You are currently viewing STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI KAWASAN BORDER CROSSING AREA (BCA) Studi di Pulau Matutuang, Kabupaten Sangihe

STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI KAWASAN BORDER CROSSING AREA (BCA) Studi di Pulau Matutuang, Kabupaten Sangihe

Oleh : Steven Sumolang*

Manusia bukan makhluk yang berdiri sendiri, ia adalah makhluk yang senantiasa berintereaksi dengan sesamanya dan lingungan sekitar. Hasil intereaksi dengan lingkungan dan sesama, menghasilkan yang namanya budaya yakni perilaku manusia atas hubungan-hubungan tersebut. Keberadaan ini, membuat bagian-bagian bumi ini saling ketergantungan, manusia di satu pihak dan lingkungannya di pihak lain.

Pada dasarnya strategi keberlangsungan hidup dari masyarakat manusia dibuatnya setiap menghadapi lingkungan yang terkadang mengalami perubahan, inilah sebuah penyesuaian atau adaptasi yang melahirkan kebudayaan. Kearifan lokal  dalam memanfaatkan sumber daya alam telah diciptakan sedemikan rupa hasil intereaksi manusia dengan alam. Pada kondisi sekarang ini tindakan manusia sendiri lebih mengolah alam dalam artian tidak “beradaptasi” dengan baik, hingga kerusakan alam sangat parah terjadi. Kearifan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam tadi, telah melemah. Maka resiko bagi penghidupanlah yang menjadi akibatnya.

Fenomena ekologi diatas, perlu digali terus menerus kearifan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam dan bagaimana kearifan masyarakat dalam hal strategi adaptasi terhadap kondisi lingkungan dan sosial budaya yang berubah. Saya mengambil fokus peneltian kepada masyarakat nelayan, khususnya pulau Matutuang di Desa Matutuang, melihat dari dekat perilaku masyarakat nelayannya dalam usaha pengidupan mereka, dan strateginya menghadapi perubahan kondisi sekitarnya di kawasan perbatasan Indonesia-Pilipina, yakni di area border crossing area (BCA)dan kondisi alamnya sebagai pulau kecil.

Bagaimana pula masyarakat nelayan di pulau matutuang melakukan adaptasi untuk menghadapi situasi lingkungan yang tidak bersahabat. Kondisi iklim dan cuaca merupakan faktor yang paling berpengaruh, kalau cuaca kencang nelayan tidak akan melaut, seperti angin barat yang luas biasa kencangnya dirasa nelayan kepulauan Sangihe dan Talaud lalu angin utara yang kencang dan berlangsung lama hingga 5 bulan. Dan perkembangan terakhir adalah iklim dna cuaca yang pancaroba akibat pemanasan global, ini sangat menghantam aktivitas menangkap ikan mereka. Kalau sudah begini maka Nelayan tidak bisa apa-apa. Nelayan sangat menggantungkan hidup terhadap hasil laut yakni ikan, kepiting, kerang, rumput laut, dll.  Apa yang ditangkap jarang dikonsumsi sendiri melainkan dijual ke pasar atau pengepul agar segera menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, harga hasil laut terkadang dengan harga murah. Inilah nasib seorang nelayan, apalagi mereka yang berada di wilayah kepulauan, pulau-pulau kecil dan daerah perbatasan yang terbatas infrastrukturnya.

Sebab dan akibat dari perubahan ekologi, telah menyebabkan masalah penting bagi kehidupan umat manusia, semisal iklim global yang berubah dan kerusakan pada lingkungan telahn membuat masyarakat nelayan dan petani menerima akibat yang kalut. Kepastian menjalankan usaha yang stabil tidak terjadi. Membuat sebagian masyarakat beralih tempat atau beralih profesi sebagai jalan keluar dari perubahan ekologi, untuk bertahan hidup. Meskipun banyak yang sadar bahwa perubahan ekologi tersebut adalah pula disebabkan oleh manusia sendiri.

Pulau Matutuang dahulu sebagai lokasi medaseng warga nelayan dari pulau-pulau sekitarnya seperti Marore, Kawio, Kawaluso, dari Kepulauan Nusa Tabukan, Sangir Besar, bahkan dari Nelayan Pilipina. Areal penangkapan ikan yang cukup baik dengan kelimpahan ikan di antara nyare dan napo dalam jumlah banyak. Tingginya sumber daya laut perairan Matutuang menarik nelayan-nelayan tersebut untuk tinggal menetap, terutama nelayan dari Pilipina yang adalah warga Sangihe yang telah lama berdomisili di pulau Balut Pilipina, kebanyakan yang badaseng memilih tinggal menetap di pulau Matutuang pada tahun 90-an. Nanti di tahun 2000-an menjadi desa sendiri, berpisah dari desa induk Marore.

Kini warga nelayan tersebut, berada di kawasan pulau kecil, di perbatasan Indonesia-Pilipina, meski dilingkari sumber daya laut yang tinggi, mereka harus menghadapi tantangan akibat pulaunya yang berada di lautan lepas, sebagai pulau kecil, berada di kawasan dengan cuaca dan iklim pasifik yang sering mengalami cuaca buruk, badai tropis. Kemudian kondisi infrastruktur baik transportasi, fasilitas public yang kurang memadai sebagaimana pulau perbatasan lainnya di Indonesia.

Kondisi menantang di atas, membuat warga pulau Matutuang harus menyesuaikan dengan lingkungan tersebut. Beberapa hal yang dilakukan sebagai pola atau strategi adaptasi masyarakat nelayan pulau Matutuang. Pertama mereka senantiasa memahami betul kondisi keruangan dan lingkungan lautnya, mengembangkan teknologi tradisional sesuai alam setempat, kembali kepada pemanfaatan sumber makanan tradisional, mempertahankan modal sosial gotong royong, sebagian pergi ke Sangihe Besar dan Kota Bitung untuk tetap menangkap ikan, peran pola usaha bos-langganan sebagai sumber permodalan dan tempat meminjam di saat tidak melaut akibat cuaca buruk.

*Penulis, Peneliti Antropologi Sosial Budaya BPNB Sulut Kemdikbud