Pendidikan Tradisional Buddha Brahmavihara Arama

0
1852

Pendidikan adalah cara terindah untuk membangun suatu peradaban, begitupula dengan sejarah Indonesia yang dibangun dengan sistem pendidikan tradisional. Pendidikan tradisional Indonesia tidak terlepas dari kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat pada masa itu. Salah satunya pendidikan tradisional agama Buddha. Berbeda dengan India, agama Buddha masuk ke nusantara (Indonesia), berdampingan mesra dengan datangnya agama Hindu. Bersama filosofi moral cinta kasih yang universal, agama Buddha masuk beriringan dan menyatu dengan agama maupun sekte lain secara harmonis.

Agama Buddha tidaklah asing bagi masyarakat Bali, karena di Pulau Dewata ini pernah tercatat berkembangnya Agama Siwa-Buddha. Berdasarkan catatan sejarah Agama Buddha diperkirakan masuk ke Pulau Bali pada abad ke 7-8 M. Adanya stupika (stupa), candi, patung-patung Buddha yang ditemukan di daerah Gianyar, Klungkung, Karangasem, Buleleng, dan Kalibukbuk merupakan bukti masuknya agama Buddha di Bali.

Seiring bergantinya zaman pendidikan tradisional Buddha semakin ditinggalkan, guru-guru spiritual yang berkualitas amat langka, kitab-kitab sucipun amat terbatas (jika ada, cenderung dikeramatkan oleh pemiliknya), lontar-lontar mulai ditinggalkan dan dilupakan karena adanya desakan teknologi dan arus materialisme. Namun, setelah kemerdekaan, mulai muncul keinginan-keinginan mempelajari agama leluhur yang menamakan diri sebagai kelompok kebathinan.

Pada Mei 1957, di sebuah vihara kecil di Watugong, Semarang diselenggarakan perayaan Waisak, termasuk kelompok kebathinan Bali yang diwakili oleh Ida Bagus Giri. Melalui pertemuan tersebut, mulai bangkitlah kembali Buddhisme. Kemudian pada Narada Mahathera didampingi oleh Bhikku Ashin Jinarakkhita berkunjung ke Bali dan melakukan ceramah kepada kelompok kebathinan di kota Singaraja, Amlapura, dan Denpasar. Melalui ceramah dan dialog intensif tersebut, kelompok kebathinan mengenal metode praktek Sila (moralitas), Samadi (pembersihan pikiran), dan Panna (kebijaksanaan), untuk mengatasi persoalan kehidupan. Kemudian mereka membuat bangunan vihara sebagai tempat melatih Samadi agar kondusif, yang diprakarsai oleh Ida Bagus Giri dan I Negah Astika. Vihara ini cukup sederhana, terletak di Desa Banjar Tegeha, Buleleng, dan diberi nama Brahma Vihara Amara oleh Bhante Girirakkhito.

Selain tempat Samadi, Brahmavihara Amara ini juga dikenal sebagai tempat latihan meditasi, tempat sembayang umat Buddha, tempat pembabaran Dharma/dhamma, sarana spiritualitas, tempat tinggal dan pendidikan para Bhikkhu, dan tempat wisata/sarana sosial kemasyarkatan. Suasana sakral terasa saat tim Kajian Museum Kebangkitan Nasional memasuki area vihara ini. Pendidikan tradisional Agama Buddha tergambar dalam suasana di Brahmavihara Arama, pendidikan bhikku yang mengutamakan cinta kasih dan keselarasan alam tetap terjaga ditengah gempuran modernisasi peradaban.

(untari)