LAWATAN SEJARAH DAERAH BOLAANG MONGONDOW

IMG_9595

Bolaang Mongondow merupakan kabupaten yang terletak di ujung selatan Provinsi Sulawesi Utara. Terletak antara 0030′ – 100′ Lintang Utara dan 1230 – 1240 Bujur Timur. Batas-batas wilayahnya meliputi: sebelah utara dengan Laut Sulawesi, sebelah timur dengan Kabupaten Minahasa Selatan, sebelah selatan dengan Teluk Tomini, dan di  sebelah barat dengan Provinsi Gorontalo.

Luas wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow adalah terbesar di Provinsi Sulawesi Utara yakni 8,358,04 km2. Terdapat 17 gunung dengan gunung tertinggi yakni Batu Bulawan. Juga terdapat 18 sungai dengan Sungai Dumoga merupakan sungai terpanjang yang mengalir sepanjang 87 km. Selain sungai, terdapat 8 buah danau, terluas adalah Danau Moat yang luasnya mencapai 617 Ha. Wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki ketinggian yang bervariasi dari dataran, perbukitan hingga bergunung-gunung.

Pada mulanya daerah Bolaang Mongondow terdiri atas 5 kerajaan yang berpemerintahan hingga akhir abad 19. Dari kelima kerajaan ini nama-namanya masih merupakan nama kecamatan saat ini yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Kelima nama kecamatan tersebut adalah: Bolaang, Bolaang Uki, Bolaang Itang, Bintauna dan Kaidipang.

Onderafdeeling Bolaang Mongondow baru dibentuk oleh Pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901. Oleh karena itu, sebelumnya kelima penguasa kerajaan di Bolaang Mongondow tersebut langsung berhubungan dengan Residen Belanda yang berkedudukan di Manado.

Setelah masa kemerdekaan, Bolaang Mongondow merupakan satu wilayah kabupaten di Sulawesi Utara yang lahir pada tanggal 23 Maret 1954 yang secara historis geografis adalah bekas danau, merupakan daerah yang subur penghasil beras terutama Propinsi Sulawesi Utara.

Secara administrasi Kabupaten Bolaang Mongondow terbagi ke dalam 28 wilayah kecamatan dan 316 desa/kelurahan. Kecamatan dengan jumlah desa terbanyak adalah Kecamatan Modayag yang memiliki 19 desa, sedangkan kecamatan dengan jumlah desa terkecil adalah Kecamatan Kotamobagu Barat dan Pinolosian Tengah yang hanya memiliki 5 desa.

Hasil registrasi penduduk tahun 2005 tercatat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bolaang Mongondow sebesar 479.841 jiwa. Persebaran penduduknya secara umum cukup merata kecuali di ibukota kabupaten, tepatnya di Kotamobagu, yang luasnya hanya kurang dari 3 persen luas seluruh wilayah kabupaten namun dihuni oleh hampir 20 persen dari total penduduk di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Penduduk Kabupaten Bolaang Mongondow cukup heterogen, namun sebagian besar suku bangsa yang mendiami wilayah ini adalah etnis Bolaang Mongondow. Terdapat pula etnis lain seperti Kaidipang yang berada di bagian utara Bolaang Mongondow maupun etnis Bolango yang menempati wilayah pesisir selatan, yang termasuk ke dalam Kecamatan Bolaang Uki dan sekitarnya yang merupakan suku bangsa asli. Disamping suku bangsa asli di daerah ini terdapat pula suku bangsa pendatang yang berasal dari wilayah sekitar antara lain Bugis, Gorontalo, Minahasa, dan Sangihe. Juga pendatang yang berasal dari luar Pulau Sulawesi antara lain Bali, Jawa dan Sumatera. Beberapa etnis seperti Sangihe, Minahasa, Bali, Jawa dan Sunda menempati wilayah Bolaang Mongondow disebabkan pula oleh adanya program Transmigrasi. Wilayah transmigrasi di Kecamatan Dumoga dan Lolayan ditempati oleh transmigran asal Jawa dan Bali yang bermukim sejak tahun 1972.

Selain dari segi etnis, lebih dari 69 persen penduduk Kabupaten Bolaang Mongondow menganut agama Islam, lebih dari 26 persen menganut agama protestan, sisanya menganut agama Katolik, Hindu, dan Budha. Namun demikian kerukunan hidup antar umat beragama telah terbina dengan baik.

Melihat Kabupaten Bolaang Mongondow secara historis dan kultural, cukup banyak objek sejarah maupun budaya di wilayah ini yang cukup potensial terlebih untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai daerah atau tujuan wisata yang unik dan menarik. Selain potensi wisata sejarah dan budaya juga potensi wisata alam seperti danau, gunung berapi, bahari/laut, sungai maupun pemandian air panas juga terdapat di wilayah ini.

Kegiatan lawatan sejarah ini diisi pula dengan diskusi yang menampilkan nara sumber. Diskusi juga dilakukan secara berkelompok oleh peserta tentang obyek yang telah dikunjungi.

Kegiatan utama dalam lawatan sejarah ini adalah mengunjungi obyek-obyek bersejarah di Bolaang Mongondow yang telah teridentifikasi sebanyak 9 obyek.

OBYEK LAWATAN SEJARAH DAN BUDAYA DI BOLAANG MONGONDOW

Makam Raja dan Keluarga Dinasti Manoppo

Dalam sejarah pemerintahan di Bolaang Mongondow, Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama di Bolaang Mongondow), walaupun penggunaan istilah datu atau raja mulai dikenal sejak raja Tadohe (Sadohe) yang memerintah pada tahun 1602 karena pengaruh istilah luar, yaitu raja, ratu, datu atau latu yang berarti raja. Di Kabupaten Bolaang Mongondow, ada beberapa dinasti yang pernah memerintah Kerajaan Bolaang Mongondow. Salah satunya adalah Dinasti Manoppo. Makam keluarga Raja Manoppo terletak di Desa Matali yang berjarak kurang lebih 5 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Bolaang Mongondow.

Patung (lambang) Pimpinan Kelompok Masyarakat (Bogani)

Sebelum mengenal konsep Monarchi (kerajaan), masyarakat awal di Bolaang Mongondow hidup berkelompok-kelompok menurut keluarga dalam suatu wilayah koloni. Setiap kelompok keluarga tersebut dipimpin oleh seorang bogani. Bogani dapat pria atau wanita, yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan tertentu, antara lain: memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan serta dapat menjaga keselamatan kelompok dari gangguan musuh atau gangguan yang datang dari luar kelompoknya.

Bogani atau pemimpin masyarakat pada masa lalu tersebut diabadikan dalam bentuk patung sebagai lambang kebesaran nenek moyang masyarakat Bolaang Mongondow. Patung ini dibangun di pusat kota Kotamubago sebagai ibukota pemerintahan Kabupaten Bolaang Mongondow.

Kompleks Makam Bogani

Bogani yang diyakini oleh masyarakat Bolaang Mongondow sebagai tokoh pada masa lalu meninggal dan dimakamkan di sebuah tempat di puncak bukit Bogani. Letak makam ini berada di Kecamatan Passi,  berjarak kurang lebih 8 km dari pusat pemerintahan kabupaten Bolaang Mongondow.

Kompleks Sekolah HIS Islamiah Syarikat Islam

Kebangkitan Nasional 1908 membawa nuansa pencerahan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. SI didirikan tahun 1920 oleh Unta Mokodongan di Bolaang Mongondow. Setelah Kongres SI Nasionale Propinciale Celebes di Manado pada tahun 1923, salah satu point penting dari kongres tersebut adalah memajukan Onderwijs Education, maka pada tahun 1926 dibukalah sekolah Islamiyah yang berkedudukan di Desa Molinow. Pada Juli 1931, atas izin Raja dan Controleur yang berkuasa saat itu, sekolah Islamiyah diubah menjadi Holland Indiansche School Islamiyah yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di kalangan kaum bumiputera.

Gedung sekolah HIS SI tersebut, sampai sekarang masih tetap ada di Desa Molinow dan sekarang dijadikan Sekolah Dasar Yayasan HOS Cokroaminoto. Desa Molinow terletak kurang lebih 4 km dari pusat pemerintah kabupaten.

Peristiwa Merah Putih 19 Desember 1945

Berita proklamasi pertama kalinya diketahui pada 22 Agustus 1945 di Sulawesi Utara, namun baru pada 5 September 1945 sampai di Kotamobagu. Selanjutnya, 3 Oktober 1945, 2 orang kurir dari Gorontalo yang membawa Surat Kabar Suara Nasional Gorontalo yang memuat teks proklamasi yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Reaksi positif ditunjukkan oleh anggota Anggota Kelasykaran Banteng RI Bolaang Mongondow dengan mengadakan serangkaian rapat. Keputusan diambil bahwa Pawai Akbar Merah Putih dilaksanakan pada tanggal 19 Desember 1945 yang dimulai dari Tanoyan menuju ke Molinow dan berakhir di Kotamobagu.

Istana Tadohe (Sadoe) atau Tudu’ Bakid

Dalam sejarah pemerintahan di Bolaang Mongondow, Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama di Bolaang Mongondow) walaupun penggunaan istilah datu atau raja mulai dikenal sejak raja Tadohe (Sadohe) yang memerintah pada tahun 1602. Sebelum Tadohe, setiap pimpinan tertinggi pemerintahan yang diangkat dari keturunan Mokodoludut selalu digelar Punu’ Molantud atau Tule Molantud atau Tomunu’on. Setelah adanya pembagian tingkatan (kasten) oleh Tadohe (Sadohe), mulai ada pembayaran maskawin dengan nilai yang berbeda-beda menurut tingkatan golongan, yaitu: mododatu, kohongian, simpal, nonow, tahig, yobuat. Menurut mite masyarakat setempat, Tudu’ Bakid juga merupakan tempat musyawarah pembagian urusan kepemerintahan atau kinalang dan urusan kerakyatan atau paloko.

Sekarang, lokasi Tudu’ Bakid yang berada di Pontodon Kecamatan Kotamobagu Barat ini merupakan kompleks pemakaman raja dinasti Mokoginta.

Pemukiman Minahasa di Desa Bangunan Wuwuk

Pemukiman Minahasa yang ada di Bangunan Wuwuk Kecamatan Modayag Kabupaten Bolaang Mongondow ini diperkirakan ada sejak awal abad ke-20. Pada mulanya, keberadaan mereka diperuntukkan untuk membantu pembangunan pemukiman para buruh kontrak yang didatangkan dari daerah Jawa. Hingga sekarang, budaya daerah asal Minahasa masih terus dipelihara di wilayah ini. Salah satunya adalah bentuk rumah yang juga merupakan representasi dari arsitektur tradisional rumah Minahasa yang ada di Desa Wuwuk Kecamatan Tareran Kabupaten Minahasa sebagai daerah asal mereka.

Permukiman Jawa di Desa Liberia dan Purworejo

Di sana ada pohon yang berdaun uang dan berbuah emas…” begitulah salah satu bunyi iklan yang diedarkan para werek yang didukung oleh Biro Pengarah tenaga Kerja. Para kuli kontrak yang berasal dari Jawa umumnya terbujuk mulut manis makelar pencari kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa agar mau dijadikan kuli kontrak. Salah satu tujuan pengiriman buruh kontrak adalah di daerah perkebunan kopi di Modayag. Berbeda dengan yang terjadi di Deli, karena setelah kekuasaan Hindia Belanda berakhir di daerah Bolaang Mongondow, atas perintah raja maka buruh kontrak yang ada di Desa Liberia dan Purworejo tetap mengolah tanah perkebunan tersebut. Sampai saat ini, budaya masyarakat di sana masih mencerminkan budaya Jawa.

Pembauran Masyarakat di Kecamatan Dumoga

Migrasi penduduk ke suatu wilayah tertentu merupakan suatu fenomena akibat adanya pembangunan sarana transportasi dan komunikasi. Penduduk akan berpindah menuju daerah-daerah yang menyediakan fasilitas penunjang maupun tersedianya pasaran kerja. Salah satu program yang ada adalah Transmigrasi dimana program ini telah mulai dijalankan pada 1950. Salah satu lokasi penempatan transmigrasi adalah Kecamatan Dumoga. Penduduk yang dipindahkan umumnya berasal dari Jawa dan Bali.

Mopuya dan Mopugad

Mopuya merupakan lokasi penempatan transmigran Jawa mulai dibangun pada tahun 1971-1972. Sebagai proyek nasional, lokasi ini dibangun rumah-rumah transmigran serta bangunan penunjang lainnya seperti sekolah, rumah ibadah dan tempat pertemuan. Transmigran Jawa yang ditempatkan di desa transmigrasi Mopuya didatangkan dalam beberapa kelompok antara lain: kelompok pertama pada September 1972 sebanyak 100 KK dari Bojonegoro. Gelombang kedua pada Oktober 1973 berasal dari Madiun, Bojonegoro, Kediri, Banyuwangi, Semarang, Pekalongan dan Pati sebanyak 200 KK. Gelombang ketiga pada Januari 1974 berasal dari Jember, Lumajang, Malang dan Blitar dengan jumlah 100 KK.

Sedangkan pada tahap terakhir ditempatkan transmigran yang berasal dari Bali khususnya dari Kabupaten Denpasar, Klungkung, Jembrana dan Gianyar. Mereka ditempatkan di bagian barat berdekatan dengan Desa Mopugad yang ditempati oleh transmigran dari Bali.

Werdhi Agung dan Kembang Merta

Ketika Gunung Agung di Bali meletus sebagian penduduk dipindahkan ke wilayah Bolaang Mongondow khususnya di Desa Werdhi Agung. Sebagai transmigran, umumnya mereka masih memelihara budaya mereka seperti Pura dan sistem bercocok tanam mereka yang dikenal dengan subak. Pemukiman mereka juga sampai sekarang masih menampakkan ciri khas sebagai orang Bali, bentuk tersebut seperti dinding dan atap rumah yang meniru bentuk aslinya, demikian pula halnya dengan pagar dan gapura dengan rumah mereka. Hal ini sangatlah menonjol sehingga memudahkan mengenal komunitas Bali yang ada di Werdhi Agung dan Kembang Merta.

**dari Berbagai Sumber

Oleh : Steven Sumolang