UPAYA PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI SANGIRAN

0
3890
meninggalkan sangiran

Dengan pertimbangan banyaknya fosil yang telah dikumpulkan Toto Marsono dan juga dengan kayanya kandungan fosil di Situs Sangiran, maka tahun 1974 didirikanlah semacam Balai Penyelamat fosil di Desa Krikilan. Pada tahun 1988 Balai Penyelamat fosil itu berubah nama menjadi Museum Sangiran. Dalam perkembangannya pada tahun 2008 Museum Sangiran berubah menjadi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Perkembangan tersebut diatas diikuti dengan pelarangan pencarian fosil karena mengancam pelestarian Situs Sangiran yang dilindungi aturan pemerintah. Aturan pemerintah itu berupa UU No 5 Tahun 1993 tentang Benda Caga Budaya yang kemudian disempurnakan dengan UU No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Hal ini menghambat kebiasaan mencari fosil yang sudah dilakukan masyarakat secara turun turun temurun. Menurut Sulistyo (2003, 110) ada tiga hal yang menghambat pencarian fosil dimasa sekarang. Hambatan pertama adalah peraturan pemerintah yang melarang penduduk mencari fosil, kedua banyak lahan kosong yang saat ini wajib ditanami tebu, dan ketiga menurut dugaan mereka, kapasitas fosil sudah semakin menurun karena sudah sejak dulu diambil orang.

Upaya pelestarian Situs Sangiran terus dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan kegiatan sarasehan, sosialisasi dan pemberian imbalan bagi penemu fosil yang menyerahkan fosil temuannya kepada Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Upaya tersebut terus intensif dilakukan guna menyadarkan masyarakat akan pentingnya fosil bagi ilmu pengetahuan. Kegiatan tersebut sudah dianggarkan setiap tahunnya sehingga saat ini dapat menekan penjualan gelap dan aktivitas pencarian fosil yang dilakukan masyarakat. (Wiwit Hermanto)