Kampung Arab di Manado

Menelusuri perkampungan orang-orang Arab tidak terlepas dari keberadaan pelabuhan Manado di muara Sungai Tondano yang merupakan salah satu pusat perdagangan di Sulawesi Utara sejak abad ke-19. Beberapa pedagang asing yang datang di Manado, nampaknya kaum pedagang dari Arab tertarik untuk menetap tidak jauh dari kota pelabuhan yang sesuai dengan mata pencahariannya sebagai pedagang. Pada akhirnya mereka memutuskan menetap bersama dengan masyarakat Islam Manado di wilayah Timur Benteng Amsterdam tak jauh dari pelabuhan. Kehidupan mereka selain berdagang juga menyebarkan agama Islam.
Di antara orang-orang Arab yang datang menetap antara lain: Alan, Syawie, Bakhtiar Bin Thalib, dan Bachmid. Setelah mereka menetap terjadi perkawinan dengan penduduk setempat yang beragama Islam, sehingga terbentuk suatu perkampungan yang dikenal dengan Kampung Arab yang leteknya kurang lebih 1 km dari pusat kota.Setelah komunitasnya berkembang, akhirnya mereka memutuskan untuk pindah lokasi pemukiman yang sebelumnya dari Kampung Islam ke lokasi pemukiman yang baru (kemudian dikenal dengan Kampung Arab, sekarang Kelurahan Istiqlal). Mereka pindah ke Kampung Arab karena letak tempat tinggal tersebut dekat dengan pusat perdagangan dan didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya agar pelabuhan Manado yang waktu itu terletak di muara Sungai Tondano akan lebih ramai dikunjungi para pedagang serta penduduk yang datang berdagang.

Ketika orang-orang Arab dari Kampung Islam pindah ke Kampung Arab, di pemukiman telah menetap keluarga-keluarga yang memeluk agama Islam. Keluarga-keluarga itu antara lain: Keluarga Lamani yang berasal dari Bolaang Mongondow, keluarga Todong dari Kotabunan dan Keluarga Elong dari Malaysia. Keluarga-keluarga inilah yang kemudian terjadi perkawinan dengan orang-orang Arab. Tanah-tanah yang didiami pada umumnya rawa-rawa dan tidak didiami orang, sehingga lama-kelamaan menjadikan hak milik melalui Pemerintah Belanda. Orang-orang Arab yang menetap di Manado kemudian mengadakan penyebaran ke Minahasa seperti ke Belang, Kotabunan, Amurang, Tondano, dan Bolaang Mongondow.

Sebelum orang Arab menempati tempat pemukiman baru (kampung Arab) belum ada masjid, yang ada hanyala surau yang didirikan oleh orang-orang Ternate. Bangunan tempat ibadahnya sangat sederhana yakni masih menggunakan bambu dan tiang-tiang kayu yang mereka jadikan tempat pengeringan ikan di siang hari bila mereka tidak melakukan penangkapan ikan di laut. Demikian pula atapnya terbuat dari soma yang mereka pakai untuk menangkap ikan.

Pada tahun 1804 orang-orang Arab mulai mendirikan masjid yang dinamakan Masjid Al Mashyur sesuai dengan nama pendirinya. Pembangunan masjid mengalami perkembangan setelah semakin berkembanganya penduduk muslim yang menetap di kawasan tersebut.

Di Kampung Arab ada satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat dan sudah berlangsung sejak lama yaitu tradisi Iwadh. Kegiatannya dilaksanakan pada hari kedua setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri. Inti dari tradisi Iwadh adalah pembacaan doa pada setiap rumah oleh Imam masjid dan jamaah. Kegiatan ini merupakan ajang silaturrahmi bagi masyarakat keturunan Arab yang ada di Manado maupun yang berada di perantauan (yang pernah tinggal di Kampung Arab) Manado.