UNESCO telah resmi menobatkan Sangiran sebagai warisan budaya dunia (world culture heritage) pada tahun 1996. Situs Sangiran dianggap sebagai perpustakaan purbakala terbesar di dunia. Hal ini tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi kita, bangsa Indonesia.
Situs Sangiran terletak di daerah Sragen, Jawa Tengah. Ia didirikan oleh Pemerintah RI pada tahun 1977 dan menempati lahan seluas 56,2 km persegi. Situs Sangiran pertama kali ditemukan oleh peneliti bernama P.E.C. Schemulling di tahun 1883. Kemudian penggalian dilanjutkan oleh tim peneliti Gustav Heinrich Ralph von Koeningswald pada 1934, setelah mendapatkan laporan perdagangan balung buta (tulang raksasa—diperkirakan tulang manusia purba) oleh warga.
Tokoh penting dan berjasa dalam merekonstruksi tubuh manusia purba Sangiran ialah Elisabeth Daynés. Semenjak Ia menciptakan proyeksi besar di Museum Sangiran, dirinya dikenal luas sebagai Paleoartist yang andal. Dilansir dari Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tentang Balai Pelestarian Museum Sangiran menuliskan “Dia (Daynés) telah menjadi Paleoartist terkemuka dan andal dalam proses rekonstruksi hominid.”
Elisabeth Daynés merupakan seorang Perancis yang ahli dalam seni melukis dan ikonografi (pembuatan patung). Ia lahir pada 1960 di Béziers, Perancis, mengawali karirnya pada 1981 sebagai pembuat topeng pertunjukan di Théâtre de la Salamandre, Lille. Pada 1984, Ia telah berhasil mendirikan studio patungnya sendiri di Paris yang diberi nama Atelier Daynès. Dengan keahlian yang dimiliki, mendorong dirinya menjadi pemahat dan pematung profesional yang menciptakan banyak karya fenomenal.
Selain menciptakan segala jenis dan bentuk hominid di Sangiran, karya milik Daynés diantaranya adalah Pharaoh Tutankhamun (bekerjasama dengan National Geographic), menciptakan rekonstruksi hominid di Museum in Montignac, Musée des Merveilles (Perancis), Field Museum of Natural History, Transvaal Museum (Amerika Serikat), Naturhistoriska riksmuseet (Swedia), dan Museum of Human Evolution (Spanyol).
Nationalgeographic.co.id—UNESCO telah resmi menobatkan Sangiran sebagai warisan budaya dunia (world culture heritage) pada tahun 1996. Situs Sangiran dianggap sebagai perpustakaan purbakala terbesar di dunia. Hal ini tentunya menjadi kebanggan tersendiri bagi kita, bangsa Indonesia.
Situs Sangiran terletak di daerah Sragen, Jawa Tengah. Ia didirikan oleh Pemerintah RI pada tahun 1977 dan menempati lahan seluas 56,2 km persegi. Situs Sangiran pertama kali ditemukan oleh peneliti bernama P.E.C. Schemulling di tahun 1883. Kemudian penggalian dilanjutkan oleh tim peneliti Gustav Heinrich Ralph von Koeningswald pada 1934, setelah mendapatkan laporan perdagangan balung buta (tulang raksasa—diperkirakan tulang manusia purba) oleh warga.
Tokoh penting dan berjasa dalam merekonstruksi tubuh manusia purba Sangiran ialah Elisabeth Daynés. Semenjak Ia menciptakan proyeksi besar di Museum Sangiran, dirinya dikenal luas sebagai Paleoartist yang andal. Dilansir dari Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tentang Balai Pelestarian Museum Sangiran menuliskan “Dia (Daynés) telah menjadi Paleoartist terkemuka dan andal dalam proses rekonstruksi hominid.”
Elisabeth Daynés merupakan seorang Perancis yang ahli dalam seni melukis dan ikonografi (pembuatan patung). Ia lahir pada 1960 di Béziers, Perancis, mengawali karirnya pada 1981 sebagai pembuat topeng pertunjukan di Théâtre de la Salamandre, Lille. Pada 1984, Ia telah berhasil mendirikan studio patungnya sendiri di Paris yang diberi nama Atelier Daynès. Dengan keahlian yang dimiliki, mendorong dirinya menjadi pemahat dan pematung profesional yang menciptakan banyak karya fenomenal.P. PlaillyPotret Elisabeth Daynès di Sragen, Situs Sangiran dalam proyek rekonstruksi Homind Sangiran.
Selain menciptakan segala jenis dan bentuk hominid di Sangiran, karya milik Daynés diantaranya adalah Pharaoh Tutankhamun (bekerjasama dengan National Geographic), menciptakan rekonstruksi hominid di Museum in Montignac, Musée des Merveilles (Perancis), Field Museum of Natural History, Transvaal Museum (Amerika Serikat), Naturhistoriska riksmuseet (Swedia), dan Museum of Human Evolution (Spanyol).https://df3f855d449b6d75bd93171bdc3b2481.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-38/html/container.html
Daynés membuat patung menggunakan pendekatan yang realistis. Dalam hal membuat wujud hominid (manusia purba), ia terlebih dahulu membuat struktur anatomi tubuh seperti membuat tengkorak dan kerangka.
“Saya menggabungkan pendekatan forensik, teknologi, penelitian ilmiah, dan seni untuk menciptakan rekonstruksi hominid yang unik dan menunjukkan kepada publik secara luas mengenai pengetahuan kita tentang evolusi manusia,” aku Daynès dalam tulisannya yang berjudul Bringing our ancestors back: an Art to serve Science yang dimuat dalam Museologia Scientifica yang diterbitkan tahun 2008.
Daynés membuat patung hominid dengan sangat realistis dan mengesankan. “Manusia purba kelihatan riil, detil sekali,” ujar Indah Rahmawati Akbar, salah satu pengunjung di Museum Sangiran. Daynés menjelaskan bahwa bagian tersulit dan terpenting dalam proses rekonstruksi adalah dengan membuat otot di atas lapisan tengkorak dan kerangka sehingga terlihat lebih realistis dan detail. “Saya bekerja dengan spesialis anatomi komparatif dengan merekonstruksi tulang asli, kemudian rekonstruksi dimulai dengan peletakan jaringan otot di atas tengkorak. Tahap ini sangat penting,” ia menutup tulisannya.
Berkat sentuhan tangannya, Sangiran telah diakui dunia sebagai situs purbakala yang sangat berharga. Penemuannya penting untuk umat manusia dalam mempelajari asal-usul kehidupan awal manusia. Sebagaimana yang dikutip dalam World Heritage Convention, UNESCO merilis pernyataan bahwa “Sangiran diakui oleh para ilmuwan sebagai salah satu situs paling penting di dunia untuk mempelajari fosil manusia.” Semua elemen dapat berkunjung dan belajar banyak hal di Museum Sangiran.
“Situs ini (Sangiran) disejajarkan bersama situs Zhoukoudian (Tiongkok), Willandra Lakes (Australia), Olduval George (Tanzania), dan Sterkfontein (Afrika Selatan), serta menjadi yang lebih baik dalam hal penemuan daripada yang lain,” tutup UNESCO dalam laporannya.
Sumber: nationalgeographic.grid.id