Peran Stategis Ekonomi Kreatif Desa Wisata Pemajuan Budaya Bertumbuh Bersama Museum Sangiran

0
783

Pada tanggal 28 Oktober 2021 bersamaan dengan peringatan hari Sumpah Pemuda beberapa perkumpulan museum di Indonesia menyuarakan gema “museum harus mengembangkan ekonomi kreatif”. Hal ini sangat tepat menjadi sebuah keputusan atau kebijakan, dimana kondisi pandemi Covid 19 memaksa beberapa museum untuk tutup sementara waktu. Hal ini, khususnya di museum Sangiran  memberikan dampak yang cukup signifikan bagi pengusaha cindera mata, kuliner, dan sektor jasa lainnya seperti desa wisata pemajuan budaya. Menurunnya jumlah kunjungan ke museum menjadi salah satu faktor utamanya, disamping faktor lain seperti adanya pembatasan pergerakan serta tatap muka secara umum.

Sejalan dengan berlakunya level 2 (dua)  pandemi covid 19 di Kabupaten Sragen, serta dibukanya kembali museum sangiran secara terbatas, maka kegiatan ekonomi kreatif yang diusung oleh masyarakat lokal mulai menggeliat. Beberapa kios suvenir, kuliner, dan cindera mata mulai beroperasi untuk melayani sekaligus untuk mendapatkan keuntungan imbal jasa (profit). Geliat inilah yang disikapi kemudian didukung tidak hanya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristekdikti), namun juga oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang mulai memberikan stimulus agar pemajuan desa wisata pemajuan budaya ini semakin menggelora. Beberapa kegiatan juga di helat oleh BPSMP Sangiran, antara lain adalah fasilitasi pembuatan konten kepada masyarakat yang berkecimpung dalam industri kreatif, dan masih banyak kegiatan yang lain sejak tahun 2011. Geliat desa wisata pemajuan budaya ini terasa semakin banyak dan merebak mengisi ekonomi kreatif di Situs Sangiran. Hal inilah yang tentunya menjadi perhatian dan pemikiran bersama untuk menyusun strategi daya dukung peran keberadaan desa wisata pada Museum Sangiran yang berjumlah 5 (lima) klaster.

Lima klaster museum Sangirantersebut antara lain: Museum Manusia Purba Klaster Krikilan, Museum Manusia Purba Klaster Bukuran, Museum Manusia Purba Klaster Ngebung, Museum Manusia Purba Klaster Dayu, dan Museum Lapangan Manyarejo. Masing-masing museumklaster tersebut juga memiliki tema yang berbeda-beda, walaupun koleksi utamanya adalah artefak, ekofak, replika, serta tinggalan budaya lainnya. Berdasarkan hasil observasi pengunjung dan modal sumber daya desa wisata pemajuan budaya, maka dapat di wacanakan rencana strategis pengelolaan secara kolaboratif, antara museum klaster dan desa wisata pemajuan budaya. Model strategi yang bisa di rancang, adalah memberikan tema atau atraksi desa wisata pemajuan budaya yang berbeda-beda pada desa yang berdekatan dengan museum klaster. Sebagai contoh di desa wisata pemajuan budaya di Desa Krikilan berdekatan dengan Museum Klaster Krikilan, mengusung tema makanan khas seperti Bukur (sejenis kerang), makanan rotikering (snack), potensi wisata air asin, dan sebagainya. Tema atraksi ini tentunya akan berbeda dengan desa wisata pemajuan budaya yang berada di sekitar Museum Manusia Purba Klaster Bukuran, misalnya dengan mengetengahkan atraksi pasar jadul, kuliner khas, lokasi wisata alam serta kesenian budaya yang unik (tari-tarian, dendang lagu tembang serta alat musik tradisiona) dan lain sebagainya. Diharapkan dengan adanya strategis diversivikasi model atraksi dan tema pada tiap desa wisata pemajuan kebudayaan, maka akan semakin menarik kunjungan wisatawan ke desa wisata dan pengunjung museum klaster yang juga memiliki tema khas pada masing-masing museumnya.. (Dodyw).