Sangiran Media Kita Merenungi Kehidupan

0
991

Pada tahun 2011 lalu sebuah buku karya Yuval Noah Harari diterbitkan. Masyarakat antusias membaca karya berjudul Sapiens ini hingga menempatkannya dalam jajaran buku best seller. Membaca Sapiens membuat kita sejenak belajar mengenai cara dan pilihan-pilihan manusia terdahulu (re: Homo sapiens) untuk bertahan hidup. Sedangkan hewan lainnya seperti mamoth, dinosaurus, gajah purba hingga hewan-hewan purba lainnya terpaksa harus berevolusi bahkan beberapa terpaksa punah.

Buku ini mengantarkan kita pada perenungan mengenai kehebatan sapiens untuk terus berevolusi dari segi kognitif hingga menciptakan sebuah peradaban seperti hari ini. Membaca buku ini juga memupuk sisi imajiner kita mengenai alat-alat pertama yang diciptakan oleh manusia. Dalam proses imajinasi pola hidup dan alat yang digunakan manusia purba ini Situs Sangiran dapat menjadi media.

Secara administratif Situs Sangiran terletak di Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah. Museum ini telah ditetapkan sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO dan menjadi saksi sejarah puluhan ribu fosil dari zaman pleistosen atau lebih dari dua juta tahun yang lalu. Jika dalam bukunya Yuval membicarakan mengenai api sebagai penemuan terbesar Homo sapiens, Situs Sangiran justru memberikan perspektif lain bahwa api sudah dibuat jauh sebelum itu. Api diketahui sudah bisa dibuat oleh Homo erectus sejak 500.000 tahun yang lalu.

Situs Sangiran mengoleksi 14.000 item fosil, artefak dan diorama. Sebanyak 120 fosil manusia purba pernah ditemukan pada situs ini. Dengan kata lain lebih dari 50% fosil serupa yang ada di seluruh dunia. Kekayaan ini menjadikan Situs Sangiran menempati posisi teramat penting dalam kajian evolusi manusia. Maka, untuk melengkapi pengetahuan kita dapat membaca filsafat dalam buku Yuval Noah Harari, agaknya tidak berlebihan jika Situs Sangiran di daulat untuk menjadi pemandu.

Situs Sangiran yang memuat berbagai diorama hidup manusia purba dapat mengantarkan kita untuk berkomunikasi lebih dekat dengan kehidupan masa lalu. Pelajaran dari masa lalu ini dapat kita jadikan sebagai upaya untuk connecting the dots. Mempelajari cara manusia purba untuk bertahan hidup memberikan informasi pada kita tentang hal-hal yang sudah manusia lewati. Kita tidak lagi perlu membayangkan mengenai kehidupan seperti apa yang dijalani manusia purba karena bukti otentiknya justru dengan mudah dapat kita lihat di Situs Sangiran. Jika buku Sapiens dapat menempati posisi best seller, maka seharusnya Situs Sangiran bisa lebih karena memberikan kita pengetahuan dengan lebih riil.

Tidak hanya menambah khasanah belajar sejarah namun berkunjung ke museum juga dapat menghindarkan kita dari perasaan minder atau insecure. Jika tujuan dan perjalanan kita selama menyelami masa lalu sudah benar, pemikiran “Sudah banyak yang manusia lalui, tidak ada alasan untuk menyerah” tentu akan hadir. Pemikiran seperti ini bisa menjadi sebuah konklusi yang bisa diambil pasca kita mengunjungi Museum khususnya Situs Sangiran yang memuat jejak evolusi manusia awal. Sayangnya ide ini belum akrab dalam pemikiran masyarakat kita.

Saat ini ada kecenderungan respon sebagian masyararakat yang mengarah pada keterpaksaan dalam mewarisi budaya. Warisan budaya yang dipercaya dapat menjadi media untuk menjaga proses identitas suatu bangsa tidak lagi diketahui esensinya. Ada pergeseran makna dalam pewarisan kebudayaan.

Sebagian masyarakat yang memiliki persepsi bahwa warisan budaya tidak lagi relevan untuk terus diperhatikan. Cukup melihatnya satu kali lalu tidak ada alasan yang spesifik untuk datang kembali. Sedangkan, sebagian lainnya memiliki pendapat bahwa warisan budaya merupakan ekspresi dari masa lalu yang memiliki nyawa untuk kehidupan hari ini. Padangan ini memunculkan sebuah keyakinan yang cenderung membesar-besarkan objek warisan budaya.

Sangiran Tidak Stagnan

Jika lebih banyak masyarakat yang berfikir bahwa mempertahankan kebudayaan tidak lagi penting, maka sejatinya kita sedang mengarah pada kehidupan tanpa identitas. Museum secara pendek dianggap sebagai ruang kelas hanya bagi mereka yang mengambil studi sejarah atau arkeologi. Sedangkan sebagai masyarakat yang tidak bersentuhan langsung dengan studi tersebut kita cenderung tidak mengerti apa fungsi museum. Padahal perlu diketahui bahwa Situs Sangiran sudah lama hadir untuk leih dekat dengan segala lapisan kelas akademis masyarakat.

Situs Sangiran tidak pernah stagnan seperti anggapan yang muncul pada sebagian kecil orang selama ini. Museum ini melakukan perkembangan dari waktu ke waktu sejak berupa sebuah museum kecil hingga saat ini dapat menampung 5000 pengunjung. Tidak hanya itu, dalam upaya menepis image yang berkembang dalam masyarakat mengenai yang kaku dan membosankan, Situs Sangiran memiliki program museum masuk sekolah. Maka jika Sangiran telah banyak berbenah, mengapa persepsi kita tidak turut demikian? (Laras Setyaningsih)