Kesenian “ampa wayer” lahir pada masa perang dunia dua, tepatnya dimasa akhir pendudukan Jepang antara tahun 1944-1945.
Kesenian ini merupakan adaptasi dan perpaduan kesenian Eropa dengan kesenian “Sangihe” seperti “mĕ-salai” dan “mengorkesê”. Tarian ini sudah berkembang sejak masa masuknya Spanyol di kepulauan Sangihe dan menemukan identitas menjelang berakhirnya perang dunia ke dua di kepulauan Siau.
Secara Etimologi kata “ampa wayer” terbentuk dari dua kata yaitu :
– Kata “ampa” (bahasa Indonesai Manado) yang berarti “empat”,
– Kata “wayer” (bahasa serapan Indonesai Manado) yang berarti baling-baling.
Pemberian nama “ampa wayer” muncul bersamaan dengan aktifitas serangan pesawaat udara tentara Sekutu melawan tentara Jepang. Pada masa itu, sudah ada aktifitas kesenian yang sama dengan “ampa wayer” tetapi gerak tarinya masih dilakukan secara spontan menyertai kesenian “orkes tradisi”.
Pemunculan “gerak tari” dalam “ampa wayer” sebagai ekspresi kebebasan dan kemerdekaan, karena pada saat itu tentara Jepang yang dianggap penjajah dikalahkan oleh tentara sekutu. Awalnya, “ampa wayer” adalah kesnian rakyat untuk muda-mudi secara berpasangan. Dikemudian hari berubah menjadi kesenian umum yang di lakukan sejenis ataupun berpasangan laki-laki dan perempuan yang tidak mengenal kelompok umur.
Konon,….banyak diantara pelaku “ampa wayer” berjodoh dalam “ampa wayer”. Dalam “ampa wayer” terdapat sosok perempuan yang dianggap “primadona”. Primadona itulah yang kemudian di perebutkan oleh kaum lelaki untuk menjadi pacar. Dari peristiwa sejarah tersebut diatas, lahirlah pola gerak tari tertua dalam “ampa wayer yaitu “keker musuh, lingkar manis dileher nona”, formasi pola lantai tertua berbentuk baling-baling , dan ada lagu yang bermuatan bahasa Jepang berjudul “Sayonara” sebagai lagu penutup.
“Ampa wayer” adalah gerak tari kelompok yang diiringi musik, dan dipimpin oleh seorangkapel (pemimpin tari), dalam bahasa Sangihe disebut “pangataseng atau pangaha”. “Ampa Wayer” dikelompokkan sebagai kesenian rakyat bukan kesenian Istana. Kesenian ini berfungsi sebagai hiburan rakyat. Awalnya kesenian ini lahir secara spontan dalam aktifitas keramaian kecil, tapi dikemudian hari sudah menjadi konsumsi acara-acara hajatan seperti acara kawinan.Salah satu keunikan dari kesenian ini adalah ; tidak dapat dimainkan tanpa iringan musik.
Unsur pokok kesenian “ampa wayer” adalah kemahiran musik pengiring, gerak tari, dan komanado atau aba-aba. Gerak tari dalam “ampa wayer” diiringi oleh ansambel musik orkes yang dimainkan langsung, bukan menggunakan kaset. Kenapa harus bermain musik secara langung, karena kemahiran memainkan musik adalah bagian tak terpisahkan yang disukai penonton. Sejak masa lalu jika ada pergelaran “hampa wayer”, salah satu yang disukai adalah kemahiran bermain musik para pemain musik.
Babakan dalam “ampa wayer” terdiri dari enam (6) tahapan yaitu : Gerakan pembukaan diiringi musik berirama MARS, Gerakan WALS, Gerakan RUMBA, Gerakan TANGO, Gerakan SWING, Gerakan penutup diiringi musik berirama MARS
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi gerak “ampa wayer” adalah : Alat musik yang digunakan dalam kesenian “Orkes tradisi”, seperti gitar, kroncong (Ukulele), dan Strem bas. Dimasa lalu, alat-alat tersebut adalah hasil buatan sendiri dari kelompok orkes, tidak ada yang dibeli dari toko. Sampai saat ini, kerajinan membuat gitar, kroncong dan strem bas masih terwaris disemua kecamatan di kepulauan sangihe.
Dalam kesenian “ampa wayer” tidak ada penggunaan properti untuk mendukung gerak. Kostum yang digunakan oleh Pria adalah pakaian resmi (sejenis jas) sedangkan untuk Wanita menggunakan kostum bergaya perempuan Eropa abad 17. (bukan baju adat).
Tahapan 1 : Gerakan pembukaan diiringi musik berirama MARS. Pola lantai pada tahapan ini terdiri dari empat (4) formasi dengan unsur gerak sebagai berikut : Masuk pentas, Membentuk formasi baling-baling pesawat, Lingkaran (Penghormatan), Formasi segilima lambang daerah Sangihe.
Tahapan 2 : Gerakan WALS. Pola lantai pada tahapan ini terdiri dari dua (bagian) yaitu bersaf lalu berhadapan,dengan unsur gerak “menggergaji kayu”
Tahapan 3, Gerakan RUMBA.Pola lantai pada tahapan ini terdiri dari dua (bagian) yaitu berbanjar lalu berhadapan, dengan unsur gerak “aktifitas membuat Kopra” dan “pangkas rumput”.
Tahapan 4 Gerakan TANGO. Pola lantai pada tahapan ini terdiri dari beberapa pola, dengan unsur gerak menggunakan unsur tari daerah Samgihe seperti Gunde, Samper dan Alabadiri.
Tahapan 5, Gerakan SWING. Pola lantai pada tahapan berbentuk perahu dengan unsur gerak “mendayung perahu”.
Tahapan 6, Gerakan penutup dengan pola berbanjar diiringi musik berirama MARS, keluar dari pentas dengan unsur gerak lambai tangan perpisahan.
LAGU-LAGU YANG DIGUNAKAN SEBAGAI PENGIRING GERAK
Lagu pembuka dan penutup : menggunakan lagu berjudul “ Malam Bae I Lehengke”
Lagu untuk tahapan Wals : menggunakan lagu berjudul “ Tahanusangkara”
Lagu untuk tahapan Rumba : menggunakan lagu berjudul “ Oh Hapiku”
Lagu untuk tahapan Tango : menggunakan lagu berjudul : “Oh Karima’ ko”
Lagu untuk tahapan Swing : menggunakan lagu berjudul : “Sumake Pato”
Sumber : Dokumen BPNB Sulut