Oleh : Drs.Burhanudin Domili*
Masyarakat suku bangsa Gorantalo sejak masa lampau telah mengenal sistem gotong royong. Dalam perkembangannya sistem gotong royong ini bukan saja pada kegiatan memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi sudah lebih luas lagi, antara lain dalam membangun rumah, sarana ibadah, membangun/membuat jalan, membuat fasilitas umum, kegiatan upacara, dan lain-lain.
Sifat gotong royong atau tolong-menolong pada suku bangsa Gorontalo mempunyai beberapa istilah sebagai berikut:
- Ambu ialah tolong menolong antara kelompok orang untuk kepentingan bersama misalnya membuat jalan baru dan lain-lain.
- Hileiya ialah tolong menolong apabila ada kedukaan. Orang-orang yang datang ketempat kedukaan disamping menghibur, juga membawa makanan dan tinggal beberapa hari. Mereka memasak makanan sehingga yang berduka tidak perlu memasak lagi sehingga terhibur hatinya.
- Huyula ialah tolong menolong yang hampir sama dengan ambu. Pada huyula biasanya lebih banyak orang yang terlibat.
- Tiayo ialah tolong menolong antara kelompok orang untuk mengerjakan pekerjaan seseorang. Biasanya orang yang ditolong hanya menyediakan makanan dan berkewajiban membalasnya bila orang yang pernah menolongnya akan mengerjakan sesuatu pekerjaan pula. Misalnya pada hari pertama membuat pondasi rumah.
Di Gorontalo terdapat berbagai kegiatan gotong royong atau huyula dalam berbagai bidang kehidupan, namun yang dibahas disini huyula membangun rumah (motiayo mopotihulo bele), dan huyula dalam kematian (dembulo)..
Gotong-royong atau huyula dalam kegiatan sosial membangun rumah telah ada sejak manusia mulai hidup menetap di dataran Gorontalo. Setiap keluarga atau masyarakat yang hendak membangun rumah meminta bantuan atau minta tolong (motiayo) kepada tetangga, saudara atau kerabatnya. Yang bersangkutan cukup hanya memberi makan bagi pekerja pada siang hari. Pekerjaan membangun rumah tersebut dikerjakan secara bersama-sama sampai selesai bangunan rumah.
Dalam perkembangannya pembangunan rumah mulai disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga dalam membangun rumah saat ini sudah membutuhkan ketrampilan khusus seperti para tukang, yang ahli/terampil yang diberi upah/uang. Hal ini telah mengurangi kegiatan motiayo (meminta bantuan, tolong menolong tanpa balas jasa). Sebagai pengaruh dari perubahan ini timbul huyula dalam bentuk mengumpulkan bahan bangunan rumah seperti batu kapur, pasir, semen, kayu dan seng. Masing-masing peserta secara bergilir membangun rumahnya. Dengan jalan demikian yang mengerjakan adalah para tukang yang disewa/dibayar oleh pemilik rumah.
Bentuk kegiatan huyula membangun rumah bertujuan untuk meringankan beban pemilik rumah. Hal ini dapat dilihat dalam istilah motiayo, yang artinya minta tolong atau minta bantuan dari orang lain. Kelompok yang ikut serta dalam kegiatan ini adalah para kerabat dan tetangga. Diutamakan mereka yang baru berumah tangga atau yang belum memiliki rumah sendiri. Ketentuan-ketentuan para peserta yang ikut dalam pengumpulan bahan bangunan rumah memberikan bahan sesuai yang disepakati bersama. Pemilik yang minta bantuan motiayo dari para kerabat dan tetatangganya (tihedu) untuk membangun rumah wajib memberikan makanan kepada mereka yang datang membantu, baik dalam bentuk membalas jasa maupun mereka yang datang dengan sukarela (mohubode). Demikian pula sebaliknya yang sudah dibantu wajib mengembalikan apa yang disepakati dan membantu juga secara suka rela bagi yang membutuhkan bantuan. Mereka yang sudah pernah dibantu dan tidak membalas akan mendapat sanksi cemoohan masyarakat dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan huyula yang lain.
Pelaksanaan huyula dimulai dari pemilik rumah sudah menyiapkan bahan-bahan dan pekarangan yang akan dibangun rumah. Tiga hari sebelum pekerjaan dimulai, yang bersangkutan menyampaikan secara lisan kepada kerabat/tetangga untuk mengadakan musyawarah (heluma) mengenai pekerjaan yang akan dilakukan seperti ukuran rumah, bahan yang telah tersedia dan makanan yang telah disediakan. Yang memimpin musayawarah adalah panggoba (orang yang mahir dalam segala hal/usaha pekerjaan yang dihadapi).
Biasanya hari Minggu, Senin atau Kamis dianggap hari-hari yang baik menurut ta’jul muluk. Pada hari yang ditetapkan kira-kira jam 07.00 atau 08.00 pagi, mulai bekerja secara gotong royong (huyula) dan berhenti pukul 11.30 pekerjaan dihentikan untuk makan siang dan melakukan shalat/istirahat dan dilanjutkan pukul 14.00 sampai 16.30 . Pekerjaan huyula ini ada yang dilakukan selama beberapa hari atau sesuai dengan persediaan bahan yang ada. Biasanya rumah yang dikerjakan tidak selesai 100 persen.
Hasil yang disepakati dalam kegiatan huyula mendirikan rumah, ialah meringankan beban pemilik rumah agar dapat mendiami rumahnya. Dari istilah motiayo atau tiayo, yang artinya minta tolong/bantuan, sudah dapat diketahui tujuannya. Disamping itu dapat memelihara ikatan hubungan kerabat (ungala’a) dan hubungan persaudaraan antar tetangga. Sebagai hasil akhir dari kegiatan ini ialah setiap warga desa memperoleh tempat berteduh yang layak untuk hidup berumah tangga dalam kekeluargaan.
Selanjutnya pada masyarakat Gorontalo terdapat gotong-royong dalam kematian disebut dembulo. Jumlah peserta huyula dalam kematian (dembulo) tidak dapat ditentukan secara pasti. Hal ini tergantung pada kelompok-kelompok sosial penduduk desa dan juga tergantung pada status sosial tertentu. Misalnya pemangku adat (bate) yang meninggal maka jumlah orang yang akan ikut dalam kegiatan itu mencapai ratusan bahkan ribuan. Kalau yang meninggal penduduk biasa maka akan terlihat bahwa jumlah peserta hanya puluhan atau ratusan orang saja.
Bagi para ungala’a (keluarga luas) dan warga desa (kambungu) memberi bantuan material atau bahan dalam bentuk natura tidak ada ketentuan yang berlaku. Sebab bantuan yang diberikan ini sama sekali tidak ada balas jasa. Jadi hal ini bersifat spontanitas dan tanpa pamrih. Jikalau keluarga yang menerima bantuan tidak membalasnya, tidak ada sanksi. Tetapi karena sudah menjadi adat kebiasaan, maka secara spontan juga mereka membalasnya. Termasuk bantuan tenaga dan pikiran, semuanya bersifat spontan. Kebiasan ini diperkuat lagi oleh agama yang mewajibkan memberi bantuan pikiran, tenaga, bahan-bahan/natura atau uang, semuanya semata-mata karena Allah.
Apabila ada salah satu warga masyarakat yang meninggal dunia (ilopateya), semua kerabat datang berkumpul bahkan sebagian warga suatu desa datang kerumah duka. Mereka datang memberi bantuan baik berupa tenaga, pikiran, bantuan materi seperti uang, beras, ayam, kelapa, kain putih dan lain-lain. Pemberian tenaga maupun material tersebut, oleh warga masyarakat diberikan langsung kepada angota keluarga yang kena duka. Terjadilah huyula(Gotong-royong) dalam berbagai kegiatan.
Tahap-tahap pelaksanaan huyula dalam kematian dimulai dari kerja sama mendirikan bangsal, tenda atau sabua (bantayo). Bambu-bambu sebagai rangka diperoleh dari warga desa dengan cuma-cuma. Seng/atap, dipinjamkan dari kerabat/warga desa. Sesudah itu kerja sama mengatur kursi kursi yang dipinjam dari tetangga, kerabat, warga desa yang memberikannya secara spontanitas. Selanjutnya kerja sama membersihkan rumah dan mengatur tirai jendela, bunga kemenyan dan lain-lain. Dilanjutkan dengan kerja sama meminjam alat-alat perlengkapan dapur (piring, mangkuk, belanga) dan kerjasama mengatur sumbangan bahan-bahan makanan dari para kerabat tetangga dan warga desa. Pada saat itu juga dilakukan kerja sama menyiapkan usungan, papan, menggali kuburan, menjahit kelambu, kain kafan dan lain-lainnya. Imam, pegawai syara’, para orang tua bekerja sama memandikan mayat, mengkafankan mayat, menyembahyangkan mayat, bekerja sama mengusung mayat dan menguburkan mayat. Selanjutnya huyula/kerja sama dalam memberikan penghiburan atau ta’ziah serta hari-hari selamatan (3, 5, 7, 40 dan 100 hari) orang meninggal bertempat di rumah keluarga yang berduka.
Hasil dari pada gotong-royong/huyula dalam kematian ini adalah meringankan beban atau tanggungan penderitaan dari keluarga yang berduka serta merupakan penghiburan bagi mereka yang berduka serta mempererat hubungan persaudaraan. Hasil fisik yang dicapai dalam kegiatan huyula kematian (dembulo) yaitu terkumpulnya bahan-bahan makanan/minuman yang sangat dibutuhkan dalam acara kematian tersebut. Hasil akhir yang diperoleh dari huyula yaitu dapat menciptakan kehidupan yang rukun antar kerabat/warga desa.
Kebiasaan-kebiasaan huyula dalam kematian (dembulo) yang secara spontanitas ini sudah mulai jarang ditemui pada warga masyarakat yang berdomisili di perkotaan. Huyula dalam kematian tersebut mulai terkikis bentuknya akibat masuknya teknologi dan ekonomi uang dimana segala sesuatu diperhitungkan dengan uang. Oleh karena itu bentuk huyula dari spontanitas dan tanpa pamrih berubah menjadi balas jasa. Seperti yang berkembang saat ini pada masyarakat Gorontalo, yaitu budaya heia.
Budaya heia terdapat dalam berbagai bentuk huyula seperti pada kematian, perkawinan, gunting rambut. Namun yang terkenal adalah budaya heia dalam kematian. Kata Heia berasal dari kata hei yang artinya pindah, sedangkan heia artinya memindahkan. Kemudian heia berkembang sudah dalam bentuk mengerjakan atau melakukan kegiatan. Heia adalah tolong-menolong bila ada orang yang kedukaan. Di samping menghibur, juga membawa makanan dan tinggal beberapa hari. Mereka memasak makanan sehingga yang berduka tidak perlu memasak lagi, sehingga terhibur hatinya.
Heia yaitu pindah dalam arti memindahkan dapur (mohei depula) berarti ruangan dapur yang dipindahkan, akan tetapi yang dimaksudkan adalah memindahkan bahan makanan yang ada di dapur ke rumah orang yang terkena musibah.
Heiya berawal dari kebiasaan warga desa membawa makanan pada acara kedukaan secara spontanitas untuk meringankan beban keluarga. Dengan masuknya pengaruh uang, maka berkembanglah cara huyula dari membawa bahan berubah dalam bentuk uang, namun yang membawa bahan masih tetap ada, tapi sudah berkurang. Terjadinya perkembangan ini dikarenakan masyarakat lebih memilih yang paling praktis yaitu memberi uang dibandingkan memberi bahan makanan atau bahan-bahan lain. Selain itu sebagian masyarakat tidak mempunyai waktu lagi untuk membuat bahan makanan, karena bekerja mencari nafkah sebagai pegawai negeri maupun swasta. Sehingga budaya memberi bantuan berupa bahan berubah menjadi pemberian berbentuk uang. Ada juga keluarga yang kena duka menyiapkan toples yang diletakkan di atas meja pada pintu masuk pekarangan rumah. Sehinga setiap pelayat yang datang bagi yang berkenan akan mengisi uang bantuan di dalam toples. Uang tersebut akan diserahkan pada keluarga yang kena duka.
Selain pemberian dalam bentuk toples, ada lagi menjadi huyula dalam bentuk kelompok rukun duka. Setiap kelompok terdiri dari beberapa orang, beberapa rumah tangga yang termasuk pemimpin rukun duka dan anggota anggotanya. Huyula dalam bentuk ini berupa sistem balas jasa. Mereka yang ikut dalam kerukunan duka ini harus didaftarkan dan mengikuti prosedur sebagaimana yang berlaku. Warga masyarakat sebagai peserta harus mengikuti ketentuan yang telah disepakati sebelumnya. Antara lain apabila tidak mengikuti ketentuan akan didenda selanjutnya diberhentikan sebagai anggota rukun duka.
Dapat disimpulkan bahwa budaya gotong royong atau tolong menolong dewasa ini masih ditemukan di daerah Gorontalo dengan beberapa istilah sesuai dengan jenis dan sifatnya. Ada sistem gotong royong atau tolong menolong yang masih asli dan murni yang terdapat di wilayah pedesaan terpencil, dan ada pula sistem gotong royong yang sudah pengalami penyesuaian/perubahan dan mengikuti perkembangan zaman. Ada yang sudah dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi saat ini tanpa meninggalkan unsur-unsur tradisionalnya.
Budaya gotong royong yang merupakan bagian dari kekayaan budaya daerah diharapkan dapat dipelihara terus dan dilestarikan karena merupakan keanekaragaman budaya bangsa. Cara melestarikannya melalui kegiatan-kegiatan budaya seperti pameran budaya, festival/pagelaran budaya, seminar/diskusi budaya yang selalu dilakukan secara rutin dan kontinu.
KEPUSTAKAAN
Abdussamad K, dkk, Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo, Pemda Kabupaten Daerah Tingkat II Gorontalo bekerja sama FKIP Universitas Sam Ratulangi Di Gorontalo, Aksara Indira Harapan Jakarta:1985
——————-, Perjuangan Rakyat Di Daerah Gorontalo Menentang Kolonialisme dan Mempertahankan Negara Proklamasi, Yayasan 23 Januari 1942 Bekerjasama IKIP Manado Cabang Gorontalo. PT Gobel Dharma Nusantara, Jakarta:1981/1982
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan Keenam.Aksara Baru, Jakarta:1986
——————-, Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan:1977/1978
——————-, Sistem Gotong Royong Dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Utara, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: 1979/1980
——————, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Utara, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:1980/1981
* Tenaga Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Manado.