Catatan Penelusuran: “Liung Tse” dan “Balung Buto”

0
670

Orang bilang, aku harus mencari fosil di toko obat Cina. Begitulah pula yang tercantum dalam catatan kolegaku, Davidson Black. Rupanya ini juga terjadi di Hindia Belanda. Potongan fosil di toko-toko obat Cina sudah kulihat sejak tiba di sini, tahun 1931, untuk menyertai survey geologi dalam program pemetaan Pulau Jawa. Para sinshe menyebutnya geligi naga (liung tse/dragon teeth).

Ya; fosil untuk pengobatan! Luar biasa. Rasanya tak masuk akal, bisa menemukan mineralisasi belulang purba bukan di balik singkapan tanah tua, melainkan di balik tirai toko-toko obat Cina. Namun, begitulah kenyataannya: dalam penelusuranku di Jawa, Sumatra, Bali, Borneo, dan Celebes, aku menemukan fosil gigi kuda, badak, jerapah besar, dan antelop dari toko-toko mereka. Para sinshe bahkan tak segan memisahkan tengkorak dari geligi, karena percaya bahwa “liung tse” lebih berkhasiat dan berharga daripada “liung khu” (belulang naga).

Ketika ekspedisi pemetaan geologis Pulau Jawa bersama van Es dan kawan-kawan membawaku ke Sangiran, rupanya kepercayaan yang sama juga diyakini penduduk lokal. Bedanya, kata Romo Toto Marsono, bagi mereka fosil yang mencuat dari tepian sawah dan dinding-dinding tebing desa itu adalah “balung buto”, atau belulang raksasa.Warga Sangiran tak berani mengganggu “balung buto”, kecuali jika membutuhkannya. Seperti yang dilakukan para sinshe, mereka menggunakan “balung buto” untuk mengobati berbagai penyakit dengan cara menumbuk, meminum air rendamannya, atau bahkan hanya mengusapkannya ke bagian tubuh yang sakit. Mereka juga percaya, “balung buto” berkhasiat mengusir roh halus dan menjadi jimat kekebalan. Aku berharap bisa menemukan fosil hominin di tempat ini.

NB: Eugene Dubois pernah ke Tanjung, Sangiran tahun 1893, tetapi hanya berhasil mengumpulkan fosil fauna.

Sumber: Museum Manusia Purba Klaster Ngebung