Sahajuddin
Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar
Jalan Sultan Alauddin / Tala salapang Km 7 Makassar, 90221
Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166
Pos-el: saj.sahajuddin@yahoo.com
ABSTRACT
ABSTRAK
Kajian ini mempergunakan metode sejarah kritis melalui: heuristik (pengumpulan sumber) dengan dua pendekatan, yaitu studi pustaka dan sejarah lisan (wawancara); kritik sumber; interpretasi; dan historiografi. Merujud pada persoalan bahwa eksploitasi buruh dalam pertanian garam di Arungkeke tidak segencar dengan persepsi bahwa selama hubungan terjadi antara orang-orang yang tidak sama kuat, maka ada kemungkinan hubungan itu berat sebelah dan menyebabkan terjadinya eksploitasi. Pola-pola hubungan dalam pertanian garam di Arungkeke bersifat hirarki antara pemberi kerja dengan penerima kerja. Pola-pola hubungan dalam pertanian garam di Arungkeke dengan perbedaan status sosial budaya dan perbedaan status ekonomi tidak menjamin terjadinya eksploitasi. Namun kerawanan eksploitasi dalam pola hubungan tersebut tidak diragukan karena hubungan antara buruh dan patesang terhadap pemilik empang adalah hubungan kepatuhan dan pengabdian. Buruh dan patesang sangat patuh terhadap pemilik empang sehingga rawan dieksploitasi tenaganya, tetapi pada sisi lain para buruh dan patesang sering mendapatkan perlindungan dan bantuan dari pemilik empang secara cuma-cuma sehingga mereka tidak merasa dieksploitasi. Akibatnya batasan eksploitasi menipis dalam pola-pola hubungan buruh dalam pertanian garam di Arungkeke.
Kata Kunci: Eksploitasi, Buruh, pola hubungan, Pertanian Garam, Arungkeke
PENDAHULUAN
Persoalan eksploitasi merupakan persoalan mendasar dalam berbagai pola-pola hubungan, terutama pola-pola hubungan yang memiliki status sosial ekonomi yang berbeda. Di mana eksploitasi sering diartikan sebagai bentuk pemanfaatan atau pemerasan tenaga orang/manusia untuk keuntungan sendiri atau keuntungan perusahaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995: 254). Banyak kita saksikan bahwa ruang eksploitasi yang paling rawan terjadi adalah pola-pola hubungan yang berada di area antara pemberi kerja (majikan atau perusahaan) dengan yang diberi kerja (buruh). Kerawanan eksploitasi ini terjadi antara majikan dengan buruh karena perbedaan status sosial ekonomi. Salah satu pandangan yang mungkin bisa diketengahkan di sini adalah pandangan tentang “eksploitasi” dari James C. Scott dalam hubungan “tuan tanah” dengan “penyewa”, yang mengatakan bahwa “Selama hubungan terjadi antara orang-orang yang tidak sama kuat, maka ada kemungkinan hubungan itu berat sebelah. Baik secara perorangan maupun secara kelompok, di mana satu pihak menarik keuntungan atas kerugian pihak lain dan memungkinkan hubungan itu bersifat eksploitasi” (Hammado Tantu, 1988: 284). Sistem eksploitasi juga sangat dekat dalam masyarakat pedesaan yang memiliki stratifikasi sosial di dalamnya. Termasuk pada masyarakat Sulawesi Selatan yang memiliki lembaga atau paling tidak memiliki pola-pola hubungan patron-klien yang dalam istilah lokalnya disebut punggawa-sawi.
Pola hubungan punggawa-sawi merupakan salah satu bentuk pola hubungan yang tidak sama kuat atau tidak seimbang. Sebab punggawa adalah pemilik modal atau penguasa faktor produksi dalam suatu perusahaan atau dalam sistem pertanian. Sementara sawi adalah pengikut atau anak buah dalam suatu sistem kerja pada suatu perusahaan atau dalam sistem kerja yang dipimpin atau yang dimiliki oleh punggawa. Sawi juga sering disamakan dengan buruh, walaupun dalam hal-hal tertentu memiliki perbedaaan. Jika sawi terikat dalam hubungan dekat secara emosional dan memiliki hubungan yang saling membutuhkan (ada ketergantungan) dalam kehidupan sosial budayanya maka sawi tidak bisa disamakan dengan buruh pada umumnya tetapi lebih kepada joa atau minawang (pengikut). Sementara sawi sebagai buruh adalah sawi yang memiliki hubungan dan terbatas pada sistem kerja semata. Tetapi dalam pengistilahan kegiatan kerja pada masyarakat Bugis-Makassar sering dicampur baurkan. Pola-pola hubungan yang tidak seimbang tersebut banyak bentuknya di dalam masyarakat Bugis-Makassar tetapi apakah di dalamnya terjadi eksploitasi atau tidak. Hal itu perlu pengkajian secara khusus karena hubungan punggawa-sawi (patron-klien) pada setiap sistem kerja yang melibatkan punggawa-sawi tidak selamanya terjadi eksploitasi. Demikian juga dalam suatu pola-pola hubungan tertentu, misalnya pola-pola hubungan yang terjadi dalam pertanian garam di Arungkeke.[1]
Pertanian garam di Arungkeke juga terjadi pola-pola hubungan yang melibatkan berbagai elemen atau kelompok masyarakat, dan paling tidak ada empat kelompok yang selalu berhubungan satu sama lain, yaitu pemilik lahan penggaraman atau pemilik empang (pata panngempang); pekerja bagi hasil (patesang); buruh (pacarancang); dan yang keempat adalah pedagang garam (padanggang ce’la). Dari empat kelompok inilah sering terjalin pola-pola hubungan dalam pertanian garam di Arungkeke. Pola-pola ini terjadi hubungan yang tidak berimbang dari segi status sosial dan status ekonominya. Pola hubungan yang terjadi adalah berhirarki antara pemilik empang (pemilik lahan penggaraman) dengan penggarap penyewa atau penggarap bagi hasil (pekerja bukan pemilik lahan). Demikian juga antara penggarap dengan buruh (pacarancang) yang juga bersifat hirarki. Dengan kenyataan itu, apakah dalam pertanian garam ada atau tidak ada eksploitasi sebagaimana pandangan di atas?.
Kajian sistem eksploitasi telah dimulai dalam sejarah sosial di Indonesia yang dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo dengan karyanya yang sangat terkenal: Pemberontakan Petani Banten 1888 (Sartono Kartodirdjo, 1984:66-90). Dalam karya itulah menunjukkan adanya sistem eksploitasi antara golongan kolonialis sebagai pihak pengeksploitasi dengan golongan pribumi sebagai pihak tereksploitasi. Ternyata pula bahwa eksploitasi bukan hanya pada golongan penjajah dengan yang terjajah (pribumi), tetapi terjadi juga kepada sesama anak bangsa kita. Barangkali tidak naif dan salah kalau kita memberi statemen bahwa ada di antara majikan atau perusahaan yang mengeksploitasi pembantunya atau buruhnya. Namun yang menjadi persoalan, seperti apa dan bagaimana eksploitasi itu terjadi, sebab terjadi tidaknya eksploitasi bukan hanya ditentukan oleh pengamatan sesaat oleh peneliti. Sebagai contoh bahwa bisa saja dari segi pengamatan sesaat kita memberi dugaan bahwa dalam pola-pola hubungan pertanian garam di Arungkeke terjadi eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan penggaraman, penggarap penyewa atau penggarap bagi hasil kepada pekerja sawi atau kepada buruh.
Dugaan ini sebagai kenyataan yang terjadi di lapangan tentang adanya perbedaan status dan kekuasaan dalam menentukan kebijakan sistem kerja dan penentuan bagi hasil, penentuan upah, dan harga garam. Demikian juga kalau diamati secara sesaat, sepertinya terjadi juga eksploitasi dalam pola hubungan yang dilakukan oleh pedagang kepada pemilik garam, khususnya kepada penggarap penyewa dan pekerja bagi hasil dan buruh. Hal itu didasarkan pada kenyataan pula bahwa para petani pemilik, penggarap dan buruh pada masa lampau, di mana golongan ini tidak banyak mengetahui harga pasaran di perkotaan atau harga di luar wilayah produksi garam. Sehingga para pedagang garam bisa saja mempermainkan harga, untuk memperoleh keuntungan yang sangat banyak dari para petani garam (Wawancara dengan Daeng Kulle). Lebih-lebih yang dilakukan oleh para tenkulat di tingkat pedesaan. Jika hal itu dianggap sebagai salah satu bentuk eksploitasi maka perilaku-perilaku yang berkaitan dengan kondisi di lapangan menunjukkan adannya pola-pola hubungan seperti itu.
Namun dugaan atau hipotesa itu bulum bisa diterima sebagai kejadian yang sesungguhnya terjadi dalam pola-pola hubungan pertanian garam di Arungkeke. Ada salah satu kajian teoritis yang dihasilkan oleh Heddy Shri Ahimsa Putera di Sulawesi Selatan. Dalam sosial ekonomi masyarakat Sulawesi Selatan sebagaimana Heddy Shri Ahimsa Putra dalam bukunya: Minawang: Hubungan patron-Klien di Sulawesi Selatan, menyatakan bahwa dalam melihat masyarakat Sulawesi Selatan apakah di dalamnya ada praktek eksploitasi dalam hubungan patron-klien atau tidak. Maka sebaiknya kita melihat dan menganalisa pada dua pendekatan, yaitu pendekatan peneliti dan pendekatan pelaku (Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988:6). Lebih lanjut Heddy mengatakan bahwa dari dua pendekatan itu, mungkin ada baiknya kalau memperhatikan dua hal tersebut secara berimbang.
Kedua pendekatan tersebut jika ditinjau dari tingkat pedesaan memerlukan kehati-hatian akibat kuatnya sistem sosial budaya dan sistem paternalistik dalam masyarakat. Sebaliknya dalam masyarakat juga telah tersentuh modernisme perkotaan akibat kuatnya saling ketergantungan antara kota dengan desa. Di mana kota sangat membutuhkan buruh atau pekerja yang murah untuk industri perkotaan, membutuhkan hasil pertanian dan komoditas lainnya. Sementara desa membutuhkan pekerjaan yang tidak terlalu menekankan keahlian tetapi cukup otok, yang penting bisa mengasilkan uang dengan mudah, termasuk desa membutuhkan hasil industri perkotaan. Lalu bagaimana dengan Arungkeke sebagai desa produsen garam terbesar di Sulawesi yang masih memiliki sistem sosial budaya yang kuat dan sistem paternalistik juga yang masih kuat. Namun pada sisi lain, ada beberapa warga desa ini, juga telah terkontaminasi dengan nilai-nilai perkotaan. Sementara kegiatan produktifitas pertanian garam masih sangat penting dan menjadi pertanian primadona pada saat musim panas antara bulan Juni sampai bulan Oktober dan bahkan Desember setiap tahunnya. Dalam proses produksi garam tersebut, juga masih terjalin pola-pola hubungan dengan empat kelompok sebagaimana disebutkan di atas.
METODE
Tulisan ini mengacu pada penelitian studi pustaka dan sejarah lisan (wawancara) dengan metode sejarah kritis sesuai dengan langkah-langkah penelitian sejarah pada umumnya. Langkah pertama adalah penentuan topik atau judul penelitian. Adapun langkah-langkah penelitian sejarah (Cottschalk, 1982:27) tersebut adalah (1) heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan data-data atau sumber-sumber yang berkaitan dengan objek penelitian melalui studi pustaka, kemudian studi lapangan dan mewawancarai beberapa petani garam dan buruh; (2) kritik sumber, artinya bahwa tidak semua sumber yang berkaitan dengan objek penelitian ini akan dipergunakan sebagai kebenaran analisis tetapi diseleksi melalui kritik interen dan eksteren dengan memperhatikan tujuan penulisan ini; (3) interpretasi, sering disebut penafsiran sejarawan terhadap sumber-sumber yang diperoleh; (4). Historiografi, sering diartikan sejarah penulisan sejarah secara luas. Maksudnya sejarah sebagai hasil rekonstruksi yang telah menjadi suatu rangkaian narasi melalui proses pemahaman yang kita sebut interpretasi. Karena bentuknya narasi, maka dianggap sebagai suatu kesatuan dari proses rekonstruksi yang kita sebut historiografi (Kartodirdjo, 1992: 9). Mulai langkah pertama sampai langkah keempat merupakan satu kesatuan, langkah pertama, peneliti telah melakukan studi pustaka dan mendapat beberapa sumber data yang dapat dimanfaatkan karena harus melalui kritik sumber, kemudian data pustaka itu kami lengkapi wawancara di lokasi penelitian. Kemudian data-data itu berusaha untuk dipahami dan diinterpretasi dengan baik sampai menghasilkan sebuah narasi yang runtut sebagai wujudnya sekarang.
PEMBAHASAN
Potensi Arungkeke
Arungkeke sebagai desa dan sekaligus sebagai salah satu kecamatan di Jeneponto, Sulawesi Selatan memiliki potensi kehidupan dalam berbagai aktifitas pertanian. Arungkeke juga dikenal sebagai salah satu kerajaan yang berdiri sendiri dan diperkirakan berdiri sekitar abad XVII (Caldwell W. Bougas, 2004:20-21). Potensi pertaniannya dapat dilihat pada letak geografisnya dan lingkungan alamnya. Pada bagian timur sampai ke selatan, Arungkeke terhampar lahan pertanian garam dalam petak-petak empang. Lokasi ini sangat stategis dalam proses produksi pertanian garam, karena lokasi ini berhubungan langsung dengan laut. Di samping itu Arungkeke memiliki pelabuhan yang teduh dan aman, baik dari segi transaksi barang maupun dari pengacau dan perampokan. Namun yang menarik pula karena Arungkeke yang begitu dekat dengan laut tetapi air tawar sangat mudah diperoleh, tidak jauh dari wilayah pantai dan di sekitar lokasi penggaraman (Caldwell W. Bougas, 2004:21).
Secara geografis daerah Arungkeke, Jeneponto telah terkenal sebagai wilayah dengan latar belakang iklim tropis yang relatif kering. Kekeringan daerah ini bukan hanya ditandai oleh panas terik yang menyengat, akan tetapi juga terlihat jelas pada panorama alam yang cukup panas, terutama di saat musim kemarau setiap tahunnya. Di samping itu, daerah ini merupakan wilayah yang memiliki topografi yang datar sehingga sangat cocok dengan berbagai tanaman pangan. Pada wilayah bagian barat dan utara pada musim kemarau tanahnya kering, tetapi sangat produktif pada musim hujan karena tanaman sangat subur dan rimbung sehingga hasilnya melimpah. Sementara bagian selatan masih diolah untuk tanaman palawija karena lancarnya pengairan sungai, kemudian bagian utara agak ke timur sudah bersentuhan dengan air garam karena berdekatan dengan empang dan laut. Sedangkan bagian timurnya yang mencapai ribuan puluh hektar luasnya dipergunakan untuk pertanian garam. Jeneponto sebagai daerah tropis memiliki curah hujan yang turun setiap tahun rata-rata hanya berkisar 957 mm dan biasanya hujan turun sekitar 63 hari lamanya dalam setiap tahun (Panangrangi Hamid, 1985: 1), khususnya pada bulan Oktober sampai April.
Namun jika dilihat dari sudut lain, maka kenyataan selalu menunjukkan pula hal yang berbeda, bahwa letak geografis daerah ini yang berada di pesisir laut di mana terdapat potensi sumber daya alam berupa air laut yang melimpah ruah. Di samping terik matahari sepanjang musim kemarau menjadi modal utama bagi penduduk yang bermukim di atasnya untuk mengembangkan usaha dan kegiatan produksi garam. Antara air laut yang memiliki kadar garam yang tinggi dengan potensi sinar matahari yang panas terik yang berlangsung antara bulan April hingga Oktober menjadi modal utama proses produksi garam. Sementara di sekitar pinggiran laut, khususnya bagian timur Arungkeke terdapat ribuan hektar empang-empang yang sudah dipetak-petakkan. Di dalam petak-petak empang juga telah banyak yang buatkan media penggaraman, sehingga setiap tahunnya tidak terlalu banyak yang dikerjakan untuk memproduksi garam.
Arungkeke juga memiliki pantai pasir putih yang cukup indah dan potensial untuk dikelola menjadi destinasi pariwisata bahari jika dikelola dengan baik. Pantai ini hempasan gelombangnya tidak terlalu deras karena kira-kira dua kilometer ke dasar laut ada tanggul alamiah berupa karang dan batu gunung. Sebelum tanggul itu, pantainya berpasir putih dan bersih karena tidak memiliki karang dan bebatuan, termasuk tidak memiliki rumput apa lagi tanaman bakau. Di sekitar pantai banyak terdapat pohon kelapa karena kira-kira 500 meter di atas pantai terdapat perkebunan kelapa, tetapi kalau musim hujan ditanami jagung dan ubi jalar yang sangat produktif. Tapi sayang seribu sayang sampai saat ini belum dikelola dengan baik, baik pihak pemerintah setempat maupun dari pihak pengusaha swasta.
Pada musim hujan orang Arungkeke menggarap sawah-ladang, di samping tambak yang akan menghasilkan produksi sesuai jenis yang diusahakannya, baik berupa bahan pangan (padi dan jagung) maupun ikan. Sedangkan selama berlangsungnya musim kemarau mereka menggarap tambak empang yang diubahnya menjadi ladang-ladang penggaraman, sebagai sumber produksi garam. Semua itu mencerminkan adanya dinamika sosial yang cukup tinggi bagi anggota masyarakat Jeneponto, untuk menjawab tantangan alamnya. Ditambah lagi dengan adat istiadat yang masih kental, sehingga banyak yang beranggapan bahwa adat istiadat ini yang menjadi penhalang atau penhambat terjadinya perubahan dan peningkatan tarap hidup masyarakatnya. Walaupun tidak semua golongan masyarakatnya mengalami perubahan dan kemajuan tetapi itu hanya terbatas pada golongan bangsawan dan para tuan tanah. Demikian juga masalah pendidikan dan afiliasi politik hanya golongan bangsawan yang mendominasinya, golongan to maradeka (strata sosial tingkat ke dua yang biasanya memiliki gelar daeng) dan to samara (strata sosial tingkat ke tiga dan biasanya tidak memiliki gelaran) memiliki peluang yang sangat terbatas.
Berangkat dari kenyataan di atas, telah membawa pengaruh yang cukup besar pada hubungan-hubungan sosial atau interaksi yang ada di dalamnya. Hubungan tersebut diharapkan dapat membantu mereka mempertahankan hidup, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Keberlansungan hidup tersebut sangat ditentukan oleh tingkat produktifitas manusianya, sehingga menuntut mereka agar mampu dan dapat memiliki alat-alat produksi berkaitan dengan jenis aktifitas yang mereka lakukan. Namun ternyata dalam kepemilikan alat-alat produksi bukanlah angin yang setiap saat orang mampu memperolehnya dalam segala ruang dan waktu. Tetapi perolehan alat-alat produksi sangat ditentukan atas kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki dalam persaingan.
Persaingan dalam memperoleh alat-alat produksi sering menimbulkan konflik-konflik yang pada gilirangnya menimbulkan kelompok yang menguasai alat-alat produksi dan kelompok yang dikuasai, karena tidak mampu bersaing dalam kepemilikan alat-alat produksi. Di sinilah menimbulkan proses terjadinya ketergantungan disalah satu pihak dan penguasaan di lain pihak, yang menurut istilah Marx sebagai dikotomi kelas-kelas sosial. Adanya dikotomi kelas-kelas dalam pemahaman Marx dalam perspektif buruh menimbulkan hubungan sosial yang tidak seimbang. Kemudian hubungan-hubungan itu sengaja dibangung ketergantungan untuk mempertahankan keberlangsung hidup di antara mereka. Sehingga dalam perkembangannya menciptakan golongan atau kelompok kelas yang mengeksploitasi pada satu sisi dan kelompok atau individu yang dieksploitas pada sisi lain. Maka dengan demikian, menurut Marx masyarakat atau kelompok yang merasa dikuasai harus berjuang untuk menghapuskan perbedaan kelas dan kalau perlu melakukan revolusi (Tom Campbell, 1994:134-135). Namun pemahaman Marx itu telah mendapat kritikan dalam berbagai analisa ekonomi, sosial dan politik walaupun mungkin teori Marx masih sangat diperlukan dalam mengkritik kebijakan dunia kapitalis maupun praktek-praktek sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam kehidupan bermasyarakat yang memperhatikan nilai-nilai keadilan.
Pola-pola Hubungan Buruh Dalam Pertanian Garam
Pola-pola hubungan buruh dalam pertanian garam sangat sentral karena buruh (pacarancang) dapat berhubungan dengan berbagai pihak dalam proses produksi garam. Terutama berhubungan dengan pihak-pihak yang memang memiliki kepentingan pada proses produksi garam. Pacarancang menjalin hubungan lebih kepada keinginan untuk memperoleh pekerjaan agar dapat membantu keluarganya. Sehingga siapa saja yang membutuhkan tenaganya, pasti mereka berikan demi upah dan membuktikan bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan keluarganya (wawancara dengan Sanneru). Walaupun tingkat pemenuhannya terbatas pada ukuran mereka, bukan ukuran pihak luar keluarganya. Jadi pola-pola hubungan yang dilakukan oleh pacarancang terbuka pada siapa saja tetapi tidak boleh rangkap hubungannya pada dua pemilik empang atau dua patesang dalam satu musim berlangsung. Sebab jika itu terjadi, maka posisi pacarancang ini terancam dan kemungkinan dipecat dari salah satu kedudukan rangkapnya. Secara kultural di Arungkeke posisi pemilik empang tidak mau diduakan oleh pacarancangnya, dan kalau itu terjadi maka resiko marah atau memecat para pacarancang sangat terbuka.
Kegiatan produksi garam dalam masyarakat Arungkeke senantiasa melibatkan berbagai pihak, baik yang terlibat langsung dalam organisasi produksi pertanian garam itu sendiri, maupun yang terlibat dalam organisasi pemasaran hasil produksi. Pihak-pihak yang berkaitan lansung dengan kegiatan produksi garam paling tidak adalah pemiliki empang atau sering disebut pata pangngempang; penggarap atau sering disebut Tu Attesang (petani bagi hasil); buruh atau sering disebut pacarancang atau biasa juga disebut sawi; kemudian pengusaha atau pedagang garam (Hammado Tantu, 1988: 302-308). Hubungan-hubungan tersebut selalu disertai kesepakatan, baik secara lisan maupun secara tertulis sebagai wujud dimulainya kerja sama dalam proses produksi garam. apakah antara pemilik empang dengan pihak yang akan mengerjakan empangnya, apakah antara patesang dengan pacarancang atau pacarancang dengan pedagang. Adapun dasar-dasar atau bentuk-bentuk terjadinya kontrak kerja sama tersebut adalah (Panangrangi Hamid,1985: 70-86, Hammado Tantu, 1988: 287- 292):
- Tesang, yaitu hubungan kerja antara pajama pace’lang/patesang (penggarap bagi hasil), di satu pihak dengan pata pace’lang/ pata pangngempang (pemilik empang) di lain pihak, di mana satu sama lain terikat oleh ketentuan bagi hasil.
- Sima, yaitu bentuk kerja sama antara pajama pace’lang (penggarap) dengan pata pace’lang (pemilik empang), di mana pajama pace’lang berkewajiban membayar sima (pajak) kepada pata pace’lang atau pemilik empang atas hasil produksi garam yang diperoleh selama satu musim kemarau.
- Ta’gala, yaitu pajama pace’lang mengerjakan atau menggarap ladang garam atas dasar gadai atau hak gadai dari pata pa’celang atau pemilik empang. Dalam hal ini pajama pace’lang tidak mempunyai kewajiban apapun, kecuali mengembalikan ladang garam kepada pemiliknya manakala masa gadai telah berakhir berikut syarat lain yang disepakati sebelumnya, apakah berupa uang atau bentuk syarat lainnya.
Setiap bentuk hubungan kerja seperti tersebut di atas, pada dasarnya tidak hanya melibatkan satu atau dua pihak saja tetapi terbuka pada pihak-pihak lain. Patesang (pekerja bagi hasil) dapat menjalin hubungan timbal balik pada pemilik penggaraman, tetapi sekaligus dapat menjalin hubungan dengan pacarancang (buruh) serta para pengusaha atau pedagang garam. Patesang pun dapat menjalin hubungan dengan pemilik empang lain dalam satu musim produksi garam, tetapi rawan terjalin hubungan yang akrab, jadi kalau patesang mau aman maka ia harus memilih salah satu pemilik empang saja. Sebab dalam hubungan tersebut diharapkan tercipta harmonisasi dalam kegiatan produksi garam sampai pada tahap pemasaran sebagai tujuan akhir dari proses produktifitas pertanian garam. Empat pihak yang terlibat dalam proses produksi garam tersebut, dapat menjalin hubungan satu sama lain tetapi rawan menjalin hubungan yang rangkap pada pihak posisi yang sama. Hubungan yang ideal dalam proses produksi garam di Arungkeke adalah pacarancang menjalin hubungan tidak boleh lebih dari satu pemilik empang, bisa menjalin hubungan dengan patesang, dan menjalin hubungan dengan pedagang garam. Sehingga pola-pola hubungan para buruh (pacarancang) dengan pihak-pihak lain sangat terbuka, baik kepada pemilik empang, patesang dan pedagang (Wawancara dengan Sanneru).
- Hubungan Buruh Dengan Pemilik Empang
Buruh tani di bidang penggaraman yang dikenal oleh masyarakat orang Arungkeke adalah “sawi atau pacarancang”. Pacarancang ini terdiri atas orang-orang yang mendapatkan pekerjaan dan upah dari pihak pemberi kerja seperti pemiliki empang (pata pangngempang), atau dari petani penggarap (patesang) dan atau dari pengusaha atau pedagang garam menurut perjanjian yang disepakati antara kedua belah pihak. Baik untuk suatu jenis pekerjaan tertentu atau semua jenis pekerjaan dalam kegiatan produksi sampai pada pemasaran garam. Pekerjaan tersebut bisa dilakukan sendiri oleh satu pacarancang atau bisa lebih dari satu pacarancang karena yang menentukan berapa banyak pacarancang yang dipergunakan, tergantung pada pihak yang memberi kerja (Wawancara dengan Daeng Kulle). Sehingga pacarancang (buruh) dapat juga dikelompok-kelompokkan seperti buruh tetap, buruh musiman, buruh borongan dan buruh harian.
Buruh tetap adalah buruh yang memiliki punggawa tidak lebih dari satu punggawa dan sistem pengupahannya juga tetap; buruh musiman merupakan buruh pada saat musim produksi garam saja mereka ada dan hanya mengerjakan pekerjaan tertentu saja, misalnya hanya mengerjakan lembara (memikul) garam dari bedengan ladang produksi garam ke tempat penampungan garam. Jaraknya tidak terlalu jauh, kira-kira hanya 100-500 meter dengan sistem pengupahan berupa garam, yaitu enam keluar satu. Artinya setiap enam kali mengangkut, pemberi kerja mendapat lima kali dan pekerja atau buruh mendapat satu kali (Wawancara dengan S. Daeng Kanang); buruh borongan adalah buruh yang bergerombol atau lebih dari satu buruh untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Misalnya buruh memborong satu petak gudang garam untuk mengkarungkannya sampai selesai dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan antara buruh dengan pemberi kerja, sehingga upahnya pun didasarkan pada selesainya pekerjaan tersebut; sementara buruh harian adalah buruh yang diupah berdasarkan jumlah hari mereka bekerja.
Semua tipe-tipe buruh tersebut pada umumnya di Arungkeke dalam proses produksi garam kebanyakan mendapat upah berupa garam. Namun dalam perkembangan kemudian sistem pengupahan yang dapat diperoleh buruh atau pacarancang dapat berupa uang tunai, dapat pula dalam bentuk garam sesuai dengan kesepakatan pihak pacarancang dengan pihak pemberi kerja. Jumlah garam yang mereka peroleh tergantung banyaknya volume kerja yang mereka selesaikan, semakin banyak volume yang mereka selesaikan semakin banyak pula volume upahnya (Wawancara dengan S. Daeng Kanang). Sehingga nilai nominal uang yang mereka peroleh setelah dikonfersi dari garam ke uang tergantung jumlah garamnya dan tergantung harga pasaran. Para pacarancang tidak ada ikatan istimewa dengan pihak yang memberi kerja dan upah, kecuali untuk suatu kegiatan pekerjaan yang disepakati melalui perjanjian sebelumnya. Jika yang memberi kerja adalah pemilik empang maka para buruh harus bertanggungjawab pada pekerjaan yang dibebankan padanya untuk memperoleh kepercayaan dari pemilik empang. Dan kalau mampu ia wujudkan, maka buruh atau pacarancang ini bisa naik kelas menjadi patesang (penggarap bagi hasil).
Setiap jenis pekerjaan atau keseluruhan pekerjaan biasa dilakukan oleh pacarancang, dengan memperoleh upah atas jerih payah atau pekerjaan yang dilakukannya berdasarkan kesepakatan mereka. Jika pacarancang memperoleh pekerjaan berupah lembara (memikul) garam dari satu tempat ke tempat lain maka sistem pengupahannya adalah enam keluar satu. Jika pekerjaannya memproduksi garam mulai dari awal proses sampai selesai panen produksi maka sistem pengupahannya adalah tiga keluar satu. Artinya dua bagian untuk pemilik empang dan satu bagian untuk pacarancang. Pacarancang dengan demikian adalah kompenen atau unsur organisasi produksi pertanian garam yang tidak mempunyai resiko, ataupun konsekwensi rugi dan laba. Mereka selalu menerima upah menurut perjanjian dan pekerjaan yang dilakukannya, baik dalam keadaan paceklik maupun panen melimpah ruah. Kalau yang memberi pekerjaan itu adalah pemiliki empang, maka terjadi pola hubungan antara buruh atau pacarancang dengan pemilik empang. Hubungan ini dianggap terlalu longgar karena pemilik biasanya memberikan keleluasaan kepada pacarancang untuk melakukan fungsingnya (Hammado Tantu, 1988: 287- 292).
Hubungan antara pacarancang dengan pemilik empang memang agak longgar, tetapi jika pacarancang sudah menjadi patesang pada pemilik empang maka patesang ini agak terikat akibat posisi patesang lebih besar peluangnya memperoleh keuntungan besar. Untuk menjaga keuntungan besar tersebut, maka ia pun harus menjaga hubungan baiknya dengan pemilik empang agar tidak dipecat atau diganti kedudukannya sebagai patesang (Wawancara dengan Jannang Daeng Ra’ra). Dengan posisi itulah kedudukannya agak terikat pada pemilik empang dan bahkan relah memberikan tenaganya di luar pekerjaan garam kepada pemilik empang jika diminta. Tetapi sebaliknya patesang sering mendapat perlindungan dan bantuan secara cuma-cuma dari pemilik empang jika mendapat masalah atau kekurangan pangan (Wawancaran dengan Kammisi). Proses ini menunjukkan posisi pemilik empang sangat besar walaupun secara sepintas lalu pemilik empang seolah-olah tidak mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan petani garam (patesang, pasima, pata’gala dan pacarancang).
Namun kenyataannya hubungan antara pemilik empang dengan petani penggarap sangat dekat karena terkadang saling mengetahui lebih dari sekedar hubungan kerja saja. Kalau diteliti dan disimak secara seksama maka akan menjadi jelas bahwa para pemilik empang turut menentukan lancar tidaknya proses kegiatan produksi garam di daerah Arungkeke. Setiap ladang garam di daerah Arungkeke berada dan sekaligus terletak di atas areal tanah empang yang dimiliki oleh seseorang. Meskipun demikian pemilik empang pada umumnya tidak sekaligus menjadi pemilik ladang garam atau menjadi penggarap. Melainkan ladang garam yang dimilikinya itu diserahkan kepada petani penggarap karena pemilik lahan empang tidak mampu mengerjakan sendiri sehingga memerlukan bantuan, apakah itu patesang atau pacarancang (Wawancara dengan Jannang Daeng Ra’ra).
Dalam kondisi seperti itu setiap pemilik empang akan terlibat dalam kegiatan produksi garam, terutama karena pemilik empang itulah yang menguasai tanah empangnya dan potensi sumber air laut sebagai bahan baku bagi terselenggaranya proses produksi garam. Ini berarti, bahwa tanpa interaksi dan kerja sama antara pemilik empang di satu pihak dengan pemilik/penggarap tanah penggaraman di lain pihak, maka kegiatan produksi penggaraman tidak dapat terlaksana. Kenyataan ini yang menyebabkan para petani garam senantiasa merasa dirinya terikat, bahkan kadangkala merasa tergantung pada pemilik empang di atas mana ladang-ladang garam mereka terletak (Amir, 1992:47-49).
- Hubungan Buruh Dengan Patesang/Pekerja Bagi Hasil
Hubungan kerja patesang (pekerja bagi hasil) dengan pacarancang merupakan hubungan yang hampir sama dengan hubungan pacarancang dengan pemilik empang. Dalam arti bahwa pacarancang bisa terlibat langsung atau tidak secara langsung menentukan besar atau kecilnya jumlah produksi penggaraman. Hubungan antara pekerja bagi hasil (patesang) dengan buruh/pacarancang tergantung kesepakatan antara mereka. Dengan demikian, pacarancang, bagaimananpun juga, sedikit banyaknya akan memperlancar proses produksi sampai pada pemasaran hasil produksi garam yang telah diperoleh dari para patesang. Sejalan pada hubungan seperti itu, para pacarancang hanya menerima upah dari pihak patesang, untuk imbalan dari tenaga dan jerih payah yang diberikannya kepada patesang. Dalam hal ini pacarancang kadangkala dapat memperoleh upah dari patesang siapa yang mempergunakan tenaganya.
Keterlibatan pacarancang dalam proses kegiatan produksi garam di Arungkeke tentu saja atas motivasi ekonomi yang diutamakan, walaupun diakui pula bukanlah semata-mata karena faktor ekonomi, melainkan ada kalanya karena latar belakang sosial dan kekeluargaan (Panangrangi Hamid,1985: 96). Pendekatan ini bertolak dari kenyataan, bahwa umumnya patesang di Arungkeke memerlukan bantuan tenaga. Merasa kurang mampu untuk menanggulangi sendiri seluruh tahap kegiatan dalam proses produksi, baik menyangkut kegiatan pra panen maupun pasca panen. Kalaupun mereka mampu tanpa bantuan pihak lain, kadang dipresur oleh keluarganya yang meminta pekerjaan dan tidak tega menolak permintaan itu. Sehingga Meskipun demikian mereka tetap memanfaatkan tenaga pacarancang, antara lain karena motifasi kekeluargaan di samping keiinginan untuk menolong sesama warga, terutama kepada mereka yang sedang menganggur (Amir, 1992: 51-52).
Kegiatan produksi garam tersebut dapat meningkatkan harmonisasi kehidupan bermasyarakat karena ada saling bantu membantu; dapat membangun kehidupan kekeluargaan; di samping menopang sesama untuk meningkatkan pendapatannya sebagai petani garam. Jika sistem dan siklus ini dapat berjalan dengan baik, ini berarti mendukung kegiatan pembangunan masyarakat di daerah pedesaan. Utamanya dalam penyediaan lapangan kerja dan pemenuhan salah satu kebutuhan pokok manusia, serta memperluas lapangan pekerjaan di sektor pertanian garam. Dalam kebudayaan masyarakat orang Makassar di Arungkeke para patesang adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari pemilik empang. Sehingga patesang merupakan individu yang atas dasar hak penggarapannya atas ladang penggaraman, juga menjadi penentu dalam proses produksi ladang garam miliknya dari pemilik empang. Di situ juga menentukan sikap apakah lahanya akan digarap sendiri ataukah mencari bantua tenaga dari orang lain.
Hubungan kerja antara patesang dengan pacarancang berimbas pada hubungan kekerabatan sehingga sistem pengupahannya kurang jelas, lebih-lebih jika pacarancangnya adalah keluarga dekatnya. Namun ada juga pengupahan yang jelas jika pacarancangnya bukan keluarga terdekat patesang. Biasanya sistem pengupahan pacarancang dari patesang tergantung banyaknya pekerjaan yang dibebankan padanya. Jika pacarancang mulai terlibat kerja pada saat memulai proses pengerjaan persiapan lahan penggaraman sampai proses produksi garam, kemudian volume kerjanya hampir berimbang maka upah buruhnya dua setengah keluar satu (Wawancara dengan Daeng Sibali), artinya patesang memperoleh satu setengah bagian dan pacarancang memperoleh satu bagian. Sehingga sistem pemilikan dan pengerjaan ladang penggaraman menjadi perebutan karena banyak di antara pemilik atau pemegang kuasa menggarap, lahanya dapat dijaminkan untuk memperoleh pinjaman uang.
- Hubungan Buruh dengan Pedagang Garam
Hubungan buruh dengan para pedagang garam biasanya bersifat musiman dan dan berjalan satu arah karena pacarancang atau buruh tidak terlibat langsung dalam proses keseluruhan kegiatan transaksi jual beli, kecuali terbatas pada pemberian tenaga sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pedagang. Pekerjaan yang dilakukan oleh pacarancang (buruh) bisa bermacam-macam tergantung kebutuhan pedagang, bisa berupa pengisian garam ke dalam karung, pengangkatan garam ke atas mobil, bisa pemikulan dari satu tempat ke tempat lain dan jenis pekerjaan lainnya. Sementara upah yang diperoleh pacarancang tergantung beratnya pekerjaan dan lamanya waktu kerja. Pada tahun 2013 pekerjaan menaikkan garam ke atas mobil dengan kapasitas tujuh sampai sepuluh ton, buruh memperoleh upah sebesar Rp.100.000,- sampai Rp.150.000,- yang dikerjakan oleh dua sampai empat orang (Wawancara dengan Daeng Sibali).
Pendapatan sebesar itu menurut para buruh sudah terhitung besar, maka untuk mendapatkan kepercayaan dari pedagang, maka para pacarancang berusaha serius, jujur dan bertanggungjawab atas pekerjaannya. Sikap dan tindakan pacarancang itu sangat menentukan kelansungan tenaganya dipakai oleh pedagang untuk pekerjaan berikutnya. Jika mendapat kepercayaan, maka para pedagang tidak perlu lagi mencari buruh yang baru tetapi buruh yang pernah dipakai saja (Wawancara dengan Sanneru). Sebab pedagang sering membutuhkan buruh yang tidak hanya terbatas pada saat garam itu mau dikemasi sampai pada pengangkutan ke atas truck, tetapi juga buruh dibutuhkan sampai pada saat transaksi dilakukan ditempat mana garam itu dibawa untuk dilepas sebagai wujud transaksi jual beli(Hammado Tantu, 1988: 310- 312). Pola hubungan ini adalah pola hubungan sementara tanpa ada ikatan tertentu antara buruh dengan pedagang garam sebab mereka tidak saling kenal satu sama lain sebelumnya. Namun hubungan sementara itu bisa meningkat menjadi hubungan ketergantungan jika mereka sama-sama merasa fungsional terhadap yang lainnya. Hal itu terjadi jika mereka sering ketemu atau sering dipertemukan oleh adanya proses jual beli garam antara pemilik, patesang atau bahkan buruh sendiri yang memiliki garam yang mau dijual. Adapun jenis pekerjaan berkaitan dengan buruh dengan pedagang garam hanyalah terbatas pada pekerjaan (Panangrangi, 1985: 91-92).
Tipisnya Persoalan Eksploitasi
Persoalan eksploitasi pada perusahaan komanditer dan lembaga-lembaga bisnis lainnya yang memiliki sistem administrasi dan personalia yang baik akan mudah dikenali. Cukup diaudit oleh auditor yang profesional, memiliki integritas, amanah dan bertanggungjawab maka suatu perusahaan akan dapat dikenali terjadi tidaknya eksploitasi. Sementara eksploitasi pada tingkat perusahaan perorangan, atau pada wiraswasta yang bergerak dalam kegiatan pertanian di tingkat pedesaan yang memiliki pola-pola hubungan berdasarkan pada hubungan sosial budaya yang masih kental, persoalan eksploitasi sangat tipis diurai benang merahnya. Sebab dasar penilaiannya tidak cukup dengan hanya melihat aktifitas kerjanya sampai pada saat gajian dan melihat berapa banyak gaji yang diterima para buruhnya.
Pola-pola hubungan para buruh dengan pihak perusahaan komanditer hanya terbatas pada hubungan kerja formal semata, sehingga ukuran penilaian terjadi tidaknya eksploitasi gampang dilacak. Sementara pola-pola hubungan para buruh dengan pihak pemberi kerja di tingkat pedesaan yang memiliki adat istiadat yang masih kental, persoalan eksploitasinya tidak gampang mengukur terjadinya eksploitasi. Di tingkat pedesaan antara hubungan kerja dengan hubungan sosial budayanya dalam masyarakat susah dipisahkan. Hubungan kerja, memang tetap pada hubungan batas kerja, tetapi di luar hubungan kerja terjalin pula hubungan sosial budaya yang kuat dan intensif. Secara emosional, antara hubungan kerja dengan hubungan lainnya dalam masyarakat menjadi satu kesatuan kekerabatan. Sehingga pada satu sisi dianggap mengalami eksploitasi, namun pada sisi lain mendapat keuntungan ajimumpun. Sementara terjadinya eksploitasi kerja pada setiap buruh berbeda-beda jika pendekatannya pada pelaku (buruh) karena yang merasakan ada tidaknya eksploitasi adalah pelakunya, bukan pengamatan dan penilaian para peneliti. Cuma yang menjadi kendala jika melakukan pendekatan pelaku, terletak pada tingkat kejujuran pelaku (para buruh) yang dijadikan informan. Namun penelusurannya adalah pendekatan kualitatif dengan cara meleburkan diri dalam setiap aktifitas keluarga dan sosial budayanya, maka akan memperlihatkan fakta-fakta lain.
Demikian juga pola-pola hubungan yang terjalin dalam usaha penyelenggaraan proses produksi pertanian garam di Arungkeke, di samping memiliki hubungan kerja antara pemberi kerja dengan pekerja juga memiliki hubungan sosial. Pemberi kerja yang dalam hal ini adalah pata pangngempang, patesang, padanggang dan pemberi kerja lainnya memang memerlukan bantuan kerja. Pemberi kerja di tingkat pedesaan memang dapat memerankan beberapa tugas, baik sebagai jurutani maupun sebagai manager akan selalu menjalin hubungan kerja dengan beberapa pihak dan biasanya bersifat hirarki. Secara hirarki (James C.Scott, 1989: 54) hubungan kerja tersebut dimungkinkan karena pekerja bagi hasil di satu pihak senantiasa memerlukan lahan penggaraman beserta air laut dalam usaha produksinya di bidang pertanian garam. Sementara di lain pihak pemilik penggaraman adalah penguasa atas lahan penggaraman dan sumber air laut yang tertampung di dalam saluran induk empangnya. Jaringan kerja antara kedua belah pihak melibatkan diri pada ketentuan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing demi kelancaran jalanya hubungan kerja, misalnya antara pekerja penggarap patesang dengan pemilik empang.
Hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja yang nampak di Arungkeke dalam hubungan kerja, di mana hak patesang (penggarap bagi hasil) yang harus diterima dari pemilik penggaraman ialah memperoleh lahan penggaraman dengan air laut sesuai kebutuhan produksi pertanian garamnya. Pola hubungan yang terjalin, apakah sistem tesang (bagi hasil); apakah sistem sima (pajak empang) kepada pemilik empang; atau apakah sistem ta’gala (gadai empang) yang disepakati antara pemiliki empang dengan (patesang, pasima, atau pata’gala) dalam proses kerja sama, tergantung sistem yang mereka sepakati. Demikian pula sebaliknya, pemilik penggaraman berhak menerima pendapatan berupa sima, tesang atau ta’gala dari pihak pajama pacce’lang (penggarap penggaraman) atas lahan dan air yang telah dimanfaatkan dalam ladang penggaraman (Wawancara dengan Jannang Daeng Ra’ra). Melihat kenyataan seperti itu, nampaknya tidak terjadi hubungan yang bersifat eksploitasi dalam hubungan antara pata pangngempang (pemilik empang) dengan pajama pac’celang (penggarap penggaraman) sebagai mana analisa James C. Scott walaupun secara hirarki berbeda di antara mereka (James C. Scott, 1989: 239, Hammado Tantu, 1988:284 ).
Hubungan antara patesang (penggarap bagi hasil) dengan pacarancang (buruh); dan hubungan antara padanggang (pedagang) dengan pacarancang (buruh) dianggap paling besar peluangnya untuk terjadi eksploitasi karena status sosial ekonomi berbeda dan persoalan adat yang berbeda pula. Dengan alasan perbedaan status itu maka peluang patesang dan padanggang untuk mengeksploitasi para pacarancang (buruh) sangat besar. Pacarancang bisa juga dimanfaatkan secara tidak sengaja tetapi kurang disadari oleh patesang dan padanggang bahwa apa yang dilakukan dengan memberi kerja para pacarancang merupakan bentuk eksploitasi.
Eksploitasi ini terjadi jika penilaiannya berdasarkan pada perbedaan prosentase keuntungan yang diperoleh pemberi kerja (patesang, padanggang) dengan yang diberi kerja. Pemberi kerja bisa saja bertopeng di bawah alasan kekeluargaan karena memang hubungan antara pemberi kerja (patesang, padanggang) dengan pacarancang biasanya memiliki hubungan darah atau hubungan geneologis. Keuntungan yang diperoleh oleh para pemberi kerja tidak sebanding banyaknya dengan nominal yang diberikan kepada pacarancang. Jika hal itu dianggap sebagai bentuk eksploitasi, maka itulah yang banyak terjadi dalam proses produksi pertanian garam di Arungkeke. Hal ini yang dimaksud oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, ketika ada peneliti memberikan pandangan bahwa terjadi eksploitasi hanya karena melihat secara kasat mata ada perbedaan pendapatan yang besar antara pemberi kerja dengan pacarancang.
Kenyataan pada perbedaan pendapatan itu sudah tidak bisa terbantahkan lagi, pemberi kerja memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding dengan pekerja (pacarancang). Tetapi perbedaan secara kasat mata itu belum tentu terjadi eksploitasi. Kondisi di lapangan memperlihatkan kenyataan lain di luar pembagian pendapatan antara pemberi kerja dengan pekerja dalam pertanian garam di Arungkeke. Ketika kita memperhatikan pacarancang di luar kegiatan kerjanya sebagai pacarancang dalam proses produksi garam, ternyata ada beberapa pacarancang yang memiliki hubungan yang lebih intensif dengan pemilik empang, atau pada patesang atau pasima, atau pata’gala dan atau kepada padanggang. Hubungan yang intensif yang dimaksud adalah hubungan kekerabatan, dan hubungan sosial budaya lainnya. Pola-pola hubungan yang terlihat di sini tidak hanya diikat atas pekerjaan dalam proses produksi garam, tetapi juga pekerjaan di luar proses produksi garam.
Sebagai contoh, jika pemberi kerja memiliki hajatan atau pekerjaan di rumahnya, biasanya ia minta bantuan pada pacarancang tanpa harus dibayar. Hal ini pula bisa dianggap sebagai bagian dari sistem eksploitasi, tetapi ternyata para pacarancang ketika mengalami masalah, ia juga datang ke punggawanya (yang memberinya kerja) meminta bantuan. Ia meminta bantuan bukan hanya satu kali atau dua kali tetapi keseringan tanpa harus dibayar atau dikembalikan, tetapi dibantu secara cuma-cuma. Jika bantuan pemberi kerja dinominalkan, maka jumlahnya tidak sedikit dan bahkan keluarga pacarancang seperti anak dan istrinya sering makan-minum di rumah punggawanya/ karaengnya (si pemberi kerja). Sehingga para pacarancang sebagian besar tidak merasa dieksploitasi oleh punggawanya. Walaupun juga harus diakui bahwa ada juga pengakuan dari pacarancang yang merasa dieksploitasi oleh punggawanya. Tetapi jika diprosentasekan antara yang merasa dieksploitasi dengan yang tidak merasa dieksploitasi berdasarkan keterangan informan di lapangan menunjukkan perbedaan yang sangat tajam, di mana sekitar 85% tidak merasa dieksploitasi dan hanya 15% yang merasa dieksploitasi.
Ketika pacarancang yang dinilai dieksploitasi oleh para pemberi kerja ditanya, apakah merasa diekploitasi oleh punggawamu atau tidak?. Anehnya mereka (pacarancang) menjawab tidak merasa dieksploitasi karena mereka lakukan atas dasar kerelahan dan keiklasan (Wawancara dengan Sanneru, Kammisi dan baca juga Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988: 6). Bahkan tidak sedikit pacarancang merasa bersyukur atas pekerjaan itu dan mendapat punggawa seperti punggawanya yang banyak membantunya ketika mendapat kesulitan tanpa dipotong gajinya. Kenyataan ini terjadi karena kuatnya pengaruh kultural terhadap sistem-sistem budaya yang ada di dalamnya dan mengharuskan mereka (pacarancang) relah dan ikhlas (Wawancara dengan Kammisi ). Sistem budaya yang dimaksud di sini adalah posisi strata sosial yang mereka sandang, sebab jika yang memberi kerja adalah strata sosial yang lebih tinggi dari strata yang disandangnya maka kerelahan dan keikhlasan itu timbul dengan sendirinya. Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka hal ini dianggap pelanggaran dan menyalahi aturan adat dan menyalahi sistem gensin dalam masyarakat. Dalam arti bahwa tidak akan terjadi posisi strata sosial yang lebih tinggi yang diberi kerja oleh strata sosialnya lebih rendah, dan ini memang tidak pernah ditemukan selama proses penelitian dilakukan.
PENUTUP
Pola-pola hubungan buruh dalam kegiatan pertanian garam di Arungkeke sangat tergantung pada proses produksi garam. Semakin melimpah produksi garam di masyarakat Arungkeke semakin ramai penggunaan tenaga buruh yang melibatkan berbagai pihak. Banyak pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi sampai pemasaran garam di Arungkeke. Pihak-pihak yang dimaksud adalah yang terlibat langsung dalam organisasi produksi pertanian garam maupun yang terlibat dalam organisasi pemasaran. Pihak-pihak yang berkaitan lansung adalah pemiliki empang, penggarap, buruh atau sering disebut pacarancang atau biasa juga disebut sawi, dan pengusaha atau pedagang garam. Pihak-pihak dalam pola hubungan yang terbangun bersifat hirarki, misalnya antara pemilik empang dengan patesang, pemilik empang dengan pacarancang, antara penggarap patesang dengan pacarancang, dan antara pedagang dengan pacarancang.
Pola-pola hungan yang bersifat hirarki tersebut sangat rawan dari praktek eksploitasi karena pihak yang lebih tinggi dalam hirarki dapat dengan mudah mengeksploitasi. Hal tersebut berangkat dari pemahaman sebagaimana pandangan bahwa selama hubungan terjadi antara orang-orang yang tidak sama kuat, maka ada kemungkinan hubungan itu berat sebelah dan menyebabkan terjadinya eksploitasi. Posisi yang rawan dieksploitasi adalah buruh, termasuk patesang sebab dua pihak ini syarat dengan kepatuhan dan pengabdian, akibat berada pada pihak yang membutuhkan pekerjaan. Keterlibatan pacarancang (buruh) dalam proses kegiatan produksi garam di Arungkeke tentu saja atas motivasi ekonomi yang diutamakan, walaupun diakui pula bahwa bukanlah semata-mata karena faktor ekonomi, melainkan ada kalanya faktor sosial dan kekeluargaan. Kalau faktor ekonomi sudah tidak diragukan lagi karena pada dasarnya manusia dituntut untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya. Tetapi kalau faktor sosial budaya dan kekerabatan, maka di sinilah perlu kajian karena di wilayah ini juga rawan terjadinya eksploitasi. Pendekatan ini bertolak dari kenyataan, bahwa umumnya pata pengngempang atau patesang di Arungkeke tidak merasa mampu, untuk menanggulangi sendiri seluruh tahap kegiatan dalam proses produksi, baik menyangkut kegiatan pra panen maupun pasca panen sehingga merekrut kerabatnya.
Pola hubungan antara buruh (pacarancang) dengan pemilik lahan penggaraman atau pemilik empang, buruh dengan patesang atau penggarap, dan hubungan antara buruh (pacarancang) dengan para pengusaha atau pedagang garam adalah hubungan yang bersifat eksploitasi kalau dilihat dari luar lingkaran pola-pola tersebut. Tetapi bagi mereka sebagai bagian atau pelaku dari pola-pola tersebut, mereka anggap sangat harmonis dan jauh dari sistem eksploitasi seperti yang sering diperdebatkan dalam dunia kapitalis. Sehingga analisa Marxisme di sini tidak berlaku, karena yang dibangun di sini adalah sistem kekeluargaan dan sistem resisprositas simbiotik. Praktis dalam pola hubungan itu tidak ada yang merasa mengeksploitasi pada satu pihak dengan yang merasa dieksploitasi di lain pihak.
Namun pencaloan terhadap buruh atau orang yang berjasa pada seseorang memperoleh pekerjaan di Arungkeke ada, tentu ingin mendapatkan imbalan (materi atau nonmateri) dari proses kerja yang dilakukan oleh buruh terhadap para pemberi kerja. Ada juga orang berjasa kepada seseorang karena berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai patesang tetapi dengan syarat harus mendapat bagian pada saat panen/ produksi garam. Kenyataan ini terkadang mewarnai para buruh garam di Arungkeke. Kebanyakan pemilik empang dan pedagang dalam mempergunakan buruh atau patesang tidak saling mengenal. Pedagang biasanya hanya mengenal para pemilik empang, dan patesang sementara buruh diperkenalkan oleh pihak pemilik empang dan patesang. Sehingga kerawanan eksploitasi buruh dalam pertanian garam di Arungkeke sangat besar tetapi tidak bisa dengan serta merta dikatakan bahwa hubungan itu adalah hubungan eksploitasi. Dalam masyarakat Arungkeke masih kuat sistem sosial budayanya dan masih terpengaruh dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk dalam bidang pekerjaan yang saling pengaruh mempengaruhi sehingga sangat tipis batasan bentuk eksploitasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. (editor) 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan, Yogyakarta, LIPI dan Gadjah Mada University Press
Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1988. Minawang: hubungan Patron- Klien di Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Gadjah mada University Press
Amir. 1992. “Petani Garam Desa Benteng: Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Petani Garam di Benteng Tahun 1950- 1980”, Makassar, Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
Beilharz, Peter. 2002. Teori- teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka, yang diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Kanisius, Yogyakarta
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Jakarta, Balai Pustaka
Edward L. Poelinggomang, 2004, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, Ombak, Yogyakarta
Gottschalk, Louis. 1985, Mengerti Sejarah, yang diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto, Jakarta, Universitas Indonesia Press
Hamid, Pananrangi. 1985. “Petani Garam di Nasara”, Makassar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang
Hammado Tantu, “Pegaram dan Kehidupannya, Studi Kasus Pada masyarakat Benteng dan Bontorannu di Kabupaten Jeneponto”, dalam Mukhlis Paeni (editor), 1988, Dimensi Sosial Kawasan Pantai, Makassar, P3MP, untuk The Toyota Foundation Jepang, Indonesia
Husni Yahya, 1984, Kehidupan Petani Garam Di Nasara Kabupaten Jeneponto, Skripsi Fakultas Sospol Universitas Hasanuddin, Makassar
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banteng 1888 (edisi terjemahan), Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
————–. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta, Gramedia
Kuntowijoyo.1994. Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada
Scott, James C. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Jakarta, LP3ES
Taufik Abdullah dkk, (editor), 1985, Ilmu sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta, Gramedia
Bougas, Caldwell W. 2004. The early history of Binamu and Bangkala, South Sulawesi In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 160 (2004), no: 4, Leiden, 456-510 This PDF-file was downloaded from http://www.kitlv-journals.nl
Wawancara:
Wawancara dengan Kammisi (salah seorang informan yang pernah menjadi pacarancang atau buruh dalam pertanian garam) di Arungkeke Jeneponto pada hari Minggu 24 Agustus 2014
Wawancara dengan Daeng Kullei (salah seorang informan patesang) di Arungkeke Jeneponto pada hari Sabtu 23 Agustus 2014
Wawancara dengan Sanneru (salah seorang pacarancang atau buruh) di Arungkeke Jeneponto pada hari Minggu 24 Agustus 2014
Wawancara dengan S. Daeng Kanang (salah seorang padanggang/pedagang) di Arungkeke Jeneponto pada hari Sabtu 30 Agustus 2014
Wawancara dengan Jannang Daeng Ra’ra (salah seorang pata pengngempang/ pemilik empang) di Arungkeke Jeneponto pada hari Minggu 31 Agustus 2014
Wawancara dengan Daeng Sibali (salah seorang pemilik dan juga sebagai pedagang) di Arungkeke Jeneponto pada hari Sabtu 30 Agustus 2014
[1] Arungkeke adalah salah satu desa sekaligus sebagai salah satu kecamatan di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Daerah ini merupakan daerah pertanian garam terbesar di Sulawesi Selatan dan memiliki area pertanian yang cukup luas yang mencapai ribuan hektar luasnya