Perlunya Pengembangan Kebudayaan Multi Etnik (Mongondow, Minahasa, Jawa, Bali)
Bahwa kehidupan harmonis antar masyarakat sangat diidamkan oleh banyak orang, dalam sebuah masyarakat yang multietnis. Sebagaimana masyarakat di wilayah Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow yang dihuni berbagai latar belakang etnik yakni Mongondow, Minahasa, Jawa, Bali. Dimana perlu dilakukan sebuah pendekatan sosial budaya untuk menjadikan masyarakat multikultural. Atasnya, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sulawesi Utara UPT Kemdikbud bekerjasama dengan kelompok masyarakat setempat melakukan Dialog Budaya (29/4) dengan Tema : “Revitalisasi Nilai Budaya Mo’oaheraan dalam Membangun Masyarakat Multikultural di Dumoga Bolaang Mongondow”. Kegiatan ini dlaksanakan di Balai Desa Doloduo Kec. Dumoga Barat, Kab. Bolaang Mongondow dihadiri tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai desa di Dumoga.
Berbagai persoalan seputar hubungan antar warga di daerah Dumoga raya pada keenam kecamatan yang juga masuk dalam kawasan lindung Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pertama persoalan konflik perkelahian antar kampung yang selalu terjadi, catatan kepolisian menampatkan wilayah Dumoga sebagai kawasan paling rawan di seluruh daerah Bolaang Mongondow Raya. Terdsapatnya perebutan sumber daya alam yang selalu berujung konflik di lokasi-lokasi penambangan rakyat. Kondisi ini sangat ironis, terjadi di daerah yang adalah lumbung beras nasional dan tempat perlindungan alam dalam skala nasional dan dunia yakni adanya Taman Nasional.
Diskusi dalam dialog budaya tersebut akhirnya memandang penting dilakukannya revitalisasi nilaai budaya Mo’oaheraan dalam membangun masyarakat multietik di Dumoga sehingga pembangunan pertanian, perlindungan alam dapat direalisasikan dengan baik. Pitres Sombowadile, seorang pengamat sosial budaya sebagai salah satu narasumber dalam dialog ini mengetengahkan daerah Dumoga sebagai wilayah penting dalam sejarah Bolaang Mongondow dimana kerajaan pertama bermua di sini, terdapat pemukiman tua dalam penelitian-penelitian arkeologis, kemudian sudah sejak lama kerajaan Mongondow yang masih berada di Dumoga kala itu telah mengakui suasana masyarakat yang mengharagai keberagaman etnik, lalu kehadiran transmigran-transmigran dalam jumlah besar di Dumoga yang berasal dari Minahasa, Bali, Jawa.
Narasaumber yang mewakili BPNB Sulut, Agus Walukow, menyajikan bagaimana pengembangan kebudayaan sebagai salah satu alat yang tepat dan strategis untuk mengatasi persoalan-persoalan konflik masyarakat, karena sebuah nilai budaya dalam sebuah masyarakat akan diakui oleh kelompok apapun yang berada di daerah tersebut. Seperti konflik Poso, pemerintah dan masyarakat sepakat mengangkat kembali nilai budaya Sintuwu Maroso. Konflik Maluku/ Ambon, disana beruapaya diangkat nilai budaya Pela Gandong. Jadi Nilai Budaya mo’oaheraan atau budaya saling menghargai dapat diangkat terus menerus untuk menciptakan susasan masyarakat yang harmonis.
“Konflik yang terjadi dikawasan Dumoga belum dapat dibandingkan dengan Poso dan Maluku, namun dalam rangka mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan maka revitalisasi nilai budaya tersebut patut dilakukan, manalagi kawasan Dumoga sangat multi etnik dan sumber daya alamnya yang begitu luar biasa untuk diamnfaatkan bagi kepentingan rakyat’, Kata Walukow.
Pada bagian akhir Kepala BPNB Sulut Rusli manorek dan Kelompok Kerja yang terdiri dari Joyly Rawis (Ketua), Steven Sumolang (Sekretaris), Aneke Suoth, Fany Emor, Lily Kondoy, Indri Bonde menerangkan kegiatan Dialog Budaya di Dumoga telah berlangsung dengan baik dan respon dari para peserta dari berbagai desa yang ada sangat positif dan mengharapkan adanya perhatian pemerintah dalam pengembangan kebudayaan multi etnik (Mongondow, Minahasa, Jawa, dan Bali) Dumoga, seperti perlu dibuatkannya Pergelaran Budaya Multi Etnik Dumoga. *** (Steven Sumolang).