PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP FOSIL SEBELUM TAHUN 1930

0
1760
meninggalkan sangiran

Masyarakat Sangiran baru mengenal istilah fosil sekitar tahun 1930-an, sejak daerah itu kedatangan para peneliti bangsa asing. Sebelumnya, mereka menyebutnya “Balung Buto”, yang artinya tulang raksasa. Sebutan itu memang sesuai dengan besaran fisik fosil hewan-hewan purba yang sering ditemukan penduduk. Sampai sekarang nama “Balung Buto” masih terpatri kuat di benak penduduk, khususnya mereka yang telah berusia renta. Sebab “Balung Buto” memiliki makna magis sebagaimana tercermin dalam mitos yang kini samar-samar terdengar.

Mitos “Balung Buto” diawali dari sebuah cerita masyarakat yang diwariskan turun temurun. Cerita tersebut diawali bahwa di perbukitan Sangiran terjadi perang besar antara para ksatria pimpinan Raden Bandung dengan bala tentara raksasa pimpinan Tegapati. Dalam pertempuran itu banyak raksasa gugur, terkubur bukit. Oleh karena itu, fosil-fosil berukuran besar yang banyak bermunculan di lereng perbukitan Sangiran dinamakan “Balung Buto”.

Sebelum tahun 1930-an, penduduk Sangiran meyakini, “Balung Buto” memiliki kekuatan magis yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit (sakit gigi, encok, bisul, atau gigitan binatang berbisa). Caranya dengan menggosok sekerat “Balung Buto” ke tubuh yang sakit. Jika penderita sakit perut, pusing atau mual-mual, “Balung Buto” cukup direndam dalam gelas lalu diminum setiap pagi hari. “Balung Buto” memang fenomenal. Bahkan, “Balung Buto” khususnya untu warak (gigi badak), dipercaya sebagai jimat dan penolak bala. Itu sebabnya pada zaman dulu penduduk sering menggantungkan gigi badak di atas pintu rumah sebagai pengusir setan.

Bahkan, “Balung Buto” juga dipercaya sebagai jimat kekebalan. Keyakinan magis satu ini membuat “Balung Buto” sering dimanfaatkan para maling dan bandit. Namun, untuk memfungsikannya sebagai jimat kekebalan, orang perlu bantuan dukun mistik. Mirip dengan dukun bayi yang memanfaatkan “Balung Buto” sebagai media pelancar ibu-ibu yang akan melahirkan.

“Balung Buto” juga dianggap dapat sebagai pengusir makhluk halus yang mencelakakan dan mengganggu manusia. Makhluk halus tidak memperlihatkan diri pada manusia dan dapat merasuki jiwa yang kosong apalagi jika tidak memiliki iman kepada yang maha kuasa. (Sulistyanto: 2003)

Jika makhluk halus mengganggu manusia, “Balung Buto” ini digosokkan pada bagian yang sakit sambil membaca matra-mantra. Sejak kedatangan von Koenigswald persepsi masyarakat terhadap “Balung Buto” mulai berubah. (Wiwit Hermanto)