Pada sebuah dusun, tinggallah seorang yang bernama Towo. Si Towo terkenal licik/pendusta, telah banyak orang yang diperdayakan olehnya. Karena perbuatannya itu ia dihukum oleh mereka. Towo ditangkap dan diikat pada sebatang pohon, di tepi jalan. Dengan demikian, maka semua orang yang melewati jalan itu melihat dan mempermalukan dia.
Pada suatu hari, lewatlah orang yang bungkuk di tempat di mana si Towo diikat. Lalu si Wo’ko (si Bungkuk) bertanya kepada si Towo : “Mengapakah kau dalam keadaan seperti itu?” Melihat si Wo’ko dan mendengar pertannyaannya, timbullah akal bohong si Towo. Lalu ia berkata: “Tidakkah kau tahu bahwa saya sedang mengobati punggung saya ? Dahulu saya bungkuk seperti engkau. Lalu setiap hari saya mengikatkan tubuh saya di pohon. Lama kelamaan laruslah punggung saya. Menurut penglihatan saya, bungkukmu belum seberapa dibandingkan dengan saya dulu. Tetapi sayang, barangkali engkau tidak mau jadi tegak bukan?”
Si Wo’ko cepat-cepat menyahut: “Tentu saja saya suka. Sudah lama saya mencari obatnya namun belum juga kutemukan. Kata si Towo : “Jadi, bersediakah engkau diobati? Jika bersedia, nanti saya obati. Tapi bukakan dulu pengikat saya, kemudian engkau akan kuikatkan”. Dengan begitu si Wo’ko kini menggantikan si Towo terikat di pohon.
Ketika waktu makan, datanglah orang-orang yang hendak membawakan makanan buat si Towo. Mereka sangat kasihan melihat si Wo’ko terikat di tempat si Towo tadinya diikat, sedangkan si Towo tidak ada lagi di situ, sudah lari. Mereka maklum bahwa tentulah ini akibat dusta si Towo.
Kejadian ini didengar oleh Pembesar yang memerintah di wilayah itu. Ia menganggap perbuatan si Towo sudah sangat keterlaluan dan harus dihukum berat. Si Towo ditangkap, lalu ia dibawa dengan perahu ke tengah laut untuk ditenggelamkan di sana. Tetapi Towo tidak mati lemas malah menyelam dan berenang kembali menuju pantai, begitu cepatnya sehingga ia lebih dulu tiba dari yang berperahu tadi.
Sampai di darat, ia langsung menuju ke rumahnya, ibunya sangat terperanjat melihat anaknya sudah kembali, lalu bertanya kepadanya: “Bukankah engkau dihukum tenggelam di laut, bagaimana caranya engkau dapat kembali lagi?” “Diam-diamlah dahulu”, sahut si Towo, “nanti saya akan menceritakannya. Ketika saya dilemparkan ke laut, pada pikiran mereka saya telah mati lemas, padahal saya menyelam dan kembali ke pantai. Barangkali saya yang duluhan tiba di pantai dari mereka. Masih ingatkah itu pakaian yang pernah dikenakan oleh ayah dari Wangko’ (pembesar negeri) yang sekarang, pada waktu ia meninggal dahulu?” tanya si Towo pada ibunya lalu bertanyalah ibu si Towo kepadanya: “Mengapa engkau menanyakan hal itu?” Jawab si Towo: “Ingatlah kataku tadi, diam-diamlah dahulu. Tolong ibu jahitkan dahulu baju seperti itu untuk saya, kelak ibu akan tahu juga. “Lalu si ibu berusaha menjahit baju yang diminta anaknya.
Ketika baju itu selesai, beberapa hari kemudian si Towo pergi menghadap si Wangko’. Tidak kepalang terkejutnya si Wangko’ melihat si Towo masih hidup. Lalu ia bertanya : “Dari manakah engkau datang?” Si Towo menyahut : “Pada waktu saya dilemparkan ke dasar laut, mereka mengira saya sudah mati lemas. Ketika saya tiba di dasar laut, saya melihat ada jalan yang besar dan indah di sana. Ada banyak rumah yang semuanya indah-indah. Tapi ada satu rumah yang paling indah, rupanya rumah dari pembesar mereka. Waktu saya pergi ke rumah itu, saya lihat tuan rumahnya adalah ayah dari Wangko’ sendiri yang sudah meninggal itu. Dan waktu saya akan pulang dihadiahkannya pakaian indah ini untukku. Ia berpesan bahwa kalau kalian ingin pergi ke sana menemuinya, nanti saya tolong menunjukkan jalannya. Bukan main gembiranya si Wangko’ mendengar ceritera si Towo. Ia memanggil dan memerintahkan isi istananya untuk pergi semuanya menemui ayahnya. Mereka berkemas dan dengan diantar si Towo mereka menuju ke pantai. Si Towo lalu memanggil orang-orang yang pandai berperahu untuk membawa mereka ke tengah laut.
Ketika tiba di tengah laut, si Towo berkata: “Di sinilah tempatnya, meloncatlah saja semuanya: tanpa pikir panjang lagi mereka pun meloncat ke laut, tenggelam dan mati lemas. Tinggallah si Towo seorang diri yang tidak terjun.
Maka kembalilah si Towo ke daratan dengan tetap mengenakan pakaian kebesaran (yang dijahitkan ibunya). Setibanya di darat, iapun disambut oleh rakyat banyak yang mengira ia adalah Wangko’ mereka. Si Towo langsung ke istana dan mulai saat itu ia menjadi Wangko’ (pembesar negeri) di sana.
Cerita ini berbentuk dongeng. Sifatnya sebagai pelipur lara. Cerita ini hampir sama dengan cerita tentang Abunawas yang banyak akalnya. Pelajaran yang dapat dipetik dari cerita ini antara lain janganlah cepat percaya dengan omongan perkataan orang, tetapi dipikirkan dahulu kebenarannya.
Sumber : Drs. Nico H. J. Lumunon dalam Naskah Cerita Rakyat Daerah Sulut, Proyek IDKD, 1977.