Hampir di setiap situs plestosen yang menjadi objek kajian BPSMP Sangiran banyak ditemukan lokasi-lokasi bekas penambangan, terutama pertambangan mineral. Sangiran, Patiayam, Banjarejo dan Trinil merupakan beberapa situs plestosen yang juga ditemukan adanya bekas penambangan oleh masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Keberadaan lokasi bekas penambangan, khususnya tambang mineral seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dilepaskan dan saling terkait. Dalam konteks pelestarian cagar budaya, keberadaan tambang mineral sudah pasti merupakan aktivitas merusak yang mengancam keberadaan situs. Mereka menambang untuk mengambil materialnya tanpa memperhatikan potensi yang ada didalamnya baik potensi arkeologi, paleontologi maupun geologi. Belum lagi kerusakan lahan yang ditimbulkan setelah aktivitas tambang itu berakhir semakin menambah deretan citra buruk dari sebuah aktivitas pertambangan.
Apabila kita lihat dari sudut pandang yang lain, keberadaan tambang-tambang di situs plestosen menjadi “berkah” bagi peneliti untuk memperoleh data litologi, stratigrafi dan lain sebagainya. Singkapan sendiri umumnya ditemukan pada dinding-dinding tebing, lereng maupun kaki bukit yang mengalami longsoran. Kesulitan muncul ketika bentang lahan suatu situs hanya berupa dataran yang sama sekali tidak ditemukannya adanya singkapan-singkapan.
Situs Trinil merupakan salah satu situs arkeologi dengan morfologi dataran aluvial dimana sebagian besar areanya merupakan lahan persawahan. Untuk melihat litologi di Situs Trinil peneliti hanya mengandalkan dinding-dinding Sungai Bengawan Solo yang tersingkap ketika debit air rendah. Dalam kondisi debit air yang tinggi keberadaan lokasi bekas tambang menjadi alternatif untuk mengamati singkapan. Kondisi yang sama dialami tim survei seksi pengembangan BPSMP Sangiran ketika melakukan kajian potensi cagar budaya di Situs Trinil. Morfologi dataran dengan tataguna lahan yang didominasi persawahan menyebabkan sulitnya memperoleh temuan permukaan. Tidak banyak temuan permukaan yang diperoleh selain dari lokasi tambang. Begitu juga dalam pengamatan stratigrafi, hampir semua data stratigrafi yang diperoleh berasal dari lokasi bekas tambang. Tanpa keberadaan singkapan di lokasi bekas penambangan, pola distribusi lateral temuan permukaan hanya mengikuti aliran Sungai Bengawan Solo, dan pembaharuan data litologi di Situs Trinil juga sulit untuk dilakukan. Keberadaan singkapan di lokasi bekas penambangan memberikan sebuah gambaran baru bahwa potensi Situs Trinil tidak hanya ada di Sepanjang Sungai Bengawan Solo.
Keberadaan tambang dalam suatu situs haruslah dipandang secara objektif dari berbagai sudut pandang. Tidak bisa dipungkiri keberadaan tambang masyarakat merupakan ladang ekonomi bagi masyarakat, disisi lain keberadaan tambang jelas mengancam keberadaan situs arkeologi. (Khofif)