Mesundeng

Mesudeng  biasa disebut juga Sundeng banua, berasal dari kata Sundeng artinya puji atau sembah. Arti lainnya yaitu mengobati atau menolak bala, Sundeng banua artinya mengobati daerah atau wilayah.

Pelaksana upacara pada Mesudeng terdiri atas Ampuang, Baliang, Suruang dan Pento. Ampuang sebanyak 2 orang, laki-laki dan perempuan. Tugas mereka duduk bersemedi dan membaca mantera. Baliang adalah seorang laki-laki yang bertugas melakanto dan sumalo atau menari. Suruang adalah seorang perempuan yang bertugas menari. Pento adalah laki-laki dan perempuan yang bertugas sebagai pembantu pada pelaksanaan upacara sekaligus sebagai latihan.

Sebelum upacara dimulai, mereka membuat satu rumah yang agak besar, rapih dan kuat tanpa dinding, dengan memakai tiang dari kayu dimbalo yakni kayu yang mudah bertunas dan tidak gampang mati atau kering. Rumah ini ditempati oleh Ampuang. Kemudian didirikan lagi beberapa rumah kecil di sekitarnya yang disebut daseng yang berfungsi sebagai tempat berteduh bagi para peserta upacara. Upacara ini dilaksanakan selama 5 atau 7 atau 9 malam secara berturut-turut mulai pkl. 19.30 sampai pkl. 23.00.

Ampuang sebagai pemimpin upacara duduk bersila di lantai beralaskan patola dikelilingi oleh Baliang dan Suruan. Di depan Ampuang diletakkan beberapa piring nasi kuning,  masing-masing dilengkapi dengan sebutir telur rebus yang telah dikupas. Selain itu ada pula piring berisi abu dapur dan bara api yang akan digunakan untuk membakar kemenyan. Terdapat pula piring tempat sirih pinang, dilengkapi dengan kapur  sirih diisi pada bokor-bokor kecil. Ada pula piring berisi dalo atau wangi-wangian, bokor-bokor sedang dan mangkok-mangkok berisi air bersih yang akan digunakan untuk mencuci muka para pelaksana upacara.

Ampuang membaca mantera sementara para baliang menyanyi dan sebagian menari dengan memakai kellung yakni alat yang digunakan oleh penari sebagai penangkis bara. Bara ditempatkan di sebelah kanan dan kellung di sebelah kiri.  Suruang juga menari-nari dengan memakai alat yang disebut bengko.

Begitulah kegiatan mulai dari malam pertama sampai malam keempat, apabila upacara hanya dilaksanakan selama lima malam. Pada malam ke lima upacaranya disebut mesalai. Ini merupakan acara malam terakhir. Seluruh peserta menarikan tari gunde secara masal dan semeriah-meriahnya. Acara malam kelima itu disebut juga menggoghahe peli artinya menghapuskan pantangan. Alasannya karena selama empat malam sebelumnya seluruh penduduk dilarang membuat kegaduhan atau keributan, yang terdengar hanya suara Ampuang membaca mantera dan Baliang yang melakanto dan sumalo atau menari, maka pada malam kelima larangan atau pantangan tersebut dihapus.

New Picture (28)

Setelah acara  mesalai atau menggoghahe peli dilaksanakan, maka siang hari diadakanlah acarapenutupan yang disebut menondong lapasi artinya menurunkan perahu bala. Lapasi adalah miniatur perahu lengkap dengan berbagai atribut termasuk patung manusia yang diletakkan di perahu. Acara ini dilaksanakan di tepi pantai. Setelah Ampuang membaca doa pelepasan, maka perahu lapasi itu di bawah ke laut dilepas agak jauh dari pantai. Perahu tersebut dibiarkan hanyut kemana saja arahnya. Menurut kepercayaan mereka bahwa segala penyakit serta bala lainnya akan dibawa hanyut bersama dengan perahu tersebut.

Upacara ini bertujuan untuk memuja Tuhan yang ada di langit, yang telah memberikan kesaktian kepada para leluhur yang bernama Ampuang. Ampuang pertama menurut silsila adalah seorang datuk yang menjadi moyang penduduk daerah Sangihe Talaud.