“Mengapa harus dilestarikan segala?”, “Cuma onggokan tulang-tulang begitu saja kok harus dilestarikan”, “Mengurus yang hidup saja masih repot kok mengurus yang sudah mati”. Kalimat semacam itu sering kami dengar dari mereka yang menyaksikan atau menanggapi temusn fosil-fosil, termasuk temuan situs manusia purba di Patiayam. Itu bisa jadi pandangan yang pesimis. Akan tetapi tidak sedikit yang optimis, kagum, merespons positif, dan bangga dapat menyaksikan sisa-sisa hewan purba yang berusia ribuan hingga jutaan tahun itu. Saking kagumnya barangkali atau karena salah fokus, ada yang berlebihan menganggap beberapa fosil-fosil itu sakti, dan dapat digunakan sebagai jimat, atau bisa sebagai obat penyembuh berbagai penyakit. Terbersit pula celetukan polos (terutama anak-anak) “ini tulang Dinosaurus ya?”, atau “manusia jaman dulu besar-besar ya?”, “ini tulangtulang raksasa ya?”, dan sebagainya yang harus selalu disikapi dengan senyum dan dijawab dengan arif.
Komentar mereka itu adalah wujud kejujuran secara spontan dan sangat wajar karena sifat penasaran, kagum sekaligus ingin tahu. Pernyataan yang terlontar itu karena adanya fenomena langka dari apa yang ia saksikan di luar pengetahuannya sehari-hari. Lalu mengapa hal itu sering terjadi?. Mungkin karena masih adanya celah informasi yang kosong tentang fosilfosil binatang purba, benda cagar budaya, situs, dan atau kawasan purba yang belum terisi kepada masyarakat. Walaupun ada media-media telah memberitakan, namun tidak semua masyarakat sempat atau mampu mengakses berita-berita tersebut.
Apalagi kalau ternyata tidak ada berita sama sekali, maka celah informasi ke masyarakat semakin lebar.
Berbicara tentang Situs Patiayam memang identik dengan temuan-temuan fosil, karena di situs arkeologi ini dominan temuannya berupa fosil-fosil hewan purba. Masyarakat pun telah mendapatkan berita di berbagai media tentang Situs Patiayam ini karena adanya temuan-temuan baru berupa fosil. Penafsiran masyarakat terhadap fosil sangat bebas dan beragam, tetapi perlu kita hargai pendapat mereka. Sebagaimana sering kita dengar, fosil itu mereka tafsirkan sebagai “balung buto”. Ini biasanya ditafsirkan oleh generasi yang gemar atau pernah mendengar cerita pewayangan. Kemudian kalau ada yang mengatakan fosil itu tulang-tulangnya Dinosaurus, itu karena imajinasi atau bayangan mereka yang pernah membaca komik atau menonton film-film animasi asing. Sedangkan fosil ada yang mereka percayai sebagai benda bertuah mampu melindungi atau membuat kebal bagi pemilik “kul buntet” (fosil isi rumah keong). Ada juga yang mempercayai bahwa fosil dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ini biasanya berasal dari kelompok tertentu yang berbau klenik atau mereka yang suka mencari jalan pintas untuk mengatasi masalahnya. Kelompok ini perlu diwaspadai karena selain pernyataannya tidak masuk akal, juga dapat mengarah pada penipuan dengan berbagai dalih dan modusnya. Masyarakat yang menempatkan atau menafsirkan fosil-fosil seperti di atas masih dianggap umum dan biasa saja, karena di balik itu ada pemahaman masyarakat yang diam-diam berpotensi sebagai ancaman kelestarian fosil atau situs. Ada kelompok kecil masyarakat dengan pemahaman bahwa fosil sebagai benda komoditi, artinya menempatkan fosil sebagai barang yang dapat dijualbelikan. Adapun dasar mereka berniat untuk menjadikan fosil sebagai barang dagangan tentunya didasari oleh adanya penafsiran yang keliru tersebut di atas. Mereka menempatkan fosil dalam bingkai “manfaat”, yaitu sebagai benda yang bertuah atau terdapat “kodham” (bahasa Jawa = terdapat jin?).
Perlakuan berbau syirik ini ada dimana-mana, dan tidak segan-segan menyatakan bahwa benda tersebut mampu membuat si pemilik menjadi kebal dari berbagai senjata, murah rezeki, enteng jodoh, dapat menyembuhkan penyakit, dan lain-lain yang menjanjikan. Oleh karena itu, bungkus promosi dusta seperti itu dapat berakibat tidak baik kepada masyarakat (tertipu) terutama bagi yang minim atau awam pengetahuannya. Ditambah lagi, oleh karena fosil tidak termasuk barang dagangan dan bukan benda produksi, maka jadilah harga jual dalam transaksinya bisa tak terukur tergantung kepandaian pelakunya. Ciri-ciri kelompok ini biasanya transaksinya dilakukan secara sembunyisembunyi bagaikan sindikat. (Siswanto, S.Si., M.A., Wahyu Widiyanta, S.S., Suwita Nugraha, S.T., M.A. Ilham Abdullah, S.S., M.A., Haris Rahmanendra, S.S., M.Sc., Wulandari, S.Si., Dian Nisa Anna R, S.S., M. Rais Fathoni, S.T., Khofif Duhari Rahmat, S.S., Pipit Meilinda, S.Hum)
Selanjutnya silahkan klik