Oleh: Nasrun Sandiah
(Staf Pengajar Jurusan Antropologi FISIP Unsrat Manado)
I. Pengantar
Berbicara tentang kebudayaan banyak kalangan memberi pengertian baik oleh kalangan awam maupun para ilmuwan yang dapat melahirkan banyak definisi atau batasan. Namun semua pengertian atau definisi tersebut adalah sama dimana kebudayaan merupakan kesatuan dari norma dan prilaku, sedangkan perbedaannya hanya terletak pada pihak yang tetap menganggap bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari norma, prilaku, dan benda kebudayaan, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa prilaku dan norma harus dipisahkan secara tegas guna kepentingan studi dan analisa kehidupan masyarakat (Soputan, 1998). Dalam tulisan ini kebudayaan difahami sebagai sistem ide atau sistem gagasan milik suatu masyarakat yang dijadikan acuan bagi tingkah laku dalam kehidupan sosial dari masyarakat yang bersangkutan.
Konsep kebudayaan di atas dapat dikembangkan dalam suatu rincian untuk mendapatkan suatu pemahaman dan tujuan yang lebih operasional (Melalatoa, 1977). Rincian tersebut terdiri atas unsur-unsur gagasan yang terkait dalam satu sistem yang dikenal sebagai konsep sistem budaya (culture system) yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui suatu proses belajar, kemudian diacu untuk menata, menilai, dan menginterpretasi sejumlah benda dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Suparlan dalam Melalatoa (1997) mengemukakan bahwa tidak mudah mengatakan apa itu kebudayaan Indonesia, karena baru terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1945, apalagi corak masyarakatnya yang majemuk. Tetapi secara garis besar ada tiga macam kebudayaan dalam masyarakat Indonesia.
- Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Kebudayaan Suku-suku bangsa.
- Kebudayaan lokal sebagai sebuah wadah yang mengakomodasi lestarinya perbedaaan identitas suku bangsa serta masyarakat yang saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah misalnya pasar atau kota.
Konsep masyarakat Indonesia banyak didefinisikan orang tergantung fakta empiris yang bisa diamati. Namun oleh Bachtiar (1985), secara umum para ilmuwan sosial menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai suatu masyarakat yang majemuk karena terdiri atas berbagai suku bangsa, agama, ras, dan golongan sosial, berbicara dengan berbagai bahasa daerah, tersebar dalam berribu pulau, tetapi tetap berada dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Istilah masyarakat majemuk yang digunakan oleh ilmuan sosial pada mulanya diperkenalkan oleh J. F. Furnival pada tahun 1967 dalam kajiannya mengenai dampak pemerintahan kolonial di Burma dan Indonesia. Sebelumnya istilah ini dikembangkan oleh M. G. Smith dalam kajiannya di kepulauan Karibia, dimana sukubangsa yang berbeda “berbaur tapi tidak larut” (mix but do not combine), dominasi politik oleh satu sukubangsa dan pengarahan kelompok-kelompok yang berbeda untuk terlibat didalam suatu sistem ekonomi bersama, dimana masing-masing menempati suatu posisi khusus dalam pembagian kerja (division of labour) adalah hal-hal yang memlihara masyarakat majemuk dalam keseimbangan (Wacana Antropologi Nomor 4, 1999).
II. Sistem Budaya Masyarakat Indonesia
Memang sulit menggambarkan sistem budaya yang menjadi pedoman dalam interaksi antar-masyarakat yang majemuk dan jumlah penduduknya yang besar. Namun hal ini oleh Bachtiar (1985), bahwa setidaknya bisa dikenali empat macam sistem budaya yang berbeda satu sama lain. Masing-masing sistem budaya ini mengatur kehidupan orang yang dianggap, atau lebih penting lagi menganggap dirinya sendiri sebagai pemilik sistem itu. Secara singkat keempat sistem budaya tersebut adalah sebagai berikut:
- Sistem budaya dari kelompok etnis yang masing-masing beranggapan bahwa kebudayaan diwariskan kepada mereka secara turun temurun dari nenek moyang. Masing-masing budaya kelompok etnis ini mempunyai tanah asal, wilayah tempat nenek moyang pertama kali menetap, asal dari masyarakat etnis ini yang kini telah menjadi lebih luas. Sistem budaya ini biasanya disebut sebagai sistem adat atau adat.
- Sistem budaya yang terdiri atas sistem budaya agama-agama besar yang tanpa kecuali berasal dari kepulauan Indonesia. Tidak satu pun dari sistem ini mempunyai tanah asal di kepulauan Indonesia, dan semua sistem budaya ini mempunyai banyak pengikut di luar Indonesia. Hal ini merupakan pembeda terpenting antara sistem budaya yang berdasarkan agama dan berdasarkan kelompok etnik.
- Sistem budaya Indonesia, sistem budaya ini merupakan yang termuda diantara semua sistem budaya yang ada. Namun yang terpenting jika ditinjau dari fungsinya dalam pengintegrasian masyarakat Indonesia. semua penduduk Indonesia dianggap sebagai anggota dari sistem budaya ini.
- Sistem budaya yang majemuk yang terdiri atas sistem budaya asing yang sedikit banyak mempengaruhi pikiran, sikap dan tindakan sebagian dari penduduk yang tersebar di kepulauan Indonesia.
Sistem budaya di atas, mempunyai unsur-unsur tertentu seperti kosakata, kepercayaan, pengetahuan, norma-norma tertentu (yang menjadi bagian dari sistem budaya tertentu) pada saat yang sama juga merupakan bagian dari budaya yang lain. Akan tetapi kadang-kadang terjadi pula konflik yang tersembunyi dan sampai muncul kepermukaan dalam bentuk pertentangan yang dapat menimbulkan pengrusakan harta benda bahkan ada yang meminta korban jiwa karena ada yang tidak menyadari bahwa di sekitarnya terdapat pula orang yang mempunyai orientasi nilai budaya yang berbeda. Konflik atau pertentangan ini terjadi di ruangan kantor, sekolah tetapi ada pula yang lebih luas dan melibatkan banyak orang sehingga menjadi pusat perhatian nasional atau internasional.
III. Adaptasi Masyarakat Majemuk
Bagaimana masyarakat Indonesia yang dikenal dengan masyarakat majemuk memiliki kebudayaan yang berbeda, sedangkan yang bersangkutan harus melakukan interaksi atau hubungan dengan masyarakat yang lain. Tentunya harus mengacu pada kebudayaan yang lebih penting yakni kebudayaan nasional Indonesia dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa diharapkan dalam hubungan antar-golongan yang berbeda, masing-masing berpedoman pada kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita bersama, yakni kebudayaan nasional Indonesia (Bachtiar, 1994). Kebudayaan nasional Indonesia adalah kebudayaan kita bersama, kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita semua bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional Indoneisa dinyatakan dengan penggunaan bahasa Indonesia. Kebudayaan nasional juga mengandung kepercayaan-kepercayaan tertentu yang dianggap sebagai kepercayaan semua orang Indonesia, terlepas dari ajaran agamanya masing-masing, seperti kepercayaan yang berkaitan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, adanya hukuman bagi orang yang berdosa atau berbuat jahat dan ganjaran bagi orang yang berbuat baik. Kebudayaan nasional mengandung nilai-nilai tertentu yakni nilai-nilai Pancasila sebagai inti yang menjadi acuan bagi peraturan-peraturan yang diberlakukan bagi anggota-anggota masyarakat Indonesia.
Selain mengacu pada kebudayaan nasional yang lebih penting, hubungan antara masyarakat yang berbeda dapat pula dilakukan melalui adaptasi budaya (kultural) antar-etnis (Ulaen, 2001). Hal ini dapat dilakukan jika kesadaran akan kemajemukan dapat ditafsirkan secara positif selama masing-masing pihak di satu sisi mampu mengapresiasi unsur-unsur budaya warga setempat, dan di pihak lain tetap mengembangkan tradisinya yang tidak akan bersinggungan dengan tradisi warga setempat. Proses dialog-kultural yang saling melengkapi satu sama lain dalam berbagai ranah kehidupan tanpa menimbulkan kesan hadir sebagai dominator, tampaknya akan melanggengkan kehidupan bersama, yang satu menerima yang lain tanpa paksaan melainkan karena kebutuhan; dan kebutuhan bersama inilah yang kemudian melupakan adanya perbedaan tadi. Selain itu, berkaitan pula dengan aktor-aktor yang entah itu memiliki kesamaan pengalaman atau kepentingan, bahkan juga cara pandang dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran akan kepentingan bersama. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa integrasi yang muncul dari kesadaran akan kebersamaan biasanya menghasilkan sebuah sistem yang relatif mampu bertahan lama, dibandingkan dengan integrasi yang diproses (direkayasa) untuk kepentingan politis, individu, kelompok dan golongan.
Bagaimana proses adaptasi budaya dalam masyarakat yang majemuk. Penulis mengemukakan salah satu contoh yang merupakan pelajaran yang baik dan unik di dekat danau Tondano yakni Kampung Jawa Tondano di Propinsi Sulawesi Utara yang terkenal dengan semboyan “Torang Samua Basudara Kong Baku-Baku Bae Dan Bakubaku Sayang”, menjunjung tinggi kebersamaan.
Pangalaman budaya sekelompok “warga-pemberontak” sebutan kaum kolonial Belanda terhadap para pendidri Kampung Jawa (Kyai Modjo dan kawan-kawannya). Mereka merupakan tawanan Perang Diponegoro (1825 – 1830) yang sengaja dibuang di Karesidenan Manado dan akhirnya ditempatkan di sekitar Tondano dan Tonsealama, dengan perhitungan agar mereka punah dengan sendirinya, ternyata menyimpang dari skenario hitungan aparat kolonial, mereka dapat eksis dan sebagaian besar menikah dengan wanita setempat, mampu berbaur dengan warga setempat, dan melahirkan keturunannya yang memiliki ciri dan karakter melebihi moyangnya. Ulasan Tim Babcock (1981, 1985); Nasrun Sandiah dan Alex J. Ulaen (ed) 2002, secara panjang lebar memaparkan kisah sukses adaptasi budaya kelompok ini, yang jelas berbeda sekali dengan warga transmigran atau migran spontan dari daerah yang sama dengan mereka di daerah ini. Kisah sukses ini dapat mengidentifikasikan diri dari keturunan Kyai Modjo dan kawan-kawannya sebagai bagian dari penduduk setempat yakni Niyaku Toudano (saya orang Tondano) ketika ditanya tentang identitasnya.
KEPUSTAKAAN
Babcock, Tim. 1981, Muslim Minahasans With Roots in Java; The People of Kampung Jawa Tondano dalam Indonesia No. 32, Cornel University, USA.
——————, 1985, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Bachtiar, Harsya W., dkk. 1984, Budaya dan Manusia Indonesia, YP2LPM Malang dan PT Hanindite, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1982, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
Melalatoa M. Yunus (Penyunting), 1997, Sistem Budaya Indonesia, Fisip UI dan PT Pamator, Jakarta.
Soputan, Nico, 1998, Pengantar Ilmu Antropologi, Fisip Unsrat, Manado (Dikta ).
Ulaen, Alex John, 2001, Kemajemukan dan Adaptasi Budaya Antar-Etnis (Makalah dalam Diskusi dengan Tema: Kebudayaan Sebagai Perekat Bangsa, Dinas Diknas Sulut, 20 – 21 Juli 2001).
Wacana Antropologi, Volume 2 Nomor 4, Tahun 1999.