Oleh: Abdul Hafid, Peneliti BPNB Sulsel
Orang Kajang terkenal dengan kostum serba hitam, berjalan kaki tanpa alas kaki, dan hidup sederhana sesuai tradisi leluhurnya.
Orang Kajang adalah salah satu komunitas adat yang bermukim di Desa Tana ToaKabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Wilayah pemukimannya terbagi dua, yaitu Kajang Dalam (Ilalang Embayya) dan Kajang Luar (Ipantarang Embayya). Kajang Dalam yang biasa juga disebut Tana Kamase-masea, penerapan aturan adat masih sangat kuat. Sedangkan Kajang Luar yang biasa juga disebut Tana Kuasayya, penerapan aturan adat sudah longgar. Aturan adat yang dimaksud adalah Pasang ri Kajang, yaitu pesan lisan berupa nasihat, wasiat dan petunjuk dari Ammatoa Pertama (mula tau). Pasang tersebut berisikan tentang norma dan aturan yang sifatnya memaksa dan mengikat warga masyarakat, untuk mentaati, mematuhi dan melaksanakan pasang tersebut.
Secara garis besar, Pasang ri Kajang berisikan tentang: (1) Aturan yang senantiasa mengingat kepada Turie’ A’ra’na (Tuhan Yang Maha Esa). (2) Memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan. (3) Bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal. (4) Taat pada aturan yang telah ditetapkan oleh Pasang dan (5) Melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.
Kelima ajaran Pasang inilah yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat orang Kajang, terutama yang tinggal di Ilalang Embayya. Penjabaran dari kelima ajaran Pasang tersebut melahirkan prinsip hidup kesederhanaan dan saling menyayangi di antara mereka. Wujud kesederhanaan itu sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut tallasa kamase-masea. Kehidupan tallasa kamase-masea berarti hidup memelas atau hidup apa adanya. Memelas mengandung makna, bahwa tujuan hidup warga masyarakat Adat Kajang menurut Pasang adalah semata-mata mengabdi kepada Turie A’ra’na. Kehidupan sehari-hari yang serba sederhana, cukup dan tidak berlebihan. Hal tersebut sesuai isi Pasang yang menyatakan “Ammentengko nu kamase-masea (berdirilah engkau dalam kesederhanaan); A’cci’dongko nu kamase-mase (duduklah engkau dalam kesederhanaan); A’dakkako nu kamase-mase (berjalanlah engkau dalam kesederhanaan); A’mia’ko nu kamase-mase (berbicaralah engkau dalam kesederhanaan)”. Prinsip kamse-masea tersebut diwujudkan dalam kehidupan komunitas adat, baik dalam hubungannya dengan sesama manusia maupun terhadap Turi’e A’ra’na.
Implementasi tallasa kamase-masea dalam kehidupan sehari-hari bagi orang Kajang dapat disimak pada: (1). Pakaian yang dikenakan. Orang Kajang hanya menggunakan dua warna kain, yaitu hitam dan putih sebagai lambing kesederhanaan. Warna hitam mengandung makna sebagai awal keberadaan manusia yang berasal dari kegelapan, yaitu alam rahim. Sedangkan warna putih mengandung makna kelahiran manusia di dunia dengan cahaya yang terang benderang. Selain itu, warna hitam bermakna sebagai kesamaan dalam segala hal, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, semua hitam adalah sama. Kemudian berpakaian dengan warna hitam juga menandakan adanya kesamaan derajat pada setiap orang di depan Turi’e Ara’na.
(2) Kesamaan bentuk dan bangunan rumah yang sederhana. Kesamaan ini terlihat dari bentuk arsitekturnya yang sama, menggunakan bahan material kayu dan bambu yang sama, dan beratap rumbiah. Posisi rumah yang semuanya menghadap kearah barat tempat terbenangnya matahari. Hal ini bermakna bahwa semua kehidupan di dunai ini akan berakhir, sama dengan tenggelamnya matahari dalam kegelapam malam.
(3) Kesederhanaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berpakaian secukupnya ( care-care narie’), makan secukupnya (angnganre narie’), membeli ikan secukupnya (pammalli juku’ narie’), berkebun secukupnya (koko narie’) dan memiliki rumahs ecukupnya (balla setuju-setuju). Ketaatan dalam menjalankan prinsip kamse-masea disebabkan adanya kepercayaan yang diyakini, bahwa di hari kemudian nanti akan mendapatkan imbalan kalumannyang kalupepeang (kekayaan tiada taranya). Demikian pula takut akan mendapatkan sanksi.
Bagi orang Kajang yang tidak menjalankan pola hidup kamase-masea, akan diusir keluar dari wilayah Tana Kamase-masea atau mendapatkan sanksi sosial berupa pengucilan dari semua kegiatan sosial dalam masyarakat. Sanksi yang paling berat, yang mereka percaya dan meyakini adalah penolakan dari Turi’e A’ra’na terhadap arwah bilamana kelak sudah meninggal dunia. Demikian sekilas ulasan tallasa kamase-masea dalam Komunitas Adat Kajang, semoga bermanfaat.