FILOSOFI MUSIK MINAHASA

 

Oleh : Ivan R.B Kaunang

 

Pengantar

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, filosofi sama dengan filsafat yang dimaknai juga sebagai hakikat segala yang ada; teori dan alam pikiran. Kalau demikian, filosofi bagi saya, sama dengan substansi atau isi, dalam hal ini adalah hakikat musik.  Berkaitan dengan arti di atas, maka judul di atas dapat dibaca, isi musik Minahasa. Berbicara isi musik Minahasa adalah berbicara hal mendasar dalam musik Minahasa yang membedakannya dengan musik-musik dari budaya lainnya. Memahami musik Minahasa, sama prinsipnya dengan bagaimana Anda memahami suatu budaya yang bukan milik atau bagian dari identitas Anda. Artinya, memahami budaya diluar budaya Anda haruslah memiliki (roh) atau spirit dari kebudayaan itu. Mengenai roh dan spirit dari suatu kebudayaan tidak bisa dilihat tetapi hanya dengan rasa yang dalam konteks musik adalah soal pendengaran dan suasana atau kondisi tertentu yang mendukung (suasana) rasa itu.

Musik adalah suara atau bunyi yang dihasilkan oleh benda material yang dibuat atau digarap oleh manusia. Suara atau bunyi yang keluar dan yang tercipta dipahami sebagai musik baik oleh pelaku maupun yang mendengar (menikmati suara/bunyi) tersebut. Musik ada ketika manusia kehilangan kata-kata. Musik adalah bunyi, dan konsep bunyi setiap sukubangsa atau bangsa dan suatu kebudayaan berbeda-beda pemaknaanya.

Menurut Rumengan (2010), kata atau istilah musik di Minahasa tidak dikenal. Namun, tidak berarti bahwa manusia tou Minahasa tidak mengenal atau memiliki apa yang disebut music. Bagi tou Minahasa, music dipahami sebagai bunyi yang dalam istilah etnik Tombulu-Minahasa disebut zani. Walaupun dalam pemahaman secara umum tou Minahasa mengenal istilah zani, zazanin, ma’zani atau mahzanin lebih diasosiasikan pada musik vocal atau nyanyian bukan pada musik instrumen.

Kesenian Minahasa mencakup berbagai jenis. Kesenian dalam arti luas, tidak terbatas pada seni tari saja, tetapi juga pada seni musik vokal, instrumen, dan gabungan keduanya. Selanjutnya, ada juga seni teater/drama, seni kriya (dekorasi, sulam, batik), seni lukis, seni rupa (patung), seni arsitektur (bangunan, lanskap halaman/taman), seni sastra (puisi, prosa), seni tata busana, seni tata boga, seni film, dan sebagainya. Pada dasarnya semuanya itu adalah seni bernuansa etnik, kecuali seni film dari hasil-hasil perkembangan teknologi mutakhir lainnya.

Minahasa mengenal beberapa jenis kesenian musik, baik musik vokal, instrumen, maupun gabungan keduanya. tetapi banyak di antaranya mendekati kepunahan atau bahkan sebagian telah lenyap ditelan zaman. Jenis musik tradisional dan modern atau kreasi baru banyak disajikan dalam acara-acara tertentu, seperti dalam pesta perkawinan, Hari Ulang Tahun, syukuran desa, kota/kabupaten, provinsi, menjemput tamu, dan sebagainya.

  

Kesenian Musik Minahasa

Membicarakan musik Minahasa erat kaitannya dengan unsur-unsur adat dan religi sehingga dalam membicarakannya sering tidak dapat dipisahkan antara dua unsur tersebut. Warisan seni musik vokal yang kaya, sekarang ini beberapa diantaranya sudah pernah ada, mendekati kepunahan bahkan hilang ditelan zaman. Dalam bentuk nyanyian umumnya digunakan untuk mengiringi suatu tarian ritual, sehingga paduan keduanya hampir tidak bisa dibedakan apakah kesenian itu nyanyian atau tarian. Berikut beberapa musik vokal dan instrumen yang pernah hidup dan berkembang dalam masyarakat Minahasa.

  • Pupurengke(i)yen adalah nyanyian yang syairnya mengisahkan tentang silsilah sukubangsa Minahasa, mulai dari Toar Lumimuut dan seterusnya. Jumlah bait tergantung dari pengetahuan pemimpin lagu dan biasanya nyanyian ini dibawakan untuk mengiringi tarian Mapurengkei(y). Dalam perkembangannya, nyanyian adat klasik ini sudah hampir punah.
  • Wiwinsonen adalah nyanyian pujian dan pemujaan terhadap unsur-unsur alam yang telah memberi kehidupan kepada para leluhur. Nyanyian ini biasanya untuk mengiringi tarian adat Mawinson yang populer di wilayah etnik Tountemboan-Minahasa.
  • Sasamboan adalah nyanyian permohonan (izin) kepada yang Mahakuasa, yang Maha Pencipta, dan para leluhur sebagai awal dari suatu aktivitas sosial dengan maksud agar kegiatan yang dilakukan direstui dan hasilnya baik. Nyanyian ini untuk mengiringi tarian tradisional yang disebut tari Adanya pengaruh agama Kristen, maka permohonan tidak lagi ditujukan kepada leluhur (dewa) atau Opo, tetapi kepada Tuhan Maha Esa yang dalam bahasa Minahasa disebut Opo Empung atau Opo saja.
  • Masiserapan adalah nyanyian yang memuja bulan purnama (serap) dibawakan pada waku bulan purnama bersamaan dengan kegembiraan panen padi. Nyanyian ini untuk mengiringi gerakan tari Masiserap tari pemujaan bulan.
  • Tetambaken adalah nyanyian yang syairnya dilagukan untuk mengiringi gerakan tari massal yang disebut Matambak. Syair lagunya dibawakan berulang-ulang oleh pemimpin tari (matu’ud) dan diikuti secara koor, diulangi, secara berbalas-balasan. Syair lagu dan gerakan tarinya memberi kesempatan kepada pemudi dan pemuda untuk saling kenal.
  • Raranian (rarani/raranin/nananin/dadanian) adalah nyanyian, syair, dan pantun yang dipakai sebagai penghibur pada waktu senggang. Jenis dan ragam lagu bebas sesuai konteks, maksud, tujuannya, dan dapat digunakan untuk nyanyian ritual. Dalam perkembangannya dikembangkan dalam nyanyian-nyanyian di gereja lokal.
  • Rarayon adalah nyanyian dan syair lagunya mengandung pujian kepada Tuhan yang Mahakuasa, Opo Empung, leluhur. Lagunya dibawakan berulang-ulang yang setiap syairnya diakhiri dengan kata e royor e (terpujilah).
  • Selain itu, nyanyian untuk upacara kematian disebut e yapen/maeya/eya (artinya sayang). Syair lagunya sesuai konteks dan terutama berisi penghiburan rasa belasungkawa kepada yang berduka.
  • Dedengkuren adalah Nyanyian yang syairnya berisi kritikan, sindiran positif. Kiasan-kiasan syairnya tidak membuat yang disindir merasa tersinggung atau marah, hal ini digunakan sebagai alat kontrol dalam kehidupan bermasyarakat.
  • Ada juga syair pantun yang dilagukan dengan berdialog, tandingan berbalas-balasan yang disebut mawelesan.
  • Jenis nyanyian lainnya adalah pembangkit semangat dalam kerja pertanian mapalus di ladang atau di sawah yang disebut no’oyen, sedangkan molemo nyanyian gotong-royong nelayan di danau Tondano. Adapun nyanyian yang bersifat nasihat disebut totoloken
  • Kakantaren adalah nyanyian untuk menunjuk semua jenis lagu dari agama Kristen, baik yang dinyanyikan di gereja maupun dalam semua pertemuan keagamaan lainnya. Penamaan ini berlaku umum di seluruh Minahasa dengan makna yang sama, berasal dari kata cantar (bahasa Portugis) yang berarti menyanyi. Mulanya lagu-lagu ini merupakan terjemahan lagu-lagu gereja berupa Mazmur, Tahlil, dari bahasa Belanda ke bahasa lokal. Fungsi kakantaren adalah untuk memuji kebesaran Tuhan dalam berbagai sendi kehidupan manusia.

 

Selanjutnya, musik instrumen dan orkes, perkembangannya sudah menerima pengaruh dari luar dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh bangsa-bangsa Barat. Beberapa alat musik dapat disebutkan antara lain, saksafon, klarinet, overton, tuba, bas, tambor, rofol, harmonika, hawayen gitar, dan viol. Beberapa orkes di Minahasa yang dipengaruhi Barat, antara lain orkes musik hawayen, orkes viol floit, keroncong karambangan dan orkes musik bambu.

  • Musik Karambangan

Orkes karambangan di desa-desa di Minahasa disebut juga keroncong bunga adalah kelanjutan dari permainan gitar tunggal yang banyak dimainkan oleh orang-orang tua tempo dulu di Minahasa. Petik gitar keroncong bunga diperkenalkan oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang pada masa itu selain befungsi sebagai pelipur lara, juga sebagai alat pemikat gadis idaman. Perkembangan kemudian corak baru muncul dengan ‘lagu-lagu kobong’ karambangan, suatu bentuk pemujaan keindahan desa dan tempat lahir kampung halaman (lagu-lagu rakyat).

Musik kobong (kebun) alat musiknya terdiri atas 1 gitar melodi, 1 jinjek atau yukulele, yang dalam perkembangannya ditambah 1 gitar dan harmonika mulut. Musik ini populer sebagi lagu-lagu hiburan yang oleh orang Manado (kota) disebutnya lagu-lagu gunung (desa), musik maka’aruyen.

 

  • Musik Bambu

Musik bambu bermula dari alat musik tiup yang disebut ‘suling’ atau ‘susulingan’ yang terbuat dari bambu kecil (bulu tui, atau wulud), dengan panjang 20-30 cm. Awalnya fungsi suling ini sebagai alat hiburan pelepas dahaga bagi petani Minahasa yang sedang menjaga kebun atau sedang berada di rumah bersama keluarga. Dalam perkembangannya dipakai dalam acara-acara khusus mengiringi nyanyian dan tarian. Kemudian berkembang menjadi beragam-ragam instrumen dalam berbagai bentuk dan bunyi yang disebut musik bambu melulu. Alat musik ini mulai dikenal dan populer sejak tahun 1923 dalam suatu perayaan di Minahasa, dalam rangka peringatan 25 tahun Ratu Wilhelmina sebagai raja Belanda, kemudian alat musik ini mulai menyebar ke luar daerah seperti ke daerah kepulauan Sangihe dan Talaud. Perkembangan selanjutnya, dari musik bambu melulu ini menjadi musik bambu seng dan musik bambu klarinet.

Jenis kesenian musik bambu  sampai sekarang keberadaannya masih digemari oleh masyarakat Minahasa. Sebagaimana sebutan nama seni musik ini yakni musik bambu, karena bahan dasar alat musik tersebut terbuat atau dibuat dari bambu. Namun, dengan adanya perkembangan pengetahuan dan kreatifitas yang dimiliki oleh para pembuat atau perancang jenis alat musik tersebut dan untuk mendapatkan variasi bunyi dengan nada yang baik maka ada pula yang dilengkapi dengan bahan lain seperti tembaga, kuningan atau seng. Dengan adanya tambahan bahan dalam rancangan dan pembuatan alat musik ini, sehingga ada yang menyebutnya musik bambu seng atau musik bambu klarinet.

Mengenai pertunjukan atau atraksi kelompok musik bambu biasanya ditampilkan atau dimainkan dalam acara-acara khusus seperti pada pesta perkawinan, upacara kematian, penjemputan tamu dan pada hari-hari raya nasional (HUT Kemerdekaan RI) juga dalam hajatan masyarakat lainnya seperti perayaan hari ulang tahun, syukuran, dan lain-lain. Keberadaan jenis musik ini di Minahasa sampai sekarang masih dapat ditemukan dan tersebar di banyak tempat di Minahasa.

Musik bambu bagi orang Minahasa diakui sebagai musik tradisional yang telah berkembang cukup lama di tanah Minahasa sehingga dikatakan pula sebagai musik leluhur mereka. Perkembangan musik ini dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Eropa, yakni Portugis, Spanyol, dan Belanda, tetapi lebih didominasi oleh bangsa Belanda melalui sekolah-sekolah zendingnya di tanah Minahasa. Ketika itu, dalam sekolah-sekolah zending tersebut diberikan mata pelajaran seni suara yakni menyanyi yang kemudian berkembang dengan menggunakan iringan musik yakni suling.

Musik bambu dapat berkembang di Minahasa oleh karena ditunjang dengan tersedianya dan mudah diperolehnya bahan baku bambu. Namun, hal ini tergantung pula dari minat dan bakat warga masyarakat terhadap seni musik tersebut. Memasuki tahun 1900 alat musik suling tidak lagi berdiri sendiri melainkan dilengkapi dengan alat musik tiup lainnya yang sejenis dengan bunyi irama dan nada yang berbeda seperti corno, bass dan contrabass. Dengan peralatan musik sederhana dan tergabung dengan beberapa jenis musik bambu lainnya, maka terbentuklah satu bentuk musik orkestra. Hal ini terjadi dan dilatarbelakangi oleh adanya dorongan dan rangsangan dari munculnya/tampilnya musik korps tentara Belanda ketika itu dalam berbagai kegiatan pemerintahan khususnya dalam upacara/apel para tentara Belanda. Selanjutnya, dengan adanya kemampuan dan pengetahuan di bidang seni maka bentuk dan jenis alat musik bambu mulai dikembangkan dengan meniru alat musik lainnya yang dimodifikasi dan dibuat dari bahan bambu sehingga menjadi beberapa bentuk dan jenis musik tiup bambu dan dengan nada yang dibentuk serta teknik tiupan yang berbeda.

  • Musik Bia

            Musik Bia adalah salah satu jenis musik tradisional di Minahasa yang mulai populer pada masa pendudukan Jepang dan berkembang terus sampai sekarang. Alat musiknya memanfaatkan kerang siput laut dan di Minahasa dikenal dengan sebutan pontuang. Untuk membuatnya menjadi alat musik harus dikerjakan dengan sangat hati-hati oleh tangan-tangan yang sudah ahli. Kerusakan sedikit saja atau salah membuatnya sudah dianggap rusak.

 

Tradisi berkesenian musik bia, perkembangannya berlangsung di kalangan masyarakat pesisir, mengingat mereka memiliki berjenis-jenis bia dan ukurannya pun bermacam-mcam. Persebaran musik bia ini dapat ditemui di daerah Likupang, Kema Minahasa Utara, Amurang Minahasa Selatan, Tanawangko, dan beberapa daerah sebelah Utara pesisir kota Manado. Dalam perkembangannya banyak tempat di daerah Minahasa juga sudah memiliki jenis musik ini. Orang Minahasa menyebut jenis musik bia ini dengan sebutan pontuang, yang bila ditiup dapat mengeluarkan suara yang keras (Wenas dkk., 2007).

Sebagaimana alat musik tradisional lainnya, alat musik ini juga banyak mengisi acara-acara perayaan seperti, menjemput tamu, pesta perkawinan, Hari Ulang Tahun, dan pengucapan syukur. Selain itu, musik ini juga difestivalkan dalam rangka pelestariannya.

 

  • Musik Kolintang

            Jauh sebelum adanya pengaruh Barat, kolintang sudah dikenal oleh masyarakat Minahasa. Alat musik ini terbuat dari kayu-kayuan welesi atau wenderan. Jenis kayu ini dapat menimbulkan bunyi-bunyi yang merdu. Alat musik ini sering dipakai pada acara-acara khusus seperti pada pesta perkawinan, syukuran, dan untuk mengiringi nyanyian dan tarian. Dalam perkembangnnya, kolintang sebagai suatu alat musik penyebarannya sudah meluas tersebar melalui jalur perdagangan antar pulau. Alat musik kolintang ada yang disebut momongan, kolintang gong perunggu  yang masuk ke Minahasa melalui jalur perdagangan Maluku, yang memiliki hubungan dagang dengan Jawa.

 

Di beberapa tempat, istilah kolintang juga ditemukan, seperti di Bolaang Mongondouw dengan nama musik golintang (gorintang), dan di Sumatera dengan nama kelintang/kulintang, sejenis alat musik gong. Kemudian, dari nama-nama leluhur Minahasa  dijumpai nama-nama (fam), seperti Lintang, Lumintang, Lantang, Lintong, yang berhubungan dengan nama alat musik gong dan keterangan bunyi alat musik logam tersebut, tangtong. Dalam cerita rakyat Minahasa dikenal Opo Tingkulendeng sebagai opo musik yang suka mengetuk-ngetuk bilah kayu (http://maengket.blogs.friendster.com/my_blog/2007/08/kolintang_histo.html).

 

Filosofi Musik Minahasa

Musik sifatnya universal. Artinya substansi musik dapat diterima oleh masyarakat secara umum tanpa strata. Musik adalah soal menikmati, dan dalam menikmatinya setiap manusia memiliki tingkat yang tidak sama, sehingga ada yang menyukai jenis musik tertentu dan ada pula menyukai jenis musik yang lain. Namun demikian, memahami musik etnik bagi saya, bukan pada persoalan keuniversalan musik tersebut tetapi kepada modal mental kognitif setiap manusia pemilik (budaya) musik tersebut.

Filosofi menyangkut rasa dalam menerima bunyi. Suara bunyi dan alunan musik etnik Minahasa tentu berbeda penerimaannya setiap manusia, terutama yang budayanya berbeda. Bunyi musik Minahasa sakral, unsur-unsur religius, magis dimilikinya, sehingga suatu bunyi tidak akan bermakna dalam religi tou Minahasa apabila unsur-unsur bunyi dalam tradisi Minahasa tidak dipenuhinya. Bunyi dalam kepercayaan tou Minahasa adalah bunyi yang memiliki ide, maksud dan tujuan, dan bukan sekedar bunyi. Bunyi-bunyi ini dapat dirasakan dari bunyi yang diekspresikan, intensitasnya, syair yang diucapkannya, serta cara membawakannya. Setiap bunyi yang disuarakan dalam kepercayaan tou Minahasa memiliki efek atau reaksi baik dalam tatanan alam dan isinya maupun manusianya.

Sebagai contoh dalam penelitian (Rumengan, 2010: 4), nyanyian atau bunyi zazani, mahzani yang masih dilakukan oleh para petani di desa Rurukan, terutama dalam kegiatan (tradisi) mapalus memiliki makna menyuburkan tanaman dan atau merangsang pohon nira utk semakin banyak memproduksi air nira (tember). Selanjutnya dalam tradisi berburu masyarakat Tountemboan juga memiliki bunyi-bunyi dan nyanyian yang dapat memberikan hasil buruan yang banyak, demikian sebaliknya, apabila bunyi-bunyian tersebut salah dibunyikan maka akan mendatangkan malapetaka, atau hasil buruan sedikit bahkan tidak ada sama sekali.

Unsur lain dalam filsafat musik Minahasa adalah, musik Minahasa hanya mengenal lima nada yaitu Re Mi So La Si bukan tujuh nada diatonik seperti music-musik Barat pada umumnya do re mi fa so la si do (tinggi)..

 

Penutup

Bunyi dalam kultur Minahasa, bukanlah bunyi sembarang bunyi.  Bunyi atau suara yang memiliki muatan religius, tidak mudah dipahami tetapi dapat dirasakan. Unsur nada re, mi so la si atau nada pentatonik ini secara kultural berbeda bunyinya dengan bunyi-bunyi pentatonik dan diatonik pada music-musik etnik lainnya dan musik Barat umumnya. Kekhasan bunyi (suara) Minahasa, sekali lagi, hanya bisa dipahami, apabila Anda memiliki roh, spirit keminahasaan itu.

 

Daftar Bacaan

Kaunang, Ivan R.B. 2010. Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an). Denpasar-Bali: Program (S2) Magister dan (S3) Doktor Kajian Budaya, Univ Udayana kerjasama dengan Intan Cendekia Yogyakarta.

Rumengan, Perry, 2010. Maengket Seni Tradisional Orang Minahasa: Estetika, Struktur Musik, Tari, Sastera. Volumen II. Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI.

Manus, L.Th. dkk. 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Sulawesi Utara: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan.

Parengkuan, F.E.W. 1984. Nelwan Katuuk dan Seni Musik Kolintang Minahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

————————. 2003. “Peran Seni Budaya Tradisional dalam Pembinaan dan Apresiasi Seni Teater Dewasa ini” Makalah. Kegiatan dalam rangka program senibudaya/seni teater kerjasama antara Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara dan Fakultas Sastra Unsrat. Manado: Sastra Unsrat, Manado. hlm. 1-6.

Ticoalu, Lomban. H.Th. (Ketua Tim). 1978/1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara. Sulawesi Utara: Provinsi Sulawesi Utara

Wenas, Yessy. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Sulawesi Utara: Institut Seni Budaya.

 

[1] Kertas Kerja yang dibawakan pada International Student Program (ISP) Kerjasama Universitas Hamburg Jerman dan Unsrat, Selasa 16 Agustus 2011. Penulis dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unsrat Manado.