SI RAMBUT TUJUH DEPA

Pada zaman dahulu Gorontalo terbagi atas dua kerajaan yaitu kerajaan Gorontalo dan kerajaan Limboto. Kerajaan Gorontalo diperintah oleh raja SALAMU dan kerajaan Limboto diperintah oleh raja HEMUTO. Kedua kerajaan ini selalu bertentangan, sehingga pada tapal batas kerajaan timbul perselisihan-perselisihan yang mengakibatkan pertumpahan darah. Adapun raja Hemuto adalah raja yang terkenal berani dan tangkas, kebal serta dapat melayang di udara. Karena kesaktiannya,ia tidak mengenal. Pada suatu hari berangkatlah ia dengan bala tentaranya sehingga melewati perbatasan kerajaan Gorontalo. Pengawal perbatasan kerajaan Gorontalo tidak mengizinkan mereka untuk melewati perbatasan, serta berusaha mengadakn perlawanan untuk mempertahankan kerajaannya tetapi dengan mudah dapat dikalahkan oleh raja Hemuto. Mayat bergelimpangan di sana sini dan bukan sedikit darah yang tertumpahdi atas bumi persada, namun raja Hemuto tidak mengenal kasihan. Alkisah, leher sang korban dipotong dan kepalanya dikumpulkan pada suatu tempat yang agak berbukit, sekarang bukit tersebut terkenal dengan nama “HUNTU LO BOHU” artinya tumpukan bara. Raja Gorontalo merasa tidak senang atas merasa tidak senang atas perbuatan raja Limboto, lalu ia mengirim pasukannya yang terdiri atas prajurit-prajurit pilihan yang tangkas bermain kelawang, akan tetapi betapapun hebatnya katangkasan mereka tetap dapat dikalahkan oleh pasukan raja Hemuto. Kejadian itu membuat raja sangat terpukul mak dengan diam-diam ia meninggalkan kerajaannya dengan tujuan mencari orang yang dapat menandingi raja Hemuto. Ia berangkat dengan sebuah perahu, berlayar mengikuti arus angina dan belum terbayang olehnya pelabuhan mana yang hendak dituju. Selama lima hari lima malam dalam pelayaran sampailah perahunya ke tepi pantai, kebetulan tidak lama lagi bola emas akan keluar dari persembunyiannya, tanda pagi akan tiba, maka merapatlah ia, perahunya ditarik ke darat. Kebetulan tidak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah sungai yang airnya sangat jernih, mengingat sekian lama dalam perjalanan ia belum mandi, tanpa piker panjang lagi ia langsung membuka baju dan mandilah ia dengan sepuas hatinya. Sementara Raja Salamu menggosok-gosok badannya, tiba-tiba terasa olehnya sebuah benda halus menyentuh tubuhnya.

Dengan hati-hati benda halus itu dipungut olehnya ternyata sehelai rambut. Cepat-cepat ia mandi dan mengenakan baju, rambut yang dililitkan pada telunjuknya diurai dengan hati-hati agar tidak terputus, ternyata rambut tersebut panjang sekali. Dengan penuh keheranan dia ukur panjangnya, ternyata rambut itu panjangnya tujuh depa. “Siapakah gerangan yang mempunyai rambut sepanjang ini? bidadarikah atau manusia biasa?” tanyanya dalam hati. Karena di dorong oleh rasa ingin tahu maka raja tersebut menyusuri pinggir sungai kearah hulu, siapakah yang nanti akan berjumpa dengannya? Seperempat jam lamanya dalam perjalanan, dari kejauhan tampaklah olehnya seorang perempuan yang sedang mandi. Betapa cantiknya gadis itu, beberapa kali ia mengucak matanya. Salah lihatkah dia atau sedang bermimpi? masih dalam kebingungan dan penuh tanya dalam hati dia mendekati gadis tersebut. Dengan hati-hati ia bertanya: “Wahai gadis cantik, apakah engkau seorang manusia biasa atau seorang bidadari?” Gadis itu menoleh dengan lemah lembut dia menjawab bahwa dia adalah seorang manusia biasa mempunyai seoarang Ibu dan seorang Bapak. “Kalau begitu, siapakah kedua orangtuamu?” Tanya Raja. Orang tua saya adalah raja di tempat ini. Jawabnya. “Siapakah nama tuan dan apakah maksud tuan datng kesini?” Tanya gadis itu. “Namaku…..Salamu, aku adalah Raja Gorontalo. Aku telah memberi tahu namaku, kaupun tentunya mempunyai nama seperti aku. “Oh… Tuan adalah seorang yang sangat arif, pantaslah menjadi raja. Hamba…. biasa dipanggil Si Rambut Tujuh Depa”, kata gadis itu. Raja Salamu berkata: “Dinda…. bolehkah aku singgah di rumahmu?”. “Kalau tuan ingin kerumah hamba, baiklah tapi tuan boleh menunggu sebentar saja di tempat sana, sebab saya akan mandi dulu”. Jawab gadis itu. Selesai mandi keduanyapun berakat menuju rumah orang tua Si Rambut Tujuh Depa. Tak berapa lama dalam perjalanan, dengan melalui jalan yang berliku-liku, tibalah mereka di rumah sang gadis. Raja dipersilahkannya masuk, lalu dia memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ada orang yang ingin bertemu. Adapun tamu tersebut ialah seoarang raja dari Gorontalo. Karena yang bertamu seorang raja, maka orang tua gadis itu menyambuntnya secara kebesaran. Dalam pertemuan yang meriah itu, Raja Salamu menjelaskan maksud dan tujuannya. Orang tua si Rambut Tujuh Depa yang juga sebagai raja mengertilah bahwa kedatangan raja Salamu tidak lain ialah hendak mencari seorang yang gagah berani yang dapat menandingi raja Hemuto yang amat kebal, tangkas bisa terbang yang banyak mengorbankan rakyatnya di Gorontalo. Orang tua sang gadis memanggil pengawalnya (Maluyu) lalu menyampaikan maksud kedatangan Raja Salamu, akan tetapi Maluyu menyatakan bahwa ia dan anak buahnya taka ada yang dapat menandingi Raja Hemuto. Kecuali menurut keyakinan saya, ada seorang Polahi (orang yang kurang bergaul dengan penduduk yang sedang mengasingkan diri di hutan) bertempat tinggal di pegunungan Boliyohuto, namanya Abuna. Saya yakin ia dapat mendampingi Raja Hemuto yang dikisahkan itu. Orang tua si gadis ketika mendengar penjelasan tersebut, segara mengirim utusan untuk mengundang Polahi yang bernama Abuna, tetapi ketika tiba di tempat, Abuna tidak ada. Dia sudah beberapa hari meninggalkan gubuknya. Oleh karena seorang yang dicarinya  belum ditemukan, maka untuk sementara Raja Salamu masih tetap tinggal di rumah orang tuanya sang gadis sebagai tamu agung. Melihat kecantikan sang gadis dan perilakunya yang begitu luhur, lama kelamaan hatinya mulai tertarik  dan akhirnya ia mulai jatuh cinta pada gadis itu. Terdorong oleh bisikan hati dan kemaunnya yang sudah membulat, maka dengan penuh bijaksana disampaikannya hasrat hatinya itu kepada orang tua si gadis. Setelah dipikir-pikir, dan dipertimbangkan, maka hasrat Raja Salamu beroleh sambutan yang baik. Diadakan pesta perkawinan antara Raja Salamu dan Si Rambut Tujuh Depa. Pesta berlangsung selama 7 hari 7 malam. Suami istri bagaikan sejoli, bekasih-kasihan yang tak akan terpisahkan. Mereka hidup rukun bahagia. Beberapa bulan kemudian sang istri mengandung, betapa bahagianya Raja Salamu mendengar istrinya hamil, luapan perasaan senangnya menambah cinta kasih dan sayangnya terhadap sang istri, sehingga kebahagiaan senantiasa meliputi rumah tangga mereka. Ketika kandungan menghampiri umur 9 bulan, sering Raja Salamu didapati istrinya duduk termenung sambil bertopang dagu seolah-olah ada yang membebani pikirannya. Hal ini tidak luput dari perhatian istrinya. Pada suatu hari dengan penuh perhatian sang istri mendekati suaminya dan berkata: “Akhir-akhir ini, aku sering melihat kanda dalam keadaan murung. Apakah kanda menyesal kawin dengan dinda?”. “Ah… dinda, sama sekali, malah aku merasa sangat bahagia dan bangga mempunyai istri macam dinda”. jawab Raja Salamu dengan senyum. “Adapun yang merisaukan hatiku selama ini adalah mengenangkan kerajaanku yang sudah lama kutinggalkan, entah bagaimana keadaanya, akan tetapi aku tak sampai hati meninggalkan dinda dalam keadaan hamil seperti ini. Apa kata orang nanti manakala aku pergi meninggalkanmu, sekalipun seizinmu”. “Kalau demikian persoalannya, serahkan kepadaku untuk mengatasinya. Sekalipun aku mengandung dan tidak lama lagi akan melahirkan namun tetap ku izinkan kanda untuk berangkat. Dinda rela dengan penuh ikhlas, keberangkatan kanda demi kepentingan rakyat dan kejayaan kerajaan Gorontalo.” Jawab istrinya dengan suara lembut. Terharu dia mendengar ucapan istrinya yang begitu tulus, mantap dan indah itu. Kata-kata istrinya bagaikan mutiara yang tak ternilai harganya, semangatnya bangkit kembali, wajahnya berseri-seri, tidak ada lagi kemurungan dihatinya. “Jiwamu sangat luhur dinda, aku sebagai suamimu merasa bersyukur dan sangat berbangga karena ku tahu di dunia ini, jarang terdapat manusia yang serupa hati dan pikiranmu. Mereka lebih mementingkan dirinya sendiri daripada kepentingan umum. Sepeninggalku nanti, ku doakan agar dinda selalu dalam lindungan-Nya dan pesanku kepadamu dinda, bila anak yang dilahirkan nanti adalah perempuan, maka jangan lupa untuk memberitahukan kepadaku dan apabila yang lahir adalah anak laki-laki, maka ku mohon antarkan ia ke kerajaanku,” kata Raja Salamu. “Kanda… pesanmu… akan selalu ku ingat dan kuperhatikan. Akan tetapi bila yang lahir laki-laki, menurut keyakinanku anak kita akan mendahuluimu tiba di kerajaan Gorontalo.” Kata Si Rambut Tujuh Depa. Setelah siap dengan bekal secukupnya, maka pamitlah ia kepada istri tercinta beserta keluarga. Lalu bertolaklah ia dengan perahu layarnya kembali ke kerajaan Gorontalo. Beberapa minggu kemudian dalam pelayaran, sampailah ia ke pantai yang di tuju. Tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki sedang bermain pasir. Melihat perahu mendekati pantai, anak tersebut berhenti dengan permainanya, lalu tertuju pada seorang yang sedang mendayung perahu. Dikala perahu Raja Salamu akan membelok menuju Leyato, tiba-tiba anak itu berseru : “ayah… hendak kemana ayah?” Mendengar seruan anak ini, serta merta raja Salamu membelokkan perahunya menuju anak tersebut. Teringatlah ia pada perkataan istrinya bahwa apabila yang dilahirkan anak laki-laki, maka kemungkinan besar anak itu akan mendahuluinya. “Hai…. Anak kecil, benarkah engkau anakku?” tanya Raja Salamu. “Benar ayah…” jawabannya. “Kalau betul-betul engkau anakku berangkatlah engkau terlebih dahulu ke rumah dan sampaikan bahwa aku sudah tiba”. Mendengar perintah ayahnya, anak itu segera berangkat kerumah dan didapatinya kakak tirinya masih tidur. “Hai anak-anak bangunlah, ayah sedang di Wonggahulu.” Mendengar berita tentang ayahnya kedua anak itu segera bangun dan tanpa pikir panjang lagi mereka menemui ayahnya. Setelah bertemu ayah, keduanya mengatakan bahwa yang memberitahukan kedatangan ayah ialah seorang anak laki-laki kecil dan sekarang barada di rumah.selesai membereskan isi perahu, mereka bersama-sama pulang. Selama di rumah anak kecil tadi tidak amu makan, permintaannya hanyalah air kelapa muda dan kelapa harus yang berwarna merah. Hampir setiap hari pada waktu istirahat, anak tersebut mulai diuji dengan beberapa ketangkasan namun semuanya dapat dilaksanakannya. Ayahnya sangat gembira melihat ketangkasan anaknya. Pada suatu hari ayahnya memanggil putranya yang kecil itu dengan maksud menyuruhnya untuk mencari orang yang dapat menanding raja Hemuto yang sudah berkali-kali menyerang kerajaannya sehingga serdadunya banyak yang tewas. Mendengar cerita ayahnya, ia berpikir sejenak lalu ia menjawab bahwa ia belum tahu siapakah orang yang dapat menandingi raja tersebut. “Tetapi bila ayah setuju dan ikhlas mengizinkan saya untuk menghadapinya, maka tentu dengan senang hati saya akan pergi menemuinya, sebelumnya tunjukkan dimana rumahnya, mudah-mudahan raja tersebut berada di rumahnya”. Adapun Hemuto adalah raja Limboto, rumahnya terbuat dari papan yang tiang-tiangnya amat tinggi dan tidak mempunyai tangga, halaman kebunnya dipagari dengan bulu yang tinggi dan tidak berpintu, sehingga sulit orang untuk masuk. Demikian penyampaian ayahnya. Mendengar penjelasan yang demikian, tiba-tiba anak itu berteriak sekuat-kuatnya lalu melompat melayang di udara , seakan-akan terbang kemudian menghilang dari pandangan orang tuanya. Selanjutnya anak kecil tadi turun tepat di depan pagar bagian luar dari tempat kediaman raja Hemuto. Secara kebetulan raja Hemuto sedang berada di kebun memeriksa tanamannya. Anak itu berkata: “Hai kakek, di mana pintu masuk?” masuklah bila perlu. Jawab raja Hemuto. Mendengar jawaban demikian, anak itu langsung melompat ke dalam dan berdiri tepat di depat raja Hemuto. “Apakah maksud cucuku datang ke tempat ini?” Tanya raja Hemuto. “Hamba ingin berguru tentang ilmu tenaga dalam kepada kakek”. “Kalau ingin engkau berguru kepadaku, pertama-tama harus kuuji dulu kemampuanmu”. Raja Hemuto mulai menguji ketangkasan anak itu yang disaksikan oleh beberapa hulubalangnya. Lama kelamaan tanpa disadari, ujian sudah berubah menjadi perkelahian; serang menyerang, tangkis menangkis, hantam menghantam, tendang menendang, pukul memukul dengan hebatnya. Raja Hemuto mulai merasa letih dan kewalahan menghadapi anak kecil itu. Tiba-tiba raja Hemuto mencabut pisaunya dan dengan gerak cepat hendak menikam anak tersebut namun rupanya gelagat raja Hemuto diketahui oleh anak kecil itu sehinggga dengan mudah ia dapat mengelakkan tikaman tersebut dan sebaliknya pisau raja Hemuto dapat dirampasnya. Lalu dengan gerakan yang tak dpat diikuti oleh panca indra, anak kecil itu dengan cepat menusukkan pisaunya tepat menembus leher raja Hemuto. Seketika darah tercurah mengalir bagaikan air yang tercurah dari pancuran. Tubuhnya pun terkulai lemas, semua yang menonton lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu sedangkan raja Hemuto menghembuskan nafasnya terakhir. Sejak kejadian itu di kerajaan Limboto dan Gorontalo tidak ada lagi pertentangan, perkelahian, perbedaan pendapat dan semacamnya hanya karena tapal batas. Tenilo, atau pancuran. Desa Tenilo yang terdapat di kecamatan Limboto merupakan tempat kejadian pertarungan antara raja Hemuto dengan seorang anak kecil, anak raja salamu yang ibunya juga seorang putri raja yang bernama SI RAMBUT TUJUH DEPA.