You are currently viewing POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN DI PULAU PASI, KABUPATEN SELAYAR

POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN DI PULAU PASI, KABUPATEN SELAYAR

ABDUL ASIS

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar 90221

Telepon (0411) 885119 Faksimile (0411) 865166, 883748

Pos-el:  asisabdul72@gamil.com

Diterima: 15 januari 2015; Disetujui: 18 Mei 2015

 

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk mengetahuan kehidupan masyarakat di Desa Bontolebang, Pulau Pasi Kabupaten Selayar. Kehidupan masyarakat di Desa Bontolebang ini umumnya menggantungkan hidupnya dengan melaut. Penelitian menggunakan deskriptif kualitatif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan yang diamati. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat di daerah adalah mencari ikan pada malam hari hingga menjelang pagi. Alat penangkapan yang mereka gunakan bentuknya masih sangat sederhana dan tradisional. Alat tangkap tersebut berupa pekang ”pancing’, jaring, bubu ’buhu’, dan sero. Keadaan cuaca sangat mempengaruhi hasil tangkapan masyarakat nelayan di daerah ini. Biasanya bila mendapatkan hasil tangkapan yang banyak mereka langsung menjualnya di TPI di Kota Benteng. Hasil penjualan ikan yang mereka dapat langsung dibelanjakan di pasar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

 

Kata kunci: Kehidupan masyarakat nelayan, alat tangkap, Pulau Pasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Masyarakat nelayan Pulau Pasi, di Desa Bontolebang, Kecamatan Bontoharu Kabupaten Kepulauan Selayar pada umumnya menggantungkan hidupnya di laut. Wilayahnya yang terpisah dengan daratan Benteng Kabupaten Selayar memiliki sejumlah atribut dalam konteks kehidupan sosial budaya masyarakatnya yang masih digambarkan sebagai masyarakat terbelakang. Ketika pada malam hari yang seharusnya dipergunakan untuk beristirahat bersama dengan keluarga (istri dan anak), justru waktunya mereka habiskan dan gunakan untuk mencari nafkah dengan  melaut. Tampaknya bila kita amati kehidupan sosial masyarakatnya  sungguh eronis karena merupakan suatu kondisi dan pilihan hidup yang harus dijalani, yang penuh dengan tantangan dan perjuangan.

Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan  pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut (Kusnadi, 2009). Nelayan adalah suatu komunitas yang sumber kehidupannya melakukan kegiatan  penangkapan ikan baik di laut, teluk, danau, sungai, maupun perairan umum dengan menggunakan sarana penangkapan seperti perahu atau kapal, jaring, dan sarana lainnya. Sedangkan nelayan umumnya diartikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum dan mereka bekerja dalam ruang lingkup perikanan, seperti memasarkan dan mengolah hasil perikanan. Nelayan, umumnya menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas nelayan. Pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan diperoleh dari orang tua mereka berdasarkan pengalaman empiris. Para nelayan menyadari bahwa kegiatan melaut mengandung resiko yang besar, akan tetapi mereka tidak gentar dalam menghadapi tantangan.

Menurut Imron (dalam Mulyadi (2005), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggi pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Direktorat Jenderal Perikanan (2000:42) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air, dan tanaman air lainnya. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut sebagai nelayan meskipun mereka secara tidak langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan, pada kegiatan pembudidayaan, orang yang disebut petani ikan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.

Ngatimin (1987:32) menyatakan nelayan adalah orang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap sederhana, seperti : pancing, jala atau jaring, bagan dan bubu. Seiring dengan perkembangan teknologi, orang yang menggunakan alat tangkap modern seperti kapal motor beserta anak buahnya disebut  juga nelayan.  Hal senada diungkapkan Satria (2002:69) bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, atau sering kita sebut anak buah kapal (ABK).  Sedangkan Gordon (1986:44) mengemukakan bahwa nelayan adalah orang yang melakukan penagkapan ikan baik di perairan laut ataupun di perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat tangkap ikan.

Dari berberapa argumen tentang nelayan di atas, dapat disimpulkan bahwa nelayan adalah orang yang  pekerjaan utamanya melakukan penangkapan ikan serta binatang air lainnya baik di laut, teluk, sungai, maupun danau dengan secara tradisional maupun secara modern.

            Berdasarkan latar belakang atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: Bagaimana  potret  kehidupan masyarakat nelayan di Pulau Pasi   Kabupaten Selayar ? adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potret kehidupan masyarakat nelayan di Pulau Pasi Kabupaten Selayar.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai  gambaran terhadap potret kehidupan masyarakat nelayan di Pulau Pasi  Kabupaten Selayar. Menurut Bogdan & Taylor, (1993:5) jenis penelitian ini menghasilkan data deskriptif  berupa  kata-kata  tertulis  atau  lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Sementara itu, Sugiono (2008:1) memandangnya sebagai penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), yakni suatu metode penelitian yang meneliti kondisi objek secara alami.

Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari informan berupa kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati dengan menggunakan observasi partisipan dan wawancara.  Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari pengkajian bahan pustaka berupa buku-buku, yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Teknik pengumpulan data yakni pengamatan yang dilakukan untuk melihat dari dekat kondisi yang sebenarnya. Dengan  pengamatan  tersebut  peneliti  dapat  merekam  dan mengambil foto guna  menggambarkan  aktivitas masyarakat di Pulau Pasi ini tersebut. Wawancara mendalam (indepth interview) terhadap berbagai informan dengan merujuk kepada  pedoman wawancara  berupa pertanyaan deskriptif, yaitu suatu pertanyaan yang mencari jawaban tentang segala hal yang berhubungan dengan topik penelitian. Dokumentasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat mendukung dan penting digunakan dalam suatu penelitian kualitatif, dalam rangka mengetahui berbagai literatur, referensi, artikel, surat kabar, hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Moleong (2000) yang berjudul ”Metode Penelitian Kualitatif”, Bahwa salah satu ciri khas penelitian kualitatif adalah peneliti sebagai instrumen. Olehnya itu, dalam analisis data dapat dilakukan di lapangan walaupun analisis data secara intensif barulah dilakukan sesudah berakhirnya pengumpulan data.

POTRET KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN DI PULAU PASI

Letak, Luas Wilayah, dan Kondisi Lingkungan

Pulau Pasi adalah pulau yang terletak di Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar. Pulau ini berada tepat di sebelah barat Pulau Selayar dengan jarak ± 1 mil dari Kecamatan Benteng ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar atau sekitar 15 menit perjalanan melalui jalur laut. Pulau Pasi berseberangan dengan Pulau Gusung (terletak di bagian utara Pulau Pasi) dan hanya dipisahkan oleh selat kecil yang dinamai Tarrusang. Di pulau ini terdapat 2 buah desa yakni Desa Kahu-kahu dan Desa Bontoborusu (Kepulauan Selayar Dalam Angka, 2013).

Pulau Pasi merupakan pulau terluar bagian barat Kabupaten Kepulauan Selayar. Di sekitar pulau biasanya digunakan sebagai lokasi diving dan tempat memancing terutama yang mengarah ke Laut Sulawesi. Beberapa warga memanfaatkan daerah dipinggir pulau sebagai area tambak beberapa jenis ikan laut yang berkualitas ekspor dan jenis lobster.

Di Pulau Pasi ini terbagi atas tiga wilayah pemerintahan desa yakni Desa Bontobarusu di bagian Selatan, Desa Kahu-Kahu di bagian tengah, dan  Desa Bontolebang berada di bagian Utara.  Pulau ini  menjadi “pelindung” Kota Benteng dari arus dan ombak terutama pada musim barat (moonson). Salah satu dari desa ini adalah sebagai  lokasi objek penelitian yakni Desa Bontolebang. Lokasi ini di pilih karena jaraknya lebih dekat  dari Kota Benteng.  Secara astronomis Desa Bontolebang  terletak dititik koordinat antara 6°10′26.42″S 120°24′25.95″E. Secara pemerintahan administratif  desa ini terbagi ke dalam tiga wilayah gusung (dusun), masing-masing: Gusung Barat, Gusung Timur, dan Gusung Lengu, dengan batas-batas wilayah, sebagai berikut: Sebelah Barat berbatasan dengan laut Flores; Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kahu-Kahu; Sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores; dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Benteng.

Desa Bontolebang memiliki luas wilayah sekitar 1,21 km2 dengan panjang garis pantai 9500 dengan karekteristik bergaris putih dan  didominasi oleh karang jenis acropora. Potensi desa ini berupa perikanan tangkap. Ikan karang dan ikan palagis merupakan jenis biota perikanan yang hampir ditemukan di sepanjang pesisir pulau ini. Karekteristik fisik lahan dilingkungan ini berupa pantai berpasir putih.

Luas keseluruhan wilayah tersebut dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat di ketiga dusun. Luas wilayah dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk,  jalan setapak (peving blok) sepanjang 1,21 km, jembatan, tanggul penahan ombak sepanjang 1 kilo meter, MCK umum 18 unit, mesjid sebanyak 3 unit, perkebunan kelapa. Selebihnya dimanfaatkan untuk bangunan infrastruktur, seperti bangunan kantor desa, balai pertemuan, kantor LPM/LKMD, kantor PKK, Gedung sekolah mulai dari TK, SD sampai SMP, Puskesmas Pembantu (Pustu), Posyandu, Lapangan olah raga, dan lain-lain. Pemanfaatan luas lahan berdasarkan bidang kepentingan  tidak ditemukan data secara terperinci.

Kondisi wilayah daerah ini merupakan tanah datar dengan ketinggian wilayah rata-rata 0 – 25 cm  dari permukaan laut dan  beriklim tropis. Kondisi ini dipengaruhi oleh letak  geografis  yang berbatasan langsung dengan laut lepas.

Keadaan cuaca sangat mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Ikan-ikan hasil tangkapan mereka sebagian besar nelayan di pulau ini masih menggunakan alat tangkap sederhana berupa pekang ‘pancing’, buhububu’, pukat, rawe dan sero. Hasil tangkapan biasanya dijual ke pedagang pengumpul, ada pula dititipkan kepada pemilik perahu untuk dipasarkan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kota Benteng. Sedikit banyaknya hasil tangkapan dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarganya. Menurut sumber dilapangan (hasil wawancara: AR:  Maret 2013) bahwa tidak selamanya saat turun melaut dapat memperoleh hasil yang diharapkan, kadang dapat  banyak, kadang pula dapat sedikit. Bilamana ikan yang diperoleh hanya cukup untuk konsumsi sehari semalam maka mereka tidak menjualnya. Namun, jika  mendapatkan hasil tangkapan lebih, mereka  langsung menjualnya ke TPI. Atau istrinya yang mengantar langsung ke TPI yang ada di Kota Benteng. Hasil penjualan ikan digunakan belanja ke pasar untuk keperluan rumah tangga, seperti: beras, sabun, gula, teh, kopi, odol, bumbu dapur, dan keperluan lainnya.

Demografi

Berdasarkan data potensi desa tahun 2013, jumlah penduduk Desa Bontolebang  tercatat sebanyak 904 jiwa, yang tersebar di ketiga dusun (gusung). Dari jumlah tersebut  penduduk berjenis kelamin laki-laki sebanyak 447 jiwa atau 49,46 %, dan penduduk berjenis kelamin perempuan 457 jiwa atau 50,54%. Jumlah penduduk tersebut terakumulasi ke dalam 270 kepala keluarga. Dengan kata lain setiap rumah tangga, rata-rata terdiri atas 3-4 anggota keluarga. Setiap unit rumah tangga terdiri atas satu atau lebih keluarga batih. Seperti anggota keluarga yang telah menikah dan belum memiliki tempat tinggal tetap biasanya dalam hal pekerjaan mereka saling membantu dan bertanggung jawab atas urusan ekonomi keluarga.

Etnis yang mendiami  di Desa Bontolebang keseluruhannya adalah suku Makassar dan umumnya menggunakan bahasa daerah Makassar sebagai bahasa pengantar dalam berinteraksi, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian, penggunaan bahasa Indonesia sudah mulai diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar, begitu pula ibu-ibu yang memiliki balita sudah mulai dibiasakan dan diajak berkomunikasi bahasa Indonesia    sebelum memasuki  sekolah tingkat taman kanak-kanak agar mereka tidak canggung.

Transportasi

Aksesbiliti punduduk di sepanjang pesisir Pulau Pasi (gusung) ini tergolong lancar dengan tersedianya akses transportasi laut menuju Benteng ibu kota Kabupaten Selayar dengan jarak tempuh sekitar 3 km2 dengan waktu tempuh kurang lebih 30 menit menggunakan  perahu dayung,  perahu papan kecil, sedang dan besar, dan perahu berjenis  jolloro menggunakan mesin 4.5 pk – 16 pk  dengan berpenumpang 5 sampai 6 orang dengan biaya  sekali angkut sebesar Rp .10.000 dengan waktu tempuh kurang dari 30 menit.

Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di desa ini umumnya berprofesi sebagai nelayan dengan mengelola sumber daya laut yang tersedia. Nelayan-nelayan tersebut  umumnya masih menggunakan alat tangkap yang masih  tergolong tradisional yang didominasi oleh jaring insang (gill net) dan pancing ulur (hand line), bubu (portabel trap) dan “serok” sero (guiding barrier) dengan menggunakan perahu-perahu kecil maupun sedang dengan memakai perahu motor atau mesin penggerak yang berkekuatan 4.5-16 pk, dengan panjang perahu  < 10 m.  ABK berkisar antara 1 – 2 orang.  Operasi penangkapan dilakukan pada siang hari atau malam hari.

Masyarakatnya umumnya berprofesi sebagai nelayan termasuk di dalamnya ponggawa darat (pengusaha/pemilik perahu), sawi (nelayan buruh), nelayan pancing, nelayan yang menggunakan perangkap (traps), serta para pengumpul ikan yang dibeli langsung dari nelayan yang baru tiba dari melaut. Sedangkan yang berprofesi pedagang/kios adalah menyediakan barang-barang kebutuhan  sehari-hari seperti: gula, kopi, bumbu dapur, rokok, dan lainnya. Begitu pula yang berpropesi rangkap (nelayan, petani, dan peternak). Saat kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melaut, maka mereka melakukan pekerjaan sambilan dengan melakukan pemeliharaan dan perawatan kebun kelapa, atau menurunkan buah kelapa kemudian  diolah secara intensif menjadi kopra dan hasilnya dijual langsung ke pedagang besar di Benteng Selayar. Sebahagian lagi dijual kepada tetangga jika ada yang membutuhkan, karena tidak semua warga yang ada di desa ini memiliki pohon kelapa. Selanjutnya, penduduk yang berpropesi peternak dengan memelihara ayam, kambing dan itik, sebagian hasilnya sebagai tambahan untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Sistem Kekerabatan

Dalam setiap masyarakat manusia biasanya selalu mempunyai dasar-dasar pengelompokan terhadap warganya. Salah satu dasar pengelompokan yang dimaksud adalah kekerabatan. Kerabat itu sendiri pada hakekatnya tidak lain merupakan hubungan antara dua atau lebih dari satu individu yang terjalin secara intim, sehingga dapat membentuk suatu kesatuan sosial yang primer di mana para anggotanya turut mengidentifikasikan diri dalam bentuk kebersamaan.

Sistem kekerabatan pada masyarakat di Desa Bontolebang masih memegang peranan penting dalam rangka menegakkan kehidupan bersama maupun dalam kehidupan suatu komunitas tertentu. Dalam suku bangsa Makassar, pengertian kerabat identik dengan istilah bija. Konsep ini mengacu pada suatu pengertian akan adanya kelompok-kelompok individu yang terjaring dalam suatu ikatan kekerabatan.

 

Pendidikan

Pendidikan merupakan jalur yang tepat bagi masyarakat untuk mendapat bekal berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan dan dunia kerja. Dengan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan seseorang, maka potensi yang terdapat dalam dirinya dapat diaktualisasikan menjadi lebih produktif. Dengan demikian setiap anggota masyarakat akan ikut mengambil bagian dalam upaya meningkatkan taraf kehidupannya baik secara individu maupun kelompok. Pendidikan dipandang tidak hanya sekedar menambah pengetahuan, akan tetapi dapat meningkatkan keterampilan dan kesempatan untuk bekerja, dan pada gilirannya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak dapat meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan penduduk, serta dapat meningkatkan taraf kehidupannya.

Pada hakikatnya pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, meningkatkan mutu kehidupan, dan martabat manusia baik individu maupun sosial. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan individu dan masyarakat guna menghadapi masa depan.

Di Desa Bontolebang  tingkat pendidikan para nelayannya, tidak ditemukan data terperinci mengenai tingkat pendidikan para nelayan. Namun beberapa nelayan yang sempat saya wawancarai mengatakan bahwa tingkat pendidikan para nelayan umumnya sampai di sekolah dasar, ada yang tidak tamat dan ada pula sama sekali tidak pernah bersekolah. Kondisi seperti ini disebabkan karena sarana pendidikan yang tersedia di desa ini hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD) saja. Sedangkan Sekolah Lanjutan Menengah Tingkat Pertama (SLTP) fasilitasnya baru dibangun dan digunakan di tahun 2008 ini dan alumninya pun belum ada. Jadi, selama ini anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikan pada tingkat SLTP dan SMA harus ke kota benteng Selayar. Itu pun tidak semua anak-anak rela  terpisah dengan orang tuanya berlama-lama dan berdomisili di kota, karena transportasi laut pada saat itu belum memadai kembali pulang balik setiap hari dari kota Benteng ke Desa Bontolebang. Anak-anak yang betul-betul ingin melanjutkan pendidikannya, terpaksa harus tinggal di kota dan hanya bisa pulang ke kampung setiap 1 minggu atau 1 bulan.  Namun hasil wawancara di lapangan bahwa tingkat pendidikan para nelayan di Desa Bontolebang hanya segentir nelayan saja yang pernah mengecam pendidikan, itu pun hanya sampai tingkat SD dan SMP sebagian lagi  tidak tamat belajar, serta ada pula yang  sama sekali tidak pernah bersekolah:

”Riolo sikola SD ji nia’  ri kampongnga, punna erokki assikola ri SMP aklampapi tawwa ri Benteng Selayar ammantang, jai tau tena nagai, jari rata-rata tammat SD ji tawwa, loe urangku tanre natamma..

 

Artinya:

Dulu hanya tersedia sekolah SD di  kampung ini,  kalau kita mau melanjutkan ke SMP  harus tinggal di kota  Benteng Selayar. Jadi banyak di antara teman hanya sampai tingkat SD dan  ada pula tidak tamat.  (Hasil wawancara MN,   Maret 2013)

 

Sarana  pendidikan yang tersedia di Desa Bontolebang cukup memadai untuk sebuah wilayah setingkat pemerintahan desa yang berada di pulau dengan berpenduduk kurang dari 904 jiwa. Sarana pendidikan yang tersedia mulai Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SLTP). Ketiga sekolah ini hanya masing-masing mempunyai 1 buah fasilitas gedung sekolah. Sekolah Taman Kanak-Kanak memiliki murid sebanyak 60 orang dengan jumlah tenaga pengajar 4 orang. Tingkat Sekolah Dasar memiliki murid sebanyak 125 orang dengan jumlah tenaga pengajar 12 orang, dan SMP  memiliki siswa sebanyak 50 orang. SMP tergolong dibangun dan difungsikan pada tahun 2008. Guru-guru pengajar di Desa Bontolebang ini umumnya tinggal di Kota Benteng. Setiap hari ke pulau ini menjalankan tugasnya sebagai guru, dengan menggunakan  jasa angkutan laut sebagai penumpang tetapi. Jadi, setiap pagi mereka dijemput di dermaga Benteng menuju Desa Bontolebang dan diantar pulang kembali ke pelabuhan Benteng setelah selesai mengajar. Menurut sumber di lapangan bahwa sejak tahun 2008 yang baru lulus dari sekolah dasar tidak diperbolehkan meninggalkan desanya dengan tujuan melanjutkan pendidikan di luar. Instruksi ini langsung dari Pemerintah Daerah Kabupaten dan Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Selayar, dengan pertimbangan  sudah tersedia sekolah tingkat SMP, berbeda pada tahun-tahun sebelum ada sekolah SMP, murid-murid yang ingin melanjutkan pendidikannya harus rela berpisah dengan orang tua untuk bersekolah di Kota Benteng.

 

 

Jenis Trasportasi Laut

Sarana transportasi ikut berpengaruh dalam beraktivitas laut sebagai sarana perhubungan antara pulau-pulau di sekitarnya maupun ke Kota Benteng Selayar untuk memasarkan hasil produksi dari daerah ini. Termasuk   mempengaruhi pada tingkat pendapatan para nelayan dalam menangkap ikan. Semakin tinggi kekuatan mesin yang dipasang di kapal maupun perahu semakin jauh jarak yang dapat ditempuh untuk mencari ikan. Nelayan  yang memakai motorisasi dapat bebas mengarungi laut dan tidak mengenal musim, sehingga daya tangkapannya berbeda dengan nelayan yang menggunakan lopi (perahu tradisional) dengan cara mendayung. Di Desa Bontolebang ini masih kita temukan nelayan yang memakai lopi (perahu tradisional) yang mereka gunakan dalam aktivitas sehari-hari menangkap ikan. Menurut informan di lapangan bahwa sudah 90 % nelayan yang menggunakan biseang ”perahu” yang dilengkapi dengan alat modern berupa mesin atau lebih dikenal motorisasi. Walaupun mesin yang mereka gunakan berbeda-beda daya tingkat kekuatannya yakni mulai dari mesin yang berkekuatan 4.5 sampai 16 pk.  Selain dapat digunakan menangkap ikan juga  difungsikan  sebagai alat transportasi ke kota Benteng untuk berbelanja ke pasar untuk kebutuhan rumah tangga.

Alat Penangkapan Ikan

Banyaknya jenis ikan yang hidup di perairan Pulau Pasi ini menjadikan  para nelayan pun memiliki alat tangkap yang berbeda-beda. Ikan palagis yang sering diburu oleh para nelayan  memiliki kawanan dan selalu bergerombol dan kerapkali  berpindah-pindah tempat. Ikan jenis palagis (tuna dan cakalang) terbatas hanya pada suatu wilayah tertentu, kadang wilayah tangkapnya dekat, kadang pula wilayahnya tangkapnya jauh, bahkan melintasi perairan beberapa negara tetangga Indonesia. Setiap usaha penangkapan ikan di laut pada dasarnya adalah bagaimana mendapatkan wilayah penangkapan, gerombolan ikan, dan keadaan potensinya untuk kemudian dilakukan operasi penangkapannya.

Kegiatan penangkapan ikan telah  lama dilakukan oleh masyarakat  nelayan di Pulau Pasi ini dengan sistem dan metode serta alat penangkapan yang sifatnya sederhana. Seiring dengan perkembangan teknologi turut menyentuh daerah ini, namun kurang menyentuh semua lapisan masyarakat. Berdasarkan sumber di lapangan bahwa nelayan  Pulau Pasi (Gusung) khususnya nelayan di Desa Bontolebang didominasi oleh perahu dan alat tangkap tradisional, di antaranya perahu motor  (jolloro dan jarangka), dan perahu tak bermotor (sampan, dan perahu layar).  Namun ada pula yang menggunakan dengan perahu yang dilengkapi mesin yang berkekuatan 4.5 pk sampai 16 pk dan hanya perahu jenis jolloro yang menggunakan 20 pk sampai 30 pk. Hal ini menunjukkan bahwa usaha perikanan di desa kepulauan didominasi oleh usaha perikanan skala kecil, dan hanya sedikit yang bergerak pada usaha skala menengah.

Wilayah tangkap nelayan di Desa Bontolebang ini  umumnya hanya di sekitar dalam wilayah Kecamatan Bontoharu, hal ini disebabkan oleh ketersediaan sumber daya laut yang dirasakan masih mencukupi, serta lokasi penangkapan  yang dekat dengan wilayah permukiman.  Umumnya masih menggunakan alat tangkap sederhana yakni didominasi oleh jaring insang (gill net) dan pancing ulur (hand line), bubu (portabel trap) dan  sero (guiding barrier) dengan menggunakan perahu-perahu kecil maupun sedang dengan memakai motor atau mesin penggerak yang berkekuatan 4.5-16 pk  dengan panjang perahu  < 10 m.  ABK berkisar antara 1 – 2 orang.  Operasi penangkapan dilakukan pada siang hari atau malam hari. Adapun jenis-jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan di Desa Bontolebang, antara lain:

Pekang ‘pancing’, yaitu  pancing terdiri atas dua komponen utama, yaitu tali dan mata kail. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat bisa tunggal maupun ganda, bahkan ada yang menggunakan lebih banyak  (puluhan hingga ratusan mata kail) tergantung dari jenis pancing yang mereka gunakan. Selain itu, dapat dilengkapi dengan komponen lainnya, misalnya tangkai (pole),  pemberat (sinker), pelampung (float), dan kili-kili (swivel).

Jaring insang atau gill net, alat ini berbentuk lembaran jaring empat persegi panjang, yang mempunyai ukuran mata jaring merata. Lembaran jaring dilengkapi dengan sejumlah pelampung pada tali ris atas dan sejumlah pemberat pada tali ris bawah. Ada beberapa gill net yang mempunyai penguat bawah (srampat/selvedge). Tinggi jaring insang permukaan 5-15 meter, tinggi jaring insang pertengahan 5-10 meter,  dan tinggi jaring insang dasar 1-3 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang atau trapesium. Bentuk gill net tergantung dari panjang tali ris atas dan bawah. Adapun jaring angkat lift net adalah berbentuk lembaran jaring persegi panjang atau bujur sangkar yang direntangkan atau dibentangkan dengan menggunakn kerangka dari batang kayu atau bambu (bingkai kantong jaring) sehingga jaring angkat membentuk kantong.

Alat tangkap lainnya adalah bubu. Oleh masyarakat di Desa Bontolebang  menyebut buhu. Bubu dibuat dari bahan bambu, rotan dan kawat. Bentuknya bermacam-macam ada yang silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang, segitiga memanjang dan lain lain.  Cara menggunakannya  ada yang memakai umpan ada yang tidak memakai umpan. Bubu terdapat 3 (tiga) bagian lapisan yakni bubu dasar adalah bagian badan atau tubuh bubu. Bagian kedua adalah bagian lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan yang terletak pada bagian sisi bawah bubu. Posisinya terletak di belakang mulut bubu.  Ketiga bagian mulut bubu berfungsi untuk masuknya ikan, posisinya terletak di depan badan bubu. Semakin ke dalam, semakin kecil diameter lubangnya. Penggunaannya  dilengkapi dengan pemberat untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan.

Sero merupakan alat tangkap ikan yang banyak dijumpai di Pulau Pasi (gusung) Desa Bontolebang. Dalam hal ini  perangkap ikan yang dipasang secara permanen di dalam air yang terdiri atas susunan pagar-pagar yang akan menuntun ikan menuju perangkap.  Alat ini biasanya terdiri atas kayu, bambu dan jaring.  Sero dipasang di laut memiliki kedalaman antara 2 sampai 3 meter. Sero dipasang dengan sistem tancap, membentang antara 30 sampai 50 meter dalam bentuk anak panah atau busur. Fungsinya untuk menggiring ikan menuju ruangan yang telah disediakan. Pemasangan sero biasanya melihat struktur laut yang dangkal tapi mendekati kondisi laut yang dalam. Ini salah satu strategi pemilik sero untuk mendapatkan hasil yang banyak. Biasanya ikan pada saat air laut surut pasti akan mencari tempat yang lebih aman. Sementara pada saat air laut pasang, biasanya ikan akan memenuhi laut yang dangkal. Kesempatan inilah yang diharapkan oleh pemilik sero agar ikan bisa terjaring kedalam sero pada saat air laut mulai surut.

 

 

 

Pola Permukiman

Memasuki lokasi penelitian tampak tata letak bangunan rumah-rumah penduduk berjejer  mengikuti arah jalan setapak mulai dari Gusung Barat sampai ke Gusung Lengu dan saling berhadapan ke badan  jalan. Rumah yang terletak di sebelah barat jalan menghadap ke timur dengan membelakangi laut, sedang rumah yang berada di sebelah timur jalan menghadap ke barat dan langsung menghadap ke laut. Selain itu, ada pula yang mendirikan rumah berderet ke belakang. Penduduk yang mendirikan rumah bagian belakang karena lahan yang tersedia dipinggir jalan setapak sudah padat.

Bentuk rumah-rumah penduduk di Desa Bontolebang, umumnya masih relatif sama dengan bentuk rumah tradisonal biasa lainnya yang ada di daerah Bugis Makassar, berbentuk rumah panggung dengan tiang yang terbuat dari kayu. Atap rumah umumnya berbahan dasar seng atau genteng zaman dulu. Dinding rumah pada umumnya terbuat dari papan, demikian juga lantai rumahnya terbuat dari bahan yang sama. Tetapi pada bagian lantai ada yang menggunakan bambu. Lantai papan biasanya dipasang di ruang tamu dan kamar, sedangkan lantai yang terbuat dari bilah-bilah bambu dan biasanya dipasang pada bagian belakang dan di bagian serambi rumah. Rumah panggung  dilengkapi rakkeang (loteng) pada bagian atas.  Bagian tengah ditempatinya manusia atau pemilik rumah, fungsinya tempat melakukan aktivitas dan istirahat, dan di bagian paling bawah atau kolong rumah difungsikan untuk menyimpan ternak, alat-alat penangkapan ikan dan sebagainya. Serta pekarangan rumahnya diberi pagar yang terbuat dari bambu. Selain rumah panggung, ada pula beberapa warga masyarakat di Desa Bontolebang sudah membangun rumah atau dengan bahan dasar permanen dan semi permanen. Di mana sebelumnya mereka membangun rumahnya dengan bahan dasar permanen mereka juga pernah  tinggal di rumah panggung. Alasannya mendasar mengganti rumah permanen karena harga-harga kayu cukup mahal untuk melakukan penggantian pada bagian rumah yang sudah rusak. Sedangkan mendirikan rumah permanen bisa bertahan lama dan tidak selalu ada bagian yang harus diganti.

Pengetahuan Tentang Kenelayanan

Pengetahuan masyarakat nelayan tentang musim di perairan Nusantara ini sekurang-kurangnya mengetahui tiga pola musim, yang menentukan waktu-waktu intensif dan sepinya aktivitas pemanfaatan sumberdaya laut dan pelayaran, yaitu musim barat, musim timur dan musim pancaroba. Pada bulan Juni sampai bulan Desember berlangsungnya musim barat dengan hujan lebat, angin atau badai besar dan arus kuat dari arah barat ke timur tidak atau kurang memungkinkan aktivitas nelayan dan pelayaran rakyat.

Pada Musim timur berlangsung antara bulan Juli sampai bulan Desember ditandai dengan angin dan arus agak lemah dari timur ke barat memberikan peluang besar bagi nelayan dan pelayaran rakyat beroperasi secara intensif.  Dari musim barat ke timur ada musim beralihan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan yakni bulan mei sampai bulan Juli membawa angin dengan goncangan ombak kurang menentu tak henti-hentinya. Di beberapa perairan terbuka di Indonesia bagian Timur, termasuk Sulawesi Selatan, kecuali sebagian kecil Teluk Bone, sulit di masuki selama musim peralihan tersebut.

Pengetahuan tentang tanda-tanda di laut dan angkasa berupa kilat, awan hitam, bunyi kemudi perahu, cahaya laut, yang dihubungkan dengan peristiwa atau hal datangnya angin kencang, angin tornado, adanya batu karang, mahluk berbahaya seperti gurita, dan lain-lain. Untuk hal-hal ini pelayar atau nelayan Bugis dan Makassar mendasarkan pengetahuannya dengan indra paccini (penglihatan), pallangngere’ (pendengaran), pangngara’ (penciuman), pakkasia’ (firasat) dan katojengang (keyakinan).

Pemahaman masyarakat nelayan yang ada di Desa Bontolebang  seperti yang diutarakan oleh bapak Subair :

Jika hendak turun kelaut dan sudah sangat jauh ke tengah laut terutama pada saat mendung, maka yang menjadi patokan atau penuntun arah untuk kembali ke pantai hanyalah bintang atau firasat yang dipakai sebagai petunjuk arah untuk pulang. (Sumber: Hasil wawancara dengan SBR, tanggal 1 Maret  2013.

 

Demikian pula jika hendak mencari ikan di laut maka dia juga tahu bahwa musim seperti ini banyak ikan karena banyak atau sedikitnya dia mendapat ikan tergantung juga oleh kondisi alam. Untuk musim transisi antara musim barat dengan musim kemarau biasanya dia jarang melaut karena keadaan cuaca yang tidak menentu. Ombak yang tinggi yang paling dia takutkan sehingga terkadang dia mengurungkan niatnya melaut.

Tentang Pengetahuan astronomi dengan dasar letak bintang-bintang dia diajari oleh orang tuanya sendiri yang semasa hidupnya juga bermata pencaharian sebagai nelayan. Pengetahuan astronomi dengan dasar letak bintang-bintang seperti sulo bawie (muncul di sebelah timur, menandakan akan datangnya angin timur), wara-warae (menandakan akan datangnya panas terik), bintang tanrae (menandakan akan datangnya angin kencang); manue (menandakan musim kemarau sudah datang), lambarue (menandakan musim barat mulai datang), dan tellu-tellue (petunjuk berlayar ke arah barat atau ke timur) (Hamid, 2003).

Menurut Agustang (2006) bahwa masyarakat nelayan di kabupaten Selayar memiliki sistem kenelayanan berupa (pangisengang pajjukukang) terdiri atas erang pa’boya-boyang adalah tergolong erang pa’boya-boyang atau dalam istilah Koentjaraningrat menyebutnya ilmu gaib produktif. Di samping itu komunitas nelayan juga melengkapi dirinya dengan apa yang disebut ilmu gaib penolak. Dalam aplikasinya secara lokal ilmu ini tergolong kedalam erang pasombalang.

Erang pasombalang sebagai pengetahuan khusus untuk pelayaran (tentang iklim, arus, angin, ombak dan penggunaan layar) di dalamnya juga termasuk aspek ritus yang khusus ditujukan untuk menolak bahaya di laut atau dalam pelayaran. Secara simbolis ritus ini dimulai sejak saat persiapan pemberangkatan, yaitu pada permulaan kegiatan perbaikan (renovasi) perahu dan alat-alat penangkapan. Ritus ini dimulai dalam bentuk penebangan bambu yang lurus tepat pada wettu madeceng (waktu yang baik) untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan pembuatan ataupun perbaikan pakkaja dan alat-alat pelayaran. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan massuro baca (pembacaan doa) khususnya di rumah punggawa laut. Kegiatan massuro baca ini biasanya dipimpin oleh guru mengaji ataupun imam kampung setempat. Pada kegiatan massuro baca dipersembahkan sesajian, berupa kue umba-umba atau onde-onde (kue terapung) dan kue-kue lain dan buah-buahan yang dianggap penting. Pemilihan terhadap waktu yang baik dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.

 

 

Pemilihan Terhadap Waktu yang Baik dalam Setiap Kali Kegiatan  Termasuk Kegiatan Kenelayanan.  

 

Hari Waktu (Pukul)
5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
Jumat È u f # @ È u f u f # @
Sabtu @ f u # È @ f u f u f È
Minggu # È f @ u @ # È # È # u
Senin f @ È # u f È È @ È # u
Selasa È u @ f # È @ u u @ f #
Rabu @ È # u f @ È # # È u f
Kamis @ @ # È f u @ È # È f u

Sumber : Hasil Wawancara dengan Sejumlah Pinati dan Punggawa

Keterangan :

 È : Penuh harapan (Waktu yang Paling Baik)
u : Setengah harapan (Waktu yang baik)
f : Hidup (Waktu yang kurang baik)
# : Naas (Waktu yang harus dihindari)
@ : Barter (Kalaupun berusaha tetap impas)

 

Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa setiap hari memiliki waktu yang paling baik dalam  memulai  kegiatan berusaha (È), waktu yang harus dihindari  (#), dan waktu kalaupun berusaha tetap saja impas (@). Waktu tersebut diyakini dapat menentukan besar kecilnya keberuntungan dan kegagalan dalam berusaha.

 

PENUTUP

Masyarakat Desa Bontolebang di Pulau Pasi, umumnya menggantungkan hidupnya dengan mencari nafkah di laut. Peralatan yang mereka gunakan untuk menangkap ikan masih tergolong sederhana dan masih tradisional yaitu pancing, jaring, bubu dan sero ‘bila’. Selain itu ada pula nelayan yang ikut bekerja di bagan. Waktu yang dianggap baik untuk menangkap ikan adalah bulan April – Mei dan bulan Oktober – Desember.

Keberadaan musim sangat mempengaruhi aktifitas masyarakat di Desa Bontolebang. Bila musim timur umumnya mereka sebagai nelayan. Kapal jolloro dan sampan merupakan media penangkapan utama dengan alat tangkap berupa pancing dan jaring. Selain itu ada pula yang menggunakan bubu dan sero ‘bila’. Sebaliknya bila musim barat umumnya mereka melakukan pekerjaan lain seperti mengolah kopra bagi yang memiliki kebun kelapa, dan sebagai menganggur.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agustang, Andi. 2006. Defleksi Sosio-Kultural Masyarakat Maritim Ke Arah Kepentingan Pembangunan (Studi Kasus Pada Komunitas Nelayan di Kabupaten Selayar Propinsi Sulawesi Selatan. (Desertasi). Bandung: Program Pascasarjana. Universitas Padjajaran.

 

Bogdan, Ribert dan Tylor J. Steven. 1993. Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: Usaha Nasional.

 

Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Struktur Sosial Ekonomi Tingkat Hidup dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Perikanan Laut di Selat Malaka dan Selat Makassar. Jakarta: LP3R.

 

Gordon, Scott H. 1986. “Teori Ekonomi Sumber Daya Milik Bersama Perikanan” dalam : Ian R. Smith dkk. Ekonomi Perikanan dan Teori Ekonomi Kepengelolaan Perikanan. Jakarta: Erlangga.

 

Hamid, Abu. 1999. Pengembangan Masyarakat Nelayan dan Kemaritiman (Suatu Studi Antropologi Ekonomi). Makassar: Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

 

Kabupaten Kepulauan Selayar Dalam Angka, 2013

 

Kusnadi. 2009. Keberadaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Moleong, J. Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Mulyadi, 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

 

Ngatimin, M.R. 1987. Upaya Menciptakan Masyarakat Sehat di Pedesaan (Suatu Studi Perilaku Tentang Kesehatan di Beberapa Desa di Sulawesi Selatan). Disertasi tidak diterbitkan. Ujung Pandang: PPs Unhas.

 

Papan Potensi Desa Bontolebang, 2013

 

Satria, Arif. 2002. Nelayan Era Otoda: Terberdayakan atau Terperdayakan?” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Pemanfaatan Teknologi dan Sumberdaya Manusia yang Profesioanal untuk Pembangunan Perikanan yang Berkelanjutan” 16 Juni.

 

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.