Sejarahnya sehingga ayam digunakan sebagai symbol ritual atau upacara dimulai dari cerita tentang satu keluarga yaitu; keluarga Pahawong Suluge (anak dari Sense Madundu) bersama isterinya Ombun Duata (anak raja Manado Tua) melihat seekor ular besar melingkar pada tiang raja rumah. Peristiwa ini mendorong Pahawong Suluge mencari tahu makna dibaliknya. Pahawong Suluge naik ke atas gunung Tamata dengan membawa ayam jantan berwarna putih (uhise) dan menyembelihnya di atas gunung sebagai persembahan kepada penguasa alam semestauntuk menyingkapkan makna dibalik peristiwa tersebut. Ungkapan yang disampaikan di atas gunung Tamata adalah; “Manu uhise makokotangi Winsulangi, nisemba saranghiwang Duata,sarang kunenengi Ghenggona langi medea bera mapia samalukang tawekonsang apa.Saraeng datu nekapetinena malambe nakapetinaung, metinenang banuane metinaung kawanuane, maiang malunsemahe sukatatulendeng awa”.
Sekembali dari puncak gunung , Pahawong Suluge bermimpi bahwa isterinya akan melahirkan anak dan anak mereka akan menjadi raja. Mimpi itu terwujud dan isterinya melahirkan anak yang diberi nama “Lokon Banua” karena mereka teringat peristiwa ular yang melingkar yang memiliki makna bahwa bahwa Lokon Banua akan mengayomi daerah pemerintahannya sampai ke pulau Siau.Berawal dari cerita inilah sehingga ayam menjadi symbol pengetahuan lokal dan ritual.
Ayam bagi masyarakat Sangihe bukan sekedar dipelihara untuk konsumsi rumah tangga atau hiburan, namun jauh sebelumnya para leluhur memiliki pandangan dan nilai tersendiri sarana pengetahuan kearifan lokal masyarakat seperti symbol bunyi suara kokok ayam, warna dan ritual yang semuanya memiliki arti dan makna. Sejarahnya sehingga ayam digunakan sebagai symbol ritual atau upacara dimulai dari cerita tentang satu keluarga yaitu; keluarga Pahawong Suluge (anak dari Sense Madundu) bersama isterinya Ombun Duata (anak raja Manado Tua) melehat seekor ular besar melingkar pada tiang raja rumah. Peristiwa ini mendorong Pahawong Suluge mencari tahu makna dibaliknya. Pahawong Suluge naik ke atas gunung Tamata dengan membawa ayam jantan berwarna putih (uhise)dan menyembelihnya di atas gunung sebagai persembahan kepada penguasa alam semestauntuk menyingkapkan makna dibalik peristiwa tersebut. Ungkapan yang disampaikan di atas gunung Tamata adalah; “Manu uhise makokotangi Winsulangi, nisemba saranghiwang Duata, sarang kunenengi Ghenggona langi medea bera mapia samalukang tawekonsang apa. Saraeng datu nekapetinena malambe nakapetinaung, metinenang banuane metinaung kawanuane, maiang malunsemahe sukatatulendeng awa”.
Sekembali dari puncak gunung, Pahawong Suluge bermimpi bahwa isterinya akan melahirkan anak dan anak mereka akan menjadi raja. Mimpi itu terwujud dan isterinya melahirkan anak yang diberi nama “Lokon Banua” karena mereka teringat peristiwa ular yang melingkar yang memiliki makna bahwa bahwa Lokon Banua akan mengayomi daerah pemerintahannya sampai ke pulau Siau. Berawal dari cerita inilah sehingga ayam menjadi symbol pengetahuan lokal dan ritual.
Pada masyarakat kampung Lenganeng, ayam dijadikan kepentingan ritus penyembahan kepada sang dewa yang mendiami “penanesaleng” tempat pembuatan keris atau pedang dalam bahasa Sangihe disebut “Bara”. Sabung ayam punya sangkut paut dengan agama suku. Sejarah dimulainya ritual penyabungan ayam pada awal ketika akan dibangun tempat pembuatan keris yaitu “penanesaleng” yang dikenal dengan kampung Lenganeng, oleh nenek moyang yang bernama Maming generasi ke -5 asal kampung Enempahembang. Sebelum pekerjaan pembuatan keris dimulai diawali dengan ritual penyabungan ayam jantan. Darah ayam jantan yang kalah oleh empu (kipung) situkang pembuat keris/pedang diambil dan disiram di atas tempat pembuatan keris/pedang dengan suatu permohonan pada sang dewa atau penunggu tempat “penanesaleng” agar supaya dewa atau penunggu yang mendiami tempat tersebut dapat melembutkan besi yang keras sehingga pekerjaan pembuatan keris/ pedang tidak mengalami kesulitan dan diberkati.
Selain itu pula sabung ayam dilakukan dalam ritus upacara kestabilan kampung. Disalah satu kampong di Sangihe yakni Kampung Salurang pada setiap tahun dilaksanakan pesta rakyat yang bertepatan dengan pelaksanaan ritual Tulude. Sebelum pesta rakyat dilaksanakan para tua-tua kampong akan memelihara khusus dua ekor ayam jantan yang bulunya berwarna merah dan putih. Ayam yang bulunya berwarna merah dipelihara di atas puncak gunung “Sahandarumang”, sedangkan yang berwarna putih dipelihara di atas puncak gunung “Kendoke” dekat kampong Hangka Tabukan Selatan. Sebelum acara pesta Tulude dimulai, dua ekor ayam merah dan putih yang sudah dipelihara cukup lama dibawa kekampung dan dilaksanakan pertarungan sabung ayam.
Pertarungan kedua ayam tersebut membawa makna bagi masyarakat setempat. Apabila dalam pertarungan dimenangkan oleh ayam yang bulunya berwarna merah, maka serentak para tua-tua kampong bahkan semua penduduk akan meninggalkan lokasi penyabungan dan mencari bahan/ramuan yang dijadikan obat pentahiran kampong (bahasa kearifannya adalah mengundang banua).Kemenangan ayam merah memiliki makna yang dipercayai masyarakat akan ada petaka atau musibah yang bakal terjadi dalam perjalanan hidupmasyarakat selama tahun berjalan. Karena itu fungsi dari pentahiran (mengundang banua) adalah menolak bala yang mengancam kehidupan manusia.
Sedangkan jika ayam berwarna putih yang menang maka kepercayaan masyarakat bahwa selama perjalanan setahun kedepan tidak akan ada petaka atau musibah yang terjadi semua aktivitan akan berjalan dengan baik dan membawa keberhasilan. Sesudah selesai penyabungan ayam maka dilanjudkan dengan upacara adat Tulude.
Sumber : BPNB Sulut