September 1946, atas bantuan Franz Weidenreich, keluarga kecil von Koenigswald berhasil keluar Indonesia dan tiba di New York. Di American Museum of Natural History, New York, von Koenigswald melanjutkan telaahnya atas hominin Asia bersama Weidenreich selama sekitar 18 bulan, sebelum menerima panggilan Rijksuniversiteit Utrecht untuk menjadi Ketua Jurusan Paleontologi.
Von Koenigswald bertahan menduduki jabatan di jurusan yang diciptakan khusus untuknya itu selama 20 tahun, di saat mana ia berkesempatan melanglang ke Afrika dan kembali mengunjungi Asia. Minatnya pada Asia yang tak surut tampak dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya: dari 263 makalah yang terpublikasikan, 69 judul membahas topik Asia. Selama periode ini pula, ia memendam impian untuk mendirikan pusat penelitian internasional seputar fosil manusia purba dan evolusi hominid.
Impian itu terujud ketika Yayasan Werner-Reimers berkomitmen untuk memfasilitasi keinginan von Koenigswald di negara kelahirannya, di Senckenberg Research Institute and Natural History Museum, Frankfurt, Jerman. Sejak itu pula, tahun 1968, Von Koenigswald – Ralph- memboyong seluruh koleksi fosil beserta perpustakaan pribadinya, dan menghabiskan nyaris sepanjang sisa hidupnya di sana.
Sedekade terakhir sebelum tutup usia, ia mendorong para peneliti kita, di antaranya Teuku Jacob dan S. Sartono, untuk meneruskan jejaknya di ranah penelitian manusia purba di Indonesia. Kontribusinya yang luar biasa di bidang paleoantropologi mengantar sejumlah penghargaan, diantaranya Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Medali Darwin dari Akademi Leopoldina, Jerman, dan Medali Thomas Huxley dari Masyarakat Antropologi Inggris Raya dan Irlandia.
10 Juli 1982, GHR von Koenigswald: sang paleontolog yang mendidikasikan hidupnya untuk menelusuri evolusi manusia, berpulang di usia 79 tahun dalam tidur tenang di ranjang rumahnya di Bad Homburg, dekat Frankfurt, Jerman Barat. Sepanjang hidupnya, ia telah berkarya selama 64 tahun, dan kecintaannya pada subyek manusia purba tak lekang dari hati banyak ilmuwan hingga kini.
Sumber: Museum Manusia Purba Klaster Ngebung