Persoalan Etnosentrisme dan Modal Sosial Pagandeng di Kota Makassar Sejak Tahun 1950-an

PERSOALAN ETNOSENTRISME DAN MODAL SOCIAL PAGANDENG

DI KOTA MAKASSAR SEJAK TAHUN 1950-AN

 

ETNOSENTRISM ISSUE AND SOCIAL CAPITAL OF PAGANDENG
IN THE MAKASSAR CITY SINCE 1950

 

Oleh: Sahajuddin

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Jalan Sultan Alauddin/ Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166

Pos-el: saj.sahajuddin@yahoo.com

Handphone: 081342630331

 

Abstract


This study aims to explain the existence of pagandeng, ethnocentrism
, and social capital pagandeng in Makassar. The method used in this study is a historical method that explains the problem based on historical perspective. The result of the study shows that the early existence of pagandeng is the same with the existence of traditional markets in Makassar. Until now pagandeng still exist with its own dynamics that impact to the people of Makassar. However, the success and existence of pagandeng still patterned regionalism or ethnosentrime, including social capital they have. Economically, pagandeng does not show themself as a poor but also can not be classified as a rich person. Many of them already have permanent homes, have car, and possessions of other valuables. Embodiment in such form, is considered mandatory because according to some pagandeng that it is a proof of hard work and need to be displayed in the life of society. There is an expression says people will not see what you eat every day, but the land, the house, and the other luxuries are what people can see and judge”.

Keywords: Dynamics, ethnocentris, pagandeng, bicycle, Makassar, and market

 

Abstrak

 

Kajian ini bertujuan menjelaskan keberadaan pagandeng,etnosentrisme dan modal sosial pagandengdi Kota Makassar. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah yang menjelaskan persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Hasil kajian menunjukkan bahwa awal keberadaan pagandeng seumur dengan keberadaan pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Makassar. Sampai sekarang pagandeng masih eksis dengan dinamikanya sendiri yang berimbas kepada masyarakat Kota Makassar. Namun, keberhasilan dan eksistensi pagandeng masih berpola kedaerahan atau bersifat etnosentrime, termasuk modal sosial yang mereka miliki. Secara ekonomis, pagandengtidak memperlihatkan dirinya sebagai golongan miskin tetapi juga tidak dapat digolongkan sebagai orang kaya. Namun, banyak di antara mereka telah memiliki rumah permanen, telah memiliki kendaraan roda empat dan pemilikan barang-barang berharga lainnya.Perwujudan dalam bentuk seperti itu, dianggap wajib karena menurut sebagian pagandengbahwa hal itu adalah pembuktian kerja kerasnya dan perlu ditampilkan dalam kehidupan bermasyarakat.Ada ungkapan yang menyebutkan bahwa ”Orang tidak akan melihat apa yang kamu makan setiap harinya, tetapi tanah, rumah, dan barang mewah lainnyalah yang dapat dilihat dan dinilai orang”.

 

Kata Kunci:Dinamika, etnosentris, pagandeng, sepeda, Makassar, dan pasar

 

PENDAHULUAN

Salah satu pasal UUD 1945 menyebutkan bahwa segala kekayaan Indonesia dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Namun, dalam prakteknya, sumber daya ekonomi yang paling rentan digerogoti oleh aktor elite-elite politik dan para konglomerat, apalagi dalam konteks era perdagangan bebas saat ini. Di era ini, berbagai level pengusaha mengambil manfaat dari ruang yang disediakan oleh negara untuk mencari keuntungan. Di dalamnya ada pelaku usaha mikro yang bergerak pada sektor informal atau pelaku usaha menengah ke bawah. Sementara yang memiliki modal besar akan mengisi sektor formal sampai pada perusahaan raksasa.

Pada domain pasar bebas, kompetisi para pengusaha dan perusahaan mestinya dilakukan secara sehat dan sempurna dari setiap pelaku usaha, kemudian menciptakan kestabilan harga dan kenyamanan dalam berusaha. Namun, dalam kenyataannya, persaingan penuh (perfect competition) yang diharapkan terjadi, ternyata tidak sejalan dengan harapan rakyat pada umumnya.Bahkan kedaulatan pembeli tidak seluruhnya tercipta begitu saja, karena lemahnya akses para konsumen untuk memantau aneka produksi dan harga komoditas yang dipasarkan.Akibatnya, harga tidak stabil dan persaingan menjadi tidak sehat.Korban utamanya adalah masyarakat ekonomi lemah dan pelaku ekonomi kecil dan mikro atau pelaku ekonomi sektor informal(Wawancara dengan  Iwan  HZ, Minggu 21 Juni 2015).

Apa yang terjadi pada pelaku usaha, khususnya yang bergerak pada sektor informal tersebut, menggiring mereka berada pada situasi dilema, maka aturan yang ketat dibutuhkan untuk menata agar kompetisi berlangsung secara sehat dan adil. Pelaku usaha kecil tidak mungkin mampu bersaing dengan pelaku usaha raksasa yang memiliki modal besar. Golongan ini memiliki kemudahan mengakses modal di bank dengan agunan beraneka ragam yang mereka miliki.Di sinilah peran sebuah negara diharapkan hadir menyelamatkan dan mengatur agar tercipta iklim usaha yang adil.Sektor formal memang sangat penting diperhatikan oleh pemerintah untuk menjadi pelaku ekonomi global dan pelaku ekonomi raksasa.Namun, sektor informal juga sangat penting diperhatikan untuk menanggulangi kekurangan lapangan pekerjaan (pengangguran) dan mengurangi kemiskinan karena daya serapnya sektor informal terhadap tenaga kerja sangat tinggi(https://www.scribd.com/doc/40549579).

Salah satu sektor informal yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah adalah pedagang kecil yang banyak tersebar di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan kota-kota lainnya. Di Makassar sendiri memiliki sektor informal yang sangat banyak, baik terdapat di jalan-jalan protokol; di pasar-pasar tradisional dan di kompleks-kompleks perumahan. Di tempat-tempat inilah banyak terdapat pelaku-pelaku ekonomi mikro. Kemudian pelaku ekonomi itulah yang dalam perkembangnya menyebar di berbagai tempat dalam Kota Makassar menjajakan barang dagangannya, salah satunya adalah pagandeng.Pagandeng bagi warga Kota Makassar sudah sangat familiar, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga yang tinggal dalam kompleks perumahan, sebab pagandeng selalu hadir mengelilingi kompleks-kompleks perumahan menjajakan barang dagangan keperluan dapur.

Keberadaan pagandeng di Kota Makassar memiliki dinamika tersendiri dari sejak awal keberadaannya sampai saat ini. Pagandeng bagi warga Kota Makassar merupakan kenyataan yang tidak lazim bagi warga kota Makassar. Ketika kita keluar rumah dan menapaki jalan-jalan perkotaan, pasti kita disuguhkan pemandangan kesibukan para pagandeng menjajakan barang dagangannya. Tidak sedikit dari mereka menjadi penyebab kemacetan lalulintas di jalan-jalan umum, tetapi sebaliknya, kita tidak bisa menyalahkan begitu saja kepada para pagandeng, sebab sebagian dari para pengguna jalan memanfaatkan jasa-jasa para pagandeng yang sengaja berhenti untuk menemui dan membeli barang-barang jualannya. Jika hal itu terjadi dan diikuti oleh pengguna jalan yang lain, di situlah sumber awal kemacetan di jalan-jalan. Macetnya pun tidak tanggung-tanggung karena bisa berjam-jam dan seringkali sampai pukul 20.00 baru mulai terurai.

Persoalan tersebut menjadi latar belakang kajian ini dilakukan, sebab keberadaan dan dinamika pagandeng di Kota Makassar mengalir terus dan tidak diketahui sampai kapan akan berhenti. Hal tersebut dapat dipahami, karena keberadaannya sangat fungsional atau dengan kata lain, sangat bermanfaat bagi pelakunya sebagai sumber mata pencaharian hidup bagi mereka. Bahkan semakin hari bukannya semakin berkurang melainkan semakin bertambah beriringan dengan pedagang kecil lainnya. Sementara warga Kota Makassar juga tidak sedikit memberi peluang atas kehadiran para pagandeng dan pedagang kecil lainnya di Kota Makassar. Walaupun pasar-pasar sewalayan juga sudah menjamur tetapi tidak mengurangi eksistensi dan aktifitas para pagandeng. Aturan dan penertiban jalan-jalan pun bagi para pagandeng dan pedagang kecil lainnya tidak terlalu terpengaruh. Para pagandeng sangat gampang meninggalkan tempat jualannya jika ditertibkan dan diusir oleh pihak berwajib karena barangnya tetap ada di atas sepeda atau motornya.

Pagandeng menarik untuk dikaji, terutama dengan eksistensi keberadaannya di Kota Makassar dan dinamikannya sebagai pedagang. Persoalan yang ingin dijelaskan pada kajian ini adalah bagaimana proses keberadaan pagandeng di Kota Makassar; bagaimana dinamika para pagandeng dalam menjalankan profesinya; dan seperti apa dan bagaimana pergulatan dan perwujudan hidup para pagandeng. Untuk mengkaji hal tersebut, telah dilakukan tinjauan pustaka tetapi masih sangat terbatas temuan tentang kajian khusus pagandeng, bahkan boleh dikatakan belum ada. Namun, yang ada hanyalah sumber-sumber online dan itupun sangat terbatas informasinya alias bukan kajian karena hanya berupa essai antara setengah halaman sampai tiga halaman. Makanya kajian ini lebih banyak mengandalkan pengamatan lapangan dan wawancara kepada pelakunya, termasuk kepada pengguna jalan dan pengguna jasa-jasa pagandeng.

 

METODE

Kajian ini mempergunakan metode sejarah yang menjelaskan persoalan berdasarkan perspektif sejarah dengan dua pendekatan untuk memperoleh data, yaitu pendekatan studi pustaka dan pendekatan studi lapangan melalui pengamatan dan wawancara. Oleh karena itu, kajian ini mengacu pada penelitian studi pustaka dengan metode sejarah kritis sesuai dengan langkah-langkah penelitian sejarah pada umumnya. Langkah pertama adalah penentuan topik penelitian sebagaimana telah disebutkan di atas. Adapun langkah-langkah penelitian sejarah (Cottschalk, 1985:27)tersebut adalah (1) heuristik,yaitu mencari dan mengumpulkan data-data atau sumber-sumber yang berkaitan dengan objekpenelitian tentang pagandeng di Kota Makassar melalui metode sejarah kritis; (2) kritik sumber, artinya bahwa tidak semua sumber yang berkaitan dengan objek penelitian yang diperoleh itu akan dipergunakan untuk menganalisa kajian ini tetapi diseleksi melalui kritik; (3) interpretasi, sering disebut penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber yang diperoleh; (4). Historiografi, sering diartikan sejarah penulisan sejarah secara luas. Maksudnya sebagai suatu kesatuan dari proses rekonstruksi yang kita sebut historiografi(Kartodirdjo, 1985: 9).Melalui metode tersebut, diharapkan dapat memberikan penjelasan dan pemahaman tentang dinamika, pergulatan dan perwujudan pagandeng di Kota Makassar.

 

PEMBAHASAN

KeberadaanPagandengdi Kota Makassar

Persoalan keberadaan pagandeng di Kota Makassar bukan hal yang baru tetapi keberadaannya seumur dengan keberadaan pasar-pasar tradisional di Kota Makasar. Pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Makassar sekarang memiliki cerita dan sejarah tersendiri. Salah satu pasar yang dianggap tua di Kota Makassar adalah Pasar Terong yang diperkirakan sudah ada sekitar tahun 1950-an. Beberapa tahun kemudian pasar ini semakin ramai dan akhirnya menjadi pasar pemerintah Kota Makassar. Hal yang menarik dari pendirian Pasar Terong dan pasar-pasar lainnya di Kota Makassar karena andil besar dari para pagandeng. Dari sekian pasar tradisional yang kita kenal sekarang memiliki gejala yang hampir sama, yaitu muncul dengan sendirinya dan banyak diperankan oleh pagandeng. Namun, ada juga pasar yang sengaja didirikan oleh pemerintah daerah atau pihak swasta karena dianggap sangat penting bagi warga kota dan sekitarnya.Keberadaan pasar tradisional dan keberadaan pagandeng merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan.Di mana ada pasar tradisional, maka di situ ada pagandengatau sebaliknya, di mana banyak pagandeng berjualan maka di situlah sebagai wujud pasar tradisional(Wawancara dengan DaengTojeng, 08 Juli 2015).begitulah cerita-cerita orang tua tentang proses keberadaan pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Makassar.

Pagandengmerupakan salah satu pedagang kecil yang menjajakan barang dagangannya dengan cara membonceng dengan mempergunakan sepeda ayunan atau sepeda motor. Pagandeng ini dapat berpindah-pindah karena ini memiliki kendaraan, khususnya sepeda ayun atau sepeda motor. Di mana wadah barang dagangannya diletakkan di atas punggung kendaraannya itu. Kebanyakan pagandeng tidak menggelar lapakan, sehingga jika sewaktu-waktu lokasi ditertibkan, diusir atau disuruh pindah oleh petugas, dengan gampangnya mereka pindah atau pergi mencari tempat mangkal baru. Ketika tempat mangkalnya mendapat dukungan positif dari warga dan berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, menjadilah pasar, sehingga peran atau andil dari para pagandeng terhadap munculnya pasar-pasar tradisional sudah tidak dipungkiri lagi di Kota Makassar.

Terbentuknya pasar tradisional yang disebabkan oleh pagandengterjadi apa bila rutinitas yang dilakukan oleh para pagandeng setiap harididukung oleh warga setempat dan merasa terbantu, kemudian lokasi mangkal itu dipergunakan setiap hari, lalu diikuti oleh pagandeng-pagandeng lainnya,termasuk diikuti pedagang kaki lima lainnya di lokasi yang sama. Lama ke lamaan menjadi kebiasaan dan akhirnya menjadi pasar lepas yang bersifat sementara. Di lokasi itu jika tidak dilakukan penertiban dan terus dibiarkan berjualan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan seterusnya, menjadilah pasar tradisional. Hal ini terjadi karena lokasi yang ditempati pagandeng itu menjual barang dagangannya,lama kelamaan dibuatkan lapak khusus sebagai tempat jualan. Awalnya lapak itu hanya terbuat dari kayu dengan tiang dari bambu dan atap dari daun kelapa atau lontara.Jika reaksi masyarakat mendukung kehadiran pagandengdi lokasi tersebut dan semakin meningkat pelanggannya, dan diikuti oleh orang lain yang semakin bertambah banyak pula, maka tempat itu lama kelamaan akan menjadi cikal bakal terbentuknya pasar tradisional. Kasus seperti itu, dapat dirujukpada terbentuknya pasar seperti Pasar Terong, Pasar Pa’baeng-baeng, Pasar Maricaya, Pasar Daya dan pasar-pasar lainnya di Kota Makassar sejak tahun 1950-an (Wawancara dengan Rahman Daeng Ngola, 06 Juni 2015).

Gejala-gejalaseperti itu masih terlihat sampai sekarang di banyak lokasi dalam Kota Makassar. Di jalan-jalan, di kompleks-kompleks banyak titik-titik atau lokasi-lokasi mangkal para pagandeng dan pedagang kaki lima. Tidak sedikit diantaranya telah menjadi pasar dan bahkan telah diresmikan oleh pemerintah daerah sebagai pasar sebab pasar itu pula menjadi sumber pendapatan daerah melalui retribusi. Demikian juga di tempat-tampat lain dalam Kota Makassar, awalnya para pagandeng datang membawa barang dagangannya di tempat-tempat keramaian, terutama keramaian ibu-ibu rumah tangga, baik di pinggir jalan maupun di kompleks-kompleks perumahan. Jika hal itu dibiarkan dan terus berlangsung,lama kelamaan tempat itu akan menjadi pasar lagi, sehingga pasar semakin bertambah banyak di kota Makassar akibat andil dan ulah dari para pagandeng dan pedagang kaki lima lainnya.Sekarang, gejala-gejala itu masih terus berlangsung di hampir sisi-sisi Kota Makassar.

Keberadaan pagandeng di tempat-tempat itubukannya tanpa masalah melainkan menurut sebagian orang terutama para penggunan jalan, kehadiran pagandeng menjadi persoalan tersendiri. Pagandengdianggap sering menyebabkan terjadinya kemacetan di tempat mana para pagandeng ini mangkal. Tidak sedikit jalan-jalan di Kota Makassar sekarang menjadi macet akibat keberadaan pagandeng di jalan-jalan tersebut.Namun,pada sisi lain sangat disadari pula, bahwa begitu berartinya keberadaan pasar tradisional dan keberadaanpagandengbagi warga masyarakat kota. Baik warga masyarakat sebagai pembeli barang jualan pagandeng, maupun warga masyarakat yang berprofesi sebagai penjual atau pedagang yang disebut pagandeng.

Harus diakui bahwa para pagandeng di Kota Makassar yang berkeliling di kompleks perumahan, di jalan-jalan dan di pasar-pasar tradisional, memang memiliki persoalan tetapi juga berguna bagi kebutuhan warga Kota Makassar.Keberadaan pagandeng di kompleks perumahan misalnya, dapat dikatakan mempermudah bagi ibu-ibu untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangganya, terutama sayur-sayuran, buah-buahan, dan berbagai jenis ikan.Ibu-ibu tidak perlu lagi pergi ke pasar-pasar tradisional atau ke pasar moderen seperti supermarket sebab memerlukan waktu yang lama, ditambah lagi dengan kemacetan di jalan untuk mengakses tempat-tempat tersebut. Apa lagi jika hanya ingin membeli keperluan rumah tangga dengan partai kecil, tentu pagandeng menjadi alternatif pilihan karena setiap hari ada di sekitar kompleks rumahnya.

Persoalan tata ruang kota Makassar, salah satunya adalah keberadaan para pagandeng dengan pasar-pasar tradisional yang mengiringinya. Di samping kurang sedap dipandang mata, juga sering menyebabkan kemacetan yang sangat padat dan berjam-jam baru dapat terurai. Keberadaan pagandeng sering terjadi tarik menarik antara jasa-jasa penjualan kebutuhan rumah tangga bagi warga kota terhadap persoalan yang ditimbulkannya. Setelah dilakukan pengamatan langsung dan wawancara dari beberapa pihak, terutama para pagandeng, sangat mustahil pagandeng dapat dihentikan aktifitasnya di Kota Makassar. Selain adanya tarik menarik sebagaimana diuraikan di atas, juga sangat terkait dengan masalah lapangan kerja. Para pagandeng merasa bersyukur dapat menjadi pagandeng untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, sedangkan profesi lain dianggap tidak cocok karena kurang memiliki keterampilan dan pendidikan.

Beberapa pagandeng menuturkan betapa susahnya mencari pekerjaan untuk memperoleh uang. Kebutuhan pokok keluarga sangat besar, kebutuhan anak-anak juga demikian, termasuk sekolahnya. Katanya malu kalau sudah tua tidak memiliki rumah dan kendaraan. Jadi harus bekerja keras untuk mendapatkan uang (Wawancara dengan Daeng Ngesa, 16 Juni 2015). Penggalanpagandengdari tuturan itu menunjukkan bahwa kita sebagai manusia memiliki ketergantungan terhadap uang. Ketergantungan manusia pada nilai uang dalam pemenuhan kebutuhan menyebabkan manusia bekerja keras sebagai imbas dari sistem kapitalisme yang dihadirkan oleh pihak kolonial(C. Scott, 1989). Sistem kapitalisme pada masa kolonial memaksa orang di tanah jajahan untuk mengalihkan sistem pertaniannya dari pemenuhan kebutuhan swasembada menjadi sistem pertanian komersial. Dengan swasembadanya, kebutuhan pokok tidak menjadi masalah karena lahan pertanian masih sangat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sekarang hanya segelintir orang memiliki lahan pertanian yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya, maka mau tidak mau harus bekerja keras untuk memperoleh uang.

Kebijakan kolonial tersebut dibarengi dengan penggunaan uang sebagai alat pembayaran dan transaksi yang sah dalam tukar menukar barang. Hal baru ini tidak pernah dikenal sebelumnya sehingga di tanah jajahan, lama kelamaan terjadi ketergantungan kepada nilai uang untuk membayar pajak pada negara penjajah. Akhirnya ,tanah pun disewakan, digadaikan, dan bahkan dijual untuk memperoleh uang pembayaran pajak dan pemenuhan kebutuhan hidup sebagaimanadi dalam bukunya James C. Scott, Moral Ekonomi Petani.Disebutkan bahwa perilaku ekonomi keluarga petani sebelum pengalihan sistem pertanian komersial adalah sistem ekonomi swasembada. Setelah pertanian dikomersialkan atas kebijakan kolonial, secara berangsur-angsur perekonomian negara jajahan berorientasi subsistensi. Subsistensi merupakan satu unit konsumsi, sekaligus sebagai unit produksi yang dalam prakteknya selalu berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan minimumnya dengan cara mereka sendiri. Hal itu terjadi, karena tanahnya sudah semakin sempit dijual untuk memperoleh uang pembayaran pajak dan kebutuhan lainnya. Konsekuensinya cukup besar apa bila terjadi gagal panen atau bencana alam atau wabah penyakit tanaman (C. Scott, 1989).

Kapitalisme yang berkembang di dunia termasuk yang berkembang di Asia Tenggara telah menggejala di mana-mana, termasuk di Indonesia. Walaupun kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia bukanlah kapitalisme yang sesungguhnya seperti yang terjadi di dunia Barat, melainkan kapitalisme semu atau kapitalismeErsatz dalam istilah Yoshihara Kunio(Kunio, 1990: xiii-xiv). Akibatnya, manusia berlomba-lomba mengumpulkan uang untuk membeli barang-barang berharga, termasuk mendirikan gedung-gedung perusahaan bagi mereka yang sudah kaya. Sedangkan, golongan yang miskin semakin melarat, tetapi mereka juga menganggap pentingnya arti dan nilai uang, sehingga mau tidak mau harus membantin tulang dan bekerja keras. Salah satu bentuk pelariannya untuk memperoleh pekerjaan adalah pedagang kaki lima, termasuk menjadi pagandeng.

 

Persoalan Pagandeng dan Dinamikanya di Kota Makassar

Dinamika pagandeng di Kota Makassar bukan hanya pada persoalan kemacetan lalu lintas dan masalah lapangan kerja, tetapi juga persoalan peribadi dan pola-pola hubungan yang terbangun dalam komunitasnya. Dinamika juga dapat dilihat pada perubahan yang tampak dialami dan dilakukan oleh pagandeng. Salah satu contoh perubahan yang dilakukan oleh pagandeng adalah peralihan penggunaan alat transportasi dari sepeda ayun/ontel ke sepada motor. Pemahaman kolektif warga Kota Makassar tentang pagandengmerasa ada sesuatu yang hilang pada pagandengjika dibandingkan beberapa tahun yang lalu, yaitu adanya peralihan alat transportasi angkut barang dagangannya dari sepeda ayun ke sepeda motor, dan ini telah berlangsung sejak pertengahan tahun 1990-an(Wawancara dengan Daeng Gassing, 20 Juni 2015).

Perubahan alat transportasi para pagandeng tersebut, tentu diikuti perubahan-perubahan lain, karena tidak ada perubahan yang berdiri sendiri.Bahkan ada informan warga Kota Makassar merindukan suasana aktivitaspagandeng pada beberapa tahun yang lalu, dan setelah kami tanyakan kepadanya bahwa apa yang anda rindukan pada pagandeng. Dengan santainya ia tersenyum dan mengatakan bahwa saya merindukan pagandeng yang berbondong-bondong, bergerombol mengayun sepeda ontelnya di daerah perbatasan memasuki Kota Makassar, khususnya di daerah Sungguminasa pada subuh-subuh buta sampai menjelang fajar terbit. Tetapi sekarang kita sudah tidak menemukan itu lagi,kalaupun masih ada,tetapi tinggal sedikit yang mempergunakan sepeda ontel, dan yang paling banyak adalah pagandeng yang memakai sepeda motor. Sehingga yang kedengaran pada subuh hari buta adalah raung-raungan suara sepeda motor yang mengeluarkan polusi asap knalpot. Bukan lagi lengkingan lonceng sepeda ayun ontel pagandeng yang saling bersahut-sahutan. Perubahan yang baru saja kita sebutkan merupakan perubahan pengalihan alat transportasi pagandeng dari sepeda ayun/ontel ke sepeda motor. Perubahan itu bukan karena mereka sudah kaya, tetapi lebih kepada durasi waktu dengan jarak tempuh dari rumahnya ke lokasi mereka menjual.

Dinamika lain yang terjadi pada pagandeng terkait dengan jaringan dan pola-pola yang terbangun diantara mereka sebagai komunitas pagandeng dan orang-orang lain yang ingin menjadi pagandeng. Sebab kalau dilihat dan diamati dari segi keberadaan ekonomi para pagandeng, pagandeng bukanlah golongan ekonomi menengah ke atas melainkan golongan ekonomi menengah ke bawah. Dari beberapa pagandeng yang dijadikan informan dan narasumber tidak memperlihatkan dirinya sebagai golongan miskin tetapi juga tidak bisa digolongkan sebagai orang kaya berdasarkan ukuran setempat (lingkungan tempat tinggalnya). Hal itu berarti bahwa para pagandeng tidak terlalu kesulitan modal usaha, buktinya karena mereka telah banyak memiliki rumah permanen, telah memiliki kendaraan seperti sepeda ayun/ontel, sepeda motor, dan pemilikan barang-barang berharga lainnya.

Pagandeng jika dibandingkan dengan pedagang kecil lainnya yang tersebar di jalan-jalan dan di pasar-pasar tradisional, memang pagandeng sedikit di atas angin lebih beruntung. Demikian pula, resiko-resiko dalam menjalankan usahanya, pagandeng sedikit lebih aman. Namun, yang menarik pula dari sisi pagandeng adalah adanya gejalah peningkatan jumlah pagandengsetiap waktu. Hal itu terlihat pada keluarga pagandeng yang bertambah anggotanya sebagai pagandeng walaupun tidak gampang masuk menjadi pagandeng. Susahnya menjadi pagandeng, bukan hanya karena keterbatasan faktor modal atau faktor lokasi, tempat di mana mereka akan menjajakan gandengannyamelainkan mereka terlebih dahulu harus berhadapan dengan pagandeng yang sudah ada sebelumnya.Pagandenglama, ada kecenderungan untuk tidak mau disaingi oleh pagandengbaru yang bukan golongannya atau temannya, sehingga pagandengmemiliki gejalah dan telah terpola pada dimensi kultural atau segmentasi kedaerahan. Sementara anggota pendatang baru yang berasal dari daerah yang berbeda dianggap sebagai saingan.

Menjadi pagandeng memang sangat kental sifat-sifat kedaerahannya atau sering diistilahkan bersifat etnosentrisme walaupun tidak diikrarkan. Etnosentrisme pedagang, khususnyapagandeng memang terlihat dan nyata dalam masyarakat Kota Makassar. Apabila pagandeng ini dilihat dari segi etnonya atau daerahnya kebanyakan berasal dari daerah yang sama, padahal orang dari daerah-daerah lain sesungguhnya bisa juga menggeluti profesi itu. Persoalannya terletak pada akses untuk memulai profesi tersebut karena harus berhadapan dengan pagandeng yang ada sebelumnya. Bukan hanya pagandengmelainkan juga ada beberapa pedagang kecil mengambil sikap yang sama.

Salah satu informan bercerita bahwa pernah ada pedagang baru masuk di pasar menjual, tetapi kurang memperdulikan pedagang yang sudah ada sebelumnya.Pedagang yang baru tersebut dengan penuh percaya diri menjual barang dagangnya dan bahkan lebih murah daripada barang dagangan pedagang lain. Namun pedagang ini tidak bertahan lama karena dikerjain oleh pedagang lainnya sampai ia merugi terus. Alasan pedagang baru itu dikerjain karena beberapa hal, seperti: bukan berasal dari golongan komunitas pedagang atau pagandeng yang sudah ada sebelumnya; bukan berasal dari daerah yang sama;menjual barang lebih murah dan dianggap sebagai saingan yang dapat mengurangi laba atau keuntungan. Jika dibiarkan mempermainkan harga dalam jangkah waktu lama, pedagang lama yang ada sebelumnya dapat gulung tikar.

Terbentuknya komunitas profesi berdasarkan kedaerahan yang bersifat etnosentrisme memang tidak dilembagakan secara terorganisir, tetapi secara tidak langsung mereka memiliki kekompakan untuk memproteksi komunitasnya dari intervensi luar. Apa lagi jika yang mengintervensi itu bukan bagian dari komunitasnya, maka dapat berbuntut panjang. Makanya dianggap berisiko jika ada yang masukke profesi pedagang kecil yang bukan berasal dari daerah asal yang sama atau bukan kenalan alias temannya.

Meskipun secara fakta di lapangan mengenai etnosentrisme/ kedaerahan masih terbatas jumlahnya, hal itu dapat diperhatikan gejalah-gejalahnya dalam pasar tradisional di Kota Makassar. Mereka beranggapan bahwa berdagang bersama dengan sesama asal daerah sangat membantu pada hal-hal tertentu, seperti dapat bersatu dan saling membantu jika mendapat persoalan, serta dapat bercanda dengan gaya bahasa yang sama. Tetapi pada sisi lain, juga dapat merugikan jika dalam berdagang ada saling iri hati,saling menjelek-jelekkan dan hal itu terkadang muncul diantara mereka. Masalah kedaerahan pada fase-fase tertentu memang sulit untuk dihilangkan, karena semakin kompleksnya dinamika dalam pasar, maka sistem kedaerahan akan terabaikan dengan sendirinya. Hal itu dapat terjadi karena heterogenitas dan kemajemukandalam pasar tradisional yang sudah kompleks, termasuk kuatnya multi etnik.

Kalau mengacu pada pasar-pasar yang ada di Kota Makassar, para pedagang terpola berdasarkan asal daerahnya dan termasuk jenis komoditasnya walaupun tidak ekstrim. Misalnya, pedagang kue-kue, buras, lontong, cendol, dan sejenisnya yang ada di pasar tradisional  Pusat Niaga Daya Makassar banyak diperankan oleh orang yang berasal dari Maros. Pedagang pisang yang ada di lapak-lapak penjualan dalam pasar banyak diperankan oleh pedagang yang berasal dari Bone, Soppeng dan Wajo serta kelompok pola-pola lainnya yang tampak di pasar. Pola-pola tersebut bukan hanya terdapat dalam pasar tradisional melainkan juga dalam dunia usaha lainnya yang dianggap formal maupun sektor informal seperti pedagang kain di kios-kios yang ada di pasar. Pedagang kayu dan mebel yang ada di sepanjang jalan dan lorong-lorong Kota Makassar banyak diperankan oleh orang-orang yang berasal dari Sengkang dan Sidrap. Profesi tukang becak banyak diperankan oleh orang-orang Jeneponto, sopir taksi, dan angkutan kota juga banyak diperankan oleh orang-orang Jeneponto, bahkan ada pula yang berasal dari daerah lain. Pagandeng roti atau tukang antar-antar roti banyak diperankan oleh orang-orang Selayar serta jenis-jenis pekerjaan lainnya telah berkelompok dan berpola kedaerahan(Wawancara dengan Haji Ukkas, 06 Juni 2015).

Pola-pola tersebut tidak terlepas dari sistem kekeluargaan dan ketetanggaan alias kedaerahan yang bersifat promosi kepada keluarga, tetangga atau temannya. Juga ikatan psikologi dan identitas sosial budaya mereka dapat menggugat emosi afiliatifnya pada pola-pola tersebut. Di samping dukungan penggunaan dialek bahasa yang sama. Sebaliknya, bagi yang berbeda etnik dan budaya dengan simbolnya masing-masing, maka akan merasa berbeda yang dapat menimbulkan rasa kurang akrab, kurang simpati, bahkan berujung pada prasangka-prasangka etik, agama, dialek, budaya dan lain sebagainya. Faktor lain, juga bukan karena dihadang atau dihalangi menjadi pagandengmelainkan memang tidak tertarik pada profesi itu walaupun mereka menganggur, tetapi mereka merasa tidak cocok menjadi pagandeng.

Pagandeng di Kota Makassar memberikan warna tersendiri dalam perdagangan usaha kecil, mampu eksis sampai berpulu-puluh tahun (sejak tahun 1950-an) sampai sekarang. Walau pun demikian, belum memberi efek peningkatan kesejahteraan yang signifikan kepada masyarakat pada umumnya dan pagandeng pada khususnya. Profesi ini mampu bertahan dan eksis di tengah-tengah masyarakat dengan caranya sendiri. Mampu membangun diri dan usahanya dalam menghadapi derasnya tantangan dalam dunia usaha. Menurut mereka (pagandeng), bahwa tingkat pendidikan bukan semata-mata yang menjadi ukuran dan memberikan jaminan kesuksesan dalam berusaha, melainkan juga masalah keuletan, semangat kerja dan tanggungjawab merupakan pendukung besar dalam keberhasilan berusaha.

 

Pergulatan dan Perwujudan Hidup Pagandeng

Jika Kota Makassar dilihat sebagai pasar tanpa terikat pada ruang pasar tertentu, maka pasar diartikan sebagai tempat transaksi jual-beli, sehingga di jalan-jalan, di lorong-lorong jalan, di kompleks perumahan dalam Kota Makassar dapat diartikan sebagai pasar jika di sana terjadi transaksi jual-beli. Walaupun demikian, pasar yang sesungguhnya di Kota Makassar juga banyak tersebar di mana-mana, baik yang tradisional maupun yang moderen. Antara pasar tradisional dengan pasar moderen di Kota Makassar telah terjadi tarik-menarik karena dalam pasar tradisional sudah ada yang mencerminkan pasar moderen. Sebaliknya pasar moderen masih ada yang mencerminkan pasar tradisional kalau dilihat dari komoditasnya. Terjadinya saling tarik menarik ini dalam ekonomi, diistilahkan oleh Booke sebagai pasar prakapitalisme(Boeke, 1983: 17-25).

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa para pagandeng memiliki andil terhadap pembentukan pasar-pasar tradisional, juga memiliki andil sebagai perantara dalam pasar prakapitalisme karena mereka yang menghubungkan antara komoditas moderen perkotaan terhadap komoditas tradisional pedesaan. Namun, keberadaan pagandeng juga selalu dianggap sebagai salah satu faktor penyebab kemacetan lalulintas jalan perkotaan. Profesi sebagai pagandeng juga semakin bertambah karena profesi ini masih dianggap fungsional bagi pelakunya dan juga bagi ibu-ibu rumah tangga warga Kota Makassar. Sementara profesi ini menurut para pagandeng memerlukan perjuangan dan kerja keras.

Realita dari beberapa pagandengmemperlihatkan bahwa ternyata sebagian besar pagandengbisa sampai di tempat/lokasi tujuan penjualannya di pagi hari, perjuangannya sungguh luar biasa. Mulai sore hari sepulang berjualan di siang hari, mereka harus merencanakan barang jualannya untuk besok harinya, kemudian perencanaan itu ditindaklanjuti dalam bentuk aksi atau tindakan agar besok harinya dapat berjalan lancar sesuai dengan target.Menurut informan(Wawancara dengan M. Daeng Naba, 13 Juni 2015) bahwa mulai sore hari para pagandeng sudah banyak di antara mereka yang sibuk-sibuk mengurusi persiapan barang dagangannya, kemudian sehabis shalat Isya, ia berusaha untuk tidur sejenak karena tengah malam nanti, ia berusaha melawan rasa kantuk dan lelapnya tidur malam. Kira-kira sekitarpukul 01.00 dini hari atau paling lambat pukul 03.00 subuh dini hari mereka berangkat memulai aktivitasnya sebagai pagandeng.

Pada jam-jam subuh buta itu telah banyak pagandeng di jalan yang saling berkejar-kejaran mengayunkan sepeda ontelnya atau melajukan sepeda motornya ke tempat pengambilan barang jualan. Mereka berusaha membeli di para pedagang suplayer dari daerah, dan berusaha memperoleh barang yang murah agar mendapatkan untung yang banyak.Setelah mendapatkan barang jualan, mereka tetap mengejar waktu agar cepat sampai di lokasi penjualannya untuk bertemu dengan sambalunya (pelanggannya).Di situpun terjadi banyak pembicaraan antara pagandeng dengan sambalunya, ada saling menawar harga jualan pagandeng sampai tercapainya harga equilibrium.Bahkan banyak gosip-gosip dari para ibu-ibu yang dapat diketahui oleh para pagandeng karena di tempat itu banyak yang bergosip  (https://ekonomgila.wordpress.com). Sampai-sampai pagandeng hanyut dan larut dari cerita gosip-gosip dari para sambalu, dan baru tersadar setelah matahari mulai meninggi dan sambalu di tempat lain juga menunggunya.

Biasanya pagandeng berada di lokasi penjualannya sampai pukul 11.00pagi menjelang siang dan bahkan sampai pukul 13.00 siang baru pagandeng pulang ke rumahnya dengan menempuh perjalan puluhan kilometer. Begitulah rutinitas para pagandeng setiap hari tanpa mengenal lelah dan bosan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarga besarnya. Banyak di antara mereka telah menjalankan profesi pagandengnya selama berpuluh-puluh tahun, banyak pula di antara mereka hidupnya secara materi masih sederhana, tetapi ada juga yang sudah meningkat taraf hidupnya karena mampu mendirikan rumah permanen nan bagus, serta ada yang mampu membeli barang mewah lainnya, termasuk naik haji ke Tanah Suci Mekkah.

Barang dagangan pagandeng biasanya mereka peroleh dari petani di kampungnya dengan cara membeli. Ada pula pagandengmemperoleh barang jualan dengan cara bertani atau menanam sendiri, kemudian pada sore harinya mereka petik dan memilah-milahnya untuk dijual kepada konsumen pada besok harinya. Tetapi ada juga pagandeng mengambil barang dagangannya melalui pedagang suplayer yang didatangkan dari luar daerah Kota Makassar, seperti daerah selatan Kota Makassar, sebut saja Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng. Ada pula yang berasal dari daerah Maros, Pangkep, Bone, Enrekang dan daerah-daerah lainnya. Kebanyakan diantara mereka adalah pagandeng sayur-sayuran dan buah-buahan tetapi ada juga pagandeng berbagai jenis ikan. Pagandengini disebut pagandeng ikan karena jenis barang dagangan yang mereka bonceng untuk dijual adalah ikan.Pagandeng juga bermacam-macam, bergantung jenis barang dagangannya.Oleh karena itu, kita mengenal pagandeng sayur, pagandeng ikan, pagandeng mangga dan berbagai macam jenis pagandeng lainnya.

Pagandeng dilihat dari intesistasnya dan eksistensinya sebagai pagandeng juga bermacam-macam, ada pagandeng tulen atau pagandengyang memang pekerjaannya setiap hari dan bertahun-tahun sebagai pagandeng. Namun, ada juga pagandeng musiman, yaitu pagandeng pada musim-musim tertentu, seperti menjadi pagandeng buah mangga pada saat musim mangga, menjadi pagandeng jagung muda pada saat musim jagung muda tiba dan lain-lain.

Terkait dengan komoditas dagang dari pagandeng, baik yang dijual dalam pasar tradisional, di jalan-jalan lorong, atau di dalam kompleks perumahan banyak didatangkan dari luar Kota Makassar. Sebelum tahun 1995 komoditas atau barang dagangan yang diperjualbelikan dalam pasar tradisional di Kota Makassar masih banyak dukungan dari hasil bumi setempat, khususnya wilayah pinggiran Kota Makassar. Namun, setelah memasuki akhir tahun 1990-an dukungan dari pinggiran kota sudah semakin menipis(Wawancara dengan Daeng Gassing, 20 Juni 2015), sebab pinggiran-pinggiran kota telah berkembang seiring menipisnya lahan pertanian karena setiap tahun lahan pertanian semakin menyempit akibat pengembangan kota untuk pemukiman, perkantoran, dan pendirian pabrik-pabrik, sehingga komoditas barang dagangan yang diperjualbelikan di pasar tradisional Kota Makassar sekarang kebanyakan didatangkan dari pedalaman daerah di luar Kota Makassar,seperti Malino Kabupaten Gowa, Tolo, Melakaji di Kabupaten Jeneponto, dari Loka di Kabupaten Bantaeng serta daerah lainnya, khususnya komoditas jenis-jenis sayuran.

Jenis komoditas berupa kelapa, buah-buahan, pisang banyak disuplai dari daerah sebelah utara dan selatan Kota Makassar. Para pedagang kecil dalam pasar dari segi asal daerahnya bervariasi, demikian pula barang komoditas juga bervariasi dalam kegiatan pasar(Wawancara dengan Daeng Tayang, 12 Juni 2015; Geertz, 1992: 31). Barang komoditas yang tersebar di pasar-pasar tradisional Makassar yang didatangkan dari daerah-daerah,banyak diperankan oleh para pedagang suplayer, termasukpagandeng sebagai pedagang perantara, antara daerah produsen dengan Kota Makassar sebagai daerah konsumen.

Pola hubungan dan kerja sama tersebut telah berlangsung cukup lama dan bahkan turun-temurun dari orang tua mereka. Anak-anak mereka akan melanjutkan usaha yang dirintis dan dibangun oleh orang tua mereka jika dianggap masih menguntungkan. Namun, berhasil tidaknya para pagandeng, juga sangat ditentukan oleh modal sosial. Modal bagi pedagang kecil lebih terkonsentrasi pada modal berupa uang, namun modal sosial juga sangat diperlukan. Modal finansial tidak serta merta akan menentukan keberhasilan usaha mereka karena ada faktor-faktor lain yang sangat berperan, yaitu faktor sikap dan perilaku kedirian pagandeng. Faktor kedirian yang ada pada para pedagang kecil atau pagandeng dalam menjalankan usahanya memang sangat berperan. Terutama kemampuan mereka membaca dirinya dan peluangnya, termasuk faktor kemampuan mereka mengamankan dirinya melalui pola-pola hubungan yang mereka jalin dengan pihak lain dalam komunitasnya. Hal seperti itu, merupakan modal nonmateri yang sering disebut modal sosial, dan modal itu sangat menentukan para pedagang kecil bisa tidaknya eksis dan berkembang lebih maju lagi.

Ada kasus pedagang kecil yang tidak memiliki modal tunai berupa uang, tetapi mereka bisa berdagang secara baik dan eksis sepanjang waktu. Bahkan memperoleh laba yang tinggi layaknya pedagang yang memiliki modal uang yang besar. Ia dapat memiliki kesempatan memperoleh keuntungan yang sama dengan keuntungan pagandeng yang memiliki modal jutaan rupiah. Keuntungan yang mereka peroleh itu hanyalah bermodalkan kepercayaan terhadap pola-pola hubungan yang mereka bangun pada pihak juragan atau punggawa sebagai pemilik barang atau pemilik modal. Sebaliknya ada kasus pedagang kecil yang mengandalkan modal dasarnya berupa uang tunai yang cukup banyak, tetapi tidak mampu bertahan dan berkembang karena modal nonmateri atau modal sosialkurang dimiliki.Setiap padagang memiliki sifat dan caranya sendiri dalam menjalankan usahanya karena adanya perbedaan perilaku dancara berinteraksi. Perbedaan itulah sebagai salah satu faktor laris tidaknya barang-barang jualan mereka karena dipengaruhi oleh sikap dan perilakunya masing-masing pagandeng(Wawancara  dengan Haji Ukkas, Juni 2015).

Pagandeng sebagai salah satu pedagang kecil memiliki motivasi yang berbeda-beda. Perbedaan itu bergantung pula dalam cara bersikap, bertindak, dan berusaha untuk memperoleh keuntungan dalam usahanya. Ada pagandeng yang memiliki semangat kerja yang tinggi untuk memperoleh keuntungan, ada pula pagandeng yang memiliki semangat kerja yang rendah dan sering malas-malasan. Namun, ada juga yang tidak begitu bersemangat tetapi memperoleh keuntungan yang tidak jauh berbeda dengan pagandengpada umumnya.Ternyata perbedaan semangat dan bertindak dalam berusaha memiliki pengaruh dalam memperoleh keuntungan.

Apa yang dilakukan oleh para pagandeng dengan berusaha kerasadalah untuk memeroleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Kerja keras yang dilakukan olehpagandeng merupakan tuntutan kebutuhan keluarganya, baik sandang maupun pangan, termasuk kebutuhan pendidikan anaknya(Wawancara dengan Daeng Ngesa, 16 Juni 2015). Banyak di antara para pagandengberbasis sebagai petani yang tidak memiliki lahan pertanian yang cukup di kampungnya. Namun ada juga pagandeng yang memiliki lahan pertanian yang cukup luas di kampungnya tetapi tetap berusaha keras menjadi pagandeng. Pagandeng yang memiliki lahan yang cukup ini, merupakan kelompok yang tidak terlalu berisiko dalam usahanya karena mempergunakan modal sendiri, tetapi bagi mereka yang tidak memiliki lahan pertanian, ada kecenderunganberesiko tinggi dalam usahanya karena harus meminjam modal usaha yang rentang dengan kerugian dan bahkan ada yang tereksploitasi oleh para tengkulak.

Pertarungan pencari kerja di kota-kota besar seperti Kota Makassar semakin padat dan terbuka kepada semua pihak dengan penuh persaingan. Jadi, setiap orang harus mampu bersaing untuk memperoleh pekerjaan di kota, tetapi akan bermasalah jika tidak memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bersaing. Pandangan ini sudah terpola begitu kuat dalam masyarakat perkotaan. Salah satu imbas dari mobilitas atau migrasi dari desa ke Kota Makassar adalah munculnya pedagang informal, termasuk pagandeng. Sementara pedagang-pedagang itu, termasuk pagandeng ada yang berhasil melakukan mobilisasi usaha yang lebih tinggi. Ada di antara mereka berhasil melakukan mobilitas vertikal dan memperbaiki kualitas ekonominya. Demikian juga,ada pagandeng yang mengalihkan transportasinya dari sepeda ontel/ayun ke sepada motor dan bahkan ada yang mempergunakan mobil pick up. Mobilitas lain dari pagandeng, diantaranya ada juga yang beralih profesi menjadi wiraswasta jauh dari pemahaman marginal. Pedagang kecil yang berhasil melakukan perubahan dan mobilitas usaha karena memiliki semangat kerja yang tinggi dan tekad yang kuat.

Kemampuan pagandengmeningkatkan taraf hidupnya dan mampu memobilisasi diri bukan tanpa alasan, tetapi memerlukan perjuangan dan semangat kerja yang tinggi. Pagandeng memang sedikit berbeda dengan para pedagang kecil pada umumnya. Sebab pagandeng memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibanding pedagang kaki lima yang berjualan di lapak-lapak. Keuntungan pertama dari pagandeng, biasanya pagandeng membeli barang jualannya pada tangan pertama atau membelinya dari pedagang suplayer antardaerah. Kedua, ada pagandeng yang sekaligus menjadi petani dan dibantu oleh anggota keluarga sendiri, dan sengaja menanam tanaman yang diperjualbelikan oleh pagandeng(Wawancara dengan Daeng Taba, 16 Juni 2015).Banyak juga kasus bahwa pagandeng juga memperoleh keuntungan yang berlipat ganda jika dibandingkan dengan pedagang kaki lima yang menggelar lapakan. Di samping itu, pagandengjuga menjual dengan menggelar lapakan dan bersaing harga dengan pedagang kaki lima lapakan.

Kenyataan itu mengakibatkan ada dua kelompok pedagang, antara pedagang yang mengalami pertumbuhan keberdayaan ekonomi, dan kelompok pedagang yang justru mengalami keterpurukan, yang ditandai dengan melemahnya keberdayaan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan menghasilkan laba yang berbeda. Termasuk masalah pemanfaatan laba yang mereka peroleh juga berbeda. Sebagian besar pedagang kecil orientasi pemanfaatan surplus terkait masalah pemilikan tanah dan rumah, dan sebagian yang menginpestasikannya kembali.Menurut sebagian para pedagang kecil bahwa hasil tersebut perlu ditampilkan dalam kehidupan bermasyarakat(Wawancara dengan Hajjah Irusnawati, 13Juni 2015).Ada ungkapan yang menyebutkan bahwa ”Orang tidak akan melihat apa yang kamu makan setiap harinya, tetapi tanah, rumah, dan perabotnyalah yang dapat dilihat orang”.

Gejalatersebut, menyerupai kajian Muhaimin dalam bukunya, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980”menyatakan bahwa orang-orang Indonesia sangat senang dan bangga akan kepemilikan aset-aset perusahaan maupun kepemilikan barang-barang berharga lainnya, walaupun mereka bukanlah sebagai pemilik sebenarnya, melainkan mereka hanya diatasnamakan. Pemilik modal sebenarnya adalah pemodal besar (apakah seorang pejabat, golongan militer/polisi) dan termasuk orang-orang asing(Muhaimin, 1991: 24-32). Jadi, tidak dapat dipungkiri adanya kecenderungan di antara mereka untuk menampilkan hasil usahanya tersebut dengan membeli barang-barang berharga, sehingga ada di antara mereka memperlihatkan gaya hidup mewah yang dapat terlihat pada barang-barang yang dimilikinya. Namun, ada juga memperlihatkan kemewahan seakan-akan ia berhasil dalam usahanya dan mau dipuji. Ada juga di antara mereka berperilaku kepasrahan terhadap takdir yang dimilikinya(Wawancara dengan Daeng Mangun, 07Juli 2015).

 

PENUTUP

Pagandeng di Kota Makassar sudah sangat familiyer di telinga dan pandangan mata para warga Kota Makassar, baik penduduk asli maupun warga pendatang. Sebab pagandengini selalu hadir di jalan-jalan, di pasar tradisional, dan di kompleks-kompleks perumahan menjajakan barang dagangan keperluan dapur bagi ibu-ibu. Selain itu juga, keberadaan pagandeng merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dengan pasar.Di mana ada pasar tradisional, di situ ada pagandeng, atau sebaliknya, di mana banyak pagandeng berjualan maka di situ perwujudan pasar tradisional. Jadi, keberadaan pagandeng sangat berartibagi warga masyarakat, baik warga masyarakat sebagai penjual atau pagandengitu sendiri maupun pembeli barang jualan pagandeng.

Pagandeng bermacam-macam dilihat dari jenis komoditas dagangannya. Oleh karena itu, kita mengenal pagandeng sayur,pagandeng ikan, pagandeng mangga, dan berbagai macam jenis pagandeng lainnya.Pagandeng dilihat dari intesistasnya dan eksistensinya juga bermacam-macam. Ada pagandeng tulen atau pagandeng yang memang pekerjaannya setiap hari dan bertahun-tahun hanya sebagai pagandeng.Ada juga pagandeng musiman, yaitu pagandeng pada musim-musim tertentu, seperti menjadi pagandeng buah mangga pada saat musim mangga, menjadi pagandeng jagung muda pada saat musim jagung tiba, dan jenis pagandenglainnya.

Keberadaan pagandeng di Kota Makassar seumur dengan keberadaan pasar tradisional di kota ini. Jadi, keberadaannya sudah berpuluh-puluh tahun.Eksistensi keberadaan pagandeng mencerminkan pentingnya pagandeng itu sendiri dilihat dari segi pelakunya, yaitu manfaat ekonominya terhadap kehidupan keluargapagandeng.Namun, tidak gampang menjadi pagandeng, bukan hanya karena faktor modal atau faktor lokasi menjajakan gandengannyamelainkan mereka terlebih dahulu harus berhadapan dengan pagandeng yang sudah ada sebelumnya. Persaingan dalam sektor informal ini juga tidak dapat dipungkiri, baik kepada sesama pagandeng yang sudah eksis kepada pagandeng pendatang baru, maupun pedagang kecil lainnya yang tidak dapat dipisahkan dengan masalah kedaerahan atau etnosentrisme.Etnosentrisme ini memang tidak melembaga tetapi masih tampak nyata dalam dunia pagandeng maupun pedagang kecil lainnya, bahkan dalam usaha-usaha formal dalam Kota Makassar.

Pagandeng tidak memperlihatkan dirinya sebagai golongan miskin tetapi juga tidak digolongkan sebagai orang kaya berdasarkan ukuran setempat. Buktinya karena telah banyak memiliki rumah permanen, telah memiliki kendaraan seperti sepeda ayun/ontel, sepeda motor dan pemilikan barang-barang berharga lainnya.Perwujudan itu dianggap wajib karena menurut sebagian pagandengbahwa hasil usaha kerja keras perlu ditampilkan kepada setiap orang di dalam kehidupan bermasyarakat. Terdapat ”paseng” (pesan) dalam bentuk ungkapan orang Bugis Makassar bahwa ”Orang tidak akan melihat apa yang kamu makan setiap harinya, tetapi tanah, rumah, dan perlengkapannyalah yang dapat dilihat dan dinilai orang”. Sehingga orang Bugis Makassar harus bersemangat dan bekerja keras mengembangkan usaha dan modalnya. Termasuk modal nonmateri,sebab modal finansial tidak cukup karena ada faktor-faktor lain yang sangat berperan dalam keberhasilan usaha, yaitu faktor kedirian yang ada pada pagandeng, terutama kemampuan mereka membaca dirinya dan peluangnya, termasuk pola-pola hubungan yang mereka jalin dengan pihak lain.Walau pun pagandeng di Kota Makassar menjadi persoalan tersendiri karena tidak sedikit jalan-jalan di Kota Makassar menjadi macet akibat keberadaan pagandeng sehingga perlu ada regulasi yang adil terhadap keberadaan pagandeng tanpa harus mengorbankan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Boeke, J.H., 1983. Prakapitalisme di Asia. Jakarta: Sinar Harapan.

BPS, Kotamadya Makassar Dalam Angka 2012, atas kerja sama antara Badan Pusat Statistik Kotamadya Makassar dengan Bappeda Kotamadya Makassar

  1. Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Geertz, Clifford, 1992. Penjaja dan Raja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, yang diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Kartodirdjo, Sartono 1985. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.

Kunio, Yoshihara, 1990. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.

Muhaimin, Yahya, A. 1991. Bisnis dan politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 195-1980. Jakarta: LP3ES.

Pradadimara, Dias. 2005. “Penduduk Kota, Warga Kota, dan Sejarah Kota: Kisah Makassar” dalam Freek Colombijn dkk. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia.Yogyakarta: Ombak.

Robert L. Heilbroner, 1982. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, yang diterjemahkan oleh Sutan Dianjung. Jakarta:Ghalia Indonesia.

https://www.scribd.com/doc/40549579/Microsoft-Word-Laporan-Penelitian-Pasar-Tradisional-Makassar

https://ekonomgila.wordpress.com/2011/05/13/peran-pagandeng-tukang-sayur-dalam-penciptaan-titik-equilibrium/

 

Para Informan:

  1. Wawancara dengan Iwan  HZdi rumahnya pada Minggu, 21 Juni 2015, sebagai salah satu anggota masyarakat umum Kota Makassar yang banyak mengenal para pagandeng.
  2. Wawancara dengan Daeng Tojeng sebagai salah seorang pagandeng di rumahnya kampung Pallangiseng, Gowa pada hari Rabu, 08 Juli 2015.
  3. Wawancara dengan Rahman Daeng Ngola sebagai pagandeng di Pasar Pusat Niaga Daya Makassar pada hari Sabtu, 06 Juni 2015.
  4. Wawancara dengan M. Daeng Naba salah seorang pagandeng yang beroperasi di Perumahan KNPI, Perumahan Bukit Delta Mas Daya, Makassar dan sekitarnya pada hari Sabtu, 13 Juni 2015.
  5. Wawancara dengan Haji Ukkas sebagai salah seorang pengurus Pedang Kaki Lima (PKL) di Pasar Pusat Niaga Daya Makassar pada hari Sabtu, 06 Juni 2015.
  6. Wawancara dengan Daeng Gassing di rumahnya daerah Pallangngiseng, Gowa pada hari Sabtu, 20 Juni 2015.
  7. Wawancara dengan Daeng Tayang di pasar tradisional Pusat Niaga Daya Makassar pada hari Minggu, 12 Juni 2015.
  8. Wawancara dengan Daeng Ngesa sebagai salah satu pagandeng di rumahnya daerah Kampung Parang, Gowa pada hari Selasa, 16 Juni 2015.
  9. Wawancara dengan Daeng Taba di rumahnya daerah Kampung Parang, Gowa, pada hari Selasa, 16 Juni 2015.
  10. Wawancara dengan Hajjah Irusnawati di pasar Tradisional Pusat Niaga Daya, Makassar pada hari Minggu, 13 Juni 2015.
  11. Wawancara dengan Daeng Mangun pada hari Minggu, 07 Juli 2015.