Oleh : Steven Sumolang*
Masyarakat Dumoga di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Kabupaten Bolaang Mongondow, dapat di bagi ke dalam beberapa bidang yakni Pertanian Padi Sawah, Pertanian Peladangan, Berburu, Pengambilan hasil hutan (Kayu, dll), Penambangan Emas. Masyarakat Dumoga sendiri dalam tradisi pemanfaatan sumber daya alam adalah perpaduan tradisi Mongondow, Minahasa, Jawa dan Bali. Dimana identitas masyarakat Dumoga yang multi etnik serta dikenal dengan penghasil komoditas sumber daya alam berupa Padi dan Emas.Permintaan pasar yang tinggi atau nilai ekonomis yang tinggi terhadap komoditas Padi, Jagung, Emas, dan lainnya membuat maraknya aktivitas peladangan di kawasan hutan, perkebunan, persawahan, perburuan, dan penambangan emas di kawasan Dumoga. Ini menyebabkan pembentukan identitas baru kepada Dumoga, perubahan lanskap agroforesti, degradasi lingkungan
Aktivitas penambangan emas rakyat yang dimulai era 1980-an, menjadikan Dumoga sebagai daerah perebutan sumber daya emas yang berujung pada konflik-konflik antar pencari emas, dan memunculkan perkelahian antar kampung di Dumoga dengan intensitas yang tinggi, membuat Dumoga memiliki angka kriminalitas yang tinggai (daerah merah), oleh banyak pihak terutama oleh pihak kepolisian.
Hasil penelitian ini, bisa didapatkan beberapa hal yakni; peristiwa demi peristiwa pada konflik sosial di dataran dumoga Bolaang Mongondow yakni perkelahian antar kampung, antar kelompok, dan antar penambang. Berdasarkan sejarah, dumoga sebagai daerah yang dbangun pemerintah sebagai sentra pertanian pangan yakni padi. Selanjutnya menjadi sasaran lokasi migran dari daerah Minahasa, Jawa, Bali, Bugis, Sangihe, sehingga kawasan ini menjadi daerah mulyi etnik. Setelah dieksplorasi sumber daya penambangan emas yang ada dibeberapa tempat di Dumoga, maka konflik baru berkembang sebagai sebuah perebutan sumber daya alam. Perselisihan antar penambang terbawa sampai ke kampung-kampung di Dumoga.
Pemicu konflik berdasarkan jawaban responden bahwa yang tertinggi karena kebiasan minuman keras dan yang kedua adalah konflik dari perselisihan penambang.
Konflik-konflik tersebut banyak diperankan oleh kampung-kampung yang berlatar belakang etnik Minahasa dan selanjutnya Mongondow. Dan terbanyak antar Migran, lalu antar migran dan pemukim awal. Kampung-kampung tersebut yang terbanyak berselisih adalah Tambun dan selanjutnya Imandi.
Konflik-konflik tersebut berdasarkan jawaban responden, sedikit yang ujungnya menyangkut suku dan agama, namun ada beberapa kasus terkait dengan suku agama seperti tarkam kampung Pusian vs Toruakat, Tonom vs Ibolian.
Berdasarkan jawaban responden bahwa meski mereka banyak berintereaksi dengan suku dan agama berbeda, namun perbedaan tersebut tidak menjadi masalah karena mereka masih menerima keberagaman.
Dalam penyelesaian konflik yang paling diharapkan adalah pemerintah desa, berikutnya aparat hukum.
*Penulis, Peneliti Antropologi Sosial Budaya di BPNB Sulut, Kemdikbud