Pada suatu hari ada dua ekor hewan yang bersahabat yaitu seekor kera yang dalam bahasa Tou-lour disebut Wolai dan seekor penyu yang disebut Wo’u. Kedua hewan yang sangat bersahabat ini sedang berjalan-jalan di tepi aliran sebuah sungai yang pada waktu itu sedang meluap. Tiba-tiba Wolai melihat ada sebatang pohon pisang yang hanyut terbawa arus di sungai itu. Lalu berkatalah Wolai yang suka makan pisang kepada Wo’u, “Hai sahabatku, Wo’u, lihatlah batang pohon pisang yang hanyut itu.”. “Ya, ada apa temanku Wolai?”, sahut Wo’u kepada Wolai. “Begini”, kata Wolai. “Kalau batang pisang itu kita tanam bersama-sama, maka dalam beberapa waktu batang pohon pisang itu akan bertumbuh dan berbuah, dan nanti kita dapat berpesta dengan buah pohon pisang itu. “Ya, kau betul Wolai.”, kata Wo’u kepada Wolai, “Tetapi saya tidak pandai berenang, sebaiknya kau saja yang berenang dan mengambil batang pisang itu.”, kata Wolai. “Baiklah sobat.”, jawab Wo’u. Maka dengan sangat berhati-hati berenanglah Wo’u di sungai yang meluap itu dan mendorong batang pisang itu dengan kaki depannya dengan bangga sampai di tepi sungai. Sebenarnya si Wo’u bisa saja menolak tawaran Wolai untuk mengambil batang pohon pisang yang hanyut, apalagi dengan air sungai yang deras, tetapi Wo’u tidak ingin mengecewakan teman atau sahabat karibnya itu.
Mereka berdua kemudian berunding bagaimana pisang itu akan ditanam. Si Wolai yang suka akan pisang itu berpikir : “Kalau nanti batang pohon pisang itu hanya ditanam di halaman rumah Wo’u saja, nanti dia tidak akan mendapat bagian dari hasil pohon itu. Karena itu ia mau mengusulkan kepada Wo’u agar batang pohon pisang itu dipotong dua dan masing-masing mereka mendapat sepotong untuk ditanam di halaman rumahnya masing-masing. Si Wolai berpikir lagi kalau ia memilih bagian ujung batang pisang yang masih berdaun itu, tentu akan lebih cepat bertumbuh dan akan lebih cepat pula berbuah. Karena itu ia segera memberi usul : “Begini saja Wo’u, kita bagi dua batang pisang ini. Aku pilih bagian ujungnya, kau bagian akarnya. Kita masing-masing menanamnya di halaman rumah kita” kata Wolai. “Baiklah, sobat !” jawab si Wo’u sambil manggut-manggut. Dalam hati, si Wolai tertawa karena mendapatkan apa yang ia mau, yaitu bagian ujung dari batang pisang yang berdaun itu. Segera batang pisang itu dibagi dua dan Wolai pun segera lari ke gunung, sambil membawa ujung batang pisang di bahunya. Si Wo’u pun segera membawa bagian akar dari batang pisang itu.
Hari demi hari berlalu, si Wolai menunggu siapa tahu pohon pisang itu akan segera bertumbuh dan berbuah. Dari hari ke hari ia terus berharap, berharap dan berharap, tetapi apakah yang terjadi? pohon pisang kepunyaan Wolai bukannya makin besar dan bertumbuh, melainkan makin hari makin layu dan membusuk. Dan suatu pagi, ketika Wolai hendak memeriksa keadaan pisang yang ditanamnya ia sangat terkejut, karena batang pisang yang ia tanam itu sama sekali sudah layu dan membusuk. Karena penasaran ia pergi mendapatkan Wo’u hendak melihat apakah pohon pisang dari Wo’u sudah bertumbuh. Ketika ia tiba di rumah Wo’u ia sangat terkejut, melihat pohon pisang di depan rumah Wo’u sudah bertumbuh dengan subur. Makin lama makin tinggi, buahnya bertambah besar dan makin kelihatan ranum.
Beberapa waktu kemudian ketika Wolai berkunjung lagi ke rumah Wo’u dilihatnya pisang itu sudah menguning dan masak. Karena Wo’u tidak dapat memanjat pohon, buah pisang yang sudah menguning dan masak itu tidak dapat dipetiknya. Hal itu dimanfaatkan oleh si Wolai yang hebat dalam soal manjat-memanjat, katanya “sebaiknya saya saja yang panjat pohon pisang itu. Kalau nanti saya sudah berada di atas pohon, nanti akan saya jatuhkan buahnya untukmu”. Oh, kau memang pintar dan baik hati sobat”, kata Wo’u, padahal ia tidak mengetahui rencana jahat temannya untuk menghabiskan buah dari pohon-pohon pisang itu. Lalu ia mempersilahkan temannya Wolai untuk naik ke pohon pisang itu. “Silahkan, silahkan naik”, desaknya. Wolai dengan gembira memanjat pohon pisang itu. Setelah tiba di atas pohon iapun segera memulai rencana jahatnya, ia mulai memetik buahnya. Dikupasnya sebuah dan dimakannya. Kulitnya dilemparkannya ke bawah dan jatuh di kepala Wo’u yang berada di bawah pohon pisang itu. “Aduh”, teriak Wo’u. “Hai, jangan makan sendiri, jatuhkanlah sedikit untukku” teriaknya kepada Wolai yang mulai asyik menikmati buah pisang itu. “Tunggu dulu kawan, saya masih mencicipinya, apakah sudah masak betul atau belum”. begitulah jawab Wolai kepada Wo’u. Lalu dijatuhkannya lagi kulit pisang ke tanah. Makin lama makin banyak buah pisang yang dimakan si Wolai sehingga Wo’u menjadi penasaran mengapa tidak ada buah pisang yang diberikan Wolai kepadanya, maka ia pun segera mengetahui bahwa Wolai telah mencuranginya.
Karena Wolai keasyikan makan di atas pohon, Wolai tidak melihat bahwa Wo’u sudah mematok beberapa buluh (bambu) tajam di bawah pohon pisang itu dan menutupinya dengan rerumputan. Setelah selesai mematok buluh di sekitar pohon pisang itu, berkatalah Wo’u kepada Wolai “Hai sobat, kalau kau sudah kenyang, tidak usah bersusah payah untuk turun, lompat saja ke “kasur” yang saya buat ini, agar kau dapat segera mengaso”. “Baiklah sobat, kau benar-benar teman sejati” jawab Wolai kepada Wo’u dengan senang.
Dalam hati si Wo’u berkata “Rasakan nanti akibat dari ketamakanmu”. Begitulah, setelah Wolai merasa kenyang, ia tidak berpikir panjang lagi, ia segera melompat ke gundukan rerumputan yang ditunjuk oleh Wo’u, dan…”Aduuuuh”. Wolai pun kesakitan karena badannya tertusuk bambu/buluh yang tajam. Karena banyak darahnya mengalir Wolai itupun mati. Si Wo’u yang masih penasaran dan marah kepada Wolai segera menjadikannya santapan siang.
Tetapi setelah membunuh temannya sendiri timbullah perasaan bersalah pada diri Wo’u. Ia tidak berpikir untuk menegur Wolai terlebih dulu, ia merasa malu pada dirinya sendiri, bagaimana tidak ia telah membunuh seorang sahabat yang sangat dekat dengannya. Ia merasa kehilangan, suatu perasaan yang belum pernah dialami oleh Wo’u, karena selama ini ia dan Wolai saling berbagi suka dan duka bersama, tetapi mengapa sekarang ia membunuhnya? Wo’u tidak mengerti. Apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Lagi pula ia masih marah dan jengkel kepada Wolai, dan ia berusaha melupakan Wolai untuk selamanya. Kejam memang, tetapi tak ada jalan lain bagi Wo’u untuk melampiaskan kekesalannya terhadap Wolai, maka iapun memasak Wolai.
Kebetulan teman-teman Wolai yang datang dari gunung mampir di rumah Wo’u. Mereka bertanya : “Hai Wo’u, apakah kau melihat teman kami? “Mana aku tahu, sudah beberapa hari ia tidak datang. Tapi mari masuk, kebetulan aku baru selesai memasak aku punya resep istimewa kali ini mungkin kalian sudah lapar. Kawanan Wolai pun masuk ke rumah Wo’u dan duduk di meja makan dengan gembiranya. Karena sudah berjalan jauh, perut merekapun keroncongan. Apalagi bau masakan Wo’u yang mengundang selera makan mereka. Sementara mereka makan si Wo’u terkekeh-kekeh di belakang rumahnya. Ia menertawakan kawanan Wolai yang memakan temannya sendiri. Ia pun bersembunyi di bawah lesung kayu yang besar. Tiba-tiba ketika mereka sedang asyik makan, seekor Wolai melihat bahwa potongan daging yang mereka sedang nikmati itu ternyata adalah penggalan tangan Wolai sahabat mereka yang selama ini mereka cari. Segera ia berteriak : “Astaga, kita telah memakan teman kita sendiri”. “Lihatlah ini!” katanya dengan keras sambil mengangkat penggalan daging yang masih menampakkan jari jemari teman mereka yang telah mati itu dari pinggan. Kawanan Wolai pun terkejut dan marah, kemudian mencari Wo’u. “Hai Wo’u dimana kau bersembunyi ?. Berani benar engkau mempermainkan kami” kata salah seekor kera dari kawanan Wolai itu. “Hai pembunuh kejam, dimana kau bersembunyi” ayo keluar dan mengakulah” sambung yang satu lagi. Akhirnya setelah mereka mencari-cari merekapun menemukan Wo’u di bawah lesung kayu sedang bersembunyi dengan gemetar. Mereka segera menangkap Wo’u dan membalikkan tubuhnya sehingga ia tidak berdaya lagi dan tidak mempunyai kesempatan untuk lari dari kawanan Wolai itu. Wo’u mulai ketakutan dan meronta-ronta minta ampun, tetapi tidak digubris sedikitpun oleh kawanan Wolai. Ia mencoba cara lain yaitu dengan menipu kawanan Wolai.
Pemimpin Wolai berkata kepada Wo’u : “kami akan mencincangmu Wo’u, karena engkau telah membunuh teman kami dan memasaknya”. Wo’u menjawab kepada kawanan Wolai itu dengan tenang, Baiklah, tetapi apakah tidak terpikir oleh kalian kalau aku merasa senang karena tubuhku akan menjadi lebih banyak”. Kawanan Wolai merasa kaget dan jengkel karena cara mereka dibantah oleh Wo’u dengan sikap mengejek, dan merekapun segera mengganti rencana mereka, lalu pemimpin dari kawanan Wolai itu berkata : “Kami rasa kamu benar dalam hal ini, sebab jika kami mencincangmu maka kau akan menjadi banyak. Wo’u yang mendengar ucapan pemimpin kawanan Wolai tertawa dalam hati, karena pemimpin kawanan Wolai yang dikiranya pintar itu ternyata bodoh sekali, sesuatu yang di luar dugaannya.
Lalu pemimpin kawanan wolai itu melanjutkan, katanya “kami akan memanggangmu Wo’u karena engkau telah memasak teman kami”. Tetapi jawab Wo’u dengan tenang tetapi pasti kepada kawanan Wolai itu :”Baiklah, aku malah akan menjadi hangat”. Lagi-lagi kawanan Wolai itu dibuat jengkel oleh Wo’u tetapi Wo’u hanya tertawa dalam hati melihat ketololan dari kawanan Wolai tersebut. Lalu kawanan Wolaipun mengganti rencana mereka : “Kami akan menggantungmu” kata mereka kepada Wo’u. “Baiklah, aku malah akan berayun-ayun” jawab si Wo’u dengan setengah mengejek. “Kalau begitu kami akan melemparmu ke sungai” kata kawanan wolai itu lagi. Mendengar rencana dari kawanan Wolai itu si Wo’u merasa senang karena dengan begitu ia akan mempunyai kesempatan untuk lari, lalu Wo’upun berpura-pura ketakutan. “Jangan, kasihanilah aku, aku tidak bisa berenang, nanti aku akan hanyut di bawa oleh arus”. Padahal ia sangat berharap bahwa mereka nanti akan melemparkannya ke air agar ia bisa berenang melarikan diri. Kawanan Wolai pun mulai mengerumuninya dan mengangkatnya secara bersama-sama lalu menghitung : “Satu, dua, tiga”’ dan si Wo’u pun dilempar ke air yang deras. Untuk beberapa saat Wo’u tenggelam. Tapi tak berapa lama ia muncul dari air dan mengangkat tangannya, melambai-lambai sambil berseru: “Selamat tinggal Wolai!, terima kasih atas kebodohan kalian”. Si Wo’u pun menyelam ke dalam air dan menghilang. Sementara itu, kawanan Wolai tertegun karena mereka merasa telah berlaku sembrono dan bodoh. Dengan langkah lesu mereka kembali ke gunung sambil membawa sisa tubuh teman mereka untuk dikuburkan. Mereka sangat menyesal karena tidak bisa menghukum si Wo’u, sebaliknya si Wo’u merasa dirinya bebas dari segala kekuatiran, tetapi ia sangat menyesal karena telah kehilangan seorang sahabat yang sangat dicintai dan dikasihinya.
Cerita ini mengandung nilai pendidikan yakni persahabatan sangatlah tinggi dan suci. Jika kita mencemarkan nilai dan kesucian suatu persahabatan maka kita adalah seorang pengkianat dan perusak sama dengan “Wolai” yang merusak nilai persahabatan dengan mengkhianati temannya Wo’u yang telah percaya kepadanya dan rela membantu dikala Wolai membutuhkan bantuannya. Betapa pentingnya saling pengertian antarsahabat. Kita tidak hanya merasakan arti dari persahabatan itu, tetapi juga merenungkan makna dari persahabatan itu sendiri.
Sumber : Naskah lomba penulisan cerita rakyat sulut BKSNT Manado, 1993/1994