Penidikan di Luwu Sulawesi Selatan Sebelum Kemerdekaan

PENDIDIKAN DI LUWU SULAWESI SELATAN

SEBELUM KEMERDEKAAN

 

EDUCATION IN LUWU, SOUTH SULAWESI BEFORE THE INDEPENDENCE OF INDONESIA

 

Sritimuryati

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan

Alamat Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar

Telepon dan Faksimili: (0411) 865166

Pos-el: sritimuryati@yahoo.com

 

ABSTRACT

In the early XXcentury in Indonesia, the ruling government (Dutch) started to give more attention towards education and teaching, including South Sulawesi in general, and Luwu in particular. This reasearch use descriptive-qualitative method which is based on heuristics and historiography, aims to observe how the history of education in Luwu regency, South Sulawesil, exactly at the time before the independence of Indonesia. The result show that in time of Japan’s invasion, educational institutions and it’s spread in South Sulawesi, including Luwu, are not changing as much as when the ducth collonial government rule over it, because the Japaneese government only running the educational institution which alredy exist before. The education management in Japan’s invasion once stopped for three months since their arrival in 1942. The most significant difference between the education management in Dutch occupation and the education management in Japan’s invasion is the abolishment of discrimination in education system. The purpose of education in Japan’s ruling era in Indonesia is also aims to produce army to win the war for them, therefore the quality of the schools is low.

Keywords; school, colonial, education, Japan

ABSTRAK

Di Indonesia pada permulaan abad XX, pemerintah yang berkuasa (Belanda) mulai menaruh perhatian yang lebih luas tentang pendidikan dan pengajaran, termasuk Sulawesi Selatan dan Luwu pada khususnya.Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang berpijak pada heuristik dan historiografi, bertujuan untuk melihat bagaimana sejarah perkembangan penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, tepatnya pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa pendudukan Jepang, jenis-jenis lembaga pendidikan dan sebarannya di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu tidak banyak berubah seperti ketika dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena memang Jepang hanya melanjutkan sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.Penyelenggaraan pendidikan pada masa Pendudukan Jepang pernah vakum selama tiga bulan, terhitung sejak kedatangannya pada 1942. Perbedaan yang paling mencolok antara penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan.Penyelenggaraan pendidikanpada zaman penjajahan Jepang juga lebih ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang, hal ini berakibat pada rendahnya mutu sekolah.

Kata kunci: sekolah, kolonial, pendidikan, Jepang

 

PENDAHULUAN

Lambatnya sistem pendidikan formal masuk di Kerajaan Luwu pada masa kolonial menjadi perhatian khusus dalam perkembangan pendidikan kemudian. Keterlambatan itu juga dirasakan di daerah lain di Sulawesi Selatan, termasuk ibu kota Makassar. Hal itu bisa dimaklumi jika kita menengok rentatan peristiwa sejarah yang terjadi di daerah ini. Mulai dari masa sebelum berkuasanya VOCdi Sulawesi Selatan, di mana daerah ini sering bertikai antara kerajaan-kerajaan lokal yang ada di Sulawesi Selatan sendiri sampai Perang Makassar (1667-1669), (Kartodirdjo, 1988).Kemudian setelah Perang Makassar dan VOC sebagai pemenang perang tidak berarti Sulawesi Selatan menjadi aman, tetapi malah menjadi daerah yang paling sering melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan dan kebijakan Belanda yang tidak sesuai dengan garis pemerintahan dan adat kebiasaan kerajaan.

Masa kolonial yang dimaksud di sini, terkait dengan masalah pendidikan di Sulawesi Selatan termasuk di daerah Luwu adalah masa VOC (1602-1799) sampai masa Hindia Belanda sebelum kebijakan Politik Etis (1901).Sejak masa kolonial tersebut masalah pengajaran pendidikan formal di Sulawesi Selatan memang sangat terbelakang dari daerah Jawa dan bahkan tertinggal dibanding dengan Manado dan Ambon, (Safwan, 1980/1981).Namun perlu dipahami pula bahwa di samping pendidikan formal juga ada pendidikan nonformal dan pendidikan informal.Dua jenis pendidikan terakhir telah pesat berkembang di Sulawesi Selatan. Salah satu alasan kenapa pendidikan formal tidak begitu berkembang pesat pada masa Hindia Belanda selain alasan keamanan, juga karena alasan telah mantapnya pendidikan nonformal yang diasuh oleh para kiyai di pesantren dan di masjid-masjid, termasuk di langgar-langgar. Demikian juga masalah pendidikan informal telah ada sejak sistem kekeluargaan dan kekerabatan menjadi tumpuan setiap orang sebagai bagian dari keluarga batih dalam rumah tangga mereka.Pendidikaninformal yang paling mencolok di Sulawesi Selatan, termasuk di daerah Luwu adalah pasen-pasen atau pasang-pasang (pesan-pesan atau petuah-petuah)di dalam mengarungi hidup manusia.

Kebiasaan dalam setiap istana kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk di Kerajaan Luwu di mana para putra mahkota dan lebih-lebih anak mattola wajib mendapat pendidikan nonformal dari guru-guru yang ada dalam istana dan wajib juga mendapatkan pendidikan informaldari orang atau keluarga terdekatnya serta guru-guru yang dipercayakan untuk itu. Sehingga bukan menjadi penghalang bagi orang Luwu dan anak-anak dari kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk membangun dirinya dan kerajaannya melalui pendidikan. Sebagai bukti dalam hal itu, bahwa Kerajaan Luwu sebelum kolonial dan bangsa-bangsa asing datang merupakan kerajaan yang dianggap paling tertua di Sulawesi Selatan dan juga merupakan kerajaan yang terbesar pada zamannya. Hal itu berarti bahwa kebesaran tersebut bukan dibangun dari kebodohan pendidikan tetapi dibangun dari suatu kecerdasan yang sungguh luar biasa.Ituberarti pula bahwa pendidikan di daerah ini telah maju walaupun bukan pendidikan formal.

Permasalahannya kemudian di dunia modern, pendidikan nonformal dan informal tidak menjadi alat legitimasi dalam dunia kerja dan jabatan-jabatan pemerintahan.Pendidikan formal menjadi wajib pada setiap orang jika ingin berkarir pada tiga lembaga yang ada, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif.Pentingnya pendidikan formaltersebut sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan dunia Barat/Eropa.Secara realitas dunia modern memang menuntut kita untuk melogikan setiap perencanaan pembangunan suatu bangsa, dan kemajuan tersebut selalu diukur dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsanya.Sehingga pembangunan pendidikan mau tidak mau harus dilakukan karena pendidikan telah menjadi kunci setiap perkembangan dan kemajuan berbagai macam segmen kehidupan umat manusia.

Kenyataan itu menjadi penting dalam pengkajian dan pemahaman historis akan arti pentingnya pendidikan. Tentu dalam setiap kebijakan harus berangkat dari suatu hal yang melatarinya.Termasuk masalah pendidikan di Luwupada masa kolonial sangat terintegrasi dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di Selebes (Sulawesi Selatan). Untuk membicarakan pendidikan di Luwu akan dimulai di Makassar sebagai ibu Kota Sulawesi Selatan. Kota Makassar sebelum diduduki Belanda berada dalam kerajaan Gowa dan Tallo.Namun, sejak Perjanjian Bongaya (1667) Belanda menduduki benteng utama Kerajaan Gowa, yakni benteng Ujung Pandang, yang oleh Speelman diubah menjadi Fort Rotterdam. Di dalam benteng itulah Belanda melaksanakan segala hal yang berhubungan dengan kepemerintahannya, (Safwan, 1980/1981).

Lewat politik yang dilakukan Belanda, VOC sebagai kepanjangan tangan Belanda akhirnya menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan (koloni).Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih memperkuat kedudukan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah rendahan bagi anak-anak Indonesia. Sekolah ini bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan. Secara umum kecenderungan penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai berikut:

  1. Membangun sekolah rendahan yang langsung dikelola dan diawasi langsung oleh pemerintah Hindia Belanda.
  2. Membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam tradisional seperti beberapa madrasah Islamiah di Nusantara misalnya: (a). Melanjutkan sistem lama dalam bentuk pengajian Al-qur’an dan Kitab Kuning; (b). Mendirikan pondok pesantren; (c). Termasuk mendirikan sekolah agama atau madrasah
  3. Mendirikan sekolah Zending (misionaris) dan misi Katolik yang bertujuan menyebarkan agama Nasrani untuk orang-orang Belanda dan bumi putra. Adapunbeberapa sekolah yang didirikan Belanda misalnya: (a) 1607 mendirikan sekolah di Ambon dengan bahasa Melayu dan Belanda; (b).1622 mendirikan sekolah di Kepulauan Banda lengkap dengan asrama; (c).1630 mendirikan sekolah Warga Masyarakat di Jakarta untuk tingkat sekolah dasar yang mendidik budi pekerti; (d).1642 mendirikan sekolahlatin (tingkat SMP) di Jakarta; (e).1745 mendirikan Seminari Theologika untuk mendidik calon pendeta; (f).1817 mendirikan sekolah dasar Eropa, untuk penduduk Eropa (semua orang Belanda, semua orang yang asalnya dari Eropa, semua orang Jepang). Sekolah dasar ini terus berkembang, pada tahun 1902 menjadi 173 buah; (g). 1860 mendirikan Gymnasium  (sekolah lanjutan) Willem III, merupakan sekolah lanjutan tingkat pertama untuk orang Eropa di Batavia; (h).848 atas keputusan Raja mendirikan 20 sekolah dasar Bumiputera di setiap Karesidenan Jawa; (i).1892 sekolah dasar dibagti menjadi dua kategori, yaitu: sekolah dasar Kelas Pertama ( de schoolen der eerste klasse) untuk golongan Bumiputera (bangsawan & penduduk yang kaya) dan sekolah dasar Kelas Dua (de schoolen der tweede klasse) untuk Bumiputera umum; (j).1856 mendirikan sekolah guru (kweeksschool) di Surakarta, 1874 di Ambon, 1875 di Probolinggo, 1875 di Banjarmasin, 1876 di Makassar, 1879 di Padang Sidempuan dan; (k).1851 mendirikan sekolah dokter Jawa dengan lama pendidikan 2 tahun setelah sekolah rakyat 5 tahun.

Dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda dapat dilihat beberapa ciri khas, antara lain: (a) dualistik diskriminatif, yaitu untuk membedakan pendidikan untuk orang Eropa dan Bumiputera , (b) sentralistik yaitu pemerintah kolonial Belanda memiliki hak mengatur pendidikan di daerah koloninya, dan (c) tujuannya untuk dapat menghasilkan tamatan yang menjadi warga negara Belanda kelas dua, http://di-am.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-ringkas-pendidikan.

Kalau kita melihat data tentang pendirian sekolah yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia sejak tahun 1607 sampai tahun 1880-an memang memperlihatkan bahwa di Sulawesi Selatan belakangan didirikan sekolah. Sekolah guru itu pun hanya diprakarsai oleh orang perorang yaitu Mathes, walaupun dalam perkembangannya diketahui bahwa Mathes adalah bagian dari misi Belanda.Terbukti juga bahwa sekolah itu yang dibangun dan didirikan pada tahun 1876 diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1880. Namun terlepas dari itu semua bahwa keberadaan pendidikan formal tersebut sangat berarti dalam proses awal perkembanganpendidikan di Sulawesi Selatan. Sementara di Luwu sendiri belum dibangun sekolah pada tahun-tahun itu.

Sekolah formal yang didirikan di Luwu nanti pada tahun 1907 dan itupun belum bisa dikatakan sekolah yang mampu mendidik anak-anak Luwu seebagaimana yang diharapkan karena di samping sangat terbatas, juga sangat diskriminatif. Untuk memahami lebih jauh bagaimana prosesnya sampai sekolah-sekolah masuk di Kerajaan Luwu sangat ditentukan oleh situasi politik pada masa itu. Kalau melihat zamannya pada masa itu masih sangat kecil kemungkinan bahwa Kerajaan Luwu akan mendirikan sekolah formal.Sebaliknya Belanda juga tidak mungkin mendirikan sekolah formal di Luwu pada masa itu karena belum dikuasainya kerajaan tersebut dan belum ada kepentingan khusus yang mendesak bagi Belanda mendirikan sekolah.Maka untuk melihat proses itu, kita perlu melihat secara global sistem pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh Belanda di Sulawesi Selatan, sehingga menjadi penting untuk menghubungkan dengan situasi dan keadaan politik pemerintahan pada masa itu.

Pada tahun 1852, tanggal 23 Agustus, raja Gowa yang bernama Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid (1844-1893) menandatangani pembaharuan perjanjian Bongaya. Naskah perjanjian dibuat pada tanggal 9 Agustus 1824, akan tetapi raja-raja di Sulawesi Selatan pada umumnya menolak menandatanganinya. Penolakan dipelopori oleh raja Bone, karena ada pasal dalam perjanjian itu yang khusus ditujukan kepadanya.Pada pasal 22 perjanjian itu ditentukan bahwa raja Bone kehilangan haknya selaku anggota sekutu tertua, jika dalam tempo dua bulan tidak masuk dalam perjanjian itu, (Djumhur, 1971). Pada tanggal 26 Oktober 1894, perjanjian diperbaharui lagi yang beberapa isinya menyebutkan:

  1. Raja Gowa hurus mengakui bahwa negeri itu termasuk dalam Hindia Belanda. Raja dan pembantunya harus setia dan patuh pada GubernurHindia Belanda
  2. Sultan (raja Gowa) dan pembantunya harus menggunakan bendera Belanda, baik di daratan, maupun di lautan. Juga tidak akan menggunakan bendera lain, walaupun sekedar pendamping bendera Belanda.
  3. Khusus pendidikan. Sultan (raja Gowa) bersama pembesar pembesarnya berjanji dengan segala alat yang ada padanya untuk membantu dan memajukan sekuat tenaga perguruan rakyat (volksonderwijs).

Sultan Muhammad Idris Ibnu Abdul Kadis Muhammad Aidid sebagai Raja Kerajaan Gowa pada masa itu, bersama Bate Salapanga nampaknya, raja Gowa yang terkenal lemah lembut dan penyayang itu tidak memiliki lagi gairah perang. la tidak menghendaki lagi rakyat terlibat dalam kesengsaraan akibat perang yang berlarut larut. Lagi pula, kewibawaan raja tetap dijamin. Pihak pemerintah Belanda berjanji tidak akan mencampuri pemerintahan kerajaan.Terkait dengan situasi tersebut, pada tahun 1875, seorang pendeta tiba di Makassar. Namanya Benjamin Frederik Matthes, seorang ahli di bidang kesusasteraan Bugis. Kedatangan Benjamin Frederik Matthes (disingkat Matthes saja) ditemani L. W. Schmidt, serta seorang guru bernama H.W. Bosman belum diketahui secara pasti, nanti pada tahun 1876 Matthes mulai bekerja di Makassar, yakni mengumpulkan dan menelaah kesusasteraan Bugis-Maakassar. Pada tahun itu juga didirikannya yang oleh penduduk disebut sekolah raja.Penamaan yang cukup tinggi itu dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap orang-orang bangsawan dan guru.Mungkin pula, karena para raja ikut menyokong pendiriannya.Murid-muridnya pun pada umumnya berasal dari keluarga raja, atau orang orang terpandang dalam masyarakat. Gubernur Selebes (Sulawesi) waktu itu ialah Tromp, sekali gus menjadi President van de School commissie. Matthes dibantu pula oleh La Mangewa dalam mengajar di Keeksschool.Dari suku Bugis-Makassar diangkat pula guru bahasa daerah yang bernama Daeng Manassa, (Safwan, 1980/1981).

Suatu surat pujian khusus ditujukan kepada Matthes yang dibuat Daeng Manassa menunjukkan bahwa pendiri Kweeksschool di Makassar pada tahun 1876 itulah yang mula-mula memperkenalkan sekolah ala Barat di Selebes. Juga Daeng Manassa menyatakan bahwa sekolah yang didirikan itu amat bermanfaat.Namun pada tahun 1880 Matthes kembali ke Nederland. Di sana, ia mendapat gelar doktor pada tanggal 28 Januari 1881 sebagai “Litteratum Indicarum Doctor, honoris causa“Usaha pendidikan yang dirintis Matthes diambil alih pemerintah, sedangkan Matthes sendiri menerjunkan diri pada pengumpulan hasil kesusasteraan lama.Pada akhirnya, pemerintah di Makassar dengan resmi membuka sekolah kelas dua, dengan namaGouvernemen school kelas dua, pada tahun 1904 di dalam kota Makassar di Jalan Butung sekarang.Pada tahun 1905, sekolah yang telah ada itu dirubah namanya menjadi In landsche School, oleh masyarakat dikenal sebagai sekolah Melayu.Akan tetapi, usaha persekolahan itu sedikit terhambat.Sebabnya ialah, pemerintah Hindia Belanda dalam usaha menguasai sepenuhnya Sulawesi Selatan, mengadakan penyerbuan ke berbagai kerajaan.Yang pertama diserang ialah .Bone, pada bulan Juli 1905. Tentara Belanda, dengan dibantu oleh seorang Bugis juga, Daeng Paroto menyerang Bone yang dipertahankan sekitar 2000 orang. Setelah Bone kalah pada tahun itu juga, serangan terhadap Gowa dan Luwu juga dilakukan oleh Belanda, (Djumhur, 1971).

Di Indonesia pada permulaan abad XX, pemerintah yang berkuasa (Belanda) mulai menaruh perhatian yang lebih luas tentang pendidikan dan pengajaran bagi bangsa yang telah lama terjajah itu. Seorang politikus, Mr. van Deventer menganjurkan agar kepada bangsa yang telah lama mengabdi kepada pemerintah Belanda diberikan kebaikan budi, dengan memberikan pendidikan dan pengajaran. la menyebut tindakan itu sebagai “politik balas budi”.Anjuran van Deventer mendapat perhatian pihak pemerintah Belan­da.Pada tahun 1903 diadakan peraturan mengenai pendirian sekolah desa, Volksschool, yang lamanya 3 tahun pendidikan.Penyelenggara pendidikan dan pengajaran pada sekolah desa ialah pemerintah dan penguasa setempat (desa).Rencana pelajaran amat sederhana. Mata pelajaran pada sekolah desa yang akan dibentuk itu ialah membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan juga bahasa daerah setempat.

Dari kalangan lapisan atas bangsa Indonesia, seperti keluarga ningrat (bangsawan), pejabat tinggi, atau mereka yang dekat dengan pemerintah, diperbolehkan memasuki sekolah rendah yang disediakan khusus bangsa Belanda dan Eropa lainnya. Nama sekolah itu ialah Europesche Lagerschool (disingkat ELS).Melalui liku-liku yang cukup rumit, pengadaan enquete (angket) diantara para residen, pada akhirnya keluar juga keputusan resmi pemerintah (Belanda) mengenai pendidikan.Dalam Koninklijk Besluit 1848 ditetapkan untuk pertama kalinya adanya anggaran belanja yang tersedia demi terlaksananya pendidikan. Maka, disediakanlah sebanyak f.25.000,- (dua puluh lima ribu gulden) guna biaya pendidikan bangsa Indonesia (waktu itu disebut bumi putera). Tujuan pemerintah ialah mempersiapkan calon pegawai kolonial dari kalangan bumi putera; Dengan ini penerimaan anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah Belanda dipersukar, (Safwan, 1980/1981).

Perkembangan pendidikan nampaknya mengalami perkembangan.Mulai tahun 1849, pemerintah mengizinkan dibukanya sekolah-sekolah swasta, bukan asuhan pemerintah.Akan tetapi, sekolah-sekolah swasta itu diharuskan mengikuti atau menyesuaikan dengan rencana pelajaran sekolah asuhan pemerintah.Adapun rencana pelajaran pada sekolah-sekolah untuk pegawai, ialah:Persiapan membaca dan menulis bahasa daerah dan Melayu; Paramasastra (tata bahasa) sederhana dari bahasa-bahasa itu; Permulaan berhitung; Ilmu bumi pulau Jawa dan Nusantara; Mengukur tanah dan waterpas.Kecuali itu diberi pula tambahan pengetahuan mengenai pekerjaan kantor. Akan tetapi, pada sekolah sekolah bumi putera itu tidak diajarkan bahasa Belanda.Ini berarti, bahwa tamatan/lulusannya tidak diikhtiarkan untuk melanjutkan pelajaran ketingkat yang lebih tinggi.

 

PEMBAHASAN

Pendidikan dan Polemiknya Hingga Akhir Kolonial Belanda

Kota Palopo sebagai salah satu kota di Sulawesi Selatan yang menjadi perhatian khusus oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai wilayah kerajaan yang cukup berpengaruh. Demikian juga masalah pendidikan di Luwu pada masa Hindia Belanda selalu mendapat perhatian dan kesempatan walaupun pendirian sekolah-sekolahdi Luwu tidak sebanyak di kota Makassar sebagai ibu kota propvinsi Sulawesi Selatan. Namun setiap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah di luar kota Makassar, kota Palopo juga selalu mendapat jatah.Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan Luwu memang dianggap penting oleh Belanda terkait dengan sumber daya alamnya.

Dilihat dari kepentingan Belanda terhadap Kerajaan Luwu memang sangat besar pada masa kolonial tetapi sampai akhir abad XIX daerah ini belum dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.Nanti pada pertengahan dekade pertama abad XX, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan umum untuk mengambil tindakan penguasaan langsung untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan.Sebenarnya wilayah Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah lebih duluan dikuasai oleh Belanda, yaitu sejak tahun 1904.Sementara Sulawesi Selatan nanti satu tahun kemudian baru dilakukan ekspedisi militer dalam rangka menguasai langsung Sulawesi Selatan.Salah satu wilayah yang menjadi fokus perhatian Belanda untuk pengiriman ekspedisi militer tahun 1905 di wilayah Sulawesi Selatan adalah Kerajaan Luwu.

Hasil dari ekspedisi militer Belanda tersebut selama dua tahun dilakukan (1905-1906) di seluruh wilayah Sulawesi Selatan akhirnya berbuah manis bagi Belanda karena wilayah Sulawesi Selatan dapat dikuasai secara langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan itu berarti pula bahwa Sulawesi Selatan resmi menjadi jajahan Belanda.Dalam rangka penjajahan/ penguasaan seutuhnya itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan pemerintahan, termasuk masalah pendidikan dengan didirikannya sekolah-sekolah.Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1907 sekolah-sekolah di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Masalah kebijakan pendirian sekolah tersebut, kota Palopo juga mendapat jatah dengan apa yang disebut sekolah “Inlandsche School. Sekolah ini hanya diprioritaskan pada kota-kota utama di Sulawesi Selatan.

Pendirian sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu yang baru dimulai pada tahun 1907 sangat terkait dengan persoalan keamanan, di samping masalah kepentingan Belanda. Banyak data yang menyebutkan bahwa kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap untuk mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia bukan untuk kepentingan pengembangan kecerdasan rakyat peribumi (Indonesia) tetapi demi kepentingan hegemoni kekuasaan dan monopoli perdagangan Belanda.Pemerintah Hindia Belanda sendiri mendapat kritikan dari Snouck Horgronje sebagai ahli strategi perang Belanda terkait dengan kebijakan pendidikan tersebut.Snouck Horgronje adalah seorang Belanda yang dianggap ahli strategi perang dalam menangani Perang Aceh.Kerajaan Aceh pada masa itu merupakan salah satu kerajaan yang sangat sulit ditaklukkan, dan atas kenyataan itu Snouck Horgronje dikirim ke Timur Tengah mempelajari dan mendalami agama Islam. Setelah dianggap cupup pengetahuan agama Islamnya, maka ia dikirim ke Aceh dan berpura-pura menjadi ulama hanya sekedar mengatahui alasan-alasan apa yang membuat Kerajaan Aceh sangat militan dan sangat sulit ditaklukkan oleh Belanda. Dan atas penelitian Snouck Horgronje itulah Aceh berhasil ditaklukkan. Tetapi Pemerintah Hindia Belanda tidak menghiraukan kritikan Snouck dan lebih memilih kritikan dan masukan dari van Deventer untuk memberikan balas budi kepada rakyat Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Politik Etis”.

Walaupun sesungguhnya, sebelum keluar kebijakan Politik Etis pada tahun 1901, Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan sekolah-sekolah untuk keperluan pemerintah.Sehingga kritikan Snouck memang dianggap tidak perlu dihiraukan, malah sebelum Snouck mengkritik, Pemerintah Hinadia Belanda memberikan dan menambah anggaran pendidikan dan pengajaran.Sadar akan perlunya pemberian pendidikan yang lebih luas demi kepentingan pemerin­tah kolonial, makadiperbanyak anggaran biaya pengajaran, menjadi f.250.000,-pada tahun sekitar 1880, sepuluh kali lipat dari anggaran tahun 1848 yang hanya f.25.000,.Penambahan anggaran mempengaruhi jumlah sekolah yang didirikan. Pada tahun 1860 sekolah menengah yang pertama didirikan di Batavia (Jakarta), yang dikenal dengan nama Gymnasium W. III. 4), (Touwe, 2013).

Pengaruh politik balas budicukup memberikan hasil di bidang perkembangan pendidikan. Pada tahun1903, pendidikan untuk wanita juga diusahakan pula oleh Mr. J.H. Abendaron, bersama sama dengan van Deventer. Atas desakan Budi Utomo (berdiri 1908) pemerintah mendirikan H.I.N (Hollandsch Inlandsche School) pada tahun 1914.H.I.S. merupakan penjelmaan dari sekolah kelas satu.Sekolah kelas satu agak sulit menempuh ujian Klein Ambtenaar, sehingga timbul semacam desakan Budi Utomo kepada pemerintah agar mengadakan lembaga pendidikan dasar yang bisa tertampung tamatannya di sekolah yang lebih tinggi. Lanjutan MULO ialah A.M.S. (Algemeen Middelbare School) yang terbagi dua, A.M.S. afdeling A yang menekankan bidang sosial, ekonomi dan bahasa; dan afdeling B yakni bahagian ilmu pengetahuan alam dan exacta

Perkembangan pendidikan memang lebih banyak dibangun dan dikembangkan di Jawa dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Daerah-daerah luar Jawa kurang mendapat perhatian Belanda, mungkin karena daerah seberang itu belum stabil. Dapat dikatakan, bahwa pulau Jawa menjadi cukup aman setelah perlawanan Perang Pangerang Diponegoro dapat dipatahkan, walau dengan jalan yang licik, kalau tidak bisa dikatakan sebagai tipu muslihat.Pendidikan di Indonesia yang pengaturannya tetap dibawah pemerintah (ala Barat/Eropa) muncul dan berkembang sehubungan dengan Etische Politik, yang dengan resmi diumumkan oleh raja Belanda pada tahun 1901.Politik itu disebut pula “Associatie Politick“.Dengan demikian, bangsa In­donesia menikmati usaha perbaikan sosial, walau pun baru di kalangan atas, seperti kaum bangsawan yang dekat dengan Belanda.

Perkembangan itu tergambar dapat uraian berikut: 8)Tahun1893 Inlandsche School der 1 ste klasse didirikan; Tahun 1907 Sekolah sekolah desa didirikan; Tahun 1911 Inlandsche School der 1 ste klasse dijadikan 7 tahun; Tahun 1914 Inlandshe School der 1 ste klasse menjadi H.I.S.; Tahun 1914 Vervolgschool didirikan; Tahun 1920Schakelschooldidirikan; Tahun 1918 berdirinya sekolah untuk anak anak wanita.Walaupun sekolah-sekolah tersebut hanya terdapat di pulau Jawa tetapi itu akan berimbas dalam pengembangan pendidikan di daerah lain. Sementara di Sulawesi Selatan, pendidikan ala Barat dimulai di ibukota daerah itu Makassar. Ada dua badan utama yang melaksanakan kegiatan pendidikan di daerah Bugis-Makassar itu, yakni Pemerintah kolonial Hindia Belanda;dan Zending dan Missie.Kedua pelaksana itu saling membantu, berhubung pihak Zending dan Missie adalah juga berasal dari negeri Belanda dan Eropa lainnya.

Pengembangan pendidikan untuk wilayah Luwu sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 1907, Belanda dapat menguasai seluruh daerah Sulawesi Selatan walaupun masih terdapat juga perlawanan, akan tetapi pusat pemerintahan kerajaan dikuasai sepenuhnya. Maka mulai tahun itu, pemerintah dapat memulai penguasaan daerah-dengan sistem penjajahan yang sesungguhnya di Sulawesi Selatan.Kekuasaan para raja benar-benar amat terbatasi, terutama raja Gowa, yang dekat betul dengan pusat pemerintahan kolonial itu di Selebes.Pemerintah Belanda bila mengatur pemerintahan termasuk bidang pendidikan, Makassar menjadi pusat pengembangan pendidikan. Berhubungan kedudukan sebagai ibu Kota Sulawesi Selatan.Residen yang bertugas, mengurus pemerintahan di Sulawesi Selatan, adalah juga bertindak selaku pelaksana dan pengawas pendidikan (School Commisie). Tugas yang sama dipundakkan pula kepada asisten pada tiap afdeling. 18).

Menarik pula diuraikan bahwa pada saat ekspedisi penaklukan Sulawesi Selatan dilakukan oleh Belanda pada tahun 1905-1906, malah Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah formal di Kota Makassar bukan untuk rakyat Sulawesi Selatan tetapi untuk anak-anak Ambon pada tahun 1906, sementara sekolah untuk anak-anak Sulawesi Selatan nanti satu tahun kemudian 1907. Ini kebijakan yang sedikit agak ironis kalau hanya melihat dan memahaminya secara sepintas lalu.Namun kalau kita mencermati bahwa dalam ekspedisi tersebut tenyata banyak orang-orang Ambon yang dijadikan militer oleh Belanda dalam menaklukkan Sulawesi Selatan.Maka kita baru sadar dan memahami bahwa pendirian sekolah untuk anak-anak Ambonsebagai balas jasa kepada orang-orang Ambon, yang sedang bertugas selaku tentara pihak Belanda menyerang para raja di daerah itu. Untuk itu, maka pada tahun 1906 dibuka Hollandsche Ambonsche School di kota Makassar.Kemudian selesai perang pada 1907 juga didirikan sekolah Ambon di dalam kota Makassar yang disebut H.A.S. (Holland Ambonsche School) sehingga jenis sekolah Ambon di dalam kota Makassar menjadi dua buah, (Safwan, 1980/1981).

Khusus orang Cina pada tahun itu juga, dibangun sekolah H.C.S. (Hollandsche Sinechc School) di Jalan Timur (sekarang jalan Irian).Di tempat itu, yang menjadi pusat perkotaan Makassar berdiam para pedagang keturunan Cina.Perhatian Pemerintah Hindia kepada orang keturunan Cina juga lekas mendapat perhatian pihak pemerintah kolonial. Mereka dianggap perlu segera diberikan Pendidikansebab orang Cina sangat membantu sebagai pedagang perantara antara golongan peribumi dengan orang-orang Eropa, di samping pergerakanya sebagai pedagang agak cepat termasuk kecakapan menghitung dan membaca, amatlah diperlukan bagi seorang pedagang dan itu sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga dianggap perlu untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak Tionghoa.

Sementara pengembangan dan pendirian sekolah untuk anak-anak peribumi Sulawesi Selatan (Bugis Makassar) secara baik melalui perencanaan Pemerintah Hindia Belanda dimulai pada tahun 1907 dan kebijakan itu memang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal van Heutz, yang menyarankan agar pada tahun itu didirikan sekolah-sekolah desa. 19) Di Sulawesi Selatan pun dapat dikatakan bahwa pada tahun tersebut, keadaan yang selama itu belum menentu karena baru saja dapat dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah kolonial. Di mana sebelumnya terjadi peperangan dengan Gowa, Bone, Luwu, Suppa, Mandar, dan tempat-tempat lain sudah dapat dipadamkan Belanda. Para raja dipaksa menerima apasaja yang dikehendaki Belanda asal tidak mengganggu kedudukannya selaku raja secara tradisional. Kepada para raja diberikan hak dan wewenang mengembangkan kebudayaan selaku raja secara tradisional dan mendapat besluit dari Batavia sebagai pengesahan, (Safwan, 1980/1981).Daerah-daerah di luar Gowa diberikan status Zelfzbesturrende landschapelijk; yakni pemberian wewenang cukup luas untuk mengatur rumah tangganya (kerajaannya).Namun yang tidak boleh dilakukan oleh para raja ialah mengadakan tentara sendiri, mengeluarkan uang selaku alat pembayaran yang syah, dan mengadakan hubungan dengan pihak luar.

Sesuai dengan anjuran Batavia untuk mendirikan sekolah-sekolah di desa oleh van Heutz, maka pada tahun 1907 didirikan sekolah yang bernama Volksschool di kota-kota utama, seperti Maros, Pangkajene, Segeri, Pare-Pare, Pinrang, Majene, Limbung, Bonthain, Watampone, Sengkang, Paria, dan Palopo. pada masa itu, perhatian terhadap pendidikan mulai membaik.Walaupun jumlah sekolah hanya sebuah per daerah atau hingga tiga buah, jumlah murid yang masuk tidak mencapai maksimum ( target) karena beberapa alasan:Kehidupan penduduk belum pulih dari situasi peperangan; Penduduk curiga terhadap tujuan sekolah (pendidikan).Kebanyakan orang tuaberanggapan bahwa memasuki sekolah Belanda (nama untuk Volksschool di kalangan penduduk desa) akan dijadikan tentera Belanda.Ada pula yang menganggap, bahwa akan dibawa ke negeri Belanda, setelah tamat dari sekolah itu dan hingga tahun 1910, pemerintah Belanda hanya mengelola dua jenis pendidikan dasar formal masing-masing:

  1. Inlandsche School pada kota-kota utama, misalnya di Makassar, Maros, Pare Pare, Bonthain, Bulukumba. Watampone, Majene, Polewali, dan Palopo. Lama pendidikan ialah 5 (lima) tahun. Bahasa pengantar ialah bahasa Melayu; maka sering dikenal pula sebagai sekolah Melayu. Guru-guru kebanyakan berasal dari Sumatra Barat; ditambah dengan orang Bugis-Makassar.
  2. Volksschool pada setiap desa utama, dimana terdapat pemukiman yang cukup rapat penduduknya. Lagi pula terdapat perhubungan yang tidak terlalu sulit ke tempat itu. Lama pendidikan hanya tiga tahun. Mata pelajaran yang diberikan terbatas pada berhitung sederhana (penambahan angka, melayu, maupun bahasa daerah dengan aksara lontarak).

Pada tahun 1920, jumlah Volksschool semakin bertambah karena pemerintah membentuk sekolah sambungan bagi tamatan sekolah tiga tahun itu, yang bernama Vervolgschool (disingkat VVS).Dengan demikian, terdapat dua sekolah yang menamatkan hingga kelas V, yakni Inlandsche School, dari kelas I sampai kelas V, dan Vervolgschooldari kelas IV sampai kelas V (hanya dua kelas).Mulai tamatan Vervolgschool agak lebih baik/tinggi dari pada Inlandsche School. 21) Sebab tamatan Volksschool yang melanjutkan ke Vervolgschool adalah yang memiliki kemampuan yang terbaik atau yang mempunyai keinginan kuat untuk melanjutkan pelajaran.

Sampai pada tahun 1910 keadaan persekolahan/pendidikan formal di Sulawesi Selatan dapat diperkirakan bahwa di afdeling Luwu hanya terdapat tiga buah sekolah Inlandsche School(sekolah Melayu) dan 10 Volksschool (sekolah Desa), dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut:

Nama Daerah (Afdelingen)

Kota Makassar

Afd. Makassar

Afd. Pare-Pare

Afd. Mandar

A fd. Bonthain

Afd. Bone

Afd. Luwu

Inlandsche School (Sekolah Melayu)

3

5

5

3

3

5

3

Volschool (Sekolah Desa)

5

20

20

10

10

20

10

 

Melihat kenyataan tersebut bahwa di daerah afdeling Luwu memang sangat sedikit sekolah yang didirikan oleh Belanda dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi Selatan.Angka perkiraan itu menunjukkan bahwa pendirian sekolah didasarkan pada pertimbangan kepadatan penduduk dan dekatnya dengan pusat-pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan.Luwumemang memiliki luas wilayah yang lebih dibanding dengan daerah lain tetapi dari segi kepadatan penduduk dan kedekatan dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda di Makassar cukup jauh. Sehingga mempengaruhi dibangunnya pendidikan dan pengajaran lewat sekolah formal.Sekitar 27 Inlandsche School dan 95 Volkschool di Sulawesi Selatan pada tahun 1910 itu. Waktu itu, jumlah penduduk Sulawesi Selatan sekitar 2 juta..Di Sulawesi Selatan baru saja sekitar tiga tahun yang lewat (1907) pulih dari peperangan yang melelahkan dan memakan ongkos yang tidak sedikit.Belanda pun melihat, bahwa sekolah yang dibuka walau masih bisa dihitung dengan jari itu, tidak juga dipenuhi murid.Murid-murid masih amat segan memasuki sekolah yang didirikan oleh orang-orang yang baru saja memasuki kampung dan menembaki ayah atau keluarga mereka.Sehingga kenyataan itu menimbulkan purbasangka terhadap kegiatan pendidikan. Sementara yang cepat menerima kehadiran sekolah ialah anak-anak para pegawai pemerintah; dari keluarga para pedagang besar dan; Keluarga bangsawan yang keterlibatannya dalam peperangan hanya saja; apalagi yang sama sekali tidak ikut, atau bahkan memihak Belanda.

Di samping Volksschool, Inlandsche School, dan Holland Ambonsche School serta Holland Chineesche School, pada tahun 1911 di Makassar dibangun Holland Inlandsche School. Kelebihan sekolah itu ialah adanya pemberian bahasa Belanda, bahkan bahasa asing itu menjadi bahasa pengantar, terutama pada kelas-kelas lanjutan.Tempat H.I.S. Dengan adanya Holland Inlandsche School (disingkat H.I.S.) maka terbukalah kesempatan bagi suku Bugis Makassar dan suku lainnya yang bumi putera untuk mempelajari bahasa Belanda.Tamatan H.I.S. dipersiapkan untuk pendidikan lanjutan.Maka, pada tahun-tahun berikutnya, H.I.S. didirikan pula di Bulukumba, Bonthain, Watampone, Palopo, dan Fare-Pare (1912-1920).Mereka yang ingin memasuki H.I.S. terpaksa pergi ke tempat-tempat di mana sekolah tersebut dibuka.Tempat-tempat H.I.S. dan daerah sekitar yang ditampungnya: (1) H.I.S. Makassar, menampung murid dalam kota Makassar, daerah Gowa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pankajene dan Segeri. (2) H.I.S. Bulukumba dan Bonthain, menampung pula daerah Sinjai dan Selayar.(3) H.I.S. Watampone menampung pula yang dari Wajo dan Soppeng.(4) H.I.S. Fare-Pare menam­pung pula yang dari Barru, Pinrang, Enrekang, dan ada pula dari Tana-Toraja/ (5) H.I.S. Palopo khusus untuk Luwu dan ada pula dari Kolaka. Yang berasal dari Mandar, bila hendak memasuki H.I.S. mereka harus ke Pare-Pare, kota pelabuhan kedua sebelah utara Makassar, (Safwan, 19801/1981).

Sekitar tahun 1920, di Makassar didirikan sekolah lanjutan pertama, yaitu MULO (singkatan dari Midddelbare Uitgebruik Lagere Schaa Onder-wijs).Sekolah itu langsung diawasi oleh Residen Sulawesi Selatan.Mulo didirikan terutama sebagai lanjutan H.I.S; sedangkan yang berasal dari In­landsche School dan atau VVS harus menduduki lebih dahulu kelas persiapan (Voorklas) selama 2 tahun.H.I.S. memegang peranan utama untuk masuk MULO, berhubung penguasa bahasa Belanda di sekolah itu agak memadai. Dan juga, H.I.S. mempunyai lama pendidikan 7 tahun dan hingga Perang Dunia II (1941) hanya MULO di Makassar yang ada di Sulawesi Selatan. MungkinBelanda berpendapat bahwa makin banyak penduduk pribumi yang cerdas, semakin terancam pula kedudukan Belanda selaku bangsa penjajah.

Nyatalah bahwa pemerintah Belanda masih juga mengadakan diskriminasi.Hal itu dinilai sebagai bagian dari usaha memecah-belah bangsa Indonesia agar bisa dikuasainya.Sementara sekolah bagi bangsa Belanda dan orang Eropa lainnyasemakin diperbaiki, seperti Eropesche Lager School (disingkat E.L.S.).di sekolah itu juga sering dijadikan tempat pertemuan pejabat Pemerintah Hindia Belanda untuk bersenang-senang. Dan pada pintu sekolah dan tempat pertemuan tersebut ada tertulis’ Verboden tugangm voor hont en inlander (dilarang masuk bagi anjing dan bumi putra).Tulisan itu masih juga terpampang hingga masa pemerintahan N.I.T. (Negara Indonesia Timur (1947-1949).Membaca pengumuman itu memang dapat menyakitkan hati bagi bangsa In­donesia, (Djumhur, 1971).

Selain itu di Palopo didirikan sekolah khusus bidang pertanian pada tahun 1930-an yang diberi nama Land-bouwschool.Sementara pengelolaan pendidikan tetap dipegang oleh pemerintah, dalam hal itu Residen untuk sekolah lanjutan seperti MULO; Asisten Residen mengatur H.I.S. dibantu Controleur.Sedangkan Wedana (Zelfbestuur) yang bertugas mengawasi VS dan VVS, begitu pula Normaalschool. Surat tamat ditandai oleh pejabat pemerintah itu dalam kedudukannya sebagai school Commissie.

 

Pendidikan Sebelum Kemerdekaan

Menjelang kemerdekaan Indonesia berarti kita membahas masa pendudukan Jepang di Indonesia karena Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya di saat pemerintahan Jepang masih ada di Indonesia.Demikian juga masalah pendidikan menjelan kemerdekaan Indonesia juga harus membicarakan sistem pendidikan yang penyelenggaraannya sangat ditentukan oleh pemerintah pendudukan Jepang dan tidak terkecuali di Luwu.Luwu sebagai bagian dari wilayah Sulawesi Selatan, Indonesia juga ditempati oleh pemerintah Ken kanrikan Luwu yang dulunya disebut afdeeling Luwu pada masa Hindia Belanda.

Sebelum kedatangan Jepang di Luwu, sebagian orang Luwu juga telah mendengar Perang Pasifik yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1941. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh Jepang pada masa itu telah tersebar di penjuru dunia dan termasuk di Palopo bahwa tentara Jepang akan sampai di Indonesia. Di Luwu sendiri tidak terlalu kewatir akan hal itu karena para pegawai Hindia Belanda yang ada di Palopo dikumpulkan diruang-ruang kepala Dinas dan diberi penjelasan bahwa telah terjadi Perang Pasifik yang melibatkan Nederland dan Hindia Belandatetapi tidak perlu takut karena kita kuat (H.M.Sanusi Dg. Mattata, 1967:157).

Penyelenggaraan pendidikan di Luwu zaman Pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya. Kebijakan dan penyelenggaraannya diseragamkan untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan dan Luwu pada khususnya.Namun penyelenggaraan pendidikan pada masa Pendudukan Jepang pernah vakum selama tiga bulan, terhitung sejak kedatangannya pada tahun 1942.Hal itu disebabkan karena tidak mungkin Jepang menyelenggarakan pendidikan yang tidak menyesuaikan kepentingan Jepang.Ternyata dugaan itu benar adanya, dimana penyelenggaraan pendidikanditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang. Oleh karena itu banyak pemuda dilatih baris berbaris, bela diri, menggunakan senjata sehingga lahir Keibodan (polisi pembantu), Heiho (tentara pembantu), Fujinkai (sukarelawan wanita) yang semuanya bergabung dalam Peta (Pembala Tanah Air). Disamping itu, bahasa Indonesia banyak digunakan di sekolah-sekolah, bahasa Jepang sebagai bahasa kedua sedang bahasa Belanda dilarang.

Perbedaan yang paling mencolok antara penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan.Di mana pada masa Hindia Belanda ada semacam diskriminasi antara sekolah untuk anak bangsawan dengan bukan bangsawan, antara anak peribumi dengan anak orang-orang Eropa.Jenis sekolah, sarana dan prasarana dibedakan, termasuk penjenjangan dan lamanya pendidikan.Sementara pada masa Pendudukan Jepang, semua hal itu dihapuskan, termasuk termasuk lama studi pada masa Pendudukan Jepang diseragamkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan.

Sekolah yang didirikan Belanda dirombak, misalnya sekolah rendah (Lagere Onderwijs) diganti Sekolah Rakyat (Kokumin Gakho) terbuka untuk semua penduduk dengan lama pendidikan enam tahun. Perhatian Jepang pada pendidikan sangat besar, dibuktikan dengan mendirikan Sekolah Guru dua tahun (Sato Sikan Gakho), Sekolah Guru empat tahun (Guto Sikan Ghako) dan Sekolah Guru enam tahun (Koto Sikan Ghako). Pembinaan guru dilakukan dengan indoktrinasi mental ideologis Hakko ichi-U untuk kemakmuran bersama Asia Raya, latihan kemiliteran, olahraga dengan lagu-lagu Jepang (taiso), menyanyikan lagu kebangsaan Jepang (Kimigayo), mengibarkan bendera Jepang (Hinimaru) dan menghormati kaisar Jepang (Tenno Heka), kerja bakti di jalan raya, asrama militer, menanam pohon jarak dan lain-lain.

Perseteruan Jepang dengan Belanda di Pemerintah Hindia Belanda pada masa ituterus berlangsung.Baik pada awal kedatangan Jepang maupun pada akhir masa Pendudukan Jepang, seperti yang menimpah Mamengko guru HIS Palopo yang menjadi korban dalam pertempuran antara Belanda dengan Jepang di daerah kampung Bengo, Bone (H.M.Sanusi Dg. Mattata, 1967:158).Pada masa-masa Jepang berbalik diserang dengan hebatnya oleh Sekutu pemerintahan militer bertindak sewenang-wenang terhadap perguruan swasta. Perguruan Muhammadiyah, begitu pula usaha Zending dan Missie, mendapat tekanan. banyak sekolah ditutup, atau diambil alih pemerintah Jepang untuk diurus sepenuhnya. Peralatan pendidikan usaha sendiri pihak swasta diambil tanpa adanya imbalan ganti kerugian.

Pada masa pendudukan Jepang, jenis-jenis lembaga pendidikan dan sebarannya di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu tidak banyak berubah seperti ketika dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena memang Jepang hanya melanjutkan sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya. Yang berubah hanya nama dan lama studinya. Dalam hal ini tentu saja ada pengecualian bagi sekolah-sekolah yang baru dibuka oleh Jepang.Semua sekolah yang dibuka berdasarkan golongan (ras) dan status sosial untuk sekolah tingkat dasar dengan lama studi yang bervariasi pada zaman Belanda, kemudian dilebur dan diadaptasi sesuai dengan sistem pendidikan alaJepang. Hasil adaptasi tersebut menjadi Sekolah Rakyat (SR) atau Futsu U Ko Gakko dengan lama studi menjadi 6 tahun (Citra Dewi Nilasari, 2008:72).

Begitupula dengan sekolah guru Cursus voor Onderwijs (CVO) dengan masa kursus dua tahun dan Opleidingschool voor Onderwijs (OVO) dengan lama studi tiga tahun dilebur menjadi satu dan namanya pun diganti menjadi Kio In Yoseiyo. Normaal School sebagai sekolah lanjutan dari Vervolg School diubah namanya menjadi Sihan Gakko.Sementara sekolah menengah seperti MULO diganti namanya menjadi Cu Gakko.(51)Pada tahun 1943, Jepang mengganti nama sekolah pertanian Landbouw School menjadi Noogyo Zitsumu Gakko.

Pada masa ini, sekolah yang dikelola oleh swasta kurang berkembang sebagaimana sebelum kedatangan Jepang.Organisasi Islam yang selama ini giat melaksanakan program pendidikan Islam diawasi dengan ketat.Organisasi pemudanya dibubarkan dan peralatan sekolahnya dirusak.Menyadari kemungkinan dampak besar yang dapat ditimbulkan oleh pengekangan terhadap Muhammadiyah, maka didatangkanlah seorang Jepang ke Makassar yang bernama H. Umar Faisal. Ulama yang berasal dari Jepang tersebut kemudian mendirikan pendidikan agama Islam pada tahun 1944 dengan namaKai Kio Gakku In. Akan tetapi itu sudah kehilangan kepribadian. Kinrohosi, seikere menghadap Tokyo, menyanyikah lagu-lagu Jepang, belajar bahasa Jepang terpaksa dilakukan.(Citra Dewi Nilasari, 2008:74).

Sementara sekolah yang dikelola oleh zending dan Katolik banyak yang ditutup kecuali bersedia menerima “ketertiban” yang ditawarkan oleh Pendudukan Jepang.Guru-guru Zending dan sekolah Katolik banyak yang ditawan dengantuduhan gerakan spionase sebagai mata-mata Belanda.Semua tindakan pengawasan dan pengelolaan sekolah pada zaman Jepang dilakukan oleh Badan Selebes Minseibu Bunkiyokatyo.Menarik di sini adalah dibukanya kursus politik bagi pemuda yang memiliki kecerdasan yang memadai dan mereka dipersiapkan menjadi pemimpin dan kelak dapat mengatur negaranya apabila Jepang telah pergi.

Adanya keseragaman dalam waktu pendidikan, masalah penyelenggaraan dan pengawasan sekolah mudah dilakukan serta kurikulumnya dapat dibuat dengan lebih baik dan seragam yang hampir sama saja dengan kurikulum di zaman Belanda. Dengan demikian pengetahuan murid Sekolah Dasar pada waktu Jepang itu dalam teorinya sama di manapun sekolah itu diadakan. Tetapi sayangnya isi pelajaran waktu itu sangat rendah mutunya, walaupun kebanyakan dari guru adalah yang telah berpengalaman semenjak zaman Belanda dahulu.Rendahnya mutu sekolah disebabkan Jepang banyak campur tangan dengan memberikan latihan kemiliteran dan menyuruh bergotong-royong sehingga tidak ada kesempatan bagiguru mengajar dengan baik.Kalau tidak bergotong-royong atau latihan kemiliteran, anak-anak hanya diajar menyanyikan lagu-lagu Jepang yang sangat mengganggu jam pelajaran di sekolah. Murid-murid yang tidak datang ke sekolah pun tidak mendapat teguran sama sekali dari majelis guru, karena mereka tidak berdaya sama sekali. Keseragaman sekolah yang baik itu tidak diisi Jepang dengan materi pelajaran yang cocok buat anak didik yang sedang berkembang itu.

 

PENUTUP

Pada pertengahan dekade pertama abad XX, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan umum untuk mengambil tindakan penguasaan langsung untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Salah satu wilayah yang menjadi fokus perhatian Belanda untuk pengiriman ekspedisi militer tahun 1905 di wilayah Sulawesi Selatan adalah Kerajaan Luwu.Hasil dari ekspedisi militer Belanda tersebut selama dua tahun dilakukan (1905-1906) di seluruh wilayah Sulawesi Selatan akhirnya memberi hasil bagi Belanda karena wilayah Sulawesi Selatan dapat dikuasai secara langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dan itu berarti pula bahwa Sulawesi Selatan resmi menjadi jajahan Belanda.Dalam rangka penjajahan/penguasaan seutuhnya itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukan penataan pemerintahan, termasuk masalah pendidikan dengan didirikannya sekolah-sekolah.Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1907 sekolah-sekolah di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Pendirian sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu yang baru dimulai pada tahun 1907 sangat terkait dengan persoalan keamanan, di samping masalah kepentingan Belanda. Banyak data yang menyebutkan bahwa kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap untuk mendirikan sekolah-sekolah di Indonesia bukan untuk kepentingan pengembangan kecerdasan rakyat peribumi (Indonesia) tetapi demi kepentingan hegemoni kekuasaan dan monopoli perdagangan Belanda.

Berbeda halnya dengan penyelenggaraan pendidikan di Luwu zaman Pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya. Kebijakan dan penyelenggaraannya diseragamkan untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan dan Luwu pada khususnya. Perbedaan yang paling mencolok antara penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan.Di mana pada masa Hindia Belanda ada semacam diskriminasi antara sekolah untuk anak bangsawan dengan bukan bangsawan, antara anak peribumi dengan anak orang-orang Eropa.Jenis sekolah, sarana dan prasarana dibedakan, termasuk penjenjangan dan lamanya pendidikan.Sementara pada masa Pendudukan Jepang, semua hal itu dihapuskan, termasuk termasuk lama studi pada masa Pendudukan Jepang diseragamkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikanpada zaman penjajahan Jepang lebih ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang, yang mengakibatkan rendahnya mutu sekolah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, Taufik dkk. (editor). 1985. Ilmu sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif, Jakarta, Gramedia

________, (editor), 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan, Yogyakarta, LIPI dan Gadjah Mada University Press

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1988. Minawang: hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Gadjah mada University Press

Burke, Peter. (diterjemahkan oleh Mestika Zed dan Zulfahmi), 2001. Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan, Yogyakarta, Kanisius

Citra DewiNilasari, 2008, “Pendidikan di Makassar padaMasaPendudukanJepang 1942-1945”, SkripsiJurusanIlmuSejarah, FakultasSastraUniversitasHasanuddin, Makassar

Depdikbud. 1981. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang: Proyek inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional

Djumhur, danH.Danasuparta, 1971, SejarahPendidikan, Bandung, CV. Ilmu Bandung

Gonggong, Anhar, dkk, 1993, Sejarah Nasional Indonesia VII: Lahir dan Berkembangnya Orde Baru,Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, yang diterjemahkan oleh Nugroho Notosusanto, Jakarta, Universitas Indonesia Press

Hasbullah, 2006, OtonomiPendidikan: KebijakanOtonomi Daerah danImplikasinya terhadapPenyelenggaraanPendidikan. Jakarta, PT.RajaGrafindoPersada

Imran, AmrindanDjamhari, Saleh A. 1999.SejarahNasionaldanUmum, Jakarta, DekdikbuddanBalaiPustaka

Kadir, Harun dkk. 1984. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Di Sulawesi Selatan (1945-1950), Makassar, diterbitkan atas kerjasama Bappeda Tingkat I Provinsi Sulawesi Selatan dengan Universitas Hasanuddin

Kartodirdjo, Sartonodkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia jilid  VI : Jaman JepangdanJamanRepublik Indonesia (1942-sekarang), Jakarta, BalaiPustaka

________, 1985. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif, Jakarta, Gramedia

Klooster, H.A.J. 1985. Bangsa Indonesia MenulisSejarahnyaSendiri: Perkembangan Pendidikan Sejarah Indonesia dalam Teoridan Praktek, Tahun 1900-1980, Foris Publications, Dordrecht- Holland, 1985, yang diterjemahkanolehSuhardi 1992

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana dan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada

________, 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, Yogyakarta, Ombak

________, dkk. 2005. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid Ii, Makassar, Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) propinsi Sulawesi Selatan

Pemerintah Propensi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. 1991. Sejarah Perkembangan pemerintahan departemen Dalam Negeri di Propensi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan

Ricklesf, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Moderen, cetakankelima, Yogyakarta, GadjahMada University Press

Safwan, Mardanas, SutrisnoKutoyo, 1980/1981, SejarahPendidikan Daerah Sulawesi Selatan, Ujung Pandang, DepartemenPendidikandanKebudayaanProyekInventarisasidanDokumentasiKebudayaan Daerah

Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo (editor). 19855 Sosiologi Pedesaan: kumpulan Bacaan, jilid I, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Sem Touwe dan Rina Pusparani, 2013, Sejarah Pendidikan di Maluku Sejak Masa Prakolonial Hingga Orde Baru, Ambon, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktur Sejarah dan Nilai Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo Sampai Proklamasi 1908- 1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.