Iket atau totopong (Sunda) atau udeng (Bali) adalah penutup kepala dari kain yang merupakan kelengkapan sehari-hari masyarakat pria di Pulau Jawa dan Bali. Sejak awal tahun 1900-an telah digunakan dan saat kembali dipopulerkan sejajar bersamaan dengan arah kebijakan pembangunan yang inklusif pada masyarakat di Indonesia. Pada masa itu iket secara mitologis dipercaya wajib digunakan oleh pria masa akil balik untukmenghalau gangguan dariroh jahat, selain juga memiliki fungsi praktis sebagi wadah, pembungkus, selimut, dan melindungi kepala saat menyunggi beban di kepala. Iket sendiri terbuat dari kain polos atau bermotif, berbentuk bujur sangkar, teknik penggunaannya dengan dilipat menjadi bentuk segitiga kemudian dililitkan dikepala dengan diikat pada bagian belakangnya.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, bahwasannya iket merupakan adat istiadat dan teknologi tradisional masyarakat Jawa dan Bali. Pada Pasal 24 bahwa Objek Pemanjuan Kebudayaan harus dipelihara antara lain dengan: menjaga nilai keluhuran dan kearifan Objek Pemjuan Kebudayaan; menggunakan Objek Pemajuan Kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari; menjaga keanekaragaman Objek Pemajuan Kebudayaan; menghidupkan dan menjaga ekosistem Kebudayaan untuk setiap Objek Pemajuan Kebudayaan; dan mewariskan Objek Pemajuan Kebudayaan kepada generasi berikutnya. Disamping itu iket sesuai dengan Pasal 32 Pemanfaatan Objek Pemajuan Kebudayan untuk membangun karakter bagsa dan meningkatkan ketahanan budaya dilakukan antara lain melalui: internalisasi nilai budaya; inovasi; peningkatan adaptasi menghadapi perubahan; komunikasi lintas budaya; dan kolaborasi antar budaya. Berdasarkan UU Pemajuan Kebudayaan maka keberadaan iket pada masyarakat Situs Sangiran khususnya harus dilestarikan, antara lain melalui kerjasama antara Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP Sangran) dengan masyarakat sekitar Situs. Pemajuan Objek Kebudayan melalui iket ini telah menyentuh desain yang menyiratkan temuan-temuan fosil yang juga telah menjadi koleksi Museum Sangiran dan dikenal sebagai “Iket Sangir”.
Pada kegiatan Sosialisasi pembukaan Museum Sangiran yang lalu, BPSMP Sangiran telah membantu masyarakat perajin untuk menyiapkan Iket Sangir pada acara pembukaan Museum Sangiran. Lurah Desa Krikilan pada kegiatan tersebut secara langsung memakaikan Iket Sangir kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karanganyar. Secara filosofis makna yang terkandung dalam iket salah satunya adalah memberikan ikatan atau kedekatan dalam sebuah hubungan kerja. Dengan demikian diharapkan dengan pemakaian iket ini akan menambah semakin eratnya hubungan masyarakat Situs Sangiran dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah, maupun juga stakeholder yang lain di dalam Pelestarian Kawasan Sangiran. (Dodyw).