pasif. Kegiatannya tidak hanya berupa tur pemanduan keliling museum secara satu arah atau mengerjakan LKS saja. Kegiatan kunjungan sekolah di museum seharusnya bervariasi, dapat berupa diskusi, memegang koleksi museum tertentu, membuat kerajinan tangan atau percobaan, bermain peran, bahkan memecahkan masalah melalui berbagai permainan. Akan lebih baik lagi apabila siswa dapat belajar menggunakan kelima panca indera mereka. Selain itu, kunjungan sekolah ke museum yang efektif seharusnya bukan merupakan tur general yang menceritakan keseluruhan isi museum, namun memungkinkan siswa untuk mempelajari tema spesifik tertentu. Sedangkan, kegiatan pasca kunjungan museum dikerjakan di kelas atau di rumah. Dapat berupa membuat laporan karya tulis, membuat kerajinan tangan, ataupun presentasi lisan dan melakukan pementasan drama sesuai tema yang telah dipelajari di museum.

Konsep seperti ini telah diterapkan di museum-museum luar negeri. Sebagai contoh, saya akan menjelaskan salah satu program edukasi yang diterapkan di South Australian Maritime Museum dan Migration Museum di Adelaide, Australia. South Australian Maritime Museum merupakan museum yang menceritakan sejarah maritim di Australia Selatan, mulai dari sejarah kedatangan orang-orang Eropa ke Australia Selatan lewat jalur laut, hingga perdagangan, kehidupan sosial di pantai-pantai Australia Selatan dari waktu ke waktu, hingga lingkungan laut Australia Selatan. Selain itu, Migration Museum bercerita mengenai peradaban dan kebudayaan yang ada dan berkembang di wilayah Australia Selatan, dari masa lalu hingga kini.

Contoh program edukasi dari South Australian Maritime Museum adalah program Dolphin Discovery. Program yang diperuntukan bagi siswa SD ini merupakan satu dari sekian program edukasi yang ditawarkan oleh South Australian Maritime Museum. Siswa yang berkunjung ke museum ini tidak akan ‘menjelajahi’ museum secara keseluruhan dengan cara yang pasif, namun akan membahas tema-tema spesifik tertentu. Melalui program Dolphin Discovery ini anak-anak akan mempelajari secara mendalam mengenai lumba-lumba. Setiap kelompok siswa yang berkunjung akan dibagi ke dalam 3 kelompok yang lebih kecil. Mereka akan melakukan 3 aktivitas berbeda secara bergiliran hingga semua anak dapat merasakan seluruh aktivitasnya. Aktivitas pertama adalah melihat lumba-lumbanya langsung di sungai yang menuju ke perairan lepas menggunakan kapal feri. Aktivitas kedua adalah menonton film lumba-lumba dan melihat tata pamer permanen museum mengenai lumba-lumba. Sedangkan aktivitas ke-3 adalah melakukan aktivitas di ruang edukasi. Aktivitasnya berupa percobaan mengenai blubber atau lapisan lemak lumba-lumba dengan memasukkan tangan ke dalam air es dengan dan tanpa mengenakan sarung tangan karet; serta percobaan mengenai cara lumba-lumba mendapatkan makanannya menggunakan sensor melalui permainan mengejar bunyi sambil menutup mata. Siswa juga dapat memakai kostum lumba-lumba, membaca buku mengenai lumba-lumba, dan bermain berbagai permainan lain (Arainikasih, 2008:43-46).

1

Program edukasi museum juga dibuat bervariasi, tidak hanya diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar, namun adapula program yang dibuat bagi siswa yang lebih besar. Hal yang dibahas serta cara penyampaiannya tentu saja berbeda dan lebih mendalam. Contohnya program Unpacking Histories dari Migration Museum yang diperuntukan bagi siswa setingkat SMP. Dalam program Unpacking Histories ini sekitar 30 siswa (1 kelas) akan dibagi lagi ke dalam 6 kelompok kecil. Setiap kelompok kemudian akan mendapatkan 1 tas (atau koper dan bahkan kardus) dan berbagai peralatan seperti sarung tangan serta kaca pembesar. Lalu, setiap kelompok kecil tersebut bertugas menginvestigasi seorang tokoh yang barang-barangnya mereka temukan di dalam tas/koper. Melalui barang-barang tersebut siswa akan dapat mengidentifikasi nama tokoh, asal negara sebelum bermigrasi ke Australia, serta kehidupan (atau mata pencaharian) mereka sebelum dan setelah pindah ke Australia. Siswa juga harus mengecek waktu kepindahan dan mencari tahu peristiwa besar apa yang terjadi di sekitar waktu kepindahan sang tokoh di negara asalnya dan di Australia. Mereka kemudian harus melakukan analisis dan membuat hipotesa awal mengenai kisah hidup dan alas an sang tokoh bermigrasi ke Australia.

Setelah setiap kelompok mempresentasikan hipotesis awal mereka, museum kemudian menampilkan film pendek yang menceritakan mengenai kisah masing-masing tokoh. Dari film tersebut siswa akan mengetahui apakah kesimpulan mereka benar atau salah. Secara keseluruhan, siswa juga akan mempelajari sejarah migrasi ke Australia Selatan, dari masa lalu hingga masa kini. Siswa pun diajarkan untuk bertoleransi terhadap setiap suku, agama dan ras, karena walaupun mereka berbeda warna kulit, kebudayaan ataupun kepercayaan, mereka kini telah menjadi satu, yakni sama-sama warga negara atau penduduk Australia.

2

Setelah melihat kedua contoh program edukasi museum di atas, biasanya timbul pertanyaan apakah program edukasi seperti itu dapat pula diterapkan di Indonesia? Tentu saja bisa! Museum Ceria, sebuah independent museum educator yang berbasis di Jakarta, telah sering menerapkan program edukasi yang mengusung konsep belajar aktif dalam membawa siswa sekolah berkunjung ke museum. Dalam tulisan ini saya akan membahas mengenai dua contoh program edukasi Museum Ceria yang diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar yang dilaksanakan di Museum Nasional dan Museum Satria Mandala. Program di Museum Nasional diperuntukkan bagi siswa kelas 4 SD, berjudul Indonesian Classic Mythology. Sedangkan program di Museum Satria Mandala diperuntukkan bagi siswa kelas 5 SD dan bertajuk Merdekaa!.

Dalam program Indonesian Classic Mythology, siswa akan membahas mengenai cerita-cerita mitologi dibalik arca dan relief dengan cara bermain peran, mencari-cari arca tertentu, mendengarkan dongeng, dan bermain boneka sumpit. Tentu saja tidak semua arca dan relief dapat dibahas, salah satu yang dibahas adalah mitologi mengenai Ganesha. Pertama-tama, siswa diminta untuk mencari sebanyak mungkin arca Ganesha yang dapat mereka temukan di museum. Mereka juga diminta untuk memperhatikan secara mendetail mengenai bentuk kepala, bentuk tubuh, sikap duduk, jumlah tangan dan atribut yang dipegang oleh Ganesha. Siswa bahkan dibekali dengan sarung tangan agar mereka dapat memegang koleksi museum! Setelah mereka puas mencari dan mengeksplorasi, siswa akan dikumpulkan bersama untuk mendengarkan dongeng mengenai mitologi Ganesha yang disampaikan lewat media yang ceritanya adalah wayang beber. Siswa pun kemudian akan memperhatikan juga arca Dewa Siwa, Parwati, Durga, Bhairawa dan Nandi.

3

Siswa juga akan membahas mengenai cerita Jataka Avadana (cerita binatang dalam Agama Buddha) dan Tantri Kamandaka (versi Hindu) yang dipahatkan pada relief dengan cara bermain boneka sumpit. Siswa diberikan narasi cerita dan sumpit-sumpit yang dihasi dengan gambar bintang, lalu mereka harus menarasikan cerita tersebut menggunakan alat bantu yang ada.

4

Selain itu, dalam program Indonesian Classic Mythology ini siswa juga akan membahas kisah Samuderamanthana yang dipahatkan pada arca melalui role play atau bermain peran. Siswa akan berperan menjadi tokoh-tokoh raksasa, dewa, naga, bulan dan matahari dan mementaskan kisah mitologi tersebut.

6

Melalui mendengarkan dongeng, bermain sumpit dan bermain peran, diharapkan siswa akan mengerti bahwa dibalik relief dan arca ada konsep dan mitologi yang mendukungnya. Siswa juga akan diajarkan mengenai warisan budaya bangsa dengan cara yang menyenangkan dan spesifik. Maksudnya, sepulangnya mereka dari Museum Nasional, mereka akan mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai arca dan relief dari masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Tidak hanya sekedar berkunjung ke museum saja tanpa membawa pulang pemahaman mendalam, ataupun pengalaman menyenangkan. Seperti yang diutarakan oleh Linda Duke (2010:271-279) bahwa esensi kunjungan ke museum adalah pengalaman, bukan (hanya) pembelajaran.

Program Museum Ceria lainnya yang akan dibahas adalah program berjudul Merdekaa! bagi siswa kelas 5 SD di Museum Satria Mandala. Dalam program ini, siswa akan melakukan tiga aktivitas berbeda. Pertama, mereka akan membahas mengenai pertempuran mempertahankan kemerdekaan dengan media lembar kerja (worksheet) melalui diorama-diorama yang ada di museum. Mereka juga akan bermain ular tangga dengan tema perjanjian-perjanjian dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, mereka akan membuat gambar kegiatan perayaan kemerdekaan Indonesia (17 Agustusan) di masa kini dan masa depan, sekaligus berdiskusi yang dikaitkan dengan perihal peristiwa proklamasi.

Berdasarkan contoh-contoh kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, baik yang dilakukan oleh museum-museum di Australia maupun oleh Museum Ceria di Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa berkunjung ke museum dapat juga dilakukan dengan cara yang menyenangkan! Bahkan, penting bagi museum untuk dapat mendukung kegiatan bermain di museum, karena melalui bermain anak-anak belajar untuk bereksplorasi, berimajinasi, memecahkan masalah dan mendapatkan pengertian mengenai berbagai hal (Caulton, 1998:48).

Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang patut diperhatikan, baik oleh museum maupun oleh guru yang ingin membawa siswanya berkunjung ke museum. Bagi museum, sebagai institusi yang memiliki peranan dalam bidang pendidikan, penting untuk mengubah cara menghadapi kunjungan siswa sekolah ke museum. Pemanduan satu arah terhadap banyak siswa sekaligus adalah suatu hal yang ternyata kurang efektif. Hal tersebut tidak akan membuat siswa bertambah pengetahuan kognitifnya secara signifikan, ataupun menambah ketertarikan siswa terhadap tema atau isyu tertentu (afektif).

Idealnya, museum dapat mengembangkan beberapa program edukasi yang dapat dipilih oleh sekolah sesuai kebutuhan sekolah, juga sesuai tingkat pendidikan siswa. Tentunya sesuai dengan (sub) tema dan koleksi yang dimiliki oleh museum. Bahkan, seharusnya museum menyediakan program edukasi yang berkaitan dengan kurikulum sekolah. Dengan demikian, sekolah akan merasa perlu untuk datang ke museum karena kebutuhannya dapat terpenuhi oleh museum. Hal ini diperkuat dengan hasil riset Edson dan Dean (1994:93-95) yang menyatakan bahwa siswa sekolah akan mendapatkan lebih banyak dari program edukasi museum apabila informasi yang disampaikan berhubungan dengan apa yang mereka pelajari di kelas.

Selain museum, guru juga harus menyadari bahwa kunjungan siswa ke museum haruslah berdasarkan tema tertentu, bukannya mengelilingi satu museum (bahkan beberapa museum) secara keseluruhan dalam satu hari kunjungan. Kunjungan sekolah ke museum juga harus menyenangkan. Walaupun demikian, kunjungan ke museum bukan hanya kegiatan berwisata semata. Apabila museum yang dikunjungi tidak memiliki program edukasi seperti yang dibutuhkan atau diharapkan, dengan sedikit bermodalkan kreatifitas, guru juga dapat merancang sendiri kegiatan kunjungan museum yang mengusung konsep belajar sambil bermain.
Satu hal yang paling penting untuk disadari disini adalah, perlunya kerjasama antara guru dan museum, agar program edukasi museum, baik persiapan sebelum kunjungan, kegiatan kunjungan ke museum, dan kegiatan pasca kunjungan dapat berjalan dengan efektif. Dengan demikian, museum dapat benar-benar berperan dan bermanfaat sebagai media pendidikan. Bahkan, museum juga dapat dijadikan tempat belajar untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, serta mencintai warisan sejarah, warisan alam dan budaya Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arainikasih, Ajeng Ayu. 2008. “Education Programs at Indonesian Museums: Preserving Indonesian Natural and Cultural Heritage?” Proyek Riset yang tidak dipublikasikan. The University of Adelaide.
Ambrose, T. and Paine, C. 2006, Museum Basics, Routledge, London and New York.
Caulton, T. 1998, Hands-On Exhibitions, Managing Interactive Museums and Science Centres, Routledge, London and New York.
Duke, Linda. 2010. “The Museum Visit: It’s an Experience Not a Lesson” Curator Vol. 53 Issue 3. Hal. 271-279.
Edson, G. and Dean, D. 1994, The Handbook for Museums, Routledge, New York and London.
Hooper-Greenhill, E. 1991, Museum and Gallery Education, Leicester University Press, Leicester.