Kebudayaan Korporat, Birokrasi, dan Politik Kekerabatan di Era 0tonomisasi

Oleh : Agus Walukow

Pendahuluan

            Dalam  percaturan perpolitikkan di Indonesia, kita mengenal sudah terjadi pergantian rezim  pemerintahan yang ketiga kalinya yakni; rezim 0rde Lama (0rla) sekitaran 1945-1968, rezim 0rde Baru (0rba) 1968-1998, dan rezim 0rde Reformasi 1999 hingga kini sedang bergulir dimana kita menjadi bagian didalamnya sebagai organ subjek dan objeknya. Dari ketiga rezim tersebut, rezim 0rla dan 0rba  serta rezim Reformasi, masing-masing memiliki beragam keberhasilan pembangunan yang telah dikecap semua insani di Indonesia menurut periodik zamannya, namun tidak sedikit pula beragam program yang tidak berhasil dilaksanakan dalam membawa warga masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang sejahtera adil dan makmur (MAM) sebagai tujuan akhir capaian Pembangunan Nasional Indonesia sebagai implementatif amanat UUD 1945.

Tulisan ini tidak bermaksud mengungkap atau membandingkan tingkat keberhasilan ataupun kegagalan dari masing-masing rezim pemerintahan, sebab bila itu dilakukan maka kita dapat terperangkap pada sebutan subjektivitas yang belum tentu unsur kebenarannya dapat diterima atau dipertanggungjawabkan. Untuk itu tulisan ini sangat menjauh dari paradigma pikir tersebut, tetapi lebih melihat pada Kebudayaan Korporat, Birokrasi, dan Politik Kekerabatan di Era 0tonomisasi sekarang ini yang sedang bergulir di Indonesia. Hal ini sangat menarik penulis gulirkan dalam tulisan ini, mengingat fenomena sosial yang sedang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terutama dalam era 0tonomisasi sekarang ini, hal tersebut kian memberi warna dalam  perjalanan kegiatan pembangunan di Indonesia baik dari sisi pemerintahan, perpolitikan, dan sosial ekonomi masyarakat.

 

0rganisasi dan Kebudayaan Korporat

            Penggunaan konsep kebudayaan, lebih khusus kebudayaan korporat, dalam organisasi bisnis modern makin mantap dalam beberapa dasawarsa terakhir, hal mana ditunjukkan oleh makin banyak manager atau pimpinan dan konsultan bisnis menggunakannya. Dalam penggunaan kebudayaan korporat dapat tercerna dengan penggunaan konsep-konsep budaya seperti nilai, norma, rancang bangun kehidupan, pengetahuan dan kepercayaan, dan visi. Hal tersebut seperti dikemukakan Nico S Kalangi[2] bahwa; penggunaan konsep-konsep tersebut terkait dengan pengertian sistem gagasan dan sistem makna, maupun dengan perilaku sebagai konsekuensinya, keseluruhannya dipahami oleh anggota-anggota organisasi korporat yang bersangkutan. Selanjutnya, ini dihubungkan dengan anggapan bahwa sistem-sistem ini menentukan apa yang diperhatikan, bagaimana bertindak, dan apa yang diberi nilai (Trompenaars 1994:). Proses kognisi ini oleh Hofstede (1980) disebut “program-program mental”. Perilaku anggota-anggota organisasi seyogyanya adalah perwujudan dari program-program mental. Setiap orang diharapkan sebagai pembawa cara-cara yang telah dipelajari dalam mengatur hidup sesuai dengan pengalaman sehingga dapat bermakna. Dan bahwa cara orang mempersepsikan fenomena sekitar mereka menunjukkan keberkaitannya secara logis, ketertiban, dan masuk akal. Trompenaars 1994:3)[3].

Tidak terpisahkan dari konsep kebudayaan korporat adalah konsep organisasi. Disi ini, konsep organisasi diartikan sebagai organisasi formal dan bukan yang terbentuk secara alamiah seperti; komunitas masyarakat terasing, komunitas pedesaan, komunitas perkotaan, desa, dan komunitas lainnya yang menjadi sasaran para peneliti yang dilakukan antropolog-antropolog sekarang. Sasaran perhatian ini disebut kebudayaan organisasi (Wright 1994, Hofstede 1991, Jordan, ed. 1994, Schein 1992). Kalangan ilmu sosial lain lebih menekankan pada fenomena pemimpin dan kepemimpinan managemen kebudayaan dalam organisasi, seperti asumsi yang dikemukakan oleh Schein (1992) bahwa pemimpin yang memegang kebijakan pembentukan unsur-unsur kebudayaan korporat dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan serta pengembangannya. Menurut Nico Kalangi bahwa gagasan Schein ini dapat diteruskan pada semua organisasi bukan hanya pada yang formal tetapi juga yang informal. Sedikit atau banyak dan langsung atau tidak langsung penulis-penulis mengenai organisasi bisnis mengakui bahwa kebudayaan korporat merupakan penentu bagi keberhasilan perusahan (Deevy 1995, Want 1995).[4]

Peranan kebudayaan di atas tidak menyebabkan hanya ada satu tafsir mengenai kebudyaaan dan kedudukannya dalam organisasi formal. Sehubungan dengan ini ada dua pandangan; 1) bahwa sisi lain dari organisasi adalah kebudayaan, satu tidak mungkin ada tanpa lainnya; 2) bahwa kebudayaan ada dalam organisasi, atau organisasi memiliki kebudayaan, artinya dia berada bersama komponen-komponen lain, bukan komponen tunggal atau sisi lain dari organisasi. Pandangan pertama merupakan pandangan umum di kalangan antrpolog, sedangkan pandangan kedua adalah umum di kalangan manager (Hofstede 1991, Smircich 1983).[5]

 

Birokrasi dan Permasalahan

            Dalam berbagai permasalahan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia dan lebih khusus dialami para pengusaha walaupun sifatnya tidak dapat digeneralisir, bahwa bentuk interaksi yang terbangun lebih bersifat intruktif dan superordinatif dari pihak pemerintah kepada pengusaha sebagai pihak yang seharusnya hanya menerima sebagai pelaksana peraturan-peraturan yang disiapkan di pusat maupun di daerah. Berbagai regulasi yang dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya (termasuk ketentuan ilegal pungutan liar (pungli) yang oleh pengusaha dianggap sangat memberatkan. Tidak dapat dipungkiri pungli realitanya sudah membudaya dan sangat mudah ditemukan di lapangan kehidupan sosial masyarakat. Praktek pungli taransparansinya dapat kita temui dalam keberagaman institusi publik dengan pelakunya mulai dari petugas lapangan ataupun petugas dibalik meja baik berdasi ataupun tidak. Dengan  adanya praktek pungli dalam rasionalitas pikir kita bahwa adanya tindakan seperti itu dapat dipastikan akan berpengaruh pada turunya mutuh produksi dan kinerja perusahaan pun institusi pemerintah serta masyarakat dimana praktek pungli tersebut terjadi. Umumnya, tujuan peraturan-peraturan ini dinilai lebih menguntungkan birokrasi dari pada perusahan. Inilah menjadi masalah utama dengan segala konsekwensinya[6].

Usang dalam pendengaran kita disampaikan para ekonom ataupun pejabat-pejabat pemerintah yang cenderung menilai pengusaha Indonesia Pusat dan Daerah belum siap bersaing di era kompetitif sekarang ini terutama dalam menghadapi pemberlakukan AFTA dan sejenisnya. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat ini benar. Lihat saja program SDM dari perusahan-perusahan yang relatif tidak berarti, kecuali pada perusahan-perusahan berskala besar milik konglomerat. Demikian pula kepemimpinan dan managemen umum tidak tetap atau efisien. Hampir tidak terlihat visi yang mantap yang dijadikan sebagai pegangan dalam upaya-upaya pengembangan organisasi-organisasi secara internal untuk menghadapi kompetitif, dan berbagai tantangan-tantangan, perubahan-perubahan (seperti kemajuan iptek baru akibat kian merambahnya  era globalisasi dalam kehidupan kita).

 

Lebih ironis lagi dalam praktek para pengusaha di Indonesia terlibat dalam persaingan yang tidak sehat. Salah satu indikator adanya praktek-praktek tidak sehat antar lain; Adanya penilaian memperoleh proyek oleh sesuatu perusahan di  Departemen/Kementerian/ atau SKPD-SKPD (instansi pemerintah di daerah), yang sering berlaku tender simbolisasi dalam rangka memenuhi Keppres Nomor 80 tahun 2006 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, ataupun prosedur administratif lainnya.  Hal ini dilakukan demikian karena perusahaan pelaksana proyek sudah ditentukan lebih dahulu sebagai titah dari pihak birokrat sebagai pemilik pekerjaan, ataupun adanya pesanan kolegatif pimpinan di atasnya ataupun karena faktor primodialisme yang melekat.

Praktek-praktek tidak normatif namun ditutupi dengan legalitas formal, dengan muda dapat ditemui dalam pelaksanaan proyek pemerintah oleh pihak pengusaha tertentu dengan pihak birokrat baik karena latar primodalisme ataupun “budaya pesanan” menyebabkan para pengusaha mencari strategi yang menurutnya terbaik apabila dengan cara baik ataupun tidak baik ditempuh demi memperoleh proyek. Praktek kolusi dan nepotisme bahkan korupsi atau yang sekarang ini lagi menjadi trend yaitu adanya praktek-praktek mafia proyek/pekerjaan, rasanya sulit untuk dihindari. Dengan praktek seperti ini menyebabkan banyak perusahan-perusahan yang mampu bersaing secara kompetitif sehat berkoar mereka tergilas dan berputus asa, akibat praktek tidak sehat yang dilakukan pemilik proyek. Panitia pelaksana lelang berlaku curang atau tidak fair sering terlontar, namun seperti pepatah kuno mengatakan “biarlah anjing menggong kafila jalan terus” begitu pula dengan proyek yang sudah dipetahkan pada perusahan tertentu akan berjalan terus pekerjaannya.

Dalam  kearifan sosial, realita praktek menang tender/proyek dengan memberlakukan seperti kurang baik di atas, sangat tidak tepat jika penilaian para pengusaha-pengusaha di Indonesia banyak yang dikatakan tidak dapat bersaing/kompetitif. Simpulnya para pengusaha dipastikan mereka dapat bersaing, berkompetisi, namun dengan kenyataan praktek pemenang tender sudah diatur untuk perusahan X atau Y, sudah tentu mereka tidak dapat menjadi sebagai pemenang atau pelaksana pekerjaan. Jika situasi ini terus diberlakukan siapapun dia para pengusaha tidak akan dapat tumbuh dan berkembang karena hanya dikalahkan oleh perlakuan yang tidak adil, tidak jujur, dan tidak kompetitif yang sehat berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku. Selama praktek suap, pungli, adanya titipan dan pesanan, nepotisme, kolusi, dan korupsi dalam hal penentuan pemenang proyek, adalah mustahil hasil suatu proyek akan berjalan baik dan menyentuh tujuan akhir dari kegiatan pembangunan sebagaimana sasaran dari suatu proyek tersebut. Kondisi seperti ini, yang perlu penulis kedepankan  yaitu pengarahan sesuatu proyek pada person tertentu (X-Y) itu semakin membudaya di Indonesia, dan mungkin sudah menjadi satu model terselubung yang terbangun secara sistemik.

 

0tonomisasi dan  Politik Kekerabatan

            Menarik untuk dicerna di era 0tonomi sekarang ini adalah menguatnya praktek-praktek politik kekerabatan dalam percaturan perpolitikan di Indonesia. Seperti diketahui sejak pemberlakuan Undang-Undang No Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000, serta keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 Tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah[7], maka  tumbuh dan berkembang ibarat jamur dimusim penghujan daerah-daerah otonomi baru sebagai hasil pemekaran dari provinsi atau kabupaten/kota induk.

Beriringan dengan lahirnya provinsi atau kabupaten-kota yang baru maka fenomena sosial yang berkembang dalam ranah politik, yaitu tumbuh dan berkembang adanya praktek-praktek politik kekerabatan yang dilakoni oleh para politisi nasional, provinsi sampai pada kabupaten-kota di Indonesia. Adanya praktek politik kekerabatan hal tersebut tidak dapat terpungkiri, karena realita sosial ini dapat terlihat jelas  di semua provinsi dan kabupaten-kota di Indonesia ketika melakukan kegiatan Pemilu Legislatif, Pemilukada (Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil serta Walikota dan Wakil).

Adanya praktek politik kekerabatan jelas terlihat dalam panggung politik di suatu daerah dimana ketika yang menjadi top eksekutif ataupun top legislatif di suatu daerah (Gubernur-Wakil, Bupati-Wakil, Walikota-Wakil, Ketua DPRD Tkt. I dan Tkt. II), paling tidak anak, istri atau suami, keponakan, saudara kerabat terdekat juga mereka memiliki kedudukan yang strategis apakah sebagai anggota legislatif ataupun sebagai pemimpin partai politik tertentu. Lebih ironis lagi kondisi seperti ini tidak saja berlaku dalam ranah politik, tetapi itu juga merembet ke Pimpinan Dinas/Instansi Pusat dan Daerah, nota benenya ditempati oleh kaum kerabat para top Politisi dan Eksekutif tertentu.

Tumbuh dan berkembangnya sistem perpolitikan di Indonesia yang berorientasi pada politik kekerabatan, membawa penulis pada beragam pertanyaan yang senantiasa perlu untuk dijawab atau menjadi materi perenungan kita semua dalam mencermati akan geraknya prilaku-prilaku politisi yang ada di Indonesia. Adapun bentuk pertanyaan yang perlu dikedepankan adalah; 1). Apakah politik kekerabatan sudah yang terbaik untuk diberlakukan dan menjadi satu model dalam pengrekrutan perpolitikan di Indonesia 2). Apakah para politisi dengan latar belakang kekerabatan sudah yang terbaik dibanding dengan insan manusia Indonesia lain yang berkerinduan menjadi politisi namun tidak memiliki keterkaitan ikatan kekerabatan. 3). Apabila praktek politik kekerabatan bukan yang terbaik, dapatkah sistem tersebut dilakukan perubahan. 4). Jika itu dapat dirubah siapakah yang memulai perubahannya.

Beberapa pertanyaan di atas sudah tentu memerlukan jawaban dan perenungan kita semua sebagai sesama anak bangsa  yang selalu mengidam-idamkan kondisi sosial masyarakat Indonesia yang lebih baik. Sejarah mencatat dan masih segar dalam ingatan kolektif kita prihal terjadinya pergantian  rezim pemerintah dari 0rde Baru ke rezim Reformasi pada seputaran tahun 1996-1998. Kita ketahui bersama bahwa kondisi sosial  politik yang terjadi sangat memiriskan, dimana menguatnya sikap antipati terhadap rezim 0rba dengan top pimpinannya mendiang Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Kondisi sosial yang berkembang dimana cacian, makian, cemoohan, fitnaan, terbangun subur dimasyarakat dan semua tertuju pada rezim 0rba yang berkuasa dinyakini telah gagal dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia. Kuatnya dorongan masyarakat dengan poeple student sebagai garda terdepan dalam menyuarahkan turunkan Soharto sebagai Presiden melalui mimbar aksi demostrasi di hampir seluruh wilayah di Indonesia, memaksa rezim 0rba harus turun dan menyerahkan tampuk pemerintahan ke rezim reformasi.

Menvisualisasikan kondisi perpolitikan di akhir-akhir berkuasanya rezim 0rde Baru, tidak berlebihan jika hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi dan dilakukan oleh politisi-politisi masa kini di Indonesia. Kita ketahui bersama dalam berbagai informasi media cetak dan elektronik nasional dan daerah, bahwa politik kekerabatan dimasa-masa berakhirnya kekuasaan rezim 0rde Baru bahwa unsur keluarga Cendena dan kolega-koleganya sangat dominan menduduki panggung politik dan top eksekutif di pusat dan daerah. Ini pula diperkuat dengan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) dimana hampir semua sektor dikuasai oleh pihak Cendana dari hilir sampai hulu. Dengan penguasaan ini, akhirnya telah menimbulkan semangat menantang pihak penguasa, disebabkan prilaku perpolitikkan  sudah berjalan tidak sehat karena mengara pada politik kekerabatan dan politik koncoisme serta politik kolegatif. Puncak dari sikap antipati terhadap rezim yang berkuasa yaitu terjadinya kerusuhan sosial, tumbuh dan berkembangnya tindak-tindak anarkhis, masyarakat dengan mudah terprovokasi, munculnya prilaku-prilaku melawan pihak penguasa, menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pimpinan, rapuhnya kondisi Kamtibmas, dan tumbuh suburnya tindak-tindak melanggar hukum di masyarakat.

Belajar dari realita sosial dan perpolitikan yang terjadi pada saat tumbangnya rezim 0rde Baru seperti gambaran di atas, maka menjawab pertanyaan yang dikedepankan di atas paling tidak menguatnya praktek perpolitikkan yang mengarah pada ikatan  kekerabatan adalah sangat sensitif dan dapat bermuara pada tingginya sikap antipati terhadap politisi-politisi yang terbangun dalam latar politik kekerabatan. Kita tidak dapat menafsirkan politisi-politisi yang jika dicermati menjadi anggota atau pimpinan politik dan juga ada yang menduduki pimpinan dinas/instansi, kenyataannya person-person tersebut benar-benar SDMnya sangat berkualitas serta kapabel dan dikenal oleh masyarakat. Namun menjadi kekuatiran terekrutnya seseorang masuk dalam politik kekerabatan jika hanya dilatari oleh semangat “politik balas jasa” dan “politik ajimumpung” dimana ayah/ibu/saudara sedang berkuasa dan memegang tampuk tertinggi dalam institusi politik atau pemerintahan. Apabila seseorang masuk atau berkipra dalam ranah politik ataupun menjadi top pimpinan suatu instansi disebabkan karena yang bersangkutan benar-benar memiliki kemampuan dan kapabel untuk bidangnya, sudah tentu kita perlu memberi dorongan karena dipastikan itu akan berbuah yang baik demi kemaslahatan umat dan masyarakat. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka sejak dini perlu diingatkan jangan yang bersangkutan akan terlindas karena adanya prilaku kearogansian dengan mengkondisikan dia sudah yang terbaik sungguhpun sifatnya “instant”.

Politik kekerabatan menurut hemat kami bukan sesuatu yang terbaik diberlakukan di Indonesia yang sangat beragam kondisi sosial budayanya. Untuk itu jika kini kian menguatnya praktek-pratek politik kekerabatan di ranah politik Indonesia, maka sejak dini sudah harus disadari dan intropeksi diri untuk dilakukan perubahan sistem rekrutmennya. Ini perlu dilakukan demi meminimalisir tidak berulangnya kejadian yang memiriskan dalam potret tumbangnya rezim 0rde Baru sempat melumpuhkan tatanan politik dan perekonomian bangsa Indonesia.

 

Penutup

            Ada tiga isu menarik yang penulis gulirkan dalam tulisan ini yang menurut hemat kami sedang memberi warna dalam penyelenggaraan pemerintahan di era 0tonomisasi sekarang ini. Ketiga isu tersebut yaitu: 1). Budaya korporat; 2). Birokrasi dan Permasalahan; dan 3). Menguatnya Praktek Politik Kekarabatan. Ketiga isu ini merupakan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dan sifatnya tidak saja pada tingkat  lokalan tetapi merata secara nasional. Memenimalisir untuk tidak melebarnya praktek-praktek yang tidak memberi kemajuan pada pembangunan di Indonesia, maka kebudayaan sangat penting dalam memainkan perannya kini dan kedepan. Sebagai catatan kecil, kebudayaan dalam konteks ini, kami petik defenisi yang dikemukakan antropolog Indonesia Koentjaraningrat yang mengartikan kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dirinya dengan belajar[8].

Bertolak dari pengertian tersebut maka kebudayaan memberi pengertian bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan, dan itu harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior). Proses belajar dari manusia sifatnya tidak pernah berhenti dan itu berlaku secara terus menerus sepanjang kehidupan insan manusia. Dalam proses belajar sudah tentu lebih diarahkan untuk suatu kemajuan, dan kemajuan itu harus melalui suatu proses ingin memahami mana yang terbaik untuk dilakukan dan dikembangkan. Dihubungkan dengan ketiga isu di atas, sebagai insan yang berbudaya paling tidak ketika kita jumpai atau nilai bahwa dalam prosesnya  budaya korporat, system birokrasi yang menyimpang, dan politik kekerabatan yang selama ini terlakonkan dalam panggung perpolitikkan kecenderungan lebih menguntungkan diri pribadi seseorang ataupun kelompok, maka marilah kita dengan bahasa koor mengatakan kita harus hidup lebih berbudaya, menolak tindak-tindak yang menyimpang dalam rangka kemaslatan umat serta masyarakat umumnya di Indonesia.

Tidak dapat terpungkiri dalam realita kehidupan sosial masyarakat, banyak dijumpai lakon-lakon panggung sandiwara dimana mengatas-namakan kepentingan rakyat kita harus berbuat ini dan itu. Begitu mudahnya para top legislatif, eksekutif dan yidukatif, ataupun pihak-pihak berduit sering menyuarakan tersebut, padahal dalam prakteknya tidak demikian. Alangkah arif dan bijaksana sekiranya untaian kata yang sering terlontar tersebut itu benar-benar diimplementasikan dalam kepentingan kegiatan pembangunan masyarakat. Namun kenyataan untaian kata yang enak tersebut hanya sebatas untuk menarik perhatian demi lebih meningkatkan tingkat kepopuleran seseorang dalam rangka penguatannya dalam usaha mempertahankan sesuatu jabatan atau kedudukan yang dimilikinya. Dalam konteks kita sebagai warga masyarakat apapun peran dan profesi yang disandang, kita yang kemungkinan juga terlibat sebagai lakon di tiga isu yang kami kedepankan,  sudah tentu mengedepankan kebudayaan dalam bersikap dan berprilaku sangat diharapkan untuk dicapai dan embani dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita perlu bersikap dan bertindak arif dan bijaksana dalam setiap melakukan perannya baik ditengah-tengah masyarakat, ditempat tugas dalam profesi apapun yang kita sandang. Dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia begitu terasa begitu banyak di jumpai lakon-lakon kehidupan yang diperankan oleh person-person yang sebenarnya disuri-tauladan masyarakat, namun kenyataannya mereka hanya memainkan sandiwara dalam pentas yang murahan dan picisan. Ketika konteks berlangsung mereka terkesan mampu menyampaikan pesan-pesan yang sifatnya membangun sikap dan mental yang baik, menjunjung tinggi tata norma dan adat istiadat masyarakat, menyuarakan pesan-pesan yang memiliki nilai-nilai kearifan lokal, serta punya wawasan nasional dan global. Namun kenyataan semua itu tidak berproses dalam dirinya ketika si aktor tersebut sedang berada dalam lingkungan pribadinya ataupun kelompoknya.

Kehidupan kekinian dan ke depan, proses belajar dalam diri kita untuk tetap tumbuh dan tidak pernah padam. Kecermatan dalam menyikapi tindak-tindak yang menyimpang dimanapun kita temui sudah tentu perlu dipelajari dan carikan solusi untuk menghentikan ataupun meminimalisir tindak menyimpang yang kita temui tidak melebar dan berkembang. Sebagai anak bangsa, pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia adalah miliki kita semua. Untuk itu dituntut peran-peran dari semua insan masyarakat yang bersama-sama dengan pemerintah untuk mengawal dalam mencapai tujuan akhir dari semua kegiatan pembangunan yang ada disekitar kita. Semoga.

 

 

 

 

[1] Peneliti Muda Bidang Kebudayaan, bekerja pada Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Aktif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Minahasa-Sulawesi Utara.

[2] Makalah Kebudayaan Korporat, Birokrasi dan Globalisasi, disampaikan dalam kegiatan Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan, 26-27 Agustus 1997 hal 1-2.

[3] Lih. Nico  S. Kalangi, hal-3.

[4] Ibid hal 2.

[5] Ibid hal 3.

[6] Ibid hal. 3

[7] Lih. Hasanuddin, “Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo (suatu tinjauan Sejarah Pemekaran Wilayah

di Sulawesi Utara)” hal. 1–2.

[8] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi hal. 193, Aksara Baru Jakarta 1980.