Tari Mabbissu dan Fungsinya pada Masyarakat Pendukungnya
MABBISSU DANCE AND THE PURPOSE FOR IT’S SUPPORTING SOCIETY
Ansaar
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Alamat Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar
Telepon dan Faksimili: (0411) 865166
ABSTRACT
This research aims to elucidate the functional development of mabbissu dance for it’s supporting society. This research uses qualitative method and data gathering through depth interview, observation, dan literarture study, the result show that mabbissu dance is the main dance which can only performed by a bissu. The dance is in series with maggiri dance as the climax of the spectacle. The purpose of the dance also did not change significantly. As one of an traditional spectacle, it is interesting, and it is not shifting to become the commecialized arts, eventhough it’s exclusivity has been shifted into a spectacle for the whole society, and is enjoyed widely. Serious changes perceived in the lessening number of it’s performers which resulting mabbissu dance as something that now can be seen rarely.
Keywords: bissu, dance, purpose, ceremony
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan fungsi tari mabbissu pada masyarakat pendukungnya, khususnya di Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data melalui teknik wawancara mendalam, observasi, serta studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwatari mabbissu merupakan tarian utama yang hanya dapat diperagakan oleh seorang bissu. Tarian ini serangkai dengan pertunjukan tari maggiri yang menjadi puncak dari tontonan. Fungsinya sebagai sarana persembahan kepada Dewata juga tidak berubah secara signifikan. Sebagai salah satu jenis tontonan tradisional yang menarik juga tidak serta merta mengalami perubahan ke arah komersialisasi seni, walaupun eksklusifitasnya yang mulai bergeser menjadi tontonan rakyat yang dapat dinikmati secara lebih luas. Akan tetapi, semakin berkurangnya pelaku seni tarian ini pada akhirnya mengakibatkan semakin menurunnya pementasan tari mabbissu.
Kata kunci: bissu, tari, fungsi, upacara
Pendahuluan
Setiap daerah atau wilayah memiliki jenis kebudayaannya masing-masing. Tidak berbeda halnya dengan suku Bugis, mereka memiliki ragam dan kekhasan budayanya sendiri. Masyarakat Bugis mengenal beberapa jenis gender. Setelah adanya laki-laki, perempuan, calabai, dan calalai,dikenal pula adanya gender kelima yaitu bissu. Pelras (2006:190) memaparkan, calabai yang secara etimologis berarti ‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Sedangkan calalai yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah pperempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Brooke dalam Pelras juga mengungkapkan bahwa ada kecenderungan di kalangan orang tua anak laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak tersebut kepada salah seorang raja, di mana dia akan mengabdi. Biasanya, anak lelaki ini kemudian akan banyak berpengaruh dan menjadi orang kepercayaan tuan mereka. Sedangkan bissu merupakan transgender laki-laki dan perempuan, mengenakan pakaian layaknya perempuan namun tidak menghilangkan aspek maskulin dalam penampilannya. Transgender ini, atau lebih tepat jika dikatakan sebagai androgini, memiliki peran penting dalam perkembangan kebudayaan masyarakat Bugis sampai sekarang.
Sejarah adanya bissu tidak dapat dilepaskan dari mitologi To Manurungyang kisahnya terdapat dalam epos La Galigo. To Manurung, yang dalam segi bahasa bisa diartikan sebagai orang yang turun dari langit, namun dalam perkembangannya, to-manurung dapat pula bermakna sebagai orang luar yang datang dan menjadi agen pembaharu di suatu daerah. Diceritakan dalam epos tersebut bahwa dari tiga dunia yang ada, yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah, hanya dunia tengah sajalah yang belum berpenghuni. Kemudian Datu Patotoe sebagai penguasa dunia atas (kahyangan) bermusyawarah dengan penguasa dunia bawah yaitu Guru Ri Selleng, yang akhirnya memutuskan untuk menurunkan Batara Guru dari langit sebagai penghuni pertama dunia tengah. Batara Guru inilah yang kemudian dikenal sebagai to-manurung pertama. Beliaulah yang dianggap sebagai cikal bakal manusia pertama, Batara Guru turun ke dunia dengan menggunakan media bambu dan bunyi halilintar. Setelah beliau turun, kemudian disusul dengan diturunkannyaistana, selir, saudara sesusuan, inang pengasuhnya. Beliau kemudian menikah dengan sepupunya sendiri dari dunia bawah yang bernama We Nyili Timo dan hidup turun temurun di dunia tengah (bumi).Setelah kejadian tersebut, menyusul diturunkan pula dari langit bissu dan rombongannya, yang bernama We Sawammega dan tiba di daerah Letenriwu di lereng Gunung Latimojong. Diturunkannya We Sammenaga ini adalah atas usul Datu Patotoe kepada permaisurinya. Dia menganggap baik kiranya diturunkan pula dari langit, bissu ahli, agar merekalah nanti yang mempersiapkan kelengkapan upacara jika kelak anak menantu mereka hamil. Dari kisah inilah diyakini istilah bissu berawal dan menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan, (Makkulau, 2008:21-24).
Seorang bissu memegang peranan yang besar dalam upacara-upacara adat di daerah Bugis. Selain itu, golongan ini juga memiliki sebuah pertunjukan tari tradisional yaitu tari sere bissu maggiri, yang hingga saat ini, meski pelakunya sudah sangat sedikit, namun masih dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Kayam dalam Supriyatun (2014:1) menjelaskan kesenian sebagai salah satu unsur yang menyangga kebudayaan. Ia berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian sebagai penggerak dari kesenian memberi peluang untuk mencipta, bergerak, memelihara, menularkan dan mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru. Kesenian adalah suatu prasarana yang digunakan manusia untuk menciptakan ide dan kebudayaan salah satunya seni tari. Terdapat perbedaan antara kesenian tradisional dan moderen sebagaimana yang dikemukakan oleh Kussudiardjo dalam Supriyatun (2014:3) bahwa ciri-ciri kesenian rakyat adalah sifat sederhana baik segi gerak, iringan, pakaian, rias maupun temanya, biasanya dilakukan dengan spontan, tidak ada peraturan-peraturan tertentu, warna-warna yang digunakan sederhana pada umumnya, merah, putih dan hitam.
Segala bentuk kesenian, baik musik, tari, rupa, bahkan media, memiliki kegunaan atau fungsinya masing-masing, terlepas dari pengaruh yang diberikannya, apakah itu hanya berdampak pada individu yang menghasilkan kesenian itu sendiri, kelompoknya, atau kepada masyarakat secara luas. Dalam KBBI, dari segi sosial, fungsi diartikan sebagai kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat. Sedangkan, Sutarto dalam Rasyid (2008:29)menyebutkan fungsi sebagai rincian tugas yang sejenis atau erat hubungannya satu sama lain untuk dilakukan oleh seorangpegawai tertentu yang masing-masing berdasarkan sekelompok aktivitas sejenismenurut sifat atau pelaksanaannya.
Berdasarkan pengertian tersebut, kita dapat melihat bahwa setiap bagian yang terikat dalam struktur suatu kelompok masyarakat, baik individu maupun perangkat-perangkat budaya yang mengikutinya, memiliki fungsinya masing-masing, yang mana setiap bagian tersebut menjalankan aktivitasnya sesuai fungsinya sehingga tercapai suatu tatanan sosial yang seimbang dan selaras. Sama halnya dengan tari mabbissu, yang tidak hanya menjadi pelengkap estetika semata, tarian ini adalah suatu produk budaya dan telah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari kultur masyarakat Bugis, dan memiliki fungsinya sendiri dalam masyarakat.
Supardjan dalam Supriyatin (2014:11) mengemukakan mengenai fungsi tari tradisional yang juga membaginya menjadi tiga bagian yaitu: 1) Tari sebagai sarana upacara Fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan atau mengusirnya, demi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat; 2) Tari sebagai sarana hiburan atau pergaulan Tari ini memiliki tujuan sebagai hiburan. Tari hiburan dimaksudkan untuk memeriahkan atau mengkaitkan keakraban pertemuan, atau untuk memberikan kesempatan serta penyaluran bagi mereka yang mempunyai kegemaran akan menari; 3) Tari sebagai pertunjukan, bertujuan untuk memberi hidangan pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh tanggapan dari penontonya. Sejalan dengan hal itu, Sumandiyo dalam Widayati (2012:13) mengemukakan lima fungsi tari yaitu: (a) Tari sebagai keindahan,Tujuan seni yang utama tidak lain hanyalah mengenai keindahan. Bahkan keindahan itu seolah-olah harus ada dalam seni termasuk seni tari. Karena seni tari selalu dihubung-hubungkan dengan unsur keindahan; (b)tari sebagai kesenangan, sebagaimana keindahan, kesenangan juga merupakan sifat relatif bagi manusia. Kesenangan terletak pada hubungan yang terdapat antara obyek dengan manusia. Sehubungan dengan hal itu, biasanya orang merasa senang karena obyek keindahan dapat ditangkap memenuhi selera; (c) tari sebagai sarana komunikasi, pada hakikatnya semua seni termasuk seni tari bermaksud untuk dikomunikasikan. Seni tari juga mempunyai keistimewaan yaitu berupa ekspresi manusia yang akan menyampaikan pesan dan pengalaman subyektif si pencipta atau penata tari kepada penonton atau orang lain; (d)tari sebagai sistem symbol, tari sebagai system simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konvensional digunakan bersama, teratur dan benar-benar dipelajari sehingga memberi pengertian hakikat manusia yaitu suatu kerangka yang penuh dengan arti untuk mengorientasikan dirinya kepada orang lain; dan (e) tari sebagai supraorganik, gejala supraorganik adalah semua yang ada dibalik aktifitas dan artifaknya. Gejala seperti itu sifatnya lebih abstrak dan bersifat lebih tak teraba. Maksudnya bahwa fenomena supraorganik hanya dapat dikatakan akan tetapi tidak dapat ditunjukkan mana wujud dan fenomenanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa selain sebagai sarana mengekspresikan keindahan, terdapat tiga fungsi utama dari sebuah pertunjukan tari tradisional, yaitu sebagai sarana ritual, hiburan, dan pertunjukan. Suatu pementasan seni tari, dapat memberikan rasa kepuasan tersendiri bagi pelaku seni dan penikmatnya. Dewasa ini, pertunjukan tari tradisional juga mengalami perkembangan yang signifikan, terlihat dari munculnya beragam tari kreasi yang meletakkan akarnya pada pijakan gerak dari tari tradisional, serta pergeseran fungsi tarian dari ritual kepada pertunjukan tari profan, yang tidak lagi menjadikan tari sebagai wadah spiritualisme, namun lebih bernilai ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, pergeseran-pergeseran makna serta fungsi dari sebuah pertunjukan kesenian, memang tidak dapat dielakkan. Tidak adanya pihak yang dapat melegitimasi sebuah jenis pertunjukan tradisional, esensi dan orisinalitasnya, membuat perkembangan sebuah tari menjadi suatu hal yang mutlak terjadi. Dalam halnya dengan pertunjukan tari mabbissu, untuk melihat perkembangan yang dialami oleh tari mabbissu, kita dapat melihat dari sejauh mana fungsi pementasan tarian tersebut mengalami pergeseran.
Pembahasan
Bissu: Fungsi dan Peranannya
Kata bissu dianggap berasal dari kata bessi yang berarti bersih, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suci, tidak haid, atau tidak berdarah. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata bhiksu atau pendeta dalam agama Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh Pelras (2006:68) sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Bissu dianggap sebagai orang yang menjadi penghubung antara dewa langit dengan manusia bumi. Dia menjadi pendeta agama Bugis kuno, pemimpin upacara adat yang ada di masyarakat Bugis, seperti upacara Mappalili dan Mattemmu Taung di Kab. Pangkep. Untuk menjadi bissu memang dipersyaratkan sebelumnya harus berasal dari wadam, juga harus ada panggilan spiritual dan ketekunan mendalami ilmu kebissuan.
Puang Upe, dikenal sebagai Puang Lolo Bissudi Segeri, Kab. Pangkep yang menggantikan peran Puang Matowa Saidi setelah beliau mangkat pada 2010. Karena usia yang tidak lagi muda, kondisi kesehatan beliau juga semakin menurun. Salah satu atraksi terkenal beliau saat menarikan tari maggiri (pertunjukan lanjutan dari tari mabbissu) adalah dengan berani menusukkan keris ke matanya. Beliau pernah menyatakan, sebagaimana dikutip dalam laman resmi National Geographic bahwa tidak semua orang bisa menjadi bissu. Biasanya yang menjadi bissu akan mendapatkan panggilan gaib lewat mimpi. Setelah mendapat bisikan ini, orang tersebut harus melapor pada pemimpin bissu atau puwang matowa untuk ditahbiskan. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk menjadi seorang bissu bukanlah sesuatu yang bisa dibuat-buat, tapi murni panggilan jiwa. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Puang Lolo, yang bernama lengkap Muh. Basri Bolle Patongai, S.Sos.,seorang bissu yang berdomisili di Kab. Sinjai.Panggilan untuk menjadi bissu muncul di dalam dirinya, hingga akhirnya pada tahun 2008 secara resmi dia dilantik untuk menjadi bissu oleh Puang Matowa (bissu yang dituakan) dari daerah Pangkep. Peran baru yang disandangnya yaitu sebagai bissumembuatnya dipercaya menjadi pemimpin berbagai upacara adat di daerah ini diantaranya adalah upacara Ma’rimpa Salo dan Mappogau Sihanua. Di umurnya sekarang (47 tahun) dia juga masih menarikan tari mabbissu di daerahnya.Dia mengungkapkan bahwa dulunya dia memang sering mengenakan pakaian perempuan, hingga pada suatu hari dia melihat sebuah cahaya dalam mimpi yang lalu menguatkan hatinya dan memutuskan untuk menjadi seorang bissu.
Seseorang yang hendak menjadi bissu biasanya menemui tanda-tanda tertentu dalam dirinya. Seperti melalui mimpi, sering melihat kilatan cahaya, atau yang lainnya. panggilan spiritual ini tidak bisa direkayasa, dan Puang Matoa sebagai bissu yang dituakan yang berhak melantik seseorang menjadi bissu, biasanya mendapatkan semacam isyarat mengenai akan datangnya calon bissu yang akan magang di tempatnya. Seorang yang akan dilantik menjadi bissu diwajibkan berpuasa selama sepekan hingga empat puluh hari dan menjalankan berbagai ritual yang menjadi syarat bagi seseorang untuk menjadi bissu.
Seorang bissu dianggap sakti karena melalui pertunjukan tarian mabbissunya yang dilanjutkan dengan tarian maggiri, mereka melakukan aksi menusuk-nusukkan senjata tajam ke badannya namun yang bersangkutan tidak luka atau kebal tidak termakan senjata. Selainitu bissu juga berperan sebagai perantara penyelenggara upacara sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan yang dicapai.
Nurlina (1996:34) menjelaskan beberapa golongan bissuadalah:
- Bissu Tanre (tinggi), dalam hal ini pengetahuannya dianggap yang tinggi, dan mereka muncul pada upacara turun ke sawah (upacara palili). Jumlah mereka ada 40 orang.
- Bissu Poncok (pendek) terdiri dari 6 orang setiap kelompok, mereka turun pada pesta kerajaan, serta melepaskan nazar.
- Bissu Core-core, pada umumnya dimunculkan pada upacara-upacara seperti:
- Mallangi arajang, membersihkan arajang(benda pusaka kerajaan) peperangan, wabah penyakit, dan musim kemarau.
- Maccera arajang, ialah pengorbanan hewan.
- Mattoana arajang, ialah memberi sesaji kepada
- Inang Bissu, yaitu perwira bissu, bertugas untuk mengobati orang-orang sakit (dukun).
- Kuneng Lolo, tidak ikut menari tetapi duduk pada waktu upacara, bissuini adalah keturunan bangsawan.
- Bissu Lolo, yaitu prajurit bissu.
Nurlina (1996:8) juga menyebutkan secara umum peranan dan fungsi sosial bissudalam masyarakat yang dipaparkan sebagai berikut:
- Pemelihara, perawat, dan pembawa arajang. Arajang yang saat ini hanya merupakan benda peninggalan kerajaan. Sesungguhnya adalah simbol kekuasaan di masa lalu yang dipergunakan oleh penguasa yaitu raja. Benda-benda itu merupakan persyaratan untuk semua kekuasaan dan kewenangan, dengan kata lain pemilikan benda itu berhubungan dengan kekuasaan yang sah dan lambang kedudukan bagi yang melakukan kekuasaan, yang menjadi jaminan legitimasi. Maka dari itu, hanya para bissu saja yang dapat memegang dan sekaligus sebagai penanggung jawab arajang.
- Pemimpin upacara ritual. Dalam melaksanakan upacara ritual, khususyang berhubungan dengan para leluhur, juga termasuk tugas para bissu. Masyarakat percaya bahwa hanya bissu yang mampu berkomunikasi dengan leluhur mereka, dan menjembatani antara ‘kekuatan yang ada di atas dengan dunia bawah’. Dengan semakin menyebarnya pengaruh Islam, maka tugas-tugas tersebut perlahan-lahan memudar. Meskipun demikian, pada upacara-upacara tertentu seperti upacara tanam dan panen padi, peranan bissu sebagai pemimpin ritual masih tetap dipertahankan dalam tata cara tradisional.
- Sanro(dukun). Menyembuhkan penyakit, juga termasuk tugas bissu, terutama pengobatan dengan menggunakan mantera-mantera.
- Guru bagi orang-orang yang akan menikah. Sampai saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan hubungan perkawinan antara sesama anggota keluarga yang masih mempunyai pertalian darah, baik dari garis keturunan ayah maupun dari gari keturunan ibu. Perkawinan yang dipandang ideal dalam masyarakat Bugis Makassar adalah perkawinan antar sepupu dari kedua orang tua. Setiap perkawinan dilakukan menurut tatacara yang diatur oleh adat, mulai dari menentukan jodoh sampai pada pembentukan rumah tangga baru. Adat tata kelakuan berkeluarga menuntut setiap anggota keluarga mematuhi dan mentaatinya serta bertanggung jawab untuk mempertahankannya, karena itu merupakan norma-norma yang suci. Adat tata berkeluarga meliputi:
- Tata sopan santun keluarga, baik kepada suami, ipar, mertua, serta sanak famili pihak suami lainnya;
- Menyangkut pengambilan peran dalam hubungan hak dan kewajiban dalam hidup berumah tangga;
- Tata cara dalam pergaulan suami istri.
Bissu tidak saja menjadi pemimpin utama atas ritual adat, namun lebih dari itu, mereka memiliki peran penting dalam masyarakat pendukungnya sebagai orang yang dipercayakan menjadi penghubung atau shaman antara warga biasa dengan Dewata Seuwwae atau Tuhan dalam kepercayaan mereka, yang oleh karenanya menuntut perangai atau perilaku yang baik demi menjaga kredibilitas atas peran yang mereka sandang.
Tari Mabbissu
Tari mabbissu adalah sebuah tarian yang dipertunjukkan oleh seorang bissu. Tarian ini dikenal pula dengan nama tari maggiri.Tari maggiri merupakan kelanjutan dari tari mabbissu itu sendiri dan menjadi puncak dari pementasan tarian ini.Maggiridapat diartikan mengiris atau menusukkan keris ke tubuh bissu, terutama ke daerah-daerah yang vital seperti leher, perut, dan pergelangan tangan.Para bissu yang melakukan pertunjukan tarian ini dianggap kemasukan roh dan mendapat kemampuan kebal pada senjata tajam. Tari mabbissu biasanya dipentaskan pada saat dilaksanakan upacara adat seperti mappalilidi Kab. Pangkep. Tarian ini dapat dilakukan sendirian, dan bisa pula dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang bissu. Tari mabbissu ini sarat dengan nuansa mistis dan memiliki keunikan tersendiri yang membuatnya menarik untuk disaksikan.
Sebelum memulai menari, terlebih dahulu seorang bissu mengganti pakaiannya dengan pakaian tari bissuyang pada umumnya berwarna kuning keemasan dengan dilengkapi berbagai aksesoris yang lazimnya dikenakan oleh perempuan. Selain itu mereka juga menyiapkan beberapa peralatan pendukung seperti wadah/baskom berisi air, beberapa helai daun-daunan, gendang, dan keris. Adapun gerakan-gerakan yang dilakukan dalam tari mabbissu adalah sebagai berikut:
Setelah berganti pakaian dan melakukan ritual awal sebelum menari yaitu membaca doa khusus (mantra), seorang bissudianggap sudah siap untuk memulai tarian, dan dengan diawali bunyi gendang pertama yang dipukulkan oleh pa’ganrang (penabuh gendang) sebagai tanda dimulainya tarian ini, bissu yang membawa alusu (perlengkapan tarian) akan melangkah masuk ke arena pertunjukan dengan menginjak kain putih yang terbentang. Abbissungeng (hal-hal yang berkaitan dengan bissu)selalu identik dengan bunyi-bunyian seperti gendang, pada saat diadakannya suatu hajatan berbagai bunyi-bunyian gendang yang ditabuh akan diperdengarkan dengan beragam nada yang dimainkan, ada yang terdengar pelan dan adapula yang cepat, disesuaikan dengan kebutuhan ritual.
Selanjutnya bissu akan melangkah perlahan, selangkah demi selangkah, dengan gerakan kaki yang pelan dengan diiringi alunan gendang yang makin lama semakin kuat terdengar. Alusuyang dibawanya akan digoyangkan perlahan-lahan, dan menimbulkan suara-suara kecil, meskipun suara alusu tersebut nyaris tidak terdengar karena tenggelam dalam suara gendang yang ditabuh cukup keras. Bunyi-bunyi yang terdengar dari alusu bertujuan agar apabila kita berdoa, doa yang kita panjatkan selalu didengarkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Jadi bunyi-bunyian tersebut dapat dianggap sebagai pengantar jalannya doa.
Demikianlah seorang bissu akan terus bergerak dan berputar-putar secara perlahan di tengah tempat pertunjukan tarian tersebut. Setelah beberapa menit bergerak dan membunyikan alusu, tak lama kemudian bissu mulai meletakkan alusu yang dibawanya ke lantai, lalu mulai mengambilalameng. Semua gerakan yang dilakukannya adalah sangat pelan dan nampak hati-hati sekali. Alamengadalah sejenis pedang khusus yang digunakan oleh bissudalam menarikan tari mabbissuini. Alameng yang masih terbungkus dengan sarungnya dipegang dengan kedua tangannya lalu diangkat-angkat ke atas kepalanya.Kemudian perlahan-lahanbissu menurunkan badannya seperti posisi orang yang hendak berlutut, lalu mulai mengeluarkan alameng dari sarungnya dan memulai lagi menari-nari bersama alameng tersebut dengan tangan kanannya memegang sarung alameng, sedangkan tangan kirinya memegang alameng itu sendiri.
Bissu terus bergerak-gerak dengan alamengnya, dan melakukan beberapa gerakan-gerakan tertentu, seperti mengacungkan alameng ke arah depan, dan bahkan mencium alamengnya. Setelah itu, alameng akan dimasukkan kembali ke dalam sarungnya dan diletakkan di tempat semula. Bissu kemudian mengambil alusu dan kembali menari-nari dengan membawa alusu dengan kedua tangannya. Dia bergerak pelan dengan gerakan yang sedikit berputar, sambil menaik turunkan alusu yang dibawanya.
Setelah menari-nari dan bergoyang-goyang beberapa saat, alusukemudian diletakkan di lantai, dan bissukembali bergerak-gerak dan menari-nari sendiri mengikuti irama gendang. Gerakan-gerakan tari yang dibawakannya memang terlihat feminin, sangat lembut dengan gerakan yang agak lamban, menggoyang-goyangkan badannya sedemikian rupa, dengan sedikit mengangkat kain sarung yang dipakainya dia terus bergerak, hingga akhirnya kembali ke posisi seperti sedang berlutut. Keadaan berlutut seperti itu dianggap sebagai posisi menghormat, dan setelah dalam posisi tersebut, irama bunyi gendang yang ditabuh pun berhenti. Bissu menghentikan tariannya, lalu kedua tangannya dihadapkan ke arah atas, bawah, ke samping kiri, dan kanan. Hal itu dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada empat inti alam yaitu air, angin, api, dan tanah. Bissu kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke arah atas seperti orang yang sedang berdoa, lalu terdengar suara bissu dengan cukup lantang mengucapkan sesuatu, yaitu ucapan tertentu yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tak lama setelah itu, bissu mulai mengalami keadaan trans dan berada di bawah pengaruh alam bawah sadarnya. Keris yang terselip di balik ikat pinggangnya diambil dan dikeluarkan dari sarungnya. Keris mula-mula dipandanginya dengan penuh konsentrasi, lalu secara tiba-tiba keris itu mulai diiris-iriskan ke tangannya namun anehnya keris itu seperti tidak berfungsi sama sekali, tidak ada luka gores dan tangan bissu tidak mengeluarkan darah sedikitpun.
Gendang pengiring terdengar semakin kencang, sambil terus bergerak-gerak menari bissu pun mulai menusuk-nusukkan keris tersebut ke bagian-bagian tubuhnya yang lain. Dimulai dari tangan, lalu ditusukkan ke nadi yang ada di pergelangan tangan, kemudian leher, dan yang terakhir adalah bagian perutnya sebelah atas. Semua tusukan yang dihunjamkannya sangat kuat dan ditekan begitu keras dan berlangsung cukup lama. Layaknya seorang bissu saat menarikan tarian mabbissu ini memiliki ilmu kebal senjata tajam, dan terlihat seperti atraksi yang biasa dilakukan dalam debus.
Setelah beberapa saat melakukan atraksi tusuk-tusukan keris tersebut, bissu mulai memperlambat gerakannya dan mulai bergerak mundur ke tempat dia mulai melangkah masuk sebelum menari. Sesampainya di tempat awal, bissu menghadap ke arah baskom yang telah berisi air dan beberapa helai daun-daunan yang dipetik sesaat sebelum menari. Bissu kembali dalam posisi berlutut dan mengacungkan kerisnya ke atas sebagai penghormatan yang terakhir kalinya. Dia kemudian memasukkan keris ke dalam sarungnya lalu mengambil alameng dan beberapa helai daun yang sudah basah dari dalam baskom, kemudian memercikkan airnya ke berbagai arah, sambil tetap melakukan gerakan-gerakan dalam tari mabbissu. Selesai memercikkan daun yang basah tersebut menandakan prosesi tarian mabbissu ini pun telah selesai dilakukan. Wajah bissu yang melakukan tarian ini basah oleh keringat mengingat lamanya tarian ini dilakukan. Seiring berakhirnya tarian mabbissu ini, badan bissu kembali ke keadaan semula sebagaimana manusia biasa atau, tidak kebal lagi terhadap keris, yang tentunya jika ditusukkan akan menyebabkan luka serius pada tubuh siapapun.
Perlengkapan Tari Mabbissu
Adapun perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan oleh seorang bissudalam memperagakan tarian mabbissu ini selengkapnya dapat dilihat pada paparan berikut:
- Pakaian bella-dada
Pakaian yang digunakan oleh bissu adalah pakaian khusus yang disebut dengan pakaian bella-dada seperti terlihat pada gambar, dari mulai penutup kepala hingga celana panjang yang berwarna kuning. Busana yang dikenakan biasanya berbahan halus. Menurut informan kami, pakaian bissu zaman dahulu kainnya terbuat dari sutra yang bertekstur sangat halus, berbeda dengan pakaian yang dibuat pada zaman sekarang. Seorang bissu mengenakan penutup kepala yang disebut passapu yang diatasnya diberi hiasan berupa bunga patambali dan pinang goyang yang biasanya terbuat dari kertas berwarna hijau, kuning, dan merah. Hal ini melambangkan bahwa seorang bissu sangat mengagumi dan menghargai keindahan alam yang telah diciptakan oleh Tuhan. Terdapat selendang yang diikat melingkar di pundak kirinya hinggake pinggang sebelah kanannya yang disebut dengan pakambang, dan juga pabbekkeng (ikat pinggang), selain sebagai pelengkap busana juga difungsikan sebagai tempat untuk menyelipkan keris. Selain baju bella-dada yang berupa baju atas dan sebuah celana, bissujuga menutup kembali celana dengan lipa sabbe (sarung sutra) yang dikenakan dari pinggang hingga pertengahan betis.
- Alusu
Alusu secara harafiah berarti yang halus. Alusu adalah perlengkapan yang cukup penting bagi seorang bissu dan berbentuk seperti sebuah tabung yang agak besar. Alusu ini terbuat dari kayu, kemudian dibungkus dengan balutan anyaman daun lontar yang berbentuk seperti sisik buaya, artinya bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki sisik tersendiri. Pada ujung bawah alusu, terdapat beberapa ekor yang juga terbuat dari anyaman daun lontar. Saat digunakan oleh bissu, alusu ini digoyang-goyangkan terus saat menari dan akan menimbulkan bunyi-bunyian tersendiri karena di dalamnya terdapat butiran-butiran kecil yang mengeluarkan bunyi saat bergesekan dengan kayu alusu. Bunyi-bunyian ini dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada Yang Maha Kuasa. Bentuk alusu dapat dilihat pada gambar berikut.
- Kain talattu
Kain talattu adalah kain putih yang cukup panjang dibentangkan sebagai jalan yang akan dilalui seorang bissu dalam menari, dan sekaligus menjadi alas untuk meletakkan alameng, alusu yang dibawa tidak langsung menyentuh lantai, karena akan dipergunakan beberapa kali dalam proses menarikan tari mabbissu. Kain putih ini sendiri, jika dilihat lebih seksama akan nampak seperti kain kafan yang dipakai dalam membungkus jenazah bagi seorang muslim. Putih disini melambangkan kesucian.
- Alameng
Alameng adalah sejenis pedang khusus yang sedikit lebih panjang daripada keris yang juga digunakan bissu sebagai pelengkap pertunjukan saat menarikan tari mabbissu. Alameng ini diidentikkan dengan naga. Gagang dan sarungnya terbuat dari kayu, ditata dengan balutan emas atau perak. Mata pedangnya terbuat dari besi, dan berukirkan kaligrafi Islam (konon ukiran ini dibuat sebagai adaptasi setelah masuknya pengaruh Islam di daerah ini). Alameng bukanlah alat yang digunakan dalam mabbissu (menusuk) badan bissu.
- Keris kebesaran (sapukala)
Keris inilah yang menjadi inti dari pertunjukan tari maggiri. Kerislah yang digunakan menusuk-nusuk badan bissu. Keris yang digunakan agak berbeda dengan keris yang berasal dari daerah Jawa, karena keris ini tidak berliku tajam, meskipun juga tidak cukup lurus, dan dapat dilihat pada gambar berikut.
- Gendang
Gendang adalah salah satu alat musik yang digunakan dalam tari mabbissu. Sebelum seorang bissu memulai menari, gendang pertama kali harus ditabuh sebagai pertanda dimulainya pertunjukan tarian ini.
- Gong
Gong adalah salah satu instrumen bunyi yang dipakai dalam pementasan tari mabbissu. Gong yang digunakan adalah gong seperti pada umumnya. Memiliki badan berbentuk bundar dan sebuah alat pemukul. Badan gong biasanya terbuat dari bahan logam yang ditengahnya terdapat bahagian yang agak menonjol sebagai tempat untuk memukul gong tersebut.
- Pui’pui’
Pui’-pui’ merupakan alat musik yang dipakai dalam pertunjukan tari mabbissuselain gendang dan gong. Pui’-pui’ adalah sejenis alat musik tiup yang mirip dengan seruling dengan bentuk seperti tabung kecil yang memiliki lubang-lubang pengatur nada. Diujung alat ini dibuat lebih besar daripada badan tabung. Bunyi nada yang dikeluarkannya terdengar cukup besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar.
- Perlengkapan lainnya
Terdapat beberapa asesoris sebagai perlengkapan busana lainnya yang biasa digunakan oleh seorang bissu, seperti potto naga (gelang naga), kalung, tas bissu (biasanya terbuat dari emas), tongkat kecil, penutup ikat pinggang. Selain itu juga perlengkapan baskom yang telah diisi air dan daun-daunan, seperti yang terlihat pada gambar berikut ini.
Tari Mabbissu, Fungsinya Dulu dan Saat Ini
Tari mabbissu telah memberikan kita sebuah pertunjukan tari yang luar biasa. Selain sebagai salah satu warisan tradisi dari leluhur masyarakat bugis, tarian ini juga memberikan sebuah pemandangan ritual yang berbau religius-magis. Ada banyak nilai-nilai non-materiil yang dapat diambil yang tentunya bermanfaat bagi perkembangan spiritual bagi siapapun yang menyaksikan pertunjukan tarian ini, terlepas dari ikatan keagamaan yang dianut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tari mabbissu tidak dapat dilepaskan oleh pelaku tari tersebut, yaitu seorang bissu. Tarian ini memiliki unsur magis dan religius dalam pementasannya. Terdapat beragam bacaan atau mantra-mantra pujian kepada Dewata yang hanya diketahui oleh para bissu, atau meskipun diketahui oleh masyarakat umum, namun mereka tidak memegang legitimasi sebagai orang yang berhak mengucapkan mantra tersebut apalagi meragakan tarian mabbissu.
Dari mulai gerakan-gerakan tarian yang cukup feminin dengan langkah-langkah gemulai sebagaimana layaknya seorang perempuan dalam bergerak, berbagai peralatan dan perlengkapan yang dipergunakan oleh bissu dalam menarikan tarian ini juga memiliki makna-makna tertentu yang bisa kita pahami dengan mudah. Diantaranya kain putih yang digunakan sebagai alas yang dilalui oleh bissu saat menari, yang melambangkan kesucian dan kebersihan diri manusia seutuhnya, bahwa manusia tidak hanya dituntut untuk membersihkan raganya saja, akan tetapi jiwa yang bersih dan putih yang seharusnya selalu mendasari manusia dalam melakukan segala gerakan-gerakan kehidupan sepanjang perjalanan usia manusia di dunia ini.
Salah satu hal yang paling menonjol adalah penghargaan tinggi yang diberikan oleh seorang bissu kepada keindahan alam yang disimbolkan melalui lambang bunga yang diselipkan pada topi yang dikenakannya. Pengagungan yang besar kepada Sang Pencipta, ditunjukkan dalam gerakan-gerakan dan rapalan doa ataupun pujian. Perannya sebagai penghubung antara manusia biasa dengan dewa-dewa, masih tetap dapat disaksikan dalam pementasan tari mabbissu saat ini. Gerakan yang tidak teratur dapat kita lihat saat bissu itu sudah masuk ke wilayah transnya dan bergerak tidak lagi atas kehendaknya sendiri. Freud dalam Putri (2008:21) mengemukakan dasar skematis dalam jiwa individu terbagi atas tiga bagian yakni alam sadar (conscious) yang mengandung hal-hal yang disadari, alam pra-sadar (pre–consious) yang berisi memori yang dapat diingat kembali di alam sadar dengan sedikit upaya, dan alam bawah sadar (unconscious) yang menjadi tempat bagi keinginan, hasrat, pikiran, dan emosi dalam diri individu yang tidak dapat muncul dalam kesadarannya, baik karena menyakitkan ataupun keinginan yang terpendam. Freud sendiri sangat menekankan keberadaan alam bawah sadar karena kendati tidak disadari, alam bawah sadar ini justru mempengaruhi sebagian besar tingkah laku si individu. Tarian yang ditampilkan oleh seorang bissu, melalui gerak gerik yang tidak lagi teratur, dapat merupakan bentuk kesadaran yang telah diambil alih oleh dorongan tingkah laku yang terpendam di alam bawah sadar seorang bissu.
Secara logika, keris yang digunakan untuk menusuk-nusukkan badan bissu seharusnya dapat menimbulkan luka dan pendarahan, namun apa yang telah disaksikan sendiri oleh penulis bahwa tubuh bissu tersebut tidak mendapatkan luka sedikitpun, pun luka gores sama sekali tidak ada. Perlu diperhatikan di sini, apakah kekebalan yang dimiliki, adalah benar karena ilmu supranatural, atau sekadar kebutuhan pementasan semata. Kesaktian para Bissu yang tidak termakan senjata tajam ini juga dapat kita temukan dalam cerita Arung Palakka pada tahun 1667, yang pada saat itu melakukan penyerangan ke Lamatti di Bone Selatan bersama para pasukan dari Soppeng. Para bissu daerah Lamatti yang hanya bermodalkan walida (pemukul tenun) tidak mendapatkan luka sedikitpun dari senjata para prajurit Arung Palakka.
Tari merupakan sebuah seni ekspresi jiwa manusia terhadap berbagai hal yang dilihat dan dirasakannya dan diwujudkan dalam gerakan-gerakan tertentu yang harmonis. Tari juga dapat menjadi bentuk ritual manusia kepada sang pencipta. Perpaduan simbolisasi maskulinitas dan feminitas yang terintegrasi dalam pertunjukan tari mabbissu membuat tari ini menjadi sarat makna dan nilai-nilai positif. Selain itu, alam raya atau kosmos yang dipuja sebagai pihak yang memberikan manfaat kepada manusia, mengharuskan manusia untuk selalu mengapresiasi alam semesta, berterima kasih dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadapnya.
Tari mabbissu mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai sarana upacara, menjadi bagian dalam upacara adat seperti mappalili di Kab. Pangkep, dan tontonan. Pada kenyataannya, kehidupan tari mabbissu dewasa ini memang terkait dengan kedudukan tari tersebut dalam masyarakat. Kehadirannya di masyarakat tidak sekadar untuk tontonan, tetapi juga mencakup fungsi-fungsi lain yang dirasakan perlu dalam kehidupan masyarakatnya. Peranan penting mabbissu dalam kehidupan masyarakat, menyebabkannya tetap hidup dan berkembang sesuai zamannya (Nurlina, 1996:122).
Pertunjukan kebal senjata yang ikut diperagakan dalam tarian ini, selain mengundang decak kagum dari penonton, juga menjadi isyarat bahwa seorang bissu memiliki ilmu supranatural yang tidak biasa, yang membuat mereka bisa menari, yang konon tidak dalam keadaan sadar. Tarian ini memiliki daya pikat tertentu dan telah mengalami pelebaran fungsi tarian sebagai bentuk ritual semata menjadi sebuah tontonan yang dapat dinikmati oleh masyarakat luas,sehingga telah berperan pula dalam memberikan sumbangsih bagi perkembangan tarian yang ada di Sulawesi Selatan, khususnya bagi etnik Bugis, dan menjadi potensial untuk menunjang sektor pariwisata di daerah ini.
Bissu sudah menjadi bagian dari masyarakat Bugis sejak dahulu, diperkirakan sejak masa pra Islam. Namun sayangnya, memasuki era dekade 50-an, saat terjadi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang menuntut dijadikannya Islam sebagai sebuah ideologi, banyak bissu yang dibunuh dan perlengkapan serta peralatan yang mereka gunakan dibakar. Ritual-ritual yang mereka lakukan dianggap sebagai ’syirik’ dan tidak boleh dipertontonkan lagi. Kondisi pada saat Orde Baru juga sama buruknya, banyak bissu yang dituduh sebagai penganut paham komunis dan diharuskan untuk memeluk agama Islam yang murni dan kembali menjadi lelaki tulen. Muncul pula doktrin dalam masyarakat bahwa bagi mereka yang bersentuhan dengan para bissu akan mengalami kesialan selama 40 hari 40 malam. Penyebaran isu sektarian ini dapat memukul mundur peran besar yang telah diemban oleh seorang bissu selama ini.
Meskipun demikian, keberadaan bissu masih dapat bertahan hingga saat sekarang. Banyak masyarakat yang masih meyakini bahwa tanpa kehadiran bissu, hasil panen yang mereka peroleh menjadi berkurang, hal inilah yang membuat mereka kembali melakukan ritual adat dengan perantaraan bissu.Dan dengan memasukkan beberapa unsur-unsur islami membuat para bissudapat diterima oleh masyarakat dan sekaligus menghilangkan stigmatisasi ’syirik’atau menyekutukan Tuhan dalam konsep Islam, ke dalam ritual yang mereka kerjakan.
Monoharto dalam Makkulau (2008:63) mengungkapkan bahwa seni tradisional sere’ bissu sedikit telah mengalami perubahan yang ekstensif, sere’ bissu saat ini masih bisa tampil sebagai genre tari tradisional yang lebih adaptif terhadap lingkungan, sebagai bagian dari upacara Mappalili dan upacara adat lainnya. Kehadiran sere’ bissu dewasa ini, telah mengalami perubahan karena telah menjadi seni hiburan atau pertunjukan dalam kehidupan masyarakatnya. Berbagai peran yang dipegang oleh bissu saat sekarang, kurang lebih masih sama sifatnya dengan saat ini. Hanya saja, jumlah bissuyang semakin berkurang menyebabkan tari mabbissu pun sudah jarang dipertunjukkan.
Semenjak Puang Matowa (Bissu di daerah Pangkep) meninggal dunia pada tahun 2010, kelompok bissu yang dipimpinnya mulai mengalami kemunduran. Nurhayati dalam Makkulau (2008:81) menyatakan bahwa bissu tidak perlu direvitalisasi, karena mampu merevitalisasi dirinya. Pernyataan tersebut mengacu kepada adanya pewarisan ilmu, bahasa, dan kesaktian bissu kepada seseorang yang memang memenuhi syarat untuk menjadi bissu. Selain karena untuk menjadi seorang bissu haruslah merupakan panggilan jiwa yang benar-benar murni yang dialami secara khusus oleh seseorang, memegang peran bissu tidaklah mudah, karena dituntut untuk memiliki perilaku yang baik di mata masyarakat dan adat setempat, hal tersebut bisa berdampak kepada semakin berkurangnya orang yang memiliki ketertarikan untuk menjadi bissu. Meskipun kelompok bissu tersebut saat ini masih ada, namun eksistensi mereka mulai melemah. Seiring semakin berkurangnya jumlah bissu yang ada, maka pertunjukan tarian inipun semakin menurun. Oleh karenanya, hal tersebut tetap perlu mendapat perhatian yang cukup dari masyarakat pendukungnya agar keberadaan bissu dan tari mabbissunya tidak hilang begitu saja.
Penutup
Masyarakat Bugis telah mengenal adanya bissusebagai pihak yang memiliki peranan penting dalam ritual adat seperti upacara turun sawah atau mappalili. Mereka menjadi penghubung bagi masyarakat awam dengan Dewata Seuwwae (shaman). Dari segi bahasa, kata bissu dianggap berasal dari kata bessi yang berarti bersih, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah suci, tidak haid, atau tidak berdarah. Namun ada pula yang mengatakan bahwa bissu berasal dari kata bhiksu atau pendeta dalam agama Buddha, sebagaimana diungkapkan oleh Pelras (2006:68) sebagai salah satu bentuk pengaruh bahasa Sansekerta dalam bahasa Bugis. Bissu dianggap sebagai orang yang menjadi penghubung antara dewa langit dengan manusia bumi. Dia menjadi pendeta agama Bugis kuno, pemimpin upacara adat yang ada di masyarakat Bugis, seperti upacara Mappalili dan Mattemmu Taung di Kab. Pangkep. Untuk menjadi bissu memang dipersyaratkan sebelumnya harus berasal dari wadam, juga harus ada panggilan spiritual dan ketekunan mendalami ilmu kebissuan.
Tari mabbissu merupakan tarian utama yang hanya dapat diperagakan oleh seorang bissu. Tarian ini serangkai dengan pertunjukan tari maggiri yang menjadi puncak dari tontonan. Di dalamnya terdapat adegan mengiris dan menusuk-nusukkan keris ke bagian-bagian vital dari tubuh bissu. Namun ajaib karena mereka tidak mengalami luka sedikitpun. Pertunjukan ini serupa dengan debus yang berasal dari daerah Banten. Setelah membaca mantra-mantra tertentu, dan masuk ke wilayah transenden, mereka dapat dengan leluasa menghunjamkan keris ke tubuhnya tanpa merasa sakit.
Seiring dengan semakin berkurangnya orang yang memiliki panggilan untuk menjadi bissu, hal ini berbanding lurus dengan semakin menurunnya pementasan tari mabbissu. Meskipun kelompok bissu tersebut masih ada, namun jika tidak ada perhatian yang cukup, tidak tertutup kemungkinan keberadaan bissu dan tari mabbissunya dapat hilang begitu saja.
DAFTAR PUSTAKA
Fachruddin, Ambo Enre. 1999. Ritumpanna Welenrennge, Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Aminah, Hamzah. 1979/1980. Bissu dan Peralatannya. Makassar. Proyek Pengembangan Permuseuman Sulawesi Selatan.
Andaya. 2006. Warisan Arung Palakka. Makassar: Penerbit Ininnawa.
Lathief, Halilintar & Taba, Nurlina. 1994/1995. Seni Tari Tradisional di Sulawesi Selatan.
Monoharto, Goenawan., dkk. 2003. Seni Tradisional Sulawesi Selatan.
Makkulau, M. Farid. 2008. Manusia Bissu. Makassar. Pustaka Refleksi.
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Penerbit Nalar.
Nyonri, Syamsu Alam. 2009. Pangkep dalam Kearifan Budaya Lokal Upacara Ritual Mappalili/Appalili. Makassar. Pustaka Refleksi.
Nuraeda, Sitti., dkk. 2003. Data Aspek Kesenian Sulawesi Selatan (Hasil Pendataan tahun 2003). Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Selatan.
Putri, Herlin. 2008. Mimpi Tokoh Prior Walter: Sebuah Rekonseptualisasi Identitas Gay dalam Drama Angels in America Karya Tony Kushner. Universitas Indonesia.
Rasyid, Abdul. 2013. Fungsi dan Tugas Balai Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kenrja Indonesia (BP3TKI) di Kota Makassar. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Supriyatun. 2014. Eksistensi Kesenian Tradisional Shalawatan Samanan Dalam Tradisi Mauludan di Dusun Jolosutra Desa Srimulyo Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul Yogyakarta. Skripsi Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Sutton, Anderson. 2013. Pakkurru Sumange’ : Musik, Tari, dan Politik Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar. Penerbit Ininnawa.
Syahrir, Nurlina. 1996.Sere Bissu Sebuah Ritual Adat Masyarakat Segeri Mandalle Sulawesi Selatan Fungsinya Dahulu dan Kini (Thesis). Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Umar. 2005. Upacara Turun Sawah (Mappalili) di Kab. Pangkep. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar.
Widayati, Asri. 2012. Fungsi Kesenian Ledhek dalam Upacara Bersih Desa di Dusun Karang Tengah, Desa Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul. Skripsi. Jurusan Pendidikan Seni Tari Fakultas Bahasa Dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Yasil, Suradi., dkk. 1985/1986. Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional Daerah Sulawesi Selatan.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/07/bissu-pendeta-agama-bugis-kuno-yang-kian-terpinggirkan, diakses pada 15 April 2013.
http://www.kompasiana.com/mfaridwm/puang-upe-puang-lolo-komunitas-bissu-berpulang_55173ff78133115e669de4e3, diakses pada 15 April 2013.
http://www.kompasiana.com/mfaridwm/menyoal-bissu-sebagai-gender-kelima_550df654a33311a62dba7dc1, diakses pada 17Mei 2013.