Ratusan tahun yang lalu di Likey wilayah desa Kasihang hiduplah dua orang kakak beradik yang sudah remaja, namun asal-usul serta orang tua mereka tidak diketahui. Sang kakak tidak diketahui namanya sedangkan adiknya perempuan bernama Sampahauta seorang gadis manis yang memiliki rambut lebat berombak laksana riak air danau yang ditiup angin sepoi-sepoi. Sepeninggal orang tua mereka hanya hidup berdua tetapi selalu rukun. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka berkebun dan menangkap ikan. Demikianlah mereka menjalani kehidupan sehari-hari hingga dewasa. Sebagai orang dewasa timbullah keinginan untuk mencari pasangan sebagai teman hidup dan agar memperoleh keturunan. Mereka kemudian saling mengutarakan keinginannya untuk mencari pasangan hidup. Mereka berdua pun sepakat untuk mencari jodoh secara bergantian mengelilingi Tagulandang dengan membawa sebentuk cincin peninggalan orang tuanya. Jika dalam pengembaraan itu bertemu dengan seseorang yang jarinya cocok dengan cincin itu maka dialah calon pasangan hidup.
Tibalah waktu yang ditentukan yaitu yang akan melakukan pengembaraan mengelilingi Tagulandang terlebih dulu adalah sang kakak. Dengan langkah tegap ia melangkah mendaki gunung menuruni lembah diiringi doa adiknya yang tinggal di pondok.
Si pemuda ini melangkah dengan hati gembira dan tidak merasa lelah, karena hatinya penuh dengan harapan untuk dapat bertemu jodohnya. Telah berhari-hari ia berjalan sudah demikian jauh jarak yang ditempuh, namun belum menemukan seorang gadis yang jarinya cocok dengan cincin asmaranya itu, dengan hati pedih ia kembali ke pondok dimana adiknya sedang menunggu. Agar adiknya tidak tahu apa yang ia alami ia mencoba memendam kepedihannya, namun adiknya dapat melihat kesedihan kakaknya dari wajahnya, dengan penuh kasih sayang ia menghibur kakaknya dengan keramahan dan kelembutannya.
Kini tibalah giliran sang adik Sampahauta untuk mengembara mencari jodohnya, diambilnya cincin dari tangan kakaknya dan mulai melangkahkan kakinya diiringi doa restu sang kakak. Dalam perjalanan hatinya berkata ia pasti akan menemukan seorang pemuda idaman hatinya, tempat mengadu dikala sedih dan tempat bernaung dari ancaman bahaya seperti yang dilakukan kakaknya selama ini. Sebentar-sebentar ia memeriksa cincin itu jangan-jangan hilang, kadang-kadang ia berhenti , menarik napas dalam-dalam, dan memasang telinga setiap kali mendengar bunyi dari semak-semak atau bunyi daun yang ditiup angin atau pun bunyi suara ayam hutan. Setiap desiran angin ia merasaka seperti suara bisikan seorang pemuda idamannya. Tetapi ia mulai bersedih karena sudah setengah perjalanan yang ia lalui belum juga ia bertemu seorang pemuda yang jarinya cocok dengan cincinnya. Cincin itu masih terus digenggamnya, dengan bersimbah keringat ia terus berjalan sambil menundukkan kepalanya, dengan mata yang sayu diliputi rasa malu karena perjalanannya tidak membawa hasil. Beberapa hari sebelumnya ia membayangkan betapa ia akan bergembira melihat kakaknya pulang dengan membawa jodohnya, tetapi yang terjadi ternyata sebaliknya kakaknya pulang dengan wajah muram tanpa menemukan jodoh. Merasakan kesedihan yang dialami kakaknya ia tidak lagi memperhatikan suara-suara yang ada disekelilingnya, bahkan suara itu ditelinganya seperti sembilu yang melukai hatinya. Dengan sedih Sampahauta kemudian pulang kepondok dimana kakaknya menunggu. Setibanya di pondok ia melihat kakaknya sedang termenung memikirkan suratan takdirnya. Kedatangan adiknya menyadarkan ia dari lamunannya. Sebagai seorang kakak yang menjadi tempat berlindung adiknya, ia segera membuang jauh-jauh rasa sedih yang marasuk hatinya. Ia berusaha tersenyum menyambut sang adik dan berkata “adikku sudahkah kau temukan apa yang kau cari”. Dengan suara tersendat-sendat sang adik menjawab “ saya belum menemukannya kak”. Keduanya kemudian menangis menguraikan air mata membajiri kesedihan yang dirasakan karena apa yang mereka inginkan tidak tercapai. Pondok mereka seakan-akan berselubung duka nestapa, namun kesedihan yang meraka rasakan tidak menghalanginya untuk tetap melakukan pekerjaan sehari-hari berkebun dan mencari ikan. Kesibukan dikebun dan mencari ikan akhirnya menjadi penghibur hati dan lama-kelamaan meraka dapat melupakan kesedihannya dan yakin kalau didepan mereka terbentang harapan hidup yang baru.
Konon pada suatu hari ketika mereka berdua sedang duduk bercengkrama, tiba-tiba mereka teringat kesedihan yang pernah mereka alami yang ternyata masih membekas dihati sanubarinya. Cincin sakti itu kemudian dipasangkan kejari secara bergantian dan ternyata cocok, mata mereka pun berpandangan dan tanpa disadari mereka melakukan hal terlarang dan jatuhlah mereka ke lembah dosa. Cincin itu telah memutuskan dan keputusan itu tidak dapat dibatalkan lagi mereka berdua tidak lagi sebagai kakak beradik tetapi sudah menjadi suami istri
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, akhirnya mereka sadar kalau telah melakukan kesalahan. Kemudian terjadilah suatu bencana dahsyat hujan turun bagaikan air yang ditumpahkan dari langit diiringi angin puting beliung melanda tempat mereka sehingga mengakibatkan Tanjung Likei yang semula agak jauh menjorok ke laut putus menjadi dua bagian. Sebagian ada di Tagulandang dan disebut Tonggeng Napoto atau tanjung yang putus dan bagian yang satu hanyut ke utara hilang dari pandangan mata dan kini disebut Bowon Deke.
Rupanya musibah yang menimpa mereka belum cukup mereka kemudian mendapat keturunan berwujud seekor ular yang panjangnya kurang lebh satu kaki. Setelah kejadian ini berlalu sekian tahun lamanya kini ular itu sering ditemukan dalam lemari atau diantara lipatan pakaian. Jika hal itu terjadi maka diambillah manik-manik lalu diikat dengan kain merah kemudian dikalungkan pada leher orang yang menemukan ular itu dan segeralah ular itu akan menghilang. Masyarakat percaya bahwa kedatangan ular itu ingin mengunjungi kaum kerabat Sampahauta bersaudara. Pada akhir cerita kedua kakak beradik ini pindah ke gua di Likey tidak jauh dari Tonggeng Napoto dan tinggal disana hingga ajal menjemput. Konon sampai sekarang tengkorak dua kakak beradik ini masih ada di dalam gua dan terletak di atas piring Maluku.
Cerita ini mengandung pesan dan larangan supaya tidak melakukan perkawinan dengan aeaeorang yang masih ada hubungan darah.