Situs Patiayam merupakan situs manusia purba yang sudah diteliti sejak tahun 1931 ketika Van Es menemukan 9 jenis fosil vertebrata. Berada di selatan Gunung Muria, situs ini muncul dengan memberikan data terkait manusia, budaya dan lingkungan yang berkembang pada kala Plestosen, namun belum banyak yang bisa diungkap mengenai manusia dan budaya pendukung Situs Patiayam. Pengetahuan manusia Situs Patiayam pada saat itu hanya didasarkan pada 3 fragmen cranium dan 1 gigi premolar, begitu pula dengan keberadaan data artefaktual yang masih menjadi tanda tanya. Keberadaan sisa budaya Situs Patiayam mulai menemukan titik terang ketika Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian intensif dan berkelanjutan dari tahun 2006 hingga 2013. Penelitian tersebut telah mendapatkan artefak batu (masif dan non-masif) dan artefak tulang.
BPSMP Sangiran melalui survei kajian potensi cagar budaya tahun 2017 telah memperoleh 2 spesimen artefak batu dari bahan andesit yang terdeposit pada aliran Sungai Kedung Ponte di Dusun Sintru, Desa Kandangmas, Kecamatan Dawe. Menindaklanjuti dua temuan tersebut, survei mencoba menyusuri aliran Sungai Kedung Ponte lebih ke utara (hulu) mengamati keberadaan himpunan batuan andesit yang begitu melimpah di sepanjang aliran sungai. Litologi di sepanjang Sungai Kedung Ponte menunjukkan lapisan breksi andesit dan endapan banjir yang dimungkinkan sumber bahan berasal tidak jauh dari lokasi temuan artefak tersebut. Dari hasil survei di Sungai Kedung Ponte diperoleh tambahan artefak batu sebanyak 3 spesimen dengan bahan andesit. Keberadaan artefak batu yang ditemukan telah lepas dari konteksnya, sehingga menjadi pertanyaan dari lapisan budaya yang mana artefak itu berasal?. Mengingat sebagian besar artefak telah mengalami pembundaran dan aus yang mengindikasikan bahwa artefak tersebut telah tertransportasi secara intens. Potensi arkeologi Sungai Kedung Ponte tidak sebatas hanya pada tinggalan budayanya tetapi juga tinggalan paleontologisnya berupa penemuan fragmen tulang panjang dan gading pada tahun 2014 oleh Balai Arkeologi Yogyakarta di sungai Kedung Curi (satu aliran dengan Sungai Kedung Ponte).
Besarnya potensi batuan andesit berukuran kerakal hingga bongkah tentu menjadi sumber penghasilan bagi para penambang batu tradisional. Dalam satu lokasi penambangan terdapat lebih dari 3 penambang yang setiap hari mengumpulkan batu berukuran kerakal untuk kemudian dijual. Fenomena penambangan di Sungai Kedung Ponte seolah-olah seperti pisau bermata dua, di satu sisi aktivitasnya mengancam keberadaan data arkeologi sebagai sumber informasi disisi lain aktivitas tersebut merupakan sumber pencaharian masyarakat. Perlu adanya kajian mendalam terkait seberapa besar potensi yang ada pada lokalitas tersebut dan menyelamatkan data arkeologi dan situs dari aktivitas penambangan. (Khofif)
Spesimen artefak batu berbahan andesit