SISTEM PEMERINTAHAN MASA
ARUNG MATOA LA PALEWO TO PALIPU
DAN IV LA TADAMPARE PUANG RI MANGGALATUNG
Bahtiar
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Jalan Sultan Alauddin Km 7 Makassar 90221
Telepon (0411) 883748, 885119, Faksimile (0411) 865166
Pos-el: bahtiarnadja@yahoo.com
Handphone: 082191676554
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sistem pemerintahan pada masa Arung Matowa Wajo I La Palewo To Palipu dan IV La Tadampare Puang ri Manggalatung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah, dengan melalui empat tahap, diantaranya: heuristik, kritik, Interpretasi, dan penulisan. Hasil penelitian menunjukkan pada masa pemerintahan Arung Matoa I La Palewo To Palipu yang perupakan Arung Matoa pertama adalah memperluas wilayah Kerajaan Wajo, dia juga mengubah gelar matoa dengan penggawa ina tau, selain itu ia juga menata peraturan hukum pewarisan. Sedangkan Arung Matoa IV La Tadampare Puang Manggalatung adalah arung matoa yang ahli perang diusia mudanya dan raja yang bijaksana, cakap, dan jujur diusia tuanya, ia juga yang menggabungkan Timurung dengan Wajo, dan memperluas wilayah Kerajaaan Wajo, masa La Tadampare adalah puncak kejayaan Kerajaan Wajo. Kedua arung matoa ini adalah raja yang membawa perubahan bagi Kerajaan Wajo, meskipun dengan model kepemimpinan yang berbeda, keduanya memperluas wilayah Kerajaan Wajo dengan menaklukkan negeri-negeri di sekitar Kerajaan Wajo, Sehingga Wajo menjadi Kerajaan yang lebih besar.
Kata Kunci: Sistem pemerintahan, arung matoa, Wajo
- Pendahuluan
Raja, Presiden, atau kepala negara mempunyai sistem pemerintahan sendiri-sendiri. Beda pemimpin tentunya beda kebijakan yang dijalankan. Silih berganti pemimpin memimpin rakyat, ada yang dikenal sangat baik, bijaksana, jujur, dan sebagainya. Namun ada juga pemimpin yang kebalikan dari yang disebut sebelumnya, yaitu keras, diktator, otoriter, dan sebagainya. Salah satu diantara pemimpin yang membawa perubahan kepada kerajaannya adalah Arung Matoa I di Kerajaan Wajo La Palewo To Palipu, dan Arung matoa IV La Tadampare Puang ri Manggalatung.
Sehubungan dengan penjelasan di atas, berikut defenisi tentang sistem pemerintahan, adalah suatu metode atau sistem yang membuat sesuatu yang kompleks agar menjadi lebih teratur dari komponen pemerintahan. Seperti pandangan, asas, undang-undang, teosri, dan hal yang lain tentang suatu pemerintahan negara (Sistem Pemerintahan Indonesia-Kas Kus. Blog spot.co.id/ 2013/06/07).
Kedua pemimpin ini mengantarkan Kerajaan Wajo menjadi lebih besar, Arung matoa I La Palewo To Palipu dengan sistem pemerintahannya yang sedikit tegas tetapi masih berpihak kepada rakyat, karena pada saat awal pengangkatannya menjadi arung matoa Wajo dia mengatakan bahwa katanyalah yang menentukan dan kehendakanyalah yang benar. Akan tetapi oleh Arung Simentempola mengatakan perkataanmu yang menentukan yang sesuai dengan kehendah rakyat Wajo. Oleh La Palewo To Palipu menyetujuinya. Selanjutnya La Palewo To Palipu memerintah dengan baik, yaitu memperluas wilayah Kerajaan Wajo, dengan jalan menaklukkan negeri-negeri yang ada di sekitar Kerajaan Wajo. Kegiatan La Palewo To palipu yang lain adalah bersama dengan pejabat kerajaan mengubah gelar matoa limpo dengan punggawa ina tau. Kemudian la Palewo To palipu juga menetapkan peraturan kewarisan, dan beberapa kebijakan beliau pada masa pemerintahannya (Abidin, 1985: 467-468).
Sedangkan Arung Matoa Wajo IV adalah La Tadampare Puang ri Manggalatung adalah ahli siasat perang, dan figur yang baik. La Tadampare Puang ri Manggalatung di masa pemerintahannya mengusulkan mengganti bendera ketiga bate lompo. La Tadampare memperluas wilayah Kerajaan Wajo, dengan cara memperluas wilayah Kerajaan Wajo. Dengan cara menaklukkan beberapa negeri-negeri di sekitar Kerajaan Wajo, beliau juga menggabungkan Timurung dengan Wajo.
Kajian tentang sistem pemerintahan ini penting untuk dikaji, karena di era sekarang ini amat perlu diangkat kepermukaan bentuk pemerintahan yang baik, yang bisa membawa kesejahteraan bagi rakyat. Seperti halnya dengan dua Arung matowa Wajo ini. Inilah yang menjadi tujuan penelitian ini, selain agar dapat menjelaskan sistem pemerintahann dari dua arung matoa Wajo sekaligus bermanfaat bagi kita semua agar menjadi renungan akan pemimpin yang bikasana. Berdasarkan studi pustaka, ada beberapa kajian yang membahas tentang Kerajaaan Wajo ini, diantaranya dari Andi Zainal Abidin, yang membahas mengenai Wajo abad XV-XVI, suatu penggalian sejarah terpendam Sulawesi Selatan dari lontara, menurutnya bahwa Kerajaan Wajo berbeda dengan kerajaan lain di Sulawesi Selatan, rajanya bukan bersifat turun temurun, tetapi harus dipilih oleh dewan adat yang beranggotakan 40 orang dari calon-calon aristokrat yang dianggap paling cakap. Wajo juga mengenal cara mengambil keputusan yang unik, yaitu dengan jalan pemungutan suara seperti yang dikenal oleh pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Kajian berikutnya adalah Sejarah Wajo, oleh Abd. Razak Daeng Patunru, yang mengkaji tentang pemerintahan Kerajaan Wajo dari masa kepemimpinan batara, arung matoa hingga pertemuan antara Bone, Soppeng, dan Wajo di Timurung. Juga mengkaji tentang struktur pemerintahan pada masa batara, begitu pula dengan arung matoa. Karya yang lain adalah Mattulada, yaitu Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan mengulas tentang sejarah Sulawesi Selatan, dan juga tentang sejarah tanah Wajo.
- Hasil dan Pembahasan
- Pemerintahan Arung Matoa I, La Palewo To Palipu
Seperti halnya di kerajaan-kerajaan lain ada perjanjian pemerintahan yang dilakukan oleh Tomanurung atau keturunannya dan orang yang dituakan yang disebut matoa, kasuiang dan anang, maka di Wajo juga ada perjanjian antara pejabat-pejabat kerajaan yang di beri gelar Arung Simetempola yang kedudukannya sebagai Unnana limpo. Perjanjian yang diselenggarakan di Lapadeppa ini jabatan Arung Simetempola diberi kekuasaan tertentu untuk menjalankan kekuasaan pemerintah menurut hukum adat yang harus ditaati oleh sel[1]uruh rakyat, namun berkewajiban membela hak-hak kebebasan yang diperintah.
Arung Simetempola mengusulkan kepada ketiga padenreng dan orang Wajo untuk menambah pejabat kerajaan dan disetujui mengangkat 30 orang arung ma’bicara. Wajo tidak memiliki pejabat yang banyak. Oleh sebab itu perlu dilakukan penambahan. Disepakati Arung Simettempola dan ketiga padanreng untuk mengangkat 30 orang arung mabicara, diantaranya 18 arung mabicara ria busereng (raja pembicara yang ditambahkan 12 arung ma’bicara yang mempunyai wilayah pemerintahan) (Abidin, 1985: 451).[1]
Berikut ini pengangkatan calon arung matoa sebagai arung pertama, di mana ketiga orang ranreng setelah mendengar pendapat para arung ma’bicara dan para matoa limpo sepakat untuk mengusulkan agar La Tiringeng To Taba diangkat menjadi raja pemersatu di Wajo, tetapi La Tiringeng To Taba menolaknya, karena bertentangan dengan perjanjiannya orang-orang Wajo. Kemudian pilihan kedua jatuh pada La Tadampare, namun beliau pun menolak dengan alasan, bahwa jangan sampai orang mengira, bahwa ia menginginkan jabatan Batara Wajo La Pate’dungi, oleh sebab itu ia mengusirnya. Setelah para Ranreng Bettempola, Talo’ tanreng dan Tuwa serta para arung ma’bicara dan para matoa limpo menyeleksi para ahli waris dari tingkat atas, menengah dan bawah (keturunan raja-raja Cinnottabi), maka diputuskan memilih orang tertua usianya dan yang menurut silsilah merupakan generasi yang lebih tua dari pada calon-calon lain, yaitu La Palewo To Palipu, Matoa Majauleng atau Matoa Bettempola, putra bungsu La Tenripeppang, Radanreng Talo’tenreng (Noordyun, 1955: 57). Penunjukan La Palewo To Palipu diragukan darah kebangsawanannya, sehingga La Palewo To Palipu memangku jabatan sebagai Matoa Bettempola oleh beberapa lontarak menimbulkan pertanyaan sebagai berikut:
La Palewo To Palipu bukanlah bangsawan berderajat tinggi, karena ia hanya matoa, adalah keliru karena apabila diperhatikan silsilah raja-raja Wajo, ayah La Palewo adalah La Tenripeppang, Pa’danreng Talo’tenreng II, sedangkan dahulu kala yang diangkat sebagai pa’danreng ialah bangsawan tertinggi (Bugis: ana’ sengngeng; ana’ mattola). Bahwa ibu La Palewo ialah We Tenro, dia adalah kemanakan sepupu dua kalinya La Tenripeppang, seorang bangsawan pula (yang sederajat dengan suaminya) (LSW: 41).
Jabatan matoa yang dahulu dijabat oleh seorang yang terpilih dari golongan merdeka, lama kelamaan dijabat oleh bangsawan bangsawan yang mungkin dipilih oleh kepala-kepala keluarga besar. Hal semacam itu terjadi pula di Bone, di mana tujuh orang matoa yang mengadakan perjanjian pemerintahan dengan Raja Bone I, yang kemudian diberi nama ade’pitue, lambat laun jabatan itu jatuh di dalam tangan para bangsawan (mungkin pada mulanya orang yang setengah bangsawan) dan mendapat nama baru yaitu arung pitue (dewan tujuh orang raja). Serupa dengan itu ialah jabatan matoa pa’bicara di Cinnottobi yang diperkirakan dipangku oleh orang bukan bangsawan, kemudian di Wajo diubah menjadi arung ma’bicara (raja pembicara), yang sebagian besar anggota-anggotanya dipangku oleh orang bangsawan (sebagian anggotanya bukan bangsawan). Gejala semacam itu dapat disaksikan setelah seluruh Sulawesi Selatan ditaklukkan oleh Belanda, di mana banyak jabatan kepala kampung (sejajar dengan matoa dahulu) dijabat oleh bangsawan (biasanya bukan bangsawan tinggi) (Abidin. 1985: 457-458).
Alasan untuk mengangkat raja di Wajo adalah disebabkan karena para ranreng memerlukan adanya raja pemersatu yang bertugas mendamaikan ketiga orang ranreng bila masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda. Oleh ketiga orang ranreng disepakati bersama untuk menetapkan peraturan, bahwa bilamana dua orang ranreng sependapat dan menghadapi seorang ranreng lain yang berpendapat lain, maka yang disebut terakhir harus mengalah (LSW: 74). Ketentuan semacam itu sebenarnya telah ditetapkan oleh Arung Simettempola setelah diadakan perjanjian pemerintahan di Lapa’deppa yang berbunyi sebagai berikut:
Jikalau tentang suatu masalah tidak diperoleh kata mufakat, maka bilamana satu suara menghadapi dua suara, maka rebahlah satu suara itu, lebih-lebih jikalau yang satu suara itu menghadapi tiga suara, apa lagi jikalau disemua, dengan catatan, bahwa yang menghadiri musyawarah harus suci dalam pandangan dewata (LWHAS:93)
Bahwa ketetapan To Taba tentang pemungutan suara dapat ditafsirkan, sehingga yang menang ialah suara terbanyak. Misalnya pada suatu sidang arung patappulo, 20 suara menyatakan setuju dan 19 suara menentang, sedangkan satu suara abstain, maka yang menang ialah 20 suara, dengan pembatasan, bahwa masalah yang dibicarakan tidak menyangkut puraonro (adat tetap) yang mencakup antara lain hak-hak kebebasan rakyat. Hak-hak kebebasan itu sudah lama ada, yaitu sejak masyarakat Lampulungeng berdasarkan ungkapan: “orang-orang Wajo itu bebas sejak dalam kandungan ibu mereka”, bahwa bilamana ketiga orang ranreng tidak dapat mencapai kata mufakat, karena masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, maka tugas arung matoa mempersatukan pendapat itu. Arung Penrang juga dapat menasehati para ranreng itu, namun nasehatnya tidak mengikat (LSW: 78).
Arung Simettempola berkata kepada calon raja: “Pegang teguhlah, hai, arung matoa, perjanjian Batara Wajo La Tenribali dan orang-orang Boli di Majauleng dan pertahankan pula perjanjianku dan orang-orang Wajo di Lapa’deppa! Engkau bimbing orang-orang Wajo menuju kebaikan dan mengantar mereka ke keselamatan. Engkau hindarkan mereka dari kesukaran dan sama tiba pada kebaikan. Tidak engkau memerintah negeri Wajo berdasarkan kehendakmu sendiri dan engkau tidak bertindak terhadap orang-orang Wajo menurut kemauanmu sendiri. Tidak engkau memerintah mereka sebagai raja yang bekuasa mutlak. Tidak engkau wariskan jabatan arung matoa kepada anak cucumu, jikalau tidak berdasarkan kehendak bersama orang-orang Wajo. Tidak saling berselisih paham para pejabat kerajaan, tidak saling berselisih orang-orang Wajo lapisan atas dan bawah, pemerintah dan rakyat” (Abidin, 1985: 459).
Kedua pihak yang berjanji setuju setelah Arung Matoa La Palewo dilantik, maka ia mengusulkan supaya pa’deppung ade’ (penghimpun adat) ditetapkan yang pada hakekatnya mengandung hak-hak kebebasan rakyat yang telah ditetapkan pada perjanjian di Majauleng dan di Lapa’deppa.
Sebelum La Palewo dilantik, maka Arung Simettempola inanna limpoe (ibu rakyat limpo) yang diibaratkan sebagai “pengantin perempuan” dilingkari kain widang bersama La Palewo To Palipu’ yang dikiaskan sebagai “pengantin lelaki”, lalu dijahitlah widang itu dengan benang emas. Keduanya diibaratkan sebagai “suami isteri” yang bersama akan mengatur “rumah tangga” Wajo. Sesudah widang dijahit barulah Arung Simettempola mengucapkan rumus perjanjian tersebut di atas.
Desakan Arung Simettempola agar La Palewo To Palipu menerima hasil musyawarah para ranreng yang didukung oleh para arung ma’bicara dan matoa, karena negeri Wajolah yang pintar, berani, kaya dan berkemampuan. Hal itu akan lahir dari hasil musyawarah orang-orang Wajo. Setelah mendengar penjelasan itu, maka La Palewo To Palipu menerima tawaran itu. Dari soal jawab tersebut, dapatlah disimpulkan, bahwa raja seorang diri tidak berarti apa-apa tanpa rakyat (Patunru, 1983:36).
Untuk cara pelantikan La Palewo To Palipu yang mendapat gelar arung matoa (raja yang dituakan) karena rumah calon raja tidak dapat memuat orang-orang Wajo yang datang untuk menyaksikan peristiwa penting itu, maka rakyat berkumpul di bawah rumah calon raja. Yang naik ke rumah adalah Arung Simettempola, ketiga orang ranreng, para arung ma’bicara dan para matoa. Sebelum La Palewo dilantik, orang-orang Wajo yang dijuru bicarai oleh Arung Simettempola menyatakan kepada calon raja, bahwa La Palewo yang ditakdirkan oleh dewata yang Esa untuk menjadi raja dengan tugas: 1. Menjaga negeri Wajo (dan rakyat Wajo) dari gangguan burung pipit, agar tidak hampa, 2. Menyelimuti orang-orang Wajo agar tidak kedinginan, 3. Menjaga dan memelihara orang-orang Wajo siang malam serta, 4. Memohon kehadapan dewata yang Esa, agar melimpahkan kebaikan kepada orang-orang dan negeri Wajo (Abidin, 1985: 461).
La Palewo mencoba untuk memperoleh kekuasaan yang besar dengan menyatakan, bahwa katanyalah yang menentukan dan kehendaknyalah yang benar. Arung Simettempola setelah berunding dengan para ranreng dan arung ma’bicara menjawab: “Perkataanmu yang menentukan yang sesuai dengan kehendak orang-orang Wajo.” Hal tersebut berarti, bahwa raja tidak boleh berbicara dan mengambil keputusan di bidang pemerintahan yang bertentangan dengan kehendak rakyat yang ditetapkan pada perjanjian pemerintahan di Lapa’deppa. Setelah La Palewo menyetujui jawaban Arung Simettempola, maka ketiga ranreng “mengangkat” calon (menuntun) raja menuju sudut rumahnya dan didudukkan di sana. Yang dimaksud sudut rumah ialah sudut milik penerimaan tamu menghadap ke tiga sudut di mana para ranreng, arung ma’bicara dan matoa duduk.
Ketentuan tentang pemungutan suara tersebut di atas merupakan sesuatu yang unicum di Indonesia, karena menurut hukum adat, keputusan hanyalah dapat diambil secara mufakat. Hasil pilihan para ranreng yang disetujui oleh para arung ma’bicara dan para matoa limpo disampaikan kepada Arung Simettempola La Tiringeng To Taba yang diberikan kepercayaan untuk mengadakan pendekatan dan pembicaraan pendahuluan dengan calon raja, La Palewo To Palipu, yang disebut mammanu’-manukengngi, Tindakan mammanu-manu’, yang lazim juga dilakukan orang sebelum meminang gadis, yang dilakukan oleh Arung Simettempola. Soal jawab Arung Simettempola dan La Palewo To Palipu menyatakan, bahwa soal jawab itu dilakukan pada saat pelantikan La Palewo menjadi arung matoa, hal itu dilakukan sebelumnya. bahwa sebelum calon arung matoa dilantik menurut adat ia harus lebih dahulu dimintai pendapatnya sebagaimana halnya gadis yang hendak dilamar.
Cara pelantikan yang diuraikan sebagai berikut :
Raja-raja bersidang di baruga dan memilih arung matoa, maka bersama rakyat pergi ke rumah arung matoa yang terpilih, dengan Arung Bettempola berjalan di depan. Hal ini dinamakan a’bawasao. Raja-raja itu menduduki tempat masing-masing sesuai dengan peraturan jenjang adat, sedangkan rakyat tinggal di bawah kolong rumah dan Arung Bettempola bertitah kepada raja yang terpilih. Soal jawab Arung Bettempola dan raja terpilih pada. Umumnya sama dengan soal jawab Arung Simettempola dan La Palewo To Palipu’ pada waktu Arung Simettempola mammanu’-manu’. Setelah soal jawab antara Arung Bettempola dan raja terpilih itu disetujui bersama, maka Arung Bettempola menuntun calon raja, ketiga orang ranreng yang melakukan hal itu ke sudut rumah di tengah raja-raja. Sesudah itu wakil-wakil ketiga limpo, berturut-turut para punggawa, komandan-komandan tentara ujukkalakkang (ujukkalakka’), Aka’ dan Talo’tenreng, sambil berdiri menyebut hak-hak kebebasan rakyat limpo. Rumus hak-hak kebebasan itu pada umumnya sesuai dengan ucapan La Tiringeng To Taba’ sesaat setelah rumus perjanjian di Lapa’deppa diucapkan (Abidin, 1985:463).
Selesai pelantikan (mungkin sesudah La Palewo bersumpah untuk memerintah sesuai dengan konstitusi), maka arung matoa 9 berpantun sebagai berikut:
Semoga tidak mengandung rasa hambar apa yang telah terlanjur disetujui dan dicintai (semoga aku yang telah kalian pilih menjadi raja kelak tidak akan kalian benci).
Pertanyaan, ini dijawab oleh orang-orang Wajo sebagai berikut:
Semoga berlaku abadi kejujuran, tegak tunggal dan tidak diganggu gugat!
Strategi arung matoa pertama merencanakan akan memperluas daerah Wajo dengan menaklukkan negeri-negeri yang ada di sekitar Wajo, karena mungkin beliau menganggap daerah Wajo terlalu sempit dengan jumlah pejabat yang begitu banyak. Arung Simettempola menasehatinya agar rencana itu dilaksanakan dengan berpantun sebagai berikut:
Kerusakan akhirnya yang akan diderita, bilamana sesuatu yang telah sempurna tidak henti-hentinya diperbaiki.
Arung Matoa La Palewo bersama dengan para pejabat kerajaan mengubah gelar matoa limpo dengan punggawa ina tau (pemimpin, ibu rakyat) yang antara lain bertugas menghubungkan rakyat limponya dengan para pejabat limpo; ranreng (kepala limpo), arung ma ‘bicara dan bate ca’di.
Kemudian setelah diangkat bate lompo (panglima besar) dan setelah Wajo memperluas wilayahnya dengan jalan penaklukan dan penggabungan beberapa kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Wajo, ia juga ditugaskan menjadi penghubung rakyat limpo dan bate lompo (wakil kepala limpo) dan mengkordinasikan daerah-daerah yang berstatus lili (taklukan) dan passe ajingeng (yang menggabung secara suka rela). bahwa punggawa ina tau di dalam keadaan genting dan darurat juga boleh berhubungan langsung dengan arung patappulo).
Sekalipun ketiga orang punggawa ina tau yang sering disingkat dengan punggawa tidak termasuk arung patappulo, ia bersama (arung lili) dan raja-raja passeajingeng harus diundang untuk menghadiri musyawarah se Wajo guna menentukan perang dan damai jabatan punggawa atau ponggawa sama halnya dengan jabatan arung matoa tidak boleh diwariskan, tetapi punggawa sejak dari dahulu kala pada waktu masih bergelar matoa dipilih oleh orang-orang dewasa di limponya. menggunakan istilah ripatokkong (ditegakkan; dipilih) dan yang menjadi punggawa ialah yang disukai melalui pemilihan oleh limpo. Perkataan limpo di sini berarti seluruh orang-orang dewasa di limpo.
Jabatan punggawa sama dengan jabatan arung matoa, pada pipatettong … tenrimana’ tenriappammanareng, ripojigi ricaccagi rire’du’si paimeng (sama dipilih … tidak boleh diwarisi dan tidak boleh diwariskan, disukai atau dicela, bolehlah ia dicabut kembali). Pernyataan tersebut bersesuaian dengan ucapan La Tiringeng To Taba’ pada masa pemerintahan arung Matoa IV La Tadampare yang menyatakan, bahwa tiga macam pejabat yang dipilih di Wajo: 1. matoa, 2. suro pallele toana dan 3. arung matoa, yang diambil sebagai matoa ialah yang disepakati oleh rakyat limpo, yang dijadikan suro ialah yang disukai oleh para arung (para ranreng, bate lompo, arung matoa dan para arung ma’bicara); yang diangkat menjadi arung matoa ialah yang disetujui bersama oleh puang ri Wajo (anggota-anggota dewan pemerintah pusat Wajo) (LSW: 103-104, LWHAM: 68, LWHAS: 109).
Kekuasaan punggawa begitu besar seperti yang dilukiskan oleh James Brooke yang pada tahun 1840 mengunjungi Wajo, pada saat mana Wajo telah mengalami kemerosotan di segala bidang, sebagai berikut:
I was pleased by the freedom of the conversation, the pangawas (punggawas) detailing their powers and privileges withou reserve.
“If the rajahs wish to call the people to w do so war”, they said, “they can not ithout our pemission; we are a free people’, oleh James Brooke, punggawa itu disebutnya Tribune of the ,People.
Pemerintahan La Palewo To Palipu telah disepakati oleh orang-orang Wajo untuk membagi tiap-tiap limpo menjadi empat bagian yang disebut ana’ limpo, yang dikepalai oleh arung ma’bicara di tiap-tiap limpo ditempatkan empat arung ma’bicara, yang selain menjadi kepala ana’ limpo, juga menjadi anggota dewan pemerintahan limpo. Di tiap-tiap limpo ditempatkan enam orang arung ma’bicara ria’busereng . Rupanya 18 orang arung ma’bicara ria’busereng itu tidak ditempatkan pada 12 ana’ limpo, tetapi bertugas di limpo saja tidak menyebutnya). Arung ma’bicara ri a’busereng itu menurut bertugas matetta’ bicara (ikut memutus perkara) dan pano’ pate’i bicarae (menurunkan dan menaikkan bicara; memeriksa perkara di tingkat pendahuluan, melimpahkan perkara untuk diadili ke dewan arung ma’bicara limpo (yang terdiri dari empat orang) dan melaksanakan keputusan dewan limpo, bahwa 12 orang arung ma’bicara yang mempunyai wilayah pemerintahan ( kepala ana’ limpo) juga bertugas sebagai anggota dewan pemerintahan di tingkat limpo mereka yang terutama bertugas memutus perkara (LSW: 50).
Pembagian ketiga limpo di Wajo atas empat ana’ limpo yang sering juga disebut limpo (adalah sebagai Limpo Bettempola) Limpo Talo’tenreng: Limpo Tuwa:
- Bettempola 1. Talo’tenreng 1. Aka’
- Botto 2. Ta’ 2. Lempa
- Ujukkalakkang 3. Ciung 3. Menge’
- Lowa’-lowa’ 4. Pallekoreng 4. Kampiri (Noordyun, 1955: 37).
Ana’ limpo Bettempola dan ana’ limpo Talo’tenreng memakai nama induk limponya masing-masing, sedangkan ana’ limpo akan tidak memakainya. Ketiga limpo tersebut dianggap’ anak sulung’ dari limponya masing-masing sesuai dengan azas kekeluargaan. Demikian pula halnya dengan Limpo Bettempola yang dianggap anak tengah dan Tuwa sebagai anak bungsu Wajo. Tiap-tiap ana’ limpo mempunyai panglima perang yang disebut bate’ cadi (bendera atau pemegang bendera kecil). Berbeda dengan arung ma’bicara, kepala ana.
Program lain La Palewo adalah menetapkan peraturan hukum, kewarisan anak yang lahir dari perkawinan lelaki bangsawan dan perempuan golongan maradeka (merdeka) dan yang lahir dari, perkawinan lelaki maradeka dan ata (abdi) serta peraturan tentang ata yang pindah tuan. Selain dari itu, arung Matoa dan arung Simettempola yang sudah mulai disebut arung Bettempola mengukuhkan perjanjian arung Simettempola dan orang-orang Wajo tentang kewenangan Arung Bettempola : mengangkat dan rnemecat arung matoa bila ada persetujuan orang-orang Wajo, menjurubicarai orang-orang Wajo dalam membuat perjanjian pemerintahan dan perjanjian antar kerajaan. Selain dari itu arung Simettempola berwenang memangku sementara atau menjalankan fungsi arung matoa dan ranreng bilamana lowong untuk sementara waktu, ditetapkan juga, bahwa jabatan ranreng, dan arung ma’bicara boleh diwariskan kepada anak atau sanak pejabat yang terdahulu dan yang memilih ialah anggota-anggota keluarga ranreng atau arung ma’bicara yang bersangkutan. Yang biasa dipilih oleh mereka ialah anggota keluarga mereka yang mempunyai sitat dan watak yang terbaik), oleh karena yang terpilih itu mempertaruhkan nama baik dan siri’ keluarga besar ranreng atau arung ma’bicara. Bilamana seluruh keturunan dan sanak saudara ranreng atau arung ma’bicara punah semuanya, maka ulu anang ( bersama dengan para anang) yang memilih ranreng atau arung ma’bicara (Abidin, 1985: 468).
La Palewo To Palipu memerintah selama tujuh tahun lalu meninggal dunia, dengan menghitung kembali tahun pemerintahan semua arung matoa yang dimulai dari Arung Matoa XII La Sangkuru Patau Mulajaji bergelar Sultan Abdurrahman yang mulai memeluk agama Islam pada tahun 1610, maka diperkirakan bahwa arung matoa I rnemerintah disekitar tahun 1474-1481 (Abidin, 1985:468).
- Pemerintahan Arung Matoa IV, La Tadampare, Puncak Kejayaan Wajo
Setelah sekian kali La Tadampare diajukan menjadi arung matoa dan barulah kali ini beliau menerimanya. Saat itu wilayah kerajaan Wajo masih sangat kecil, yaitu bekum cukup seribu rumah di Wajo. Arung Matoa I sampai dengan III waren vermoedelijk meer de aanzienlijkste en eerbiedwaardigste dan de krachtigste personen, sedangkan La Tadampare menurut cerita adalah de grote held en wijze bestuurder, yang tindakan dan petuahnya berulang kali dicantumkan di dalam lontara yang dijadikan ibarat dan teladan bagi raja-raja kemudian, bahkan sampai sekarang masih sering dikemukakan ajaran-ajarannya.
Arung Matoa IV La Tadampare, anak dari La Tompiwanua, nama anak-anaknya adalah Puang ri Manggalatung, To Lompo nama panggilannya. Istrinya bernama We Tenrilawi (Lontarak Akkarungeng ri Wajo (1): 320). Dari sekian arung matoa yang pernah memerintah di Wajo, La Tadampare yang paling menonjol, karena pada masa mudanya terkenal sebagai pemberani dan ahli siasat perang, dan pada usia tuanya terkenal sebagai negarawan yang cakap, bijaksana dan jujur. Bukan saja lontarak Wajo yang memujinya tetapi lontarak daerah lain juga (Abidin, 1985: 485).
Program-program La Tadampare adalah mengusulkan supaya mengganti bendera ketiga orang bate lompo Talo’tenreng diganti dengan Pilla (si Merah) dan bate lompo Bettempola diberi sesuai dengan benderanya. Bendera bate lompo Talo’tenreng diganti dengan bendera aneka warna yang digelar Patola dan Petau Larie To Allawa digeler pula sesuai dengan nama benderanya. Bendera Tuwa diganti dengan Allawa digelar pula sesuai dengan nama benderanya. Bendera Tuwa diganti dengan bendera kuning dan disebut cakkuridie dan pemegangnya yang tidak disebut namanya digelar cakkuridie. Sesudah itu nama dewan pemerintah Wajo diresmikan dan dinamakan arung patappuloe (raja empat puluh) yang beranggotakan:
– Arung Matoa Wajo sebagai ketua merangkap anggota.
– Ranreng Bettempola, kepala limpo Bettempola sebagai anggota.
– Ranreng Talo’tenreng, kepala limpo Talo’tenreng sebagai anggota.
– Ranreng Tuwa, kepala limpo Tuwa sebagai anggota.
Tiga orang bate limpo, wakil-wakil kepala limpo dan Panglima besar sebagai anggota.
– Dua belas orang arung ma’bicara, kepala ana limpo, pembantu ranreng.
– Delapan belas orang arung ma’bicara ria’busereng atau pa’dakiraki’, pembantu ranreng di tingkat limpo, menjadi anggota, dan
– Tiga orang suro pallele toana sebagai anggota (Abidin, 1985:486).
Arung patappulo yang kemudian biasa juga dinamakan puang ri Wajo (yang dipertuan di Wajo) tersebut memegang kekuasaan tertinggi yang dilukiskan oleh lontarak sebagai “menelungkup dan menengadahkan” Wajo’, sedangkan Dewan pelaksana harian pemerintahan pusat disebut petta ennengnge (tuan kita yang enam) yang terdiri dari tiga orang ranreng dan tiga orang bate lompo dan bila dimasukkan ketuanya, arung matoa, maka biasa disebut petta i Wajo (tuan kita di Wajo) (Patunru, 1983:17).
Dengan dimasukkannya Macanang dan Attata menjadi daerah bagian Wajo, maka Arung Paria To Tenrijarangeng menjadi marah, karena menurut pendapatnya seharusnya kedua negeri itu dikuasai oleh Paria. Sebaliknya Arung Matoa La Tadampare berpendapat, bahwa Wajo yang telah mengalahkan kedua negeri tersebut, oleh karena itu Wajo juga yang berhak.
Atas bantuan Datu Bola To Sune, bergelar Rajamawellang Balailoe, Paria yang dibantu oleh Rumpia diserang. Patola Petau Larie To Allawa yang masih muda belia menetak kepala Arung Paria To Tenrijarangeng, yang menyebabkan putera To Tenrijarangeng bernama Tenrijarangeng dan To Embong Arung Rumpia menyerah. Atas permintaan Tenrijarangeng dan To Embong yang bertindak untuk dan atas nama negeri Paria dan Rumpia, akhirnya diterima Paria dan Rumpia menjadi ‘ana” (Noorduyn, 1955:170-171).
Sesudah Paria dan Rumpia dikalahkan, maka Arung Timurung Puanna Manna Ma’jali’ ulawengnge menggabungkan negerinya dan menjadi ‘ana’, sedangkan (Noorduyn 1955:180-181) hanya menyebut penggabungan Timurung setahun atau sebulan setelah Limpua dikalahkan oleh Wajo. Penggabungan Timuruang seperti yang disebut , “maka sudah dua kali datang untuk mempererat hubungannya pada Wajo pada masa Arung Matoa La Tadampare Puang ri Ma’galatung (Abidin, 1999:149).
Alasan penggabungan Timurung pada Wajo, adalah pengukuhan kembali hubungan Wajo dan Timurung yang pertama kali diadakan tidak lama setelah Paria dan Rumpia ditaklukkan. Tetapi isi “perjanjian pertama” dan “perjanjian kedua” tidak sama, isi “Perjanjian pertama” meliputi: “satu keburukan dan satu ke baikan yang dipunyai bersama yang disaksikan oleh dewata yang Esa, tidak terbawa oleh orang mati dan tidak dibawa oleh keburukan negeri, maka anaklah Timurung dan ibulah Wajo, tidak saling mencurangi, tidak saling melemahkan antara ibu dan anak, Wajo dan Timurung, diwarisi oleh anak cucu dan siapa yang meninggalkan perjanjiannya, ia akan hancur bagaikan dapur-dapur tempat menghidupkan api”. Dalam “perjanjian kedua”, disebut alasan penggabungan kembali: Timurung merasa kuatir, sebab “orang besar berada di dekatnya: Bone serta Luwu; Datu Luwu sudah menetap dan membentuk negeri di Cenrana, serta Bone mulai membesarkan Matajang, menambahkan satu alasan lagi: “sebab dilihatnya (Arung Timurung) Wajo telah besar”. Andai kata memang benar pernah terjadi perjanjian pertama dengan Timurung, maka “hubungan Wajo dan Timurung” itu memang berlangsung tidak lama (LSW: 98; Abidin, 1985:488).
Hubungan Timurung dan Wajo tidaklah berkesinambungan, hal mana ternyata dari musyawarah pemerintah Wajo yang dipimpin oleh Arung Matoa La Mungkace To U’damang (1567-1607) untuk menyerahkan lili Wajo yang temmanrenreng (tidak tetap) pada Wajo kepada saudara Wajo, yaitu Bone, untuk dijadikan lili oleh Bone: Timurung, Amali, Mampuriaja. Juga diputuskan lebih dahulu, bahwa lili Wajo yang juga tetap pada Wajo diserahkan kepada saudara Wajo, yaitu Soppeng: Ujumpulu, Tanatengnga, Lumpulle, Baringeng, Marioriawa silolle, Belokka, Waenio, Cirowali, Lamuru silolle.
Penggabungan pertama Timurung yang tidak diberitakan dan tanpa disebutnya alasan penggabungan karena tidak dapat diterima oleh akal, karena dikala itu Luwu, Bone dan Wajo belum kuat dan tidak perlu ditakuti oleh Timurung. Tentang status ana’ makessing yang disebut, hal itu masuk akal, bahwa Timurung bukanlah lili biasa, tidak pernah menyebut status ana’ makessing, tetapi hanya ana saja. hanya mengenal istilah ana’ macenning setelah Wajo selesai berperang dengan Belanda (1740-1741 ), yang diberikan kepada Peneki, Gilireng dan Belawa, status mana pernah diberikan juga kepada Pammana dan Timurung pada waktu agama Islam mulai masuk di Wajo.
Dua tahun setelah Paria dan Rumpia ditaklukkan, maka datanglah Arung Paria Tenrijarangeng dan Arung Rumpia To Embong, menyampaikan kepada Arung Matoa bahwa mereka keberatan terhadap penolakan Arung Gilireng dari Arung Sakkoli untuk menyuruh kembali orang-orang Paria dari Rumpia yang pergi ke kedua negeri itu. Selama dua bulan lamanya dua orang suro Wajo berulang kali pergi ke Arung Gilireng dan Arung Sakkoli atas perintah Arung Matoa dengan masing-masing membawa persembahan tanda penghormatan satu orang, sepanjang gelang tangan dan selembar sampu (kain) dengan permintaan kiranya orang-orang Paria dan Rumpia yang berada di kedua negeri itu disuruh kembali, namun itu sia-sia. Kedua orang raja tersebut menyatakan, bahwa orang-orang Paria dan Rumpia yang telah berada di negeri mereka telah ditakdirkan oleh dewata untuk diperintah oleh mereka. Berhubung karena itu orang-orang Wajo menyerang Sakkoli. Hanya lima hari bertempur, menyerahlah Arung Sakkoli yang bernama La Baba (atau La Bab’ba’) Sengngo (La Ba’ba) dan setelah mempersembahkan denda perang berupa dua orang, tiga lembar sampu dan tiga pasang gelang tangan, maka Sakkoli diterima menjadi daerah Wajo dan dimasukkan Limpo Bettempola (Abidin, 1999:150).
Setahun kemudian Sakkoli dan Gilireng ditaklukkan bersamaan dalam waktu tiga hari, Gilireng ditaklukkan oleh Wajo, setelah berperang sebulan lamanya. Gilireng dimasukkan limpo Bettempopola, maka (Noorduyn, 1955:172) disebut dengan jelas statusnya atani Gilireng napuang Wajo (abdilah Gilireng dan tuanlah Wajo). memuat isi perjanjian yang dapat ditafsirkan dalam dua pengertian: anginlah Wajo dan daun kayu Gilireng, apa saja kehendak Wajo … (status: abdi)… dan baik dari dalam, maupun dari luar hendak merusakmu, masuklah menyampaikannya kepada ibumu.
Sebulan setelah penggabungan kedua negeri tersebut, maka arung patappulo, bersama Arung Simettempola La Tiringeng memusyawarahkan perkara To Angkone, Ranreng Bettempola, yang dituduh telah menculik perempuan bernama We Nibadan: diserahkannya kepada Opu Rajeng dari Luwu. Menurut Arung Simettempola perbuatan To Angkone itu terang melanggar hak-hak kebebasan rakyat yang telah dikukuhkan oleh perjanjian pemerintahan. Maka dipecatlah To Angkone dari jabatannya dan ia pergi ke Luwu. To Angkone juga dikenakan hukuman pengusiran dari Wajo, karena ia mempermalukan Wajo.
Orang-orang Wajo, memilih La Paturusi To Ma’dualeng, putra La Tiringeng To Taba menjadi Ranreng Bettempola, yang pada waktu itu belum cukup berusia sepuluh tahun, namun La Paturusi yang dianggap cakap dan jujur itu menolak hasil pemilihan itu, karena melanggar adat yang disebut mana’ lele busa (warisan pindah busa). Yang disebut warisan pindah busa ialah bila seorang anak diwariskan sesuatu jabatan atau harta pusaka, sedangkan ayah atau ibunya masih hidup. Menurut hukum adat kewarisan Bugis ayah dan atau ibu seorang anaklah yang seharusnya mewarisi pusaka. Maka La Paturusi mengusulkan kepada arung patappulo, supaya Arung Simettempola La Tiringeng memegang sementara jabatan ranreng yang lowong berdasarkan adat tetap Wajo sampai keluarga Bettempola memilih calon ranreng yang harus disyahkan oleh arung patappulo. Arung Simettempola La Tiringeng To Taba dengan demikian memangku sementara jabatan ranreng.
Arung Simettempola La Tiringeng To Taba memberi petuah mengenai pelbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat, banyak ajaran dan pesan beliau, yang paling penting dikemukakan adalah:
– Yang membawa kebaikan negeri ialah bicara (peradilan) berdasarkan kejujuran yang getang, adat yang baik dan dipertahankan dan pa’batang yang kuat, tujuan pa’batang (hukum adat) ialah tempat bernaung orang-orang yang lemah dan jujur, tempat terbenturnya orang-orang kuat yang curang, ia juga pagar negeri terhadap orang-orang yang berbuat sewenang-wenang.
– Harta benda kerajaan yang merupakan rnilik publik tidak boleh diwarisi dan diwariskan, tetapi harus digunakan untuk kepentingan kerajaan saja.
Pedoman adat untuk melakukan check and balance of power: Arung Bettempola yang bertugas mengantarai arung matoa dan limpo, yaitu jikalau pemerintah limpo lalai melaksanakan adat kebiasaan, maka ia ditegur oleh Arung Betteng dan jikalau arung matoa melanggar wewenang pemerintah limpo, maka ia harus ditegur oleh Arung Betteng; para ana’ mattola (bangsawan tertinggi) bertugas menggantarai para arung ma’bicara, para ranreng dan para bate lompo, siapa saja yang melanggar wewenang sesamanya pejabat harus ditegur oleh para bangsawan tertinggi itu; di tingkat limpo para pa’juku (pembagi daging) bertugas untuk mengantarai para arung ma’bicara dan para matoa limpo atau punggawa ina tau, yaitu jikalau arung ma’bicara merampas wewenang para punggawa yang mewakili rakyat limpo (dan lili), maka pa’juku harus menegurnya.
– Yang membesarkan Wajo ialah peradilan yang berdasarkan kejujuran, getang dan tegas melaksanakan adat dan pelaksanaan serta perlindungan hak-hak kebebasan orang-orang Wajo. Hak-hak kebebasan itu ditandai oleh tiga hal: orang Wajo tidak boleh dihalangi kehendaknya, tidak boleh dilarang berkata dan tidak boleh dilarang ke mana saja yang disukainya.
– Orang-orang Wajo (para bangsawan dan orang merdeka) itu bebas, bebas sejak dilahirkan, negerilah yang abdi dan hanya adat berdasarkan persetujuan mereka yang dipertuan oleh meka warga kerajaan Wajo diakui hak-hak kebebasan mereka dan mereka tidak boleh diperlakukan sebagai abdi oleh pemerintah dan para pejabat kerajaan adalah public servant; negeri diumpamakan sebagai pohon bajo besar yang rindang daunnya tempat bernaung rakyat (Abidin, 1985:493).
Oleh Noorduyn dipersoalkan tidak tepatnya pengangkatan To Taba sebagai Ranreng Bettempola, oleh karena To Taba menurut silsilah berasal dari garis samping. Di dalam silsilah para Pa’danreng Bettempola, bahwa adalah wewenang arung simettempola untuk merangkap sementara jabatan arung matoa, oleh karena arung matoa belum terpilih oleh arung patappulo atau ranreng dan bate lompo belum terpilih oleh anggota-anggota keluarga para ranreng dan belum disyahkan pilihan itu oleh arung patappulo.
Sementara itu La Paturusi To Ma’dualeng yang menurut silsilah adalah sepupu sekali dengan Arung Matoa II La Obi Settiriware (We Taose, ibu Settiriware bersaudara dengan We Tenriwiseang, ibu La Paturusi), dan oleh karena itu merupakan juga ahli waris jabatan ranreng Bettempola, menolak untuk memangku jabatan itu, maka menurut ade’ puraonro jabatan itu sementara dipangku oleh Arung Simettempola.
Keluarga Bettempola mungkin tidak dapat menemukan ahli waris yang memenuhi syarat (yang berdarah bangsawan murni, jujur, cakap, keturunan yang berulang kali dari ranreng Bettempola, kepatutan dan hak mewaris, karena:
– Kejahatan yang dilakukan oleh To Angkone.
– Putra Settiriware, La Warani To Temmagiang (Arung Matoa VIII) pada waktu itu mungkin masih kecil dan anak-anak La Tenriumpu adalah perempuan yang mungkin juga belum dewasa (LSW: 110).
Bahwa La Tiringeng To Taba adalah keturunan manurung dari Sangalla, dan keterangan anak-anak Andi Makkaraka, (semuanya keluarga wangsa Bettempola), La Tiringeng To Taba adalah putra La Tenriaji, Arung atau putra Arung Sailong dan We Cammikku, cucu La Tenribali, Batara Wajo (Noorduyn, 1955:160). Beliau memegang peranan besar di Wajo pada saat Batara Wajo La Pate’dungi To Samallangi melakukan perbuatan tidak susila dan beliau (dengan bantuan kemanakannya, La Tadampare) yang menciptakan konsep pemerintahan di Wajo yang membatasi kekuasaan raja dan mengukuhkan hak-hak kebebasan orang-orang Wajo.
Karena kecakapan La Tiringeng To Taba dan putranya, La Paturusi To Ma’dualeng, terjadi perubahan-perubahan. Di Bettempola mulai muncul kecakapan Wajo (maksudnya: La Tiringeng). Di Talo’tenreng mulai muncul kekuatan Wajo (maksudnya: Petau Larie To Allawa) dan di Tuwa mulai muncul kekayaan Wajo (maksudnya: orang-orang Tuwa terkenal karena ketekunan dan kerajinan mereka berusaha)
Lima malam setelah orang-orang Wajo kembali ke negeri mereka, datanglah Arung Palippu To Pakere atau To Pakereng bergelar Mattekkempessie atau To Pakereng Mattekkempessie bersama Arung Data yang bernama La Temmattuppu atau La Termmatumpa serta Arung Totinco bergelar To Majetta mempersembahkan tiga orang, tiga lembar kain dan tiga pasang gelang tangan dan memohon agar negeri mereka yang disebut Wajo Riaja (Wajo Barat) diterima menjadi sealing senraja (sanak yang sederajat) dengan apa yang mereka namakan Wajo Rilau (Wajo Timur), yang diterima baik oleh Arung Matoa La Tadampare. Wajo bukanlah kerajaan federatif, tetapi kerajaan kesatuan dengan pemberian hak-hak otonomi secara luas kepada daerah-daerah yang dengan suka rela menggabung dan hak otonomi terbatas pada daerah taklukan.
Semua adat daerah tidak boleh bertentangan dengan perjanjian Majauleng dan Lapa’-deppa, Wajo Barat harus mengembalikan orang-orang Ana’banua dan Lowa yang menyingkir ke Wajo Barat, dan kira-kira setahun setelah meninggalnya La Tadampare Puang ri Ma’galatung (± 1522) Wajo Riaja yang hendak menaklukkan Otting, Belawa, Lowa, Tempe, Singkang, Wage dan Tampangeng (semuanya daerah lili’ Wajo Timur) diserang oleh orang-orang Wajo Rilau, yang dibantu oleh orang-orang Luwu berdasarkan perjanjian Singkeru Patolae ri Topaceddo dan dikalahkan. Ketiga negeri yang tergabung di dalam Wajo Riaja diturunkan statusnya dari seajing senraja menjadi ana’.
Dari peristiwa perlawanan Macanang, Attata, Wajo Riaja dan Pammana dapat ditarik kesimpulan betapa tidak efektifnya kekuasaan pemerintah pusat Wajo di daerah-daerah dan salah satu sebab ialah terlampau luasnya hak otonomi daerah-daerah itu, sehingga mudah melepaskan diri atau menyerang sesamanya daerah bagian.
Berapa lama kemudian tiba di Wajo seorang utusan Luwu membawa 30 buah tolong (bakul yang penutupnya berbentuk lancip) dan 30 buah bakul biasa yang kosong untuk diisi oleh Wajo sebagai tanda berkabung berhubung meninggalnya Datu Luwu La Busatana, dinamakan juga La Mallae, Datu Luwu X. Adat semacam itu berlaku di Luwu terhadap negeri-negeri taklukan.
Ada dua hal yang aneh terhadap pemberitaan lontarak-lontarak tersebut:
– Disebutkan Datu Luwu La Busatana, sedangkan lebih dahulu Datu Luwu bernama Dewaraja atau Pajadewa bergelar Dangkelali atau Datu Kelali atau To Sangereng dan Datu Luwu X adalah La Mallalae, ayah To Sangereng Dewaraja.
– Diwajibkannya Wajo ikut berkabung sebagai tanda pengakuan sebagai lili” Luwu (Abidin, 1985:500)
Untuk membuktikan, bahwa Wajo bukan daerah bagian Luwu, maka Arung Matoa La Tadampare menyuruh orang suruhan Luwu kembali ke negerinya dan menyatakan, bahwa perjanjian Luwu dan Wajo tidak meliputi perkabungan bersama. Untuk menguatkan pendapat Arung Matoa, maka dengan segera ketiga negeri yang disebut tana sitonrae (negeri-negeri yang bersambungan) yang diwarisi Datu Luwu dari nenek moyangnya bernama Anakaji, Datu Luwu II diserang oleh Wajo. Hanya sehari saja berperang maka ditaklukkanlah tana sitonrae yang meliputi Wage, Tampangeng dan Singkang, dan ketiganya diberi status abdi. Untuk pertama kalinya limpo Talo’tenreng diberi negeri yaitu Wage, sedangkan yang lain dimasukkan limpo Bettempola. Warga ketiga negeri itu pada waktu tertentu diwajibkan memikul barang dan mendayung perahu.
Karena itu, dalam semua naskah tersebut di atas tidak terdapat pemberitaan tentang pelaksanaan pengabdian Tempe dan Luwu. Bahwa status Tempe adalah seajing dan tidak dimasukkan salah satu limpo, tetapi langsung berada di bawah naungan pemerintah pusat Wajo. Maka menurut istilah seajing ada hubungannya dengan adat tegur sapa saja, namun Tempe secara de facto adalah abdi, karena mempunyai kewajiban tertentu terhadap Wajo berdasarkan perjanjiannya dengan Wajo, bahwa Tempe akan melaksanakan pengabdiannya pada Wajo sesuai dengan pengabdiannya pada Luwu (Abidin, 1985: 502)
Sebulan setelah penaklukan negeri-negeri tersebut, maka berselisihlah Datu Pammana La Tenrijello atau putra Datu Pammana La Tenrijello dan sepupu sekalinya, Datu Limpua Mappalo Ulawengnge, disebabkan adanya peramal di Limpua bergelar Puangnge ri Lompi-lompi berbuat tidak senonoh. Sillsilah Pammana tidak mengenal La Tenrijello sebagai Datu Pammana.
Ada pendapat yang menyatakan, bahwa apa yang dinamakan “La Tenrijello'” oleh lontarak-lontarak ialah We Tenrilallo, karena lontarak-lontarak tersebut menyatakan, bahwa yang menggantikan We Tenrilallo, yang mula memakai gelar Datu Pammana, ialah La Tenripatang To Kellingnge, yang memerintah pada waktu Pammana diturunkan statusnya dari anak menjadi abdi. Kalau We Tenrilallo Datu Pammana diwakili dalam penggabungan negerinya pada Wajo, maka yang mungkin mewakilinya ialah putra mahkota, La Tenripatang To Kellingnge.
Datu Pammana dan Datu Patila meminta kepada Arung Matoa La Tadampare untuk pa’daoi (memelukkan; menggabungkan) negeri mereka pada Wajo. Maka Datu Pammana dan Datu Patila mengadakan perjanjian dengan Arung Simettempola, di mana kedua pihak sepakat, bahwa Pammana dan Patila adalah ‘anak’ dan Wajo adalah ‘ibu’, serta kedua pihak akan sehidup semati. Setelah perjanjian diadakan, maka Pammana dan Patila meminta supaya Wajo memerangi Limpua, karena. Puang’ri Lompi-lompi merusak perkerabatan Pammana, Patila dan Limpua. setelah Arung Matoa menanyakan kepada Datu Pammana, bahwa apakah Pammana benar-benar sudah memutuskan tali kekeluargaan dengan Limpua yang diiakan, maka Wajo bersama semua lili, Pammana dan Patila menyerang Limpua. Sehari saja pertempuran berjalan, maka Limpua ditaklukkanlah dan Puangri Lompi-lompi melarikan diri. Hanya Weromma’dukku yang menjaga Lagosi yang mengadakan perjanjian Limpua. Maka Limpua dibagilah oleh Wajo dan Pammana. Pammana memperoleh Use’ (isi; daerah inti) Limpua, sedangkan Wajo mendapat arompa (kulit; daerah pinggiran).
Setelah ditaklukkannya Limpua, datang untuk kedua kalinya Arung Timurung, bernama La Pa’bola bergelar Puanna Amanna Ma’jali’ulawengnge untuk menguatkan kembali status kemanakannya untuk meminta bergabung pada Wajo dengan status anak atau ana’ makessing (anak baik) menurut Mak 44. Penggabungan tersebut termaksud agar Wajo melindungi Timurung, karena Bone dan Luwu yang berbatasan dengan Timurung makin lama makin besar yang merupakan ancaman bagi Timurung (Abidin, 1985:504).
Mungkin secara de facto Timurung tidak menjalankan lagi tugasnya sejak meninggalnya La Tadampare Puang ri Ma’galatung, dan kemudian menggabungkan diri pada Bone setelah Bone menjadi kuat dan Wajo menjadi lemah. Wajo telah meluas (meliputi Timurung) setelah Arung Matoa La Tadampare memerintah 20 tahun lamanya serta hampir semua lontarak menyatakan, bahwa La Tadampare memerintah selama 30 tahun lamanya.
Pada masa pemerintah beliau, tidak ada satu pun daerah passeajingeng, lili’ paseajingeng (yang berstatus adik dan anak) dan lili (abdi) yang pernah menarik diri dari penggabungannya. Maka dapat disimpulkan, bahwa sekurang-kurangnya sepuluh tahun lamanya, Timurung menjadi ana Wajo secara de facto dan de Jure (Poelinggomang jilid 1, 2004:56). Dua bulan setelah Timurung berggabung, arung patappulo sepakat untuk memanggil Datu Bola bernama To Sune atau Toso atau To Osong untuk pindah berkampung di dataran, karena ia terkenal gemar mengacau di beberapa daerah. Panggilan mana tidak diindahkannya, bahkan ia memerintahkan orang-orang Bola untuk menurunkan perahu-perahunya di danau.
“Engkau belah lapangan segi empat yang luas, potong yang panjang” berarti bahwa dengan pemberian daerah oleh Wajo, maka Bola yang sudah diperluas itu sudah pantas menjadi daerah bagian Wajo karena telah ada keseimbangan, keserasian dan kepantasan. “Bertani berseberangan”, artinya kita hidup berdampingan secara damai untuk mengerjakan sawah kita. “Engkau menelungkupkan pematang di Wajo, artinya engkau berdiam di Wajo untuk membuka sawah dan kebun atau mencari nafkah.
Pada tahun 1528 ada tiga wilayah kerajaan sepakat melakukan perjanjian yaitu Bone, Soppeng dan Wajo perjanjian ini disebut “Tellumpoccoe”, Soppeng pada waktu itu mengemukakan kekurangannya, Soppeng menganggap tidak patut menjadi “saudara-bungsu”, Wajo juga mengemukakan keberatannya, karena Wajo belum jelas bebas dari pengabdiannya terhadap Gowa, sebab pembebasan itu hanya dihadiahkan oleh Gowa dan bukan Wajo yang memerdekakan dirinya. Bone menjawab, bahwa Wajo telah merdeka sejak ia mengalahkan Bulo-Bulo, maka Wajo hanya berkeluarga dengan Gowa, dan bilamana Gowa masih hendak menjajah Wajo maka ketiga negeri bersaudara akan melawannya, kepada Soppeng diberikanlah beberapa daerah oleh Bone dan Wajo, sehingga Soppeng merasa patut “seayah dan seibu” dengan Bone dan Wajo (Abidin, 1985:506).
Pada hari yang telah ditentukan, mereka bertemu di Timurung, untuk mengadakan rapat yang dihadiri oleh raja Bone La Tenrirawe Bongkangnge Matinroe ri Gucingna, Arung Matowa Wajo La Mungkace Toudama dan Datu Soppeng La Mappaleppa Patolae Arung Belo. Ketiganya sepakat melakukan perjanjian yang mereka namakan Tellupoccoe (tiga besar) yang berlangsung pada tahun 1582 di Kampung Bunne di daerah Timurung Bone. Kemudian lazim disebut “Lamumpatue ri Timurung” (Penanaman batu di Timurung). Peristiwa tersebut dihadiri oleh ketiga raja dari tiga kerajaan yaitu Tosualle, Kajaolaliddo dan Tomaddualeng. Bagi raja Gowa Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bonto Langkasa memahami bahwa persekutuan ini merupakan tantangan politik dari Bone, Wajo dan Soppeng (Patunru, 1983:51).
Kira-kira sepuluh tahun setelah perjanjian tersebut barulah kerajaan-kerajaan di tanah Bugis mencapai kesempurnaan. Wajo muncul sebagai negeri yang besar, seperti keadaannya pada masa pemerintahan Tadampare ri Maggalatung, dan Toudama meninggal pada tahun 1627 setelah masa pemerintahan selama kurang lebih 40 tahun.
- Penutup
Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh dua arung matoa I La Palewo To Palipu dan La Tadampare Puang ri Manggalatung dengan baik. Program-programnya adalah lebih mementingkan kepentingan rakyat, seperti La Palewo To Palipu membuat Kerajaan Wajo menjadi lebih luas dengan menaklukkan negeri-negeri di sekitar Kerajaan Bone, karena bagi La palewo To palipu Kerajaan Wajo masih terlalu kecil. Demikian juga dengan Arung Matoa IV La Tadampare menjadikan Kerajaan Wajo menjadi lebih besar, karena selain menaklukkan negeri-negeri di sekitar Kerajaan Wajo kedua arung Matoa ini menggabungkan beberapa kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Wajo.
Program-program yang dilakukan oleh Arung matoa La Palewo To palipu adalah membuat peranan matoa limpo dan punggawa ina tau lebih besar, namun punggawa tidak boleh diwariskan. La Palewo To Palipu membagi tiap-tiap limpo menjadi empat bagian yang disebut ana limpo yang dikepalai arung ma’bicara. Angka empat sering menunjukkan kesempurnaan, misalnya oroane sulapa eppa (lelaki segi empat) yang berarti seorang lelaki yang sempurna, karena memiliki empat sifat yang baik. Selain itu ia juga mengatur peraturan hukum pewarisan.
Sedangkan Arung matoa IV La Tadampare Puang ri Manggalatung melakukan program dengan juga memperluas wilayah kerajaan Wajo lebih luas dengan selain menaklukkan negeri-negeri di sekitar Kerajaan wajo juga menggabungkan beberapa wilayah menjdai bergabung dengan Kerajaan Wajo, seperti Timurung, pariya, dan sebagainya. La tadampare dengan aktivitasnya se
Jak muda, karena ia sangat ahli dalam perang, kemudian pada saat memimpin menjadi Arung Matoa IV terkenal sangat bijaksana, cakap, dan jujur, karena banyak lontarak-lontarak menyebut demikian. Arung Matoa IV ini membawa perobahan-perobahan kepada Kerajaan Wajo, karena pada masa ini puncak kejayaan Kerajaan Gowa.
Figur- kedua Arung matoa wajo ini amat sesuai ditampilkan pada masa sekarang ini, mengingat semakin banyaknya figur-figur tokoh yang dari segi moral sangat lemah, sehingga kehadiran dua tokoh ini dapat ,enjadi inspirasi bagi generasi muda ke depannya agar lebiah baik
DAFTAR PUSTAKA
Lontarak-lontarak
LSW (Lontarak Sukkuna Wajo)
LWHAS (Lontarak Haji Andi Sumange Rukka)
LWAM (Lontarak Haji Andi Malanti)
Lontara Akkarungeng Ri Wajo (1)
Buku-buku, makalah
Abidin, Andi Zainal 1985. Wajo Abad XV-XVI, Suatu Sejarah Terpendam di Sulawesi Selatan dari Lontara. Alumni: Bandung.
_________, 1991. Capita Selecta Sejarah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
_________, 1971. Lontarak Sebagai Sumber Sejarah Sulawesi Selatan, Prasaran pada Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta 1970, Terjemahan dalam Bahasa Inggeris dimuat di dalam Bahasa Indonesia, Cornell Modern Indonesia Project, Itaca, New York 1971.
Abu Hamid, 1968. Catatan Struktur masyarakat Wajo dahulu, Sengkang
Mattulada, 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan.Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.
Noordyun, J. 1955. Een Achttiende Eeuwe Kroniek van Wajo Buginese Historiografie, Proefscrift, Leiden, H. L. Smits. S Gravenhage.
Paramata, Andi. 1968. Daftar Silsilah Raja-raja Wajo, (tidak dipublikasikan)
Patunru, Abd Razak. Sejarah Bone. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
_________, 1983. Sejarah Wajo. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Poelinggomang, Edward L. 2004. Sejarah Sulawesib Selatan Jilid 1.Makassar: Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan.
Sistem Pemerintahan Di Indonesia. Kus-kus.blog spot.co.id/2013/7
[1] Arung simetempola yang kemudian berubah menjadi arung bettempola, yaitu sebagai wakil rakyat pembela hak-hak kebebasan rakyat, juru bicara Wajo. Ibu rakyat ketiga limpo. Kemudian atas nama rakyat Wajo mengangkat dan memecat arung matoa, ia berwewenang untuk mengisi sementara jabatan arung matoa dan ranreng bilamana lowong