DR. R. ANGKA PRODJOSOEDIRDJO:

0
7998

Sulit untuk mengetahui dan memastikan dimana Masa Silam dalam artian peristiwa (past events) berada saat ini. Masa Silam dapat hadir dan diketahui di masa kini apabila mewariskan peninggalan (legacies), bukti (evidences) atau sumber (resources), baik berupa tulisan (written) maupun tidak tertulis (unwritten) atau kebendaan, selain tangible (dapat ditangkap oleh pancaindra) juga intangible (abstrak), termasuk dalam wujud ingatan atau kenangan (memories). Segala sesuatu yang ada tentang (peristiwa) masa silam tidak lebih berupa rekonstruksi, mengingat dan dokumentasi, termasuk rekaman audio visual dan film.

Tidak semua peristiwa yang terjadi di masa lampau meninggalkan bukti atau peninggalan, sebagaimana tidak semua peristiwa masa lalu itu bersejarah (historical events), yang pantas, layak dan penting untuk diketahui, ditelusuri dan diungkapkan kembali. Berkaitan dengan kepentingan masa kini merupakan salah satu syarat utama untuk peristiwa sejarah yang signifikan dan relevan untuk kehidupan manusia. Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa peranan, kiprah dan sumbangsih seseorang atau tokoh dapat diketahui pada masa kini terutama berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ditinggalkannya dan yang menceritakannya. Dengan kata lain, apabila tidak ada sumber yang mau dan mampu bercerita, artinya tidak dapat diungkapkan.

Dalam pengembangan Sejarah Indonesia, ketersediaan dan perolehan sumber senantiasa menjadi masalah utama. Kelangkaan sumber menyebabkan keberadaan dan kisah tentang berbagai tokoh, yang tidak memiliki sumber atau peninggalan, tidak dapat dikisahkan kembali. Padahal, bukannya tidak mungkin, peranan dan sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa dan negara

sangat penting, jelas dan nyata. Masih banyak tokoh berserta peristiwanya yang begitu penting dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara terkubur atau menghilang seiring dengan waktu, ketiadaan sumber dan perhatian dari kalangan sejarawan. Salah satunya adalah seorang tokoh pendiri Budi Utomo, perkumpulan perintis dan pelopor pergerakan kebangsaan Indonesia yang hari kelahirannya ditetapkan secara resmi untuk dirayakan sebagai hari kebangkitan nasional (national awakening day). Tokoh itu adalah dokter Raden Angka Prodjosoedirdjo, lulusan STOVIA.

Pada sejumlah karya tentang Budi Utomo, namanya jarang disebut-sebut sehingga menimbulkan kesan bahwa keberadaan, peranan dan sumbangsihnya tidak ada. Bahkan, Akira Nagazumi (1972/ 1989), seorang pakar Indonesianis yang meneliti tentang perkumpulan itu tidak mencantumkan sosok itu dalam penjelasannya tentang para pemula dan perintis gerakan kebangkitan nasional. Padahal, ia menjadi bendahara pada pembentukan awal kepengurusan organisasi itu. Juga, namanya tidak disebut dalam kenangan rekan seperjuangannya dalam gerakan itu, seperti R. Soetomo dan R. Gunawan Mangunkusumo. Namun, nama dan peranannya tidak pupus dan lekang bertalian ketersediaan dan kelangkaan sumber itu karena masih ditemukan pada beberapa penulisan. Walau, sosok, kiprah dan perjuangannya masih diliputi oleh kabut kelam sehingga masih sulit dan sedikit diketahui untuk dapat direkonstruksi serta diungkapkan.

Kajian ini merupakan langkah awal untuk menyibak sosok, peranan dan sumbangsih tokoh itu dalam perjalanan masa lampau bangsa Indonesia, sejak emansipasi dan kebangkitan, perjuangan hingga memperoleh dan mengisi kemerdekaannya. Di tengah-tengah kelangkaan sumber, beberapa upaya dilakukan untuk tujuan itu, seperti menempatkan sosoknya dalam setting sosial budaya dan semangat zamannya. Sebagai seorang Jawa yang berasal dari lingkungan priyayi, pola pikir, pencerapan dan tanggapan terhadap perkembangan dan perubahan sekitarnya tentunya tidak jauh berbeda dengan rekan-rekan seperjuangan dan seprofesi. Setidaknya ia hadir ketika keresahan sosial intelektual menaungi mahasiswa STOVIA yang peka, sadar dan kritis dalam suatu nuansa transisi dan dualistis dari alam tradisionalisme menuju modernisme ketika melalui masa pendidikan itu sehingga melahirkan, kesadaran, emansipasi dan gerakan kebangkitan nasional melalui pendirian Budi Utomo. Getar, semangat dan emosi yang tidak jauh berbeda dirasakannya sebagaimana yang dialami oleh R. Soetomo, R. Gunawan Mangunkusumo dan lainnya. R. Angka adalah tempaan zaman dan lingkungannya dalam suatu dinamika dialektika dan interaksi intelektual, sosial dan budaya dengan tindakan (action) dan perilakunya (behavior) sebagaimana yang terjadi dalam peristiwa demi peristiwa yang dilalui.

Kehidupan dan masa silam terbentang bagaikan sebuah teks yang menarik untuk dibaca, dianalisis, ditafsirkan dan difahami, lalu dijelaskan. Menghidupkan kembali masa silam dalam menghadirkan gagasan dan pengalaman tokoh-tokohnya sebagaimana kaidah Re-enactment yang diajukan oleh Robin Collingwood berlandaskan pantulan dan refleksi rekan-rekannya itu, menjadikan sosok Angka muncul dengan berbagai penafsiran yang mengambiltempat dan berlangsung dalam natur, struktur dan kultur yang menaunginya di bawah cakrawala kolonialisme yang berada di tengah-tengah pusaran perubahan global untuk saling berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam membentuk peristiwa-peristiwa yang menorehkan makna kesejarahan untuk kehidupan masa kini. [1]

 

Makna 1908 untuk Masa Kini

Bangsa Indonesia tergolong bangsa yang meraih kemerdekaannya melalui suatu perjuangan revolusi yang berlangsung sekitar hampir 5 tahun. Revolusi itu telah menelan banyak korban dan kehancuran fasilitas-fasilitas kehidupan, baik di pedesaan dan terutama di perkotaan. Padahal sebelumnya, perkembangan Indonesia, masa penjajahan Hindia Belanda relatif telah memperlihatkan keadaan yang mulai maju walau belum adil dan makmur, yang disusul oleh masa destruktif ketika Perang Pasifik sebagai bagian dari Perang Dunia II di Asia menghantar pendudukan militer Jepang selama 3 ½ tahun. Menurut sejumlah pakar Sejarah Indonesia, kemenangan yang diperoleh pada masa Revolusi Kemerdekaan itu, yang berujung pada pengakuan kedaulatan (recognition of souvereignity) terhadap Indonesia dalam wujud Republik Indonesia Serikat sebagai hasil Konperensi Meja Bundar (the Round Table Conference) ahun 1949 yang berlangsung di bawah mediasi Perserikatan Bangsa-bangsa terutama Amerika Serikat, tidak terlepas dari semangat dan tekad baja dari semua komponen bangsa yang berjuang melawan militer Belanda. “Sekali merdeka tetap merdeka” dan “merdeka atau mati” merupakan

semboyan, seruan dan simbol dari semangat dan tekad bulat perjuangan mereka yang tentunya tidaklah “tiba-tiba jatuh dari langit” (suddenly falling from the sky), melainkan berasal dan berakar dari masa-masa sebelumnya ketika cita-cita kemerdekaan mulai dikenal, digali dan dijadikan sebagai tujuan bersama untuk penduduk jajahan yang memiliki keragaman budaya (multiculturalism).

Indonesia, sebagai suatu konsep, gagasan dan identitas sosial merupakan temuan pada masa pergerakan nasional, sebelum Perang Dunia II di tengah-tengah penduduk jajahan yang sangat beragam, mulai dari adat istiadat, bahasa, kepercayaan hingga lingkungan hidup mereka. Indonesia yang menjadi keindonesiaan muncul dan berkembang di tengah-tengah dinamika kolonialisme Hindia Belanda yang tidak meleburkan keragaman itu, malahan memanfaatkannya untuk mengokohkan kekuasaan jajahannya dalam bentuk politik divide et impera, yakni memecahbelah untuk menguasai. Dalam suatu proses dinamik, dialektik dan diakronik  sebagai wujud interaksi internal dan eksternal berupa perkembangan dan perubahan global, kesadaran emansipasi mulai muncul, berkembang dan meluas di kalangan masyarakat terjajah. Sebagai hasil dari pengenalan pendidikan modern terutama literasi, gagasan, pemikiran hingga kegalauan terhadap keadaan dan perkembangan sekitar timbul di sejumlah lingkungan elite tradisional. Dalam tradisi dan kultur Jawa, kesadaran emansipasi modern tampak pada pemikiran dan karya-karya Raden Ajeng Kartini pada masa-masa peralihan akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Marihandono dkk 2016). Alam dan kultur Minangkabau dalam pusaran dinamika modernisasi itu mengetengahkan Abdul Rivai sebagai pelopor kesadaran tersebut (Abdullah 2001; 2009).

Gagasan emansipasi itu menyebar ke kalangan penduduk jajahan yang mulai mengenal dunia modern dan modernisasinya. Tahun-tahun 1900an memperlihatkan berbagai keadaan, perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan kolonial Hindia Belanda. Pemicu utamanya adalah pencanangan kebijakan modernisasi kolonial yang dikenal sebagai Politik Etis. Latar belakangnya antara lain adalah rasa hutang budi (eereschuld) pihak kolonialis yang berpikiran progresif dan humanis terhadap penduduk jajahan yang telah dieksploitasi untuk kepentingan mereka sehingga hidup dalam keadaan yang terkebelakang, tertindas dan miskin. Ranah implementasi Politik Etis adalah di bidang irigasi, edukasi dan transmigrasi. Sebagai akibatnya, perubahan pun berlangsung di kalangan penduduk jajahan ketika mereka mampu mengenal dan menyerap unsur-unsur kehidupan modern, yang didukung oleh prasarana dan sarana komunikasi serta angkutan, mulai dari moda transportasi, pers hingga bahasa (Belanda dan Inggris). Sejak itu, mereka menjadi bagian dari warga dunia walau masih di bawah belenggu kolonialisme, Perkembangan keadaan internasional tidak luput dari perhatian dan pengetahuan mereka.

Sejak 1908, pergerakan penduduk jajahan semakin marak, mulai dari perkumpulan sosial, etnis, budaya hingga partai politik yang mulai memperjuangkan identitas bersama dalam konsepsi bangsa (nation) dan kebangsaan (nationhood) dalam cara serta strategi modern untuk tiba pada cita-cita bersama bebas dari belenggu penjajahan, yaitu kemerdekaan (independence). Walau kemudian menyempit menjadi perkumpulan etnis dan budaya Jawa, ruang lingkup awal perkumpulan itu adalah Hindia yang lintas etnik dan budaya.  Perintis dan anggota menjadi pelopor perjuangan dan pendirian partai-partai politik yang memainkan peranan penting dalam perjalanan pembentukan kebangsaan dan semangat nasionalisme Indonesia. Bahkan pengaruhnya hingga melampaui batas-batas pulau Jawa, hingga ke daerah lainnya dalam yuridiksi kolonial Hindia Belanda. Budi Utomo merintis dan memelopori pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. [1]

 

Budi Utomo dalam Tinjauan Ringkas Historiografi

Budi Utomo adalah perkumpulan sukarela modern pertama di Indonesia yang didirikan oleh sejumlah mahasiswa sekolah kedokteran Hindia Belanda, STOVIA pada tahun 1908. Perkumpulan ini disebut sebagai tonggak awal kelahiran rasa kesadaran emansipasi kebangsaan dan kebangkitan nasional.  Perkumpulan ini juga merupakan hasil dan akibat dari pengenalan dan penerapan pendidikan modern oleh rezim kolonial terhadap penduduk jajahan, sejalan dengan perkembangan konsep dan sistem kolonialisme di tengah-tengah perubahan internasional yang berada di bawah bayang-bayang kapitalisme, industrialisasi dan teknologi. Partisipasi penduduk jajahan dalam proses kolonialisme menjadi diperlukan untuk menjadikan produk kolonial unggul di pasaran dunia. Kualitas tenaga kerja penduduk jajahan juga menjadi relevan

dan signifikan. Untuk itu dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan kesehatan penduduk, dibukalah sekolah dan pendidikan kesehatan.  Lapisan sosial penduduk jajahan yang memiliki kesempatan untuk memasuki dunia pendidikan modern itu adalah kalangan priyayi dan pejabat pemerintahan tradisional. [1] Para pendiri Budi Utomo berasal dari kalangan elite tradisional tersebut.

Dalam historiografi nasional Indonesia, kelahiran Budi Utomo merupakan kelahiran kesadaran berbangsa yang secara resmi menjadi hari peringatan kebangkitan nasional. [2] Abdurrachman Surjomihardjo (1979: 47) menyatakan bahwa “Akhir-akhir ini terjadi heboh lagi sekitar tafsir dan penilaian atas hari kelahiran Budi Utomo, yang sejak tahun 1948 diperingati secara ‘nasional’. Suasana peringatan tahun itu ialah suasana perpecahan politik di dalam negeri Republik Indonesia (Yogyakarta), yang sedang diancam akan datangnya Aksi Militer Belanda ke-II. Dalam suasana itulah diperingati empat puluh tahun pergerakan nasional oleh Negara Republik Indonesia. Istilah ‘Hari Kebangunan Nasional’ digunakan bagi peristiwa yang terjadi tanggal 20 Mei 1908, hari didirikannya Budi Utomo oleh sebagian pelajar STOVIA di Weltevreden (Jakarta Pusat). Untuk kepentingan peringatan yang setiap tahun diadakan itu, penilaian dan tafsir haruslah bertolak dari dalam gagasan dan kegiatan para pelajar yang mendirikan Budi Utomo di STOVIA itu sendiri dan tidak pada Budi Utomo sejak menjadi organisasi sebagai hasil keputusan kongresnya yang pertama pada tanggal 3—5 Oktober 1908 di Yogyakarta.” [3]

Surat edaran sekretaris Budi Utomo cabang Weltevreden, Soewarno tertanggal 5 September 1908 tercantum: “Cita-cita Budi Utomo ialah membuat persatuan Bumiputra seumum mungkin dan dengan demikian dapat dicapai suatu Perserikatan Umum di Jawa, yang hanya akan merupakan perintis; dan tugas utamanya adalah akan merencanakan cara-cara yang tepat untuk mencapai suatu perkembangan yang lebih serasi bagi penduduk dan negeri Hindia Belanda.

Sesungguhnyalah menjadi maksud untuk tidak mengecualikan seorang pun dari kesempatan untuk kemajuan, tetapi dengan sendirinya, pada pertamanya perhatian tetap dipusatkan kepada unsur penduduk Bumiputra. Dari situ kita berusaha untuk membuat persatuan sedemikian rupa sehingga terbentuklah Persaudaraan Nasional, tanpa perbedaan ras, jenis kelamin maupun kepercayaan” (Surjomihardjo 1979: 50-51).

Sartono Kartodirdjo (1990: 101-102) mengemukakan pendapatnya, yakni: “Dipandang dari latar belakang masyarakat pribumi yang masih sangat bersifat tradisional, maka apa yang dilakukan sekelompok siswa Stovia di Kwitang merupakan langkah inovatif yang besar sekali, yaitu pembentukan suatu assosiasi, suatu lembaga modern yang pertama dari jenisnya. Peristiwa yang sangat besar artinya itu ialah pembentukan Boedi Oetomo dalam suatu rapat siswa tersebut di salah satu ruang kelas pada 20 Mei 1908 yang telah berlangsung secara serba sederhana. Tidak ada sesuatu yang radikal revolusioner dalam tujuannya, tidak spektakuler kegiatan yang akan dilaksanakan. Dapat ditafsirkan bahwa makna peristiwa lebih didasarkan atas fungsi simbolisnya untuk pergerakan nasional.”

Sementara Taufik Abdullah (2001: 28) mengungkapkannya sebagai berikut: “Sejak awal dilahirkan B.U. (Budi Utomo, pen.), adalah sebuah organisasi yang bergerak untuk tujuan emansipatoris, yang ingin menaikkan harkat diri dan meninggalkan keterbelakangan. Dalam hal ini, maka cita-cita B.U. bukan saja tak berbeda dengan pikiran Kartini, yang telah dilontarkannya sejak akhir abad ke19, dan menjadi semakin umum diketahui pada awal abad ini atau dengan seruan ‘kemajuan’, yang dengan gencar disuarakan oleh dr. Abdul Rivai dalam Bintang Hindia ataupun dengan kampanye majalah Insoelinde, yang terbit di Padang (1901—1904), tetapi mempunyai koresponden di seluruh Jawa dan Sumatra. Cita-citanya juga—dari sudut pandang sezaman—bisa dilihat sebagai tanggapan positif terhadap seruan ‘hutang kehormatan’ yang dipekikkan oleh para ethici Belanda. Oleh karena itu B.U. adalah organisasi modern yang pertama yang mendapat pengakuan kekuasaan kolonial, yang sedang merevisi eksistensinya. ‘Si cantik yang tertidur telah terbangun’, kata seorang ethicus Belanda. Akan tetapi, bukankah kepertamaan adalah tanda kepeloporan?”

Perkembangan telaah tentang Budi Utomo tampak pula pada pembahasan mengenai para pendirinya. Permasalahan pertama adalah peranan sosok dr. Wahidin Surodihusodo dalam pendirian perkumpulan itu. Banyak karya menyebutkan bahwa dialah pendiri Budi Utomo. Namun, penelitian-penelitian berikutnya menyebutkan bahwa Soetomo, mahasiswa STOVIA, bersama teman-temannya yang mendirikannya. Penelitian-penelitian lanjutan mulai memerinci sosok-sosok di sekitar R. Soetomo, sebagai bagian dari para pendiri itu. Lalu, muncullah nama Soeradji, Goenawan Mangoenkoesoemo, R. Goembrek hingga M. Soewarno. [1] Penjelajahan dan penelusuran Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, menemukan bahwa sosok pendiri perkumpulan modern pertama itu berjumlah Sembilan orang, seperti yang diungkapkan oleh Sekarlaranti dan kawan-kawan (2014). Namun, tidak semua tokoh itu dapat diungkapkan dan dijelaskan secara lebih lengkap dan mendalam sehubungan dengan kelangkaan sumber, seperti mengenai kiprah dan perjuangan dr. Angka Prodjosoedirdjo. [2] Seraya itu pula, tampak spektrum perjuangan dan pengabdian mereka, mulai dari politisi hingga profesional yang tetap berpegang pada kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran semuanya.

 

Tradisi Priyayi dan Kesadaran Emansipasi

Perjalanan interaksi politik dan budaya antara kekuatan pendatang, terutama Belanda dan kekuatan-kekuatan di Nusantara, terutama di pulau Jawa adalah kelompok atau lapisan sosial Priyayi. Arti, peranan dan awal mula kelompok Priyayi tampaknya masih perlu disibak dan dijernihkan karena berada dalam dua pandangan apakah sudah ada sebelum kedatangan dan penyebaran kekuasaan Belanda atau merupakan hasil dari perkembangan penerapan kekuasaannya di pulau Jawa. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa kelompok itu memainkan peranan penting dalam perjalanan sejarah politik masyarakat Jawa, sejak kemerosotan dan perpecahan kekuasaan kesultanan Mataram yang juga berarti kemunduran wilayah kekuasaannya karena jatuh ke tangah pihak penjajah. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka tidak hanya merupakan pemerintahan pribumi melainkan juga memainkan peranan dalam kehidupan sosial masyarakat kolonial. [1]

Politik kolonialisme tidak hanya membuka pendidikan modern di bidang pemerintahan (Hoofdenscholen, MOSVIA dan OSVIA) untuk kalangan pemerintahan pribumi (Inlandsche besturen), tetapi juga pendidikan bidang lainnya, seperti sekolah guru (kweekscholen), pertanian (landbouw), kejuruan (ambachtscholen), kesehatan (Sekolah Dokter Jawa yang lalu menjadi STOVIA, NIAS dan GHS), hukum (RHS), teknik (THS) dan lainnya. Oleh karena, tidak semua putera dan puteri para priyayi memiliki kesempatan untuk, menjadi pejabat pemerintahan. Lagipula, kehidupan modern kolonial membutuhkan para profesional untuk melayani peningkatan dan perubahan kebutuhan kehidupan masyarakat selaras dengan perkembangan dan keadaan global.  Kesempatan untuk memasuki jenjang dan jenis pendidikan itu adalah kaum priyayi dan kelompok yang mampu untuk membayar biayanya.

Angka Prodjosoedirdjo yang sempat menikmati keisitmewaan priyayi masa kolonial itu pada pendidikan kedokteran di STOVIA lahir pada 13 Desember 1897 di Madukara, Banyumas. Ayahnya yang bernama Prodjodiwiro menjabat sebagai asisten wedana, setingkat camat, di daerah itu. Masa kanak-kanaknya dinikmati di bawah pengasuhan kakeknya dari pihak ibu, R. Santadiredja yang menjabat sebagai patih Banyumas. Ia menempuh pendidikan HIS dan melanjutkannya ke HBS, lalu ke Batavia untuk menikmati pendidikan kedokterannya itu. [2]  Ia lulus dari STOVIA tahun 1912 dengan predikat cum laude. [3] Atas prestasi itu, ia menerima tanda penghargaan berupa jam saku emas berantai lengkap dengan gantungannya berwujud kuku macan. Ia membangun keluarga dengan memperisteri seorang puteri pegawai pabrik gula Kali Bagor, Banyumas. Isterinya bernama R.A. Soedijah, seorang puteri dari R. Poerwosoedirdjo. Dari pernikahan itu, ia memperoleh 7 orang anak.

Selama menempuh pendidikan kedokteran, ia tidak hanya mempelajari semua pelajaran yang ada dengan tekun, namun menyempati diri untuk mengikuti perkembangan yang ada. Ia menjalin pergaulan yang luas dan cukup akrab dengan teman-teman kuliahnya. Bahkan, pada saat senggang setelah kuliah, mereka kerap bercengkrama dan berbincang, termasuk membicarakan nasib dan keadaan masyarakat terjajah, terutama perlakuan yang kerap dialami yang dirasakan sangat tidak adil. Ia menyadari bahwa masyarakatnya sedang berada di bawah penindasan dan pemerasan yang kerap menjadi pokok pembicaraan dengan teman-temannya. Keadaan itu menyemai dan menumbuhkan rasa kesadaran untuk bangkit dan memperoleh persamaan hingga ia bertemu dengan Soetomo dan kawan lainnya yang merupakan pendiri suatu organisasi sukarela modern pertama di Indonesia, yaitu Budi Utomo. [1] Pada fase awal pembentukan itu, ia menjabat sebagai bendahara (Utomo 1995: 51).

Semangat dan wawasannya ketika belajar di STOVIA yang menyiratkan daya emansipasi, sebagaimana yang melanda siswa-siswa lainnya, tampak pada ungkapan Gunawan (1918/ 1981: 30) berikut ini: “Nah, inilah dasar pemikiran yang timbul dan kemudian menjadi masak di kalangan para siswa Sekolah Pendidikan Dokter Boemipoetera. Tolonglah dirimu sendiri dan

Tuhan pun akan menolongmu. Kemudian dalam prakteknya: pengetrapan gagasan tersebut. Kelas demi kelas dihubungi kawanku Soetomo, untuk mempropagandakan gagasan untuk mempersatukan diri. Kami ingin membentuk suatu Persatuan di antara orang Jawa, Sunda dan Madura, suku-suku bangsa yang dapat kami harapkan mempunyai kebudayaan yang sama. Kekayaan atau pun pangkat, intelek atau kedudukan tidak boleh semata-mata dijadikan syarat untuk menjadi anggota. Kami ingin mencakup kesemuanya agar negara dan rakyat dididik secara harmonis. Sifat hakekat kita, bakat kita, kesusasteraan, kesenian, musik, suka dan duka kita, angan-angan dan harapan kita, kesemua itu harus mendapat kesempatan untuk dipertunjukkan dalam persatuan itu. Persatuan itu akan menangani pendidikan bagi kaum Boemipoetra maupun soal-soal pertanian, keamanan jiwa raga maupun harta benda serta baik tidaknya pengurus persatuan, perhimpunan ini memperhatikan pula dengan seksama kesehatan orang-orang Jawa maupun pengerahan tenaga kerja kaum bangsa kita sendiri yang malang itu untuk Sumatera Timur. Kami ingin memberikan sesuatu untuk seluruh pulau Jawa dan Madura sebagai suatu kesatuan geografis dan kultural. Demikianlah kiranya bayangan kami mengenai tugas besar kami.”

Tentu, Angka terlarut dan menjadi bagian dari arus pemikiran, gagasan, analisis dan tujuan emansipasi yang berdasarkan pada realitas sosial yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat kolonial Hindia Belanda ketika itu. Gejolak jiwa dan semangat muda Angka mencuat dan mencari pelampiasan sebagaimana Gunawan dan teman-teman lainnya. Cakrawala kehidupan sosial kolonial dimana ia berada kerap tidak memihak kepadanya dan penuh dengan pembedaan. Gambaran yang dikisahkan Gunawan berikut ini merupakan bagian dari kehidupannya (1918/ 1981: 31), yakni: “Jadi, bagaimanakami mengajak orang-orang Eropa bekerjasama?1 Bukankah mereka senantiasa dan di mana pun juga menganggap kedudukan kita rendah dengan cara yang sangat menghina? Di dalam kereta api, di jalan raya, dan lapangan, di kantor-kantor dan di perkebunan-perkebunan—belum tahukah kita bahwa bangsa kita itu adalah suatu bangsa yang dipandang rendah, suatu bangsa tanpa tenaga, tanpa kekuatan, suatu bangsa yang penuh cacad?”

Untuk itu, tekad dan tindakan para siswa yang mengalami pencerahan itu adalah: “Maka akhirnya kami mencapai suatu ketetapan: Semboyan kita adalah mawas diri. Kami bersumpah untuk memberikan pengabdian dan cinta kasih kami kepada rakyat yang dengan demikian sabarnya menanggung segala derita itu. Maka tibalah hari tanggal 20 Mei 1908. Banyak bahan kami dan tinggi onggokan yang di atasnya akan kami gunakan untuk membakar semua penghinaan dan segala derita yang tak terkatakan itu. Jam berdentang sembilan kali pada suatu pagi hari Minggu yang gembira. Perlahan-lahan dan dengan khidmat bangsal tingkat satu bagian kedokteran mulai terisi. Pemuda-pemuda, pembantu-pembantu muda kami dalam pekerjaan, mencari tempatnya masing-masing. Singkat dan jelas cara Soetomo memberikan penjelasan tentang tujuan kami. Tanpa emosi, setelah tiba waktu yang dinantikan, yang demikian besar artinya itu, ia mempropagandakan usahanya untuk memperjuangkan nasib rakyat kita. Sederhana sekali kata-katanya. Apalagi yang harus ia katakana kepada para pendengarnya. Tidakkah kita mengalami bersama malam-malam yang tidak dapat membuat kita tidur? Ia hanya mengetuk hati kami, memohon bantuan kami. Dalam pidatonya ia bersumpah di hadapan kami bahwa hari depan tanah air kita terletak di tangan kita. Tepuk tangan riuh rendah. Persatuan kami telah dibentuk. Nama yang diberikan padanya adalah ‘Boedi-Oetomo.’ Usaha Indah—karena memang indah dan luhur tujuan kita itu. Bukankah kita mencabut pedang kita untuk kaum lemah, untuk menghancurleburkan naga berkepala seribu yang penuh tipu daya itu? Mari kita bekerja! Marilah kita ajak turut serta kawan-kawan kita di sekolah-sekolah menengah lainnya. Calon anggota pamong praja dan calon guru, petani dan dokter gigi, kesemuanya itu akan kita persiapkan untuk pelaksanaan tugas kasih sayang yang menunggu dalam praktek penghidupan mereka” (Mangunkusumo 1918/ 1981: 36-37).

Tidak ada catatan bahwa Angka hadir pada peristiwa itu, sebagaimana keterangan bahwa ia tidak hadir. Sebagai siswa yang kritis dan peka pada penderitaan rakyat dan menjadi bagian lingkaran pergaulan siswa sekolah itu, sudahlah tentu ia akan menyempatkan diri untuk hadir pada perhelatan yang telah lama dinanti itu, yaitu saat untuk mengumandangkan keprihatinan, kegalauan, tujuan, cita-cita dan kehendak untuk mendobrak segala belenggu yang menghalang untuk melangkah ke arah kemajuan dan emansipasi yang sedang marak dan berkembang di kalangan kaum terpelajar di negeri kolonial itu. Ia pasti ikut larut dalam suasana yang penuh semangat dan gempita pembaharuan itu, bertepuk sorak di sela-sela pidato Soetomo itu, dengan wajah penuh harap dan berbinar sebagai tanggapan atas gagasan dan cita-cita yang dikumandangkan dalam pidato tersebut.

Juga ia menjadi bagian dalam persiapan kegiatan Budi Utomo sebagaimana yang dipaparkan oleh Soetomo (1934/ 1981: 73-74): “Orang-orang kita umumnya masih belum dapat merasakan akan cita-cita dan kemauan kita, sehingga sekalian biaya yang harus dikeluarkan guna perkumpulan, semuanya itu terpikullah oleh kita sendiri, juga sekalian ongkos-ongkos kongres yang pertama, di mana kita menerima tamu-tamu dari seluruh tanah Jawa itu. Murid-murid sekolah dokter pada waktu itu ada yang mengorbankan arlojinya juga kain panjang, kain kepala, begitu seterusnya, sedang tunjangannya di waktu bulan puasa disediakan guna keperluan kongres yang pertama itu. Kongres yang pertama akan dilangsungkan di Mataram. Persediaannya meminta segala tenaga kita. Anggota-anggota pengurus dikirimkan ke mana-mana, guna bertemu dengan pemuka-pemuka bangsa dan pecinta Tanah Air.” [1]

 

Kebangsaan dan Pengabdian Sosial

Kebangsaan merupakan rasa dan semangat yang berlandaskan pada suatu tekad dan tujuan bersama dalam suatu identitas dan ikatan bersama. Solidaritas dan toleransi merupakan wujud dari kebangsaan yang memandang rekan sebangsanya sebagai sesama dan sewarga. Dalam pergerakan kebangsaan, kesemua toleransi dan solideritas itu dikerahkan untuk menggapai suatu tujuan yang kerap menimbulkan daya magnet dan magis luar biasa sebagai suatu pemecahan terhadap permasalahan dan persoalan yang sedang dihadapi, yaitu kemerdekaan. Untuk itu, persoalan kebangsaan kerap ditempatkan pada konteks yang lebih sempit, yaitu perjuangan politik. [2] Padahal perjuangan kebangsaan meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat walau politik tentunya merupakan hal yang penting dan tidak dapat dikesampingkan juga. Kebangsaan dan kemerdekaan menjadi sempurna ketika menyentuh ranah kesejahteraan (welfare) dan kemakmuran (prosperity), yang tidak hanya terbatas pada penghidupan ekonomi melainkan juga aspek lainnya seperti keadilan, pemerataan, keamanan, kenyamanan, keagamaan dan lainnya. Suatu ciri kebangsaan Indonesia yang tidak boleh dilupakan adalah keberagaman atau kemajemukan dan persatuan kesatuannya, yang setelah merdeka dikukuhkan dalam semboyan bhineka tunggal ika.

Pemahaman tentang kebangsaan sebagaimana yang tampak pada masa pergerakan nasional adalah perjuangan para nasionalis di bidang bukan politik. Perkembangan Budi Utomo sebagai perintis emansipasi dan kebangkitan kebangsaan memperlihatkan perbedaan pendapat yaitu dorongan untuk menjadikannya perkumpulan (partai) politik atau budaya. Banyak anggota perkumpulan itu terjun ke perjuangan politik setelah arah dan sifatnya tetap dipertahankan pada jalur sosial budaya, termasuk pendirinya, seperti Soetomo yang sempat mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia Raya (Parindra).

Dr. Angka Prodjosoedirdjo termasuk di antara mereka yang tidak menerjunkan diri ke kancah perjuangan dan pergolakan politik.  Selepas kuliah, ia lebih memberikan perhatian pada ranah profesional dan pengabdian masyarakat. Ia menerapkan dan mengamalkan pengetahuan dan ilmu yang diperoleh dari pendidikan kedokterannya berada di tengah-tengah masyarakat kolonial yang mengalami berbagai masalah terutama keadaan kesehatan mereka. Meningkatkan harkat kehidupan masyarakat jajahan melalui memperbaiki tingkat kesehatan mereka bukanlah suatu tantangan yang mudah.Berbagai tantangan dan hambatan tentunya dihadapi yang dipandangnya sebagai masalah yang harus dihadapi bukan untuk dihindari. Ia senantiasa berkecimpung di bidang pengabdian pada masyarakat melalui perjuangan kesehatan sebagai dokter pemerintah. Wilayah cakupan tugasnya meliputi Semarang, Sawahlunto. Bogor, Purbalingga dan beberapa daerah lainnya. Setelah Indonesia merdeka, ia mendirikan apotik Dwiwarna di Purwokerto, bersama sejumlah rekan seprofesinya (Sekarlaranti dkk. 2014). Ilustrasi dan analogi pengalaman para dokter lulusan STOVIA tercantum pada karya Perkembangan Pendidikan kedokteran di Weltevreden 1851—1926 (1926), terjemahan dan terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2014).

Dalam denyut perkembangan kehidupan kolonial di berbagai bidang yang semakin kompleks seiring dengan kian terintegrasi dengan perkembangan internasional, perubahan sosial pun berlangsung sejalan dengan keragaman profesi dalam pelayanan terhadap masyarakatnya. Perkembangan masyarakat perkotaan kolonial memerlukan kehadiran dan pelayanan berbagai profesi terutama di bidang kesehatan. Di tengah-tengah transisi sosial, yaitu perubahan dari tradisionalisme menuju modernisme, dalam bidang kesehatan tampak pada kepercayaan dan kebiasaan pada peranan para dukun yang masih menggunakan cara-cara pengobatan yang tahyul dan tidak masuk akal.  Para dokter yang memakai cara modern menghadapi kendala budaya dalam menjalankan pengabdiannya di tengah-tengah masyarakat yang masih tradisional (Hesselink 2011).

Sebagai seorang profesional yang berada pada jalur pelayanan masyarakat, tentunya ia mengikuti dan mengalami arus perjalanan dan perkembangan zaman. Rintisan kebangsaan yang barangkali tidak pernah diduga akan menjadi tonggak perjalanan sejarah politik bangsa Indonesia yang penting, senantiasa mewarnai sepak terjang dan kinerja pengabdiannya, demi nusa, bangsa dan negara. Deru perjuangannya tidaklah bergegapgempita sebagaimana derap dinamika politik yang kerap bergejolak dan meletup-letup seperti masa revolusi kemerdekaan walau ia berada di dalam gerakan mempertahankan dan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara. Hingga akhir hayatnya, perjuangan profesi tidak pernah lekang dan surut dalam langkah, melainkan selalu bergelora dalam gerusan zaman.