Tiba di Sumatera pada 1887, Dubois melanjutkan pencarian fosil di sela-sela kesibukannya sebagai dokter militer. Saat berpindah ke Payakumbuh pada bulan Mei 1888, ia mulai mencari gua-gua yang sekiranya menyimpan fosil-fosil manusia prasejarah. Selanjutnya, Pemerintah Hindia Belanda membebaskan Dubois dari tugas militer dan memintanya mengabdikan seluruh waktunya pada pencarian dan ekskavasi paleontologi di wilayah Sumatera, dan jika perlu merambah Pulau Jawa.
Sayangnya, selama penggalian yang dilakukan di gua-gua Sumatera, ia tidak menemukan fosil yang dicari. Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Rijksmuseum–Museum Nasional di Belanda, Dubois menuturkan masalah-masalah berat yang dihadapinya selama pencarian. Penggalian yang dilakukan bertepatan pada bulan puasa membuat para pekerja, yang terdiri dari pekerja paksa dan narapidana, lamban. Dari 50 pekerja yang terlibat, 7 orang melarikan diri, beberapa lainnya diberhentikan karena perilaku mereka yang buruk, sebagian menderita sakit dan sisanya, sekitar 12-15 orang saja yang masih mampu bekerja. Selama tinggal di hutan, mereka berlindung pada ceruk batu atau gubuk-gubuk yang dibangun sederhana. Semula, ia mampu menanggung kesulitan-kesulitan ini. Sampai suatu saat, Dubois mengalami demam tinggi untuk ketiga kalinya. Ia pun menyerah.
Laporan-laporan penelitian lama yang dilakukan Franz Junghuhn dan Raden Saleh di Jawa telah membuatnya memalingkan perhatian ke Jawa. Apalagi, Jawa menawarkan akses dan medan penelitian yang lebih mudah daripada Sumatera. Penemuan fosil tengkorak di Wajak oleh van Rietschoten kemudian membulatkan tekad Dubois. Ia pun meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk dipindahtugaskan ke Pulau Jawa.
Tahun 1890, Dubois tiba di Pulau Jawa, sebuah wilayah yang ia duga lebih menjanjikan. Benarkah demikian? -ISB-
(Display 1, Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Ngebung)