Si Kapitu dan Datangnya Kelapa ke Muka Bumi

Pada zaman dahulu di tanah Malesung hiduplah suatu keluarga yang miskin, namun kaya anak. Sang ayah bernama Tuwaidan artinya “orang kaya”, sang isteri bernama Renegetan artinya “diberi perhiasan”. Hidup mereka masih tergolong primitif, pria masih memakai cawat sedangkan wanita memakai sarung dari kulit kayu (Wuyang).

Pasangan suami istri ini memiliki 7 orang anak yang tertua berumur 25 tahun dan yang paling bungsu berumur 15 tahun. Ketujuh anaknya sehat dan kuat. Mereka bertujuh merupakan anak yang patuh dan mengabdi kepada kedua orang tua. Merekapun pandai berburu dan berladang.

Pada suatu saat, ketiga anak mereka masing-masing bernama, Kalima, Kaanam dan Kapitu sudah ingin mempunyai isteri. Ketiganya sudah mempunyai calon istri yang cantik-cantik. Namun impian mereka itu tak terwujud. Karena sesuai adat yang berlaku di daerah Malesung (sekarang Minahasa), lelaki yang akan mempersunting seorang gadis harus mempunyai mas kawin sebagai tanda penghormatan dan penghargaan terhadap wanita yang akan dipersuntingnya.

Pada suatu hari ketujuh bersaudara ini bersepakat untuk mengumpulkan harta yang akan dijadikan mas kawin nanti.

Keesokan harinya mereka menyediakan seluruh perlengkapan perburuan dan alat untuk berladang. Kemudian pergilah mereka ke hutan untuk berburu.

Hari semakin sore namun mereka belum juga mendapatkan hasil. Mereka tetap bertahan berjalan menelusuri hutan rimba yang sangat luas itu. Pada akhirnya mereka bertemu dengan seekor rusa yang sangat besar. Dikejarnya rusa tersebut, dengan keperkasaan dan kelincahan mereka rusa tersebut dapat diburu.

“Kami diberkati oleh Datuk” kata si sulung sambil memotong daging rusa yang baru didapatkannya. Daging itu mereka bakar dan dipersembahkan kepada “opo”, dengan berkata “Makanan telah siap Datuk-datuk, makanlah terlebih dahulu, apabila sudah kenyang, maka tinggalkan berkat untuk kami”. Setelah itu mereka kembali ke pondok. Di sana mereka menyiapkan sayur, ubi-ubian lalu dimasak.

Keesokan harinya mereka berlima yaitu nomer tiga sampai nomer tujuh pergi berburu, sedangkan kedua kakak sulung mereka menjaga pondok, mereka itu adalah Luluna dan Karua.

Di saat Luluna dan Karua sedang asyik memanggang daging dan memasak nasi, tiba-tiba terdengar oleh mereka suara dari sebelah pondok berkata, “Hutan ini wilayah kami menurut perundingan. Kamu harus baik-baik.”

Keduanya menoleh ke belakang dan terlihat oleh mereka seseorang yang bertubuh pendek, berambut gondrong dan berjenggot panjang. Orang itu dari bangsa Lolok, atau menurut kepercayaan orang Minahasa dahulu adalah setan yang berada di hutan dan bertempat tinggal di dalam gua, sebagai penjaga hutan rimba.

Antara kedua bersaudara dan si Lolok saling memandang, kemudian berkatalah si lolok, “Kamu sedang apa di sini nak? Memanggang daging? Ini punya kami ya? Taukah kamu bahwa hutan rimba ini adalah milik kami karena ini adalah wilayah kami?”

Luluna dan Karua tertegun mendengar kata-kata orang pendek yang kelihatan sangat galak itu. Sementara si Lolok, terus mengambil periuk nasi lalu dengan tangannya yang kotor langsung saja memakannya.

Melihat hal tersebut Luluna marah lalu dengan secepat kilat ia melompat dan menarik rambut si Lolok dengan berkata, “Hai bangsat, berani sekali tindakanmu itu. Tetapi sebelum tangan Luluna menyentuh rambut si Lolok, secepatnya si Lolok memukul Luluna di bagian perut dan jatuh pingsan. Melihat hal itu Karua langsung maju untuk menyerang, namun serangannya sia-sia saja. Si Lolok tak memberikan kesempatan kepada Karua dan secepatnya ia memukul Karua sampai pingsan.

Melihat kedua bersaudara itu telah pingsan, Lolok mulai menyantap makanan dan daging panggang tersebut. Selesai itu ia kembali ke tempatnya.

Sorenya ketika matahari terbenam, datanglah kelima bersaudara yang pergi berburu membawa hasil buruan yang didapatnya. Sampai di pondok mereka sangat terkejut melihat kedua saudara mereka pingsan tak sadarkan diri lagi. Kata saudara yang paling bungsu yaitu Kapitu katanya, “Hai apa yang terjadi?”. Mereka lalu menyiram kedua saudaranya itu dengan air dan sadarlah mereka.

Kelima saudaranya bertanya apa yang terjadi. Lalu keduanya bercerita tentang kejadian yang menimpa mereka. Mendengar cerita itu, kelima saudaranya sangat sakit hati dan marah. Mereka kehabisan makanan padahal semuanya sangat lapar. Kata kedua saudara yang bernama Katelu dan Kapaat, “Kami akan membalasnya setimpal dengan apa yang ia perbuat.”

Keesokan harinya seperti biasa mereka pergi berburu dan yang menjaga pondok adalah Katelu dan Kapaat sekaligus memanggang daging dan menanak nasi.

Setelah masakannya matang, merekapun beristirahat karena lelahnya sampai keduanya tertidur. Di saat mereka tertidur, datang si Lolok. Keduanya terbangun mendengar suara yang sangat keras, “Hai apakah tak menanti tamu? Mengapa hanya tidur?”. Diteruskan dengan tertawa yang sangat menakutkan, nyaring seperti suara raksasa. Kedua saudara itu berpikir kalau si Lolok tak akan datang lagi sebab daging yang dirampok kemarin sangat banyak.

Si Lolok itu pun maju mendekati periuk dan daging yang masih dalam panggangan. Melihat orang pendek itu semakin dekat, maka Katelu menarik tongkat yang ada di sampingnya dan terus memukul kepala Lolok namun Lolok itu sangat gesit dan lincah. Dengan ilmu silatnya yang aneh dan dahsyat ia menangkap tongkat tersebut lalu memukulkan ke kepala Katelu dan jatuh pingsanlah ia.

Kapaat pun tak tinggal diam melihat saudaranya telah pingsan. Ia langsung mengambil parang dan mengayunkannya ke kepala Lolok. Rupanya Lolok itu mempunyai mata di belakang, sehingga ia cepat sekali menghindar dan memberikan tendangan silatnya ke kepala Kapaat. Kapaat langsung pingsan dan tak sadarkan diri. Si Lolok melihat keduanya pingsan, langsung  menyantap makanan. Sisa makanan diambil dan dibawa ke tempatnya.

Sore harinya kelima saudara yang pergi berburu itu kembali dari perburuannya. Mereka terkejut mendapatkan kedua saudara mereka yang sudah pingsan. Mereka menyiram dengan air dingin barulah Katelu dan Kapaat sadarkan diri.

“Kurang ajar, bagaimana dengan si terkutuk itu.”, kata Karua sambil mengepalkan tangannya karena sakit hati. Kapaat dan Katelu bercerita dengan sangat menyesal karena mereka berdua belum berhasil menangkap si Lolok.

Keesokan harinya yang menjaga pondok adalah Kalima dan Kaanam. Kedua saudara ini lebih kuat dari yang sebelumnya.

Sedang Kalima dan Kaanam memanggang daging dan memasak nasi untuk persediaan makan siang, terdengarlah suara yang sangat keras bagaikan guntur membelah bumi. “Hai saudara bagaimana?”. Tak lama si Lolok itu pun telah ada di depan mereka. Mereka berdua sangat terkejut melihat orangnya pendek, matanya merah dan berjenggot sangat lebat.

Lolok tersenyum, sambil berkata lagi, “Berunding dengan pencuri?”. Terlihatlah si Kaanam telah bersiap menyerang untuk mempertahankan milik mereka. Lolok itu berkata lagi, “Sabarlah saudara tak gunanya kita bertengkar, marilah kita bersahabat.”. Kemudian mereka berdua mengambil sikap untuk menyerang si Lolok. Yang satu dari arah kanan dan satunya lagi dari arah kiri.

Kata Kaanam, ”berunding dengan pencuri? Sambil bersiap untuk menyerang. Melihat gelagat dari kedua saudara itu, si Lolok hanya tersenyum dan memainkan ilmu silatnya yang dahsyat dan sangat aneh.

Tak disangka-sangka oleh kedua bersaudara itu si Lolok menendang sehingga terlemparlah mereka dan pingsan.

Lagi-lagi kelima saudara itu terkejut ketika pulang dari berburu. Melihat kedua saudaranya pingsan. Diambil lagi air dan disiramkan ke tubuh kedua saudaranya itu. Kalima dan Kaanam bagaikan tak mengetahui apa yang terjadi pada diri mereka. Mereka baru tau apa yang terjadi setelah keduanya sadar. Sudah enam bersaudara tak dapat mengalahkan si Lolok. Harta mereka yang dikumpul telah habis dirampok oleh Lolok. Namun mereka tidak putus asa, tetap bekerja seperti biasanya yaitu berburu dan berladang menanam sayuran serta buah-buahan.

Memasuki hari keempat keenam bersaudara itu pergi berburu, dan yang menjaga pondok adalah adik mereka yang paling bungsu, yaitu Kapitu. Kapitu berkeinginan untuk mengalahkan si Lolok. Ia berkata pada keenam saudaranya,  “Sekarang giliranku yang menjaganya. Aku akan menangkap Lolok itu dan akan memberikan ganjaran sesuai dengan perbuatannya”.

Maka pergilah keenam saudara Kapitu untuk melakukan pekerjaan sebagaimana biasanya. Sepeninggal saudaranya Kapitu mulai memotong daging dan memanggangnya, sementara itu ia juga mempersiapkan makanan untuk dimasak. Setelah semuanya sudah masak iapun duduk santai dan bernyanyi-nyanyi melepaskan lelah. Saat ia bernyanyi-nyanyi terdengarlah suara, Saudara baik-baik?. Jawab Kapitu, “Baik-baik kawan.”, dengan wajah yang tersenyum dan ramah, sambil mempersilahkan si Lolok untuk duduk. Lalu si Lolok bertanya lagi, “Kau hanya sendiri?”. Kapitu menjawab, “Untuk menyambut tamu yang baik cukup seorang bukan?”.“Aku sudah lapar sekali.”, kata Lolok sambil berjalan mendekati periuk nasi dan daging panggang itu. Lalu Lolok berkata lagi, “Apakah harus memakai tenaga dulu baru kita makan bersama? “Terserah kamu !” jawab Kapitu.

Mereka berdua saling bercakap-cakap, namun Lolok kelihatannya sudah sangat marah. Lain dengan Kapitu, ia hanya tersenyum saja. Dengan tidak sabar lagi, si Lolok itupun mengambil periuk nasi. Belum sampai ia memakannya, Kapitu langsung menghentakkan kaki dengan menggertak dan berteriak sekeras-kerasnya. Lolok berputar dan menatap Kapitu dengan sangat marah. Lalu Kapitu menerjang dengan mengambil secangkir air rica yang telah disiapkan sebelumnya dan disiramkan ke wajah si Lolok. Tertutuplah mata Lolok dan ia berteriak minta ampun. “Apa upahku apabila kau kuampuni?”, tanya si Kapitu. “Kamu akan kuberikan po-po”, “Apa itu po-po?”, tanya Kapitu. “Buah dewa.”, jawab Lolok.

Mereka saling tawar dan akhirnya Kapitu melepaskan rambut yang dipegangnya lalu pergi bersama Lolok ke dalam guanya. Sampai di dalam gua Kapitu melihat tujuh gadis yang sangat cantik sedang makan buah kelapa.

Rupanya gadis-gadis itu adalah tawanan Lolok yang ia curi dari perkampungan untuk dijadikan sebagai istrinya. Kapitu sangat terkejut, karena ia belum pernah melihat buah seperti itu. Pada gadis-gadis itu ia bertanya, “Apakah yang kalian makan?”. Jawab gadis-gadis itu, “Ini adalah buah dewa atau buah po-po.” Tanya Kapitu lagi, “ Apa artinya?”. “Itu dari kata pina opo-opo. Yaitu datuk atau orangtua purba yang berjasa memberikan buah ini kepada kami.”

Sementara Lolok membersihkan mukanya, Kapitu mengajak ketujuh gadis tersebut untuk meninggalkan tempat itu dengan membawa tujuh buah ajaib itu.

Sampai di pondok, keenam saudaranya sudah kembali dari perburuannya, mereka sangat memuji Kapitu karena dapat mengalahkan orang yang kuat tersebut. Kapitu memberikan kepada saudara-saudaranya masing-masing satu orang gadis untuk dijadikan teman hidup. Jadilah mereka suami istri dengan pasangan yang serasi.

Buah kelapa atau buah dewa itu ditanam oleh Kapitu. Mulanya ia menanam hanya untuk dimakan, kemudian mereka menanam dengan membuat kebun yang besar di dekat pantai. Pohon kelapa itu menghasilkan buah yang banyak sekali. Buah itu jatuh ke tanah, ditimpa ombak terlempar ke seluruh pelosok daerah dan bertumbuh subur, lama kelamaan tersebar sampai ke seluruh pelosok dunia.

 

(Cerita ini tergolong ke dalam legenda karena orang Malesung atau Minahasa menganggap peristiwa itu pernah terjadi. Cerita ini juga melukiskan tentang ketujuh bersaudara yang kehidupannya saling bekerjasama, tolong menolong dan selalu rukun. Dalam hal perkawinan adat Minahasa wanita mempunyai kedudukan yang terhormat. Suku Minahasa dahulu terkenal dengan berburu babi hutan dan rusa serta pandai membuat perangkap. Sampai sekarang pun manusia pendek atau yang disebut Lolok itu masih dianggap ada oleh orang Minahasa. Mereka hidup dalam gua-gua dan apabila kita dapat menangkapnya, maka kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan).

Sumber : Naskah lomba penulisan cerita rakyat sulut BKSNT Manado, 1993/1994