HUBUNGAN KEKERABATAN antara KERAJAAN SUPPA DAN KERAJAAN SAWITTO
Oleh:Syahrir Kila
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan adanya hubungan kekerabatan antara Kerajaan Sawitto dan beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Dalam menyelesaikan kajian ini dipergunakan metode sejarah yang mencakup empat tahapan. Diawali studi pustaka yang dilakukan pada beberapa perpustakaan yang ada di kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, dan beberapa perpustakaan yang ada di daerah. Hasil pengumpulan data dilanjutkan dengan kritik dan interpretasi yang diakhiri dengan penulisan laporan. Hasil kajian memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan antara Kerajaan Suppa dan Kerajaan Sawitto, dimulai pada awal abad ke-15 hingga abad ke-17. Bahkan keturunan dari Kerajaan Gowa ada yang pernah menjadi Datu di Suppa, bangsawan Kerajaan Suppa banyak yang menjadi addatuang di Sawitto. Tetapi meskipun terjalin hubungan kekerabatan seperti itu, namun konflik di antara kerajaan di Sulawesi Selatan biasa terjadi, terutama ketika Kerajaan Gowa memperluas wilayah pengaruh kekuasaannya.
Kata kunci: Kerajaan Sawitto, hubungan, dan kekerabatan
PENDAHULUAN
Kerajaan Suppa yang kita kenal sampai sekarang adalah merupakan sebuah kerajaan yang terletak di bagian barat Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Dalam perkembangannya, kerajaan ini pernah membentuk satu persekutuan yang cukup diperhitungkan keberadaannya pada saat itu. Persekutuan ini lazim dikenal dengan nama Persekutuan Limae Ajatappareng, yang beranggotakan Kerajaan Suppa, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Rappang dan Kerajaan Alitta. Persekutuan ini terbentuk pada abad ke-16 di daerah Ajatappareng (salah satu kampung yang terdapat di Suppa). Daerah-daerah yang tergabung dalam persekutuan tersebut adalah penghasil beras terbesar di Sulawesi Selatan dan menjadi rebutan bagi kerajaan-kerajaan besar seperti Luwu, Bone, dan Gowa. Dalam persaingan kerajaan-kerajaan besar tersebut, Kerajaan Gowa akhirnya berhasil menjadikan persekutuan lima Ajatappareng berada di bawah perlindungannya.
Kerajaan Suppa adalah sebuah kerajaan yang berada di wilayah Bugis, yang tentang asal usul masyarakatnya secara khusus, dan Sulawesi Selatan secara umum, terlihat pada sebuah epik Bugis dari Luwu, yaitu I La Galigo. Dalam cerita epik ini para dewa berkuasa di dunia Atas dan dunia Bawah. Suatu hari, Dewa PatotoE (sang penentu takdir), memanggil para dewa untuk berunding dan sepakat untuk mengirim anak Dewa Patotoe, yaitu Batara Guru untuk memerintah di Bumi. We Nyilitimo, anak dari ketua para dewa di dunia bawah, juga dikirim ke bumi dengan cara menyembul dari dalam laut untuk menemani Batara Guru. Maka menikahlah mereka, kemudian keturunannya menguasai Luwu, hingga suatu hari keturunan dari dewa-dewa ini kembali ke tanah asalnya. Kedatangan kedua kalinya penguasa para dewa ini kemudian terjadi lagi, namun mereka pun harus kembali ke tempat asalnya. Dengan hilangnya rangkaian kedua dari penguasa ini, epik I La Galigo pun berakhir ( Andaya, 2013: 14-15).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa epik I La Galigo, tidak diceriterakan bagaimana manusia datang dan menghuni bumi. Ketika dewa itu turun, penghuni bumi telah ada. Meski demikian, terdapat satu versi tradisi lisan yang secara umum dikenal tentang banjir dan permulaan baru. Menurut versi ini, dunia awalnya ditutupi oleh air, kecuali beberapa puncak gunung. Di puncak-puncak gunung itulah hidup beberapa kelompok manusia. Ketika permukaan air turun, mereka mulai membangun rakit dan mulai menjalin hubungan dengan orang-orang dari puncak lain. Mereka kemudian membangun rumah kayu yang atapnya terbuat dari sejenis palem, dan mulai hidup dalam komunitas. Ketika Patotoe dan isterinya melihat bahwa bumi memang telah berpenghuni, namun tanpa seseorang yang menjadi pemimpinnya, mereka kemudian memanggil para dewa untuk membicarakannya. Kemudian para dewa berpendapat bahwa mereka harus mengirim keturunannya ke bumi agar penghuni pribumi dapat mentaati dunia atas dan menghormati dunia bawah. Dari bagian tersebut, hingga hilangnya penguasa-penguasa keturunan dewa di bumi, versi ini sama dengan umumnya ceritera I La Galigo.[1]
Setelah masa I La Galigo dan keluarganya kembali ke peratiwi, maka penduduk bumi yang telah membentuk kominitas ini menjadi kacau dan saling bersinggungan satu dengan lainnya karena telah berkembang menjadi lebih banyak komunitas gaukang sebagai anak dari gaukang asli. Kekuatan fisik sering digunakan untuk mengatasi perselisihan ini, sebab tidak ada cara lain untuk menyelesaikan pertengkaran antara satu komunitas gaukang dengan lainnya. Setiap kelompok bebas menyerang dan diserang oleh kelompok kaum lainnya. Keadaan itu, berakibat kelompok-kelompok atau komunitas bebas untuk saling menyerang, dalam tradisi I La Galigo disebut keadaan hidup bagaikan sianre balei taue, artinya ikan memakan sesamanya ikan. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti itu, ditemukanlah suatu konsepsi kepemimpinan yang unggul dan dapat mencapai tujuan terbentuknya negeri yang besar dan kuat, penuh perdamaian, kemakmuran dan kesejahteraan. Konsepsi itu menurut tradisi lisan disebut tomanurung atau orang yang turun dari dunia atas ( Mattulada, 1998: 26).
Konsep tomanurung itu seolah-olah menjadi kata kunci yang membuka cakrawala baru bagi kehidupan masyarakat yang telah terpecah-pecah itu, menuju tatanan baru. Konsepsi kepemimpinan Tomanurung juga disusul terbentuknya konsepsi kenegaraan dengan wilayah territorial yang lebih luas dan meliputi sejumlah kelompok atau komunitas yang mengikat perdamaian dan menyepakati menerima kepemimpinan Tomanurung menjadi pemimpin tertinggi untuk mereka. Pada masa inilah Sulawaesi Selatan mengalami perkembangan kemasyarakatan, kenegaraan dan kepemimpinan bidang-bidang kehidupan politik, ekonomi dan sosial yang memulaikecenderungan spesialisasi fungsi-fungsi dan peranannya.
Konsepsi tomanurung dan kepemimpinannya di Sulawesi Selatan, juga terjadi di daerah Suppa (sebelum menjadi kerajaan). Tomanurung di Suppa adalah juga merupakan datu pertama di kerajaan ini. Dia muncul bersama benda-benda arajangnya atau benda kebesarannya. Ia muncul di sutua tempat yang dinamakan Lura Maloangnge (danau yang luas), atau tempatnya orang memperoleh penghidupan. Setelah penduduk mengetahui tomanurung muncul di Lura Maloangnge, maka penduduk berdatangan beranak dan bercucu tanpa kecuali semua ingin menyaksikan peristiwa itu dengan mata kepala sendiri. Tomanurung ini muncul bersama sarung lumu’na dan tinggal bermalam bersama periuk emasnya, sendok nasi emasnya, periuk sayur emas, sendok emas serta lain-lain peralatan dapuryang kesemuanya terbuat dari emas ( Tenri Gau, 2007: 1).
METODE
Kajian ini mempergunakan cara pengumpulan data melalui beberapa perpustakaan yang ada di Kota Makassar. Antaranya; Perpustakaan Wilayah, Perpustakaan Kota Makassar, Perpustakaan dan Arsip Daerah Pinrang. Beberapa buku-buku pendukung yang ditemukan dan dianggap relevan dengan tema penelitian. Selain itu diperoleh beberapa sumber-sumber lokal berupa lontarak, antara lain: Lontarak Akkarungeng Alitta, Lontarak Akkarungeng Bonedan Lontarak Bilang Raja-raja Bone, Lontarak Akkarungeng Sawitto, Lontarak Akkarungeng Suppa dan Lontarak Sidenreng. Sumber-sumber lokal inilah yang menjadi rujukan utama dalam kajian ini. Sumber-sumber lokal itu, tiga di antaranya adalah milik sendiri dan yang lainnya dipinjam dari teman.
Setelah dibaca dan dicermati isinya, lalu dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Kemudian dikritik isinya (kritik intern), apakah dapat dipercaya atau tidak dan menentukan validitasnya. Dalam hubungan dengan kritik sumber, tentu lebih tertuju kepada kritik intern mengingat sumber yang banyak ditemukan dan dikumpulkan adalah sumber sekunder. Kritik yang dilakukan hanya menyangkut isi sumber yang menyangkut keterangan yang dikemukakan. Untuk pelaksanaan kritik ini pengukurannya dilakukan dengan mempertimbangkan dapat tidaknya keterangan itu diterima akal, sesuaikah ide yang ditampilkan dan merupakan gambaran kultural masyarakat, dan permasalahannya ditempatkan pada urutan waktu. Setelah data dan keterangan telah dikritik, selanjutnya dilakukan interpretasi untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk penulisan.
PEMBAHASAN
Hubungan Kekerabatan Kerajaan Suppa dan Sawitto
Tomanurung di Suppa adalah seorang perempuan yang cantik nan rupawan yang muncul bersama benda-benda kebesarannya yang kesemuanya terbuat dari emas. Kecantikan tomanurung ini tidak ada tandingannya di daerah Suppa, begitu juga segala peralatan dapurnya tidak ada sama di daerah ini. Itulah sebabnya sehingga rakyat Suppa secara keseluruhan menyepakati untuk lurangngi pabbanuae lao ri onrong masennangnge patuoengngi alena. Artinya mereka sepakati untuk mengangkat beliau sebagai datu atau raja bagi mereka untuk membawa seluruh rakyat ke arah ketertiban dan kesejahteraan serta kedamaian di masa datang agar mereka tidak lagi dirundung pertikaian di antara mereka sendiri.
Tomanurung yang muncul di Lura Marajae (danau yang luas) oleh orang-orang Suppa disebutnya sebagai Tepulinge. Beliau kemudian kawin dengan Tomanurung yang bernama La Bangenge yang muncul di Bacukiki. La Bangenge adalah tomanurung orang-orang Sawitto yang menurut lontara’ Sawitto yang bersangkutan juga kawin untuk pertama kalinya dengan tomanurung di Akkajang. Setelah perkawinan itu, La Bangenge lalu diangkat menjadi raja Sawitto yang pertama. Perkawinan La Bangenge dengan We Tepulinge melahirkan tiga orang anak, dua orang laki-laki, dan satu orang perempuan. Anak pertamanya bernama La Teddullompo, dialah yang kemudian menjadi addatuang Sawitto menggantikan bapaknya. Dia pula yang menjadi Datu Suppa menggantikan ibundanya. Jadi ketika itu, La Teddullompo merangkap dua jabatan, yaitu sebagai addatuang Sawitto yang kedua dan juga sebagai Datu Suppa yang kedua ( Latif, 2012: 70).
Anak kedua We Tipulinge bernama La Bottilangi yang pergi ke Soppeng karena merasa kecewa atas tindakan kedua orang tuanya yaitu La Bangenge dan We Tepulinge yang telah mewariskan dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Suppa dan Kerajaan Sawitto kepada saudaranya yang bernama La Teddunglompo. Di derah itu kemudian beliau kawin dengan Datu Mario Riwawo. Dari perkawinan beliau, lahir seorang anak perempuan yang bernama We Tappatana yang juga kemudian menjadi Datu Mario Riwawo menggantikan ibundanya. Sedangkan anak bungsunya yang bernama We Pawawoi kemudian menjadi Arung Bacukiki menggantikan ayahandanya ( La Bangenge). We Pawawoi kemudian kawin dengan Songko Ulawangnge Addatuang Sidenreng. Dari perkawinan tersebut, lahir seorang anak laki-laki yang bernama La Batara. La Batara kemudian kawin dengan Arung Bulu Cenrana Barat (We Cinadiyo), dan lahirlah dua anak laki-laki dan satu anak perempuang. Anak laki-lakinya bernama La Pasampoi, dikemudian hari menjadi Addatuang Sidenreng. Putera keduanya bernama La Mariase yang dikemudian hari menjadi Arung Bulu Cenrana Barat. Puterinya yang We Abeng yang kemudian menjadi datu pertama di Massepe (Sidenreng) Latief,2012: 71).
Anak We Tepulinge yang bernama La Teddunglompo, sebagai datu Suppa yang kedua dan sebagai addatuang di Sawitto yang kedua pula, kawin dengan arung Cempa dan juga dengan arung Bacukiki yang bernama We Pattoling. Dari perkawinan yang terakhir inilah beliau dikaruniai anak sebanyak tujuh orang; yaitu La Pute Bulu, La Bongngo, La Tula, Arung Palanro (namanya tidak dikenal), We Suma ( dikemudian hari menjadi arung Bacukiki), Labang (arung Boco) dan terakhir adalah arung Balla (namanya tidak dikenal) dan dialah yang memiliki keturunan di daerah Belawa. Setelah La Teddung Lompo wafat, maka digantikan oleh anak pertamanya yang bernama La Pute Bulu sebagai datu Suppa yang ketiga, merangkap pula sebagai addatuang Sawitto yang ketiga. La Pute Bulu kawin dengan sepupu satu kalinya yaitu anak dari La Bottinglangi yang bernama We Tappatana. Dari perkawinan ini, beliau dikaruniai seorang anak yang bernama La Makkarawi. Dengan demikian, La Makkarawi bersaudara dengan La Pateddungi lain ayah, dan juga bersaudara dengan La Paleteang lain ibu (Tenri Gau, 2007: 4).
La Paleteang kemudian mewarisi tahta di Kerajaan Sawitto sebagai addatuang Sawitto yang keempat menggantikan La Pute Bulu. Sementara di Kerajaan Suppa, yang naik menggantikan La Pute Bulu adalah La Makkarawi sebagai datu Suppa yang keempat. Pada periode ini, agak lain kenyataannya sebab raja yang naik tahta tidak lagi merangkap jabatan sebagai datu Suppa dan addatuang Sawitto sama pada dua periode sebelumnya dari kedua kerajaan ini. Meskipun demikian, namun kedua raja tersebut masih bersaudara lain ibu. Pada masa pemerintahan La Makkarawi sebagai datu di Suppa, datang seorang pendeta Kristen Katolik yang bernama Anthonie de Payva dari Ternate pada 1544. Kedatangan pendeta tersebut adalah untuk mengajak datu Suppa untuk memeluk agama tersebut, namun oleh rakyat Suppa ajakan itu ditolaknya. Tetapi beberapa sumber menyatakan bahwa datu Suppa sendiri menyatakan kesediaannya untuk memeluk agama itu (Patunru, 1969: 28).
Utusan Gubernur Ternate tersebut, selain bertujuan untuk menyebarkan agama Nasrani, beliau juga diutus untuk mengambil kayu hitam di sana. Kemudian dari Suppa, Antonie de Paypa mencoba juga untuk menyebarkan agama Nasrani di Kerajaan Siang dengan jalan terlebih dahulu mempengaruhi raja Siang yang kebetulan adalah masih kerabat dengan raja Gowa. Raja Kerajaan Siang pun menyatakan bersedia untuk menerima agama tersebut. Tidak diketahui berapa lama berselang, pemerintah militer Portugis di Malaka, mengirim lagi seorang pendeta bangsa Portugis yang bernama Vicente Viegas dan seorang lagi temannya yang bernama Manuel Mentol, untuk pergi ke Suppa dan Siang dengan tugas untuk menyebarkan agama Nasrani. Kedua orang ini tinggal sekitar tiga tahun lamanya dikedua negeri tersebut, dan juga mengunjungi daerah Sidenreng untuk menyebarkan agama yang sama.[2]
Apakah ketiga raja tersebut di atas (Suppa, Siang dan Sidenreng), benar-benar telah memeluk agama Nasrani, tidak diketahui dengan pasti. Hanya dapat dinyatakan bahwa umumnya agama tersebut tidak mendapat sambutan baik di kalangan raja-raja dan masyarakat karena sebagaimana diketahui bahwa agama tersebut lebih menonjol sebagai alat untuk menjajah bangsa itu. Oleh karena itu, agama Nasrani tersebut di kalangan raja-raja dan rakyat yang di tanah-tanah Bugis dan Makassar tidak dapat lagi dilanjutkan. Terlebih lagi sebab pada abad itu, atau beberapa tahun kemudian agama Islam juga sudah mulai masuk dan mendapat pengaruh luas di Kerajaan Gowa. Begitu besar pengaruhnya sehingga pada permulaan abad ke-17 (1605), oleh pemerintah Kerajaan Gowa dinyatakan bahwa agama Islam adalah agama resmi kerajaan (Depdikbud,1978: 39). Faktor lain yang mengakibatkan kegagalan agama Nasrani untuk berkembang sebab Kerajaan Gowa juga sudah sangataktif dalam mengembangkan menyiarkan agama Islam di Sulawesi Selatan, termasuk di Kerajaan Sidenreng, Soppeng, Wajo, Bone dan juga Limae Ajatappareng.
Setidaknya ada dua peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahan datu Suppa yang keempat, yaitu La Makkarawi. Pertama dan tercatat dalam sejarah Sulawesi Selatan adalah masuknya agama Nasrani di daerah Suppa dan konon diterima oleh beliau. Peristiwa penting yang kedua adalah bersatunya kerajaan-kerajaan yang ada di Ajatappareng dalam suatu persekutuan yang dikenal dengan nama Persekutuan Limae Ajatappareng. Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa yang berinisiatif membentuk persekutuan itu adalah datu Suppa, La Makkarawi. Persekutuan ini dicetuskan pada tahun 1540 yang beranggotakan lima buah kerajaan, yang masing-masing diwakili oleh;
~Kerajaan Suppa diwakili oleh La Makkarawi, datu Suppa;
~Kerajaan Sawitto diwakili oleh La Paleteang, addaoang Sawitto;
~Kerajaan Sidenreng diwakili oleh La Pateddungi addatuang Sidenreng;
~Kerajaan Rappang diwakili oleh La Pakallongi arung Rappang,dan
~Kerajaan Alitta diwakili pula oleh arung Rappang La Pakallongi sebab ketika itu beliau juga merangkap sebagai arung di Alitta.
Adapun tujuan dibentuknya konfederasi itu menurut Lontara’ Alitta adalah;
“ Naiya Limae Ajatappareng silellang bola,lima bili’na, kegi-kegi napoji inanna iya nattamai, natimpa tange’na limae nauttamai ana’na tattimpa tangena limae nassu’ ana’na, tenri sokkang riteana anae tenri lawai ri maelo’na, sijelloreng joro tana’ tessitaropakkaseseang maruma siliwekkeng makkaja sipalalo, malilu sipakainge, siakkolling-kollingeng sipakainge rideceng paggangkanna,, rebba sipatokkong, mali siparappe tessijelloreng roppo-roppo, tessiakkaleng-kalengeng lima massiajing, tessienrekeng ri bulu, tessi noreng ri lompo, deceng tauru, ja’ laduwai, tassiasengeng deceng rekko ceddemi padecengi, iapa namadeceng idi limae, topadapoadai topada bicarai bicaratta, mappau tessiabelleang, malasai siddi, mabburai eppa, malasai dua mabburai tellu, malasai tellu mabburai dua, malasai eppamaburai siddi, tasitudangeng massiajing limae, tasappai unganna gangka talolongenna deceng paggangkanna riassimaturusinna ikkeng Limae Ajatappareng naripaddua riajjancingengnge” (Rasyid, 1985: 89-90).
Artinya:
Yang dinamakan Limae Ajatappareng adalah ibarat sebuah rumah yang mempunyai lima buah kamar, pintunya terbuka dengan lebar dan untuk dimasuki oleh kelima keluarga tersebut. Tidak ada saling menentukan batas wilayah, mereka saling memperingati jika salah satu di antara mereka ada yang bersalah, karena kebaikan mereka saling bantu membantu dalam kesulitan. Ibarat ke gunung sama-sama mendaki, ke lembah sama-sama menurun, baik dan buruk sama-sama ditanggung. Mereka saling menghargai etika. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Bila satu sakit, maka empat lainnya mengobati, dua sakit tiga mengobatinya, tiga sakit dua mengobatinya, empat sakit satu mengobatinya. Berlima kita berkumpul dan berusaha mencari kemaslahatan demi kebaikan kita semua Limae Ajatappareng, dan marilah kita buktikan isi dari perjanjian ini.
Persekutuan itu dibentuk dalam rangka untuk kepentingan ekonomi, perang dan pertahanan. Perjanjian mereka lambangkan dengan sebuah rumah yang mempunyai lima kamar. Setiap raja dan rakyat dari lima anggota konfederasi itu, boleh masuk ke kamar mana saja yang dikehendakinya. Hal tersebut berarti bahwa semua perkara besar yang dihadapi oleh setiap anggota konfederasi itu, mesti melalui suatu musyawarah secara bersama-sama (Latief,2012: 54). Kalau diperhatikan dan disimak dengan baik isi lontara’ tersebut di atas, dapat disimpulkan tentang makna yang dikandung, yaitu; Kerajaan Suppa dianggap sebagai pencetus konfederasi tersebut dan dianggap sebagai saudara tua, sementara empat lainnya dianggap sebagai saudara muda; Kelima kerajaan itu mempunyai status dan kedudukan yang sama, yakni masing-masing berdaulat dan bersaudara, tidak saling bermusuhan; kelima kerajaan itu tidak ada yang merasa dirinya kuat dan super; kelima kerajaan itu saling percaya mempercayai, tidak saling curiga mencurigai. Bahkan mereka harus berkumpul dan bermusyawarah untuk berusaha mencari kemaslahatan demi kebaikan bersama.
Usai pembentukan Konfederasi Ajatappareng, maka secara resmi kelima kerajaan-kerajaan tersebut, masing-masing membuka pintu satu sama lainnya bagaikan saudara dalam satu keluarga. Kelihatan bahwa yang paling akrab dalam persekutuan itu adalah hubungan antara Kerajaan Suppa dengan Kerajaan Sawitto, namun tidak berarti yang lainnya tidak akrab. Keakraban antara Kerajaan Suppa dengan Kerajaan Sawitto bisa dipahami bila kita melihat latarbelakang hubungan antara raja-raja yang memerintah pada kedua kerajaan tersebut. Bila ditelusuri hubungan kekerabatan antara keduanya, nampak bahwa mulai dari raja pertama Kerajaan Suppa (Tomanurung We Tepulinge) dengan raja pertama Kerajaan Sawitto (Tomanurung La Bangenge) adalah keduanya merupakan suami isteri. Raja kedua dari kedua kerajaan tersebut, diperintah lagi oleh anaknya yang bernama La Teddung Lompo. Beliau ini merangkap jabatan sebagai raja Suppa dan raja Sawitto. Begitu juga pada raja ketiga dari kedua kerajaan ini, diperintah oleh anak La Teddung Lompo yang bernama La Pute Bulu yang digelar Lebanna Mallali’E, juga masih merangkap jabatan raja pada kedua kerajaan itu. Sedangkan raja keempat Kerajaan Suppa yang bernama La Makkarawi (anak dari La Pute Bulu) adalah bersaudara lain ibu.
Bahkan pada tahun-tahun berikutnya, hubungan kekerabatan kedua kerajaan itu dapat ditelusuri, bahkan berdasarkan tradisi lisan yang berkembang bahwa hampir saja kedua kerajaan ini digabungkan menjadi satu, seperti yang terjadi pada Kerajaan Gowa-Tallo. Wacana penggabungan itu sebenarnya dilatari oleh kenyataan bahwa raja-raja yang memerintah pada kedua kerajaan itu mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat sehingga sangat sulit untuk memisahkannya. Rangkap jabatan raja pada kedua kerajaan itu terulang lagi ketika masa pemerintahan addaoang Sawitto VII yang bernama We Pasulle Datu Bissue, La Tenrisau, La Kuneng, dan sebagainya. Selain itu, kedua kerajaan ini juga saling melakukan kawin mawin sehingga sangat sulit untuk terputus hubungan kekerabatannya. Contohnyab adalah La Paleteang kawin dengan salah seorang puteri dari Kerajaan Bone (namanya tidak diketahui). Perkawinan ini membuahkan seorang anak laki-laki yang bernama La Cella Mata. Beliau menggantikan ayahandanya sebagai raja di Kerajaan Sawitto.
Hubungan kekerabatan lebih lanjut dapat diketahui dengan menelusuri silsilah antara Kerajaan Sawitto dan Kerajaan Suppa. Disebutkan bahwa Tomanurung Labangenge di Bacukiki kawin dengan Tomanurung di Akkajang. Setelah itu, ia juga kawin dengan We Tepulinge, yaitu tomanurung di Suppa. Perkawinan itu melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan. Putra pertamanya yang bernama La Teddulloppo, kemudian naik menjadi addituang di Sawitto menggantikan ayahnya. Ia juga menjadi datu di Suppa menggantikan ibunya, dengan demikian pada satu masa ia menjadi datu pada dua kerajaan. Putra keduanya yang bernama La Bottilangi pergi ke Soppeng lalu kawin dengan Datu Mario Riwawo. Hasil perkawinan ini melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Tappatana yang kemudian menjadi Datu Mario Riwawo di Soppeng menggantikan ibundanya ( Lontarak Addatuang Sidenreng: 5).
Selain turunan pertama dari tomanurung yang menjabat sebagai datu atau addatuang pada dua kerajaan diwaktu yang bersamaan, adalah La Pute Bulu. Raja ini merangkap jabatan pada dua kerajaan yaitu Sawitto dan Suppa. Beliau adalah anak dari La Teddulloppo dari hasil perkawinannya dengan saudara dekatnya yang bernama We Patoling Arung Cempa. La Pute Bulu disebutkan tiga kali kawin, pertama dengan perempuan bangsawan dari Sidenreng yang melahirkan seorang anak yang bernama La Paleteang, kemudian menjadi addatuang Sawitto. Sedang isteri keduanya adalah anak dari Arung Lowa. Perkawinan itu melahirkan satu anak perempuan bernama We Gempo dan satu anak laki-laki bernama La Cella. Istri ketiganya bernama We Tappatana yang melahirkan satu anak yang bernama La MakkarawiE dan menjadi datu Suppa ( Tenri Gau, 2007: 4).
Datu Suppa ke-12 yang bernama La Todani adalah datu yang paling populer setelah Arung Palakka pada 1672. Hal itu karena La Toni menduduki jabatan raja atau datu pada lima kerajaan pada waktu yang bersamaan, yaitu Kerajaan Suppa, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Rappang dan Kerajaan Alitta. Gelaran beliau dikenal dengan sebutan raja Limae Ajattapareng. Kenapa La Todani dapat menduduki jabatan pada lima kerajaan secara bersamaan? La Todani adalah anak dari We Tasi’, Arung Rappang ke-10 dan datu Suppa ke-11, ayahnya adalah La Pabbila datu Citta. Oleh karena itu, La Todani juga berhak atas jabatan sebagai datu di Citta. Itulah sebabnya ketika La Todani dikawinkan oleh Arung Palakka dengan saudara perempuannya yang bernama We Kacimpurung, kedatuan Citta dijadikan sebagai sompa labu atau mahar ( Latif, 2012: 114).
Addatuang Sawitto ke-14 bernama La Tenritatta Daeng Tomaming, ia juga menjabat sebagai datu Suppa yang ke-13. Beliau adalah anak dari La Tenripau addatuang Sawitto dan ibunya bernama We Tenriseno Arung Ganrang. Ia beristri dua kali, yang pertama bernama We Jora atau Bungawali, anak dari Lamalewai addatuang Sidenreng, lahir tiga orang anak. Anak pertama bernama La Doko yang kemudian menjadi mattola datu di Suppa. Anak kedua bernama Lapatau (bukan raja Bone) yang pergi dan tinggal di Enrekang. Anak ketiga bernama La Potto yang kemudian tinggal di Sawitto utara. Istri kedua La Tenritatta Daeng Tomaming bernama We Dauttu, anak La Todani dari istrinya yang bernama We Lampeallong. Dari perkawinan La Tenritatta Daeng Tomaming yang kedua ini melahirkan anak yang bernama La Toware yang kemudian menjadi datu Suppa ke-11 (Lontarak Akkarungeng Suppa:3).
Addatuang Sawitto ke-16 yang bernama La Kuneng, merangkap jabatan sebagai datu Suppa ke-18. Beliau adalah anak dari Laraga Arung Alitta atau saudara kandung datuSuppa ke-16 yang bernama La Sangka. La Kuneng kawin sebanyak dua kali, istrinya yang pertama bernama We Tenri Arung Singkang (anak La Maddukelleng dan juga Arung Peneki). Dari perkawinan I La Kuneng, lahir seorang anak yang bernama Lapabeyangi yang bergelar Cella’ Belawa. Lapabeyangi lalu mewarisi akkarungeng di Singkang dan Ganrang. Istri kedua La Kuneng bernama We Tenridelu’, anak dari Maddanreng Bone La Ballosong (anak La Tammasonge) dengan We Tenri Arawu Arung Lempang. Perkawinan beliau melahirkan empat anak, yaitu: We Timeng addatuang Sawitto ke-17, We Cinde addatuang Sawitto 18, We Maddika Tenrilipu Matanna dan La Tenri Lengka datu Suppa ke-18 dan anak terakhir yang bernama La Cibu menjadi addatuang Sawitto ke-19 (Lontarak Akkarungeng Suppa:3 dan Lontarak Akkarungeng Sawitto: 14).
Hubungan kekerabatan seperti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa terjadinya hubungan antara Kerajaan Suppa dan Kerajaan Sawitto diawali dengan terjadinya perkawinan antara Tomanurung dengan Tomanurung pada kedua kerajaan tersebut. Keturunannyalah yang berhak menjadi raja atau penguasa di kerajaan itu. Bahkan pada beberapa kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, turunan dari kedua tomanurung tersebut menjadi penguasa atau raja. Berbeda halnya dengan hubungan kekerabatan yang terjadi antara Kerajaan Suppa dengan beberapa kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan, tidak dimulai dari kehadiran Tomanurung, tetapi dimulai pada turunan berikutnya.
Jika diperhatikan silsilah Kerajaan Suppa dan Sawitto, tanpak bahwa dari 25 datu yang pernah berkuasa di Suppa, delapan di antaranya yang pernah merangkap jabatan sebagai datu di Suppa dan addatuang di Sawtto. Terdapat sebelas datu di Suppa yang naik karena menggantikan ayahnya dan tujuh orang lainnya naik karena menggantikan ibunya. Di Sawitto, terdapat sepuluh orang addatuang yang naik karena menggantikan ayahnya, dan lima orang yang naik karena menggantikan ibunya. Di samping itu, ada dua orang datu di Suppa yang naik karena menggantikan kakaknya atau saudaranya, dan di Kerajaan Sawitto, lima orang yang menjabat sebagai addatuang naik karena menggantikan saudaranya. Di Kerajaan Sawitto terdapat se orang addatuang yang merupakan keturunan langsung dari Tomanurung, yaitu La Tedduloppo addatuang Sawitto keduayang juga merangkap sebagai datu Suppa kedua.
Begitu dekatnya hubungan kekerabatan antara Kerajaan Suppa dan Kerajaan Sawitto sehingga banyak penguasanya yang pernah merangkap jabatan. Bahkan pernah terjadi satu raja merangkap sebagai raja pada lima kerajaan di Ajatappareng pada waktu yang bersamaan. La Todani adalah raja yang pernah merangkap jabatan sebagai Addatuang Sidenreng, Addatuang Sawitto, Datu Suppa, Arung Rappang dan Arung Alitta. Raja ini pula yang bentrok dengan Arung Palakka sehingga ia menjadi buruan dan lari ke Mandar. Pihak Mandar kemudian diancam oleh Arung Palakka sehingga La Todani diantar pulang oleh pihak hingga ke Pulau Salemo dan di tempat inilah beliau dibunuh oleh pasukan Arung Palakka.
Hubungan KekerabatanKerajaan Suppa Dan
Beberapa Kerajaan Lainnya di Sulawesi Selatan
Hubungan kekerabatan antara Kerajaan Suppa dan Kerajaan Bone dan beberapa kerajaan lainnya, sudah terjadi jauh sebelum masa pemerintahan We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Datu Suppa 18 (1862-1874). Kalau kita menelusuri hubungan itu, setidaknya dapat dimulai pada masa pemerintahan Datu Suppa ke-6 We Tosappai (1574-1602) yang digelar Karaeng Baineya. Beliau adalah anak dari Raja Gowa Tunipalannga Ulaweng. We Tosappai kawin dengan La Patiroi Addatuang Sidenreng, dari perkawinan beliau lahir tiga orang anak. Sedang La Patiroi dari isteri lainnya juga mempunyai anak, salah seorang di antaranya bernama La Makkaraka Toappa. La Makkaraka Toappa kawin dengan Daeng Madangko yaitu anak dari I Massinae dengan Bate SalapangE. Perkawinan ini melahirkan seorang anak yang bernama Karaeng Massepe atau yang digelar To ri WettaE ri Langkajo. Dalam perkembangan berikutnya, Karaeng Massepe lalu kawin dengan We Yampu (ada juga menulis We Yempu),kemudian lahirlah We Bunga yang kemudian kawin dengan Toaccalo Ponggawa Bone. Inilah yang melahirkan Toaggametta Arung Jaling Matinroe ri Larompong (Lontarak Suppa: 2dan Latif,20122: 55).
To Lebae Datu Soppeng ri Lau mempunyai seorang anak yang bernama We Sogi kawin dengan Cella’bonga Datu Baringeng, kemudian lahir anaknya yang bernama We Sake. Beliau lalu kawin dengan La Bessi (sepupu dua kalinya) dan melahirkan anak yang bernama La Pakkallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo ini kemudian kawin dengan Arung Ugi yang bernama We Jai dan melahirkan anak yang bernama We Hadija Dassaleng Arungpogi Ranreng di Tua. Beliau kemudian kawin dengan La Maddaremmeng Arumpone ke-13 (1625-1640) Matinroe ri Bukaka. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak yang bernama La PakokoE Toangkoneng kemudian kawin dengan We Tenriwale Mappolo Bombangnge. Perkawinan ini melahirkan seorang anak yang bernama La Patau Matanna Tikka Matinroe ri Nagauleng,raja Bone ke-16 (1606-1714). Generasi beliaulah yang kemudian menyebarkan keturunannya pada kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan melalui anaknya yang bernama La Temmasonge.
Arumpone ke-22 La Tammasonge (1749-1779) adalah pelanjut dari cita-cita ayahandanya yaitu La Patau yang menyerukan untuk mempersatukan Tana Ugi di bawah satu tangan. Cita-cita itu sebenarnya adalah buah pikiran dan wawasan luas dari neneknya yaitu Arung Palakka Malampee Gemme’na, Arumpone ke-15 (1667-1696). Sebagai pelanjut misi kejuangan dari neneknya itu, maka LaTemmasonge berhasil mengembannya dengan membangun hubungan kekerabatan antar raja-raja, sehingga tidak ada lagi perang antar kerajaan. Sebab memang sejak berakhirnya perang Gowa 1667-1669, telah diproklamirkan oleh Arung Palakka, bahwa tidak boleh lagi ada dendam antara kerajaan. Lahirlah kemudian apa yang disebut dikenal “sompulolo dan sempugi( La Mallongeng, 2007: 21-22).
Hubungan kekerabatan yang dibangun oleh beliau itu, juga termasuk hubungan kekerabatan Kerajaan Bone dan Kerajaan Suppa. Hubungan khusus pada masa pemerintahan beliau dapat ditelusuri melalui lontarak bilang Kerajaan Bone. Buku Catatan Harian Raja Bone ke-XXII LaTammasonge (1752-1762), mengungkapkan berbagai hal yang mungkin belum banyak diketahui oleh orang melalui lontarak. Meskipun hanya catatan harian saja, namun tingkat keakuratannya dapat dipercaya dan dijadikan sebagai salah satu sumber sejarah lokal di Sulawesi Selatan, terutama untuk mengkaji kekayaan budaya dan sejarah lokal Sulawesin Selatan.
La Tammasonge dikenal sebagai Mangkau Bone yang ke-22 (1749-1779) memiliki banyak anak. Dalam catatan harian beliau, disebutkan bahwa ia mempunyai anak sebanyak 80 orang dari beberapa orang isteri yang tidak disebutkan namanya secara keseluruhan. Dalam catatan beliau hanya ada dua isterinya yang dituliskan sebagai arung makkunrai ( permaisuri), yaitu We Mommo Sitti Aisyah, cucu langsung dari Tuanta Salamaka di Gowa. Salah satu anaknya dari perkawinan itu yang bernama Tenripappa MajjumbaE kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Kasi Daeng Manjarungi Puanna La Tenro. Perkawinan ini membuahkan seorang anak yang bernama WenTenri.
We Tenri atau cucu La Tammasonge ini (garis keturunan dari isterinya yang bernama We Mommo), kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Makkulau Arung Gilireng. Perkawinan ini membuahkan hasil sepuluh orang anak, sementara anak We Tenri dari perkawinannya dengan To Allomo CakkuridiE di Wajo, lahir seorang anaknya yang bernama La Tulu yang kemudian menjadi CakkuriE di Wajo. Anak berikutnya yang bernama We Maddilu Arung Bakung, lalu kawin dengan La Kuneng Datu Suppa ke-16 (1812-1837) yang juga merangkap sebagai Arung Belawa Orai dan addatuang Sawitto yang ke-16. Keturunan We Maddilu Arung Bakung dengan La Kuneng Datu Suppa ke-16 menempatkan keturunannya menjadi penguasa pada beberapa kerajaan. Antaranya; We Cinde menjadi addatuang Sawitto ke-18, La Cibu menjadi Ponggawa Bone sekaligus sebagai addatuang Sawitto ke-19, La Tenri Langka menjadi Datu Suppa ke-17 (1837-1862), We Maddika We Tenri Lipu Daeng Matana Arung Kaju, We Padauleng arung Makkunrai Matinroe ri Sao Denrana( lontarak Akkarungeng Bone:9).
Anak La Tammasonge dari isterinya yang bernama Sitti Habiba melahirkan beberapa orang anak. Salah satu di antaranya yang bernama We Seno datu Citta yang kawin dengan La Maddusila To Appangewa Karaeng Tanete (anak dari Payungnge di Luwu, yaitu We Tenri Leleang Matinroe ri Tanete) dan membuahkan tiga orang anak. Salah satu di antaranya bernama Hatijah Arung Pao-Pao, kawin dengan To Appowase Arung Berru dan Addatuang Sidenreng yang melahirkan beberapa orang anak. Salah satu anaknya yang bernama Sumange Rukka Arung Berru, beliau masuk ke Bone dan kawin dengan We Baego Arung Macege yaitu anak dari Arumpone ke-24, La Mappasessu To Appatunru MatinroE ri Laleng Bata (1812-1823). Saudara We Seno yang bernama We Soji Arung Tanete kawin dengan La Makkawaru Arung Ataka Tomarilaleng Bone. Perkawinan ini lahir seorang anak bernama Sumange Rukka Ambo Pajala yang kawin dengan We Tenri Kaware Arung Sao Lebbi yang juga merangkap sebagai Arung Balusu.
Perkawinan Sumange Rukka Ambo Pajala dengan We Tenri melahirkan anak yang bernama La Passalamula BadungE Arung Balusu. Beliau kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Bonga anak dari Launru Datu Soppeng. Saudara La Passalamula yang bernama La Patongai kawin dengan We Panangareng Datu Lompulle, yaitu anak dari La Rumpang Megga Dulung Ajangale yang juga sebagai datu Lamuru dan datu Mario Riwawo serta sebagai Arung di Tanete. Dari perkawinan itu membuahkan hasil dengan lahirnya seorang anak yang bernama La Onro Datu Soppeng, juga sebagai Datu Lompulle. La Onro kawin di Soppeng dengan We Ceccu Arung Ganra dan juga Arung Belawa, lahirlah We Soji Datu Madello. We Soji kawin dengan La Tengko, Manciji Wajo Arung Belawa Alau. Selanjutnya La Rumpang Megga Datu Pattiro kawin dengan We Bebu Datu Suppa, namun tidak dikaruniai seorang anak. La Rumpang Megga lalu kawin lagi dengan We Dulung, dan lahirlah La Cube yang kemudian menjadi Pangulu Lompo di Galung, lalu kawin dengan We Munde, saudara perempuan La Sana Arung Lompengang yang digelar Jenderal Lompengang (Lontarak Akkarungeng Sawitto:27).
Selanjutnya La Tammasonge Arumpone kawin lagi dengan Sitti Sapiah[3] anak dari Arung Letta. Dari perkawinan ini, maka lahirlah La Kasi Daeng Manjarungi Puanna La Tenro Ponggawa Bone yang kemudian kawin dengan We Yabbang Datu Watu Arung Pattojo MatinroE ri Pangkajene. Dari Perkawinan itu, maka lahirlah We Muanneng dan La Tatta Petta Ambarala Ambo Paggalung. We Muanneng kawin dengan La Sibangngareng dan melahirkan anak yang bernama We Lewa, La Dadda, La Paduppai dan We Nandong. We Lewa Arung Alitta ke-14 lalu kawin dengan La Rumanga Karaeng Barang Patola yang kemudian melahirkan La Pamassangi Petta Towa dan inilah yang kawin dengan E Maragau Daeng Nadi, yaitu anak dari La Pawelloi Petta Datu ri JampuE. Perkawinan beliau dikaruniai anak yang bernama We Patimah Arung Lerang yang kawin dengan La Bode Karaeng Jampu, yaitu anak dari We Passulle Addatuang Sawitto yang ke-20 dengan suaminya La Gau Arung Pattojo Ponggawa Bone (Hamid, 2007: 216).
Hasil perkawinan We Patimah Arung Lerang dengan Ponggawa Bone, lahirlah anaknya yang bernama Daeng Rawisa Mabbola SadaE Arung Jampu. Inilah yang kemudian kawin dengan I Koso Karaeng Allu dan melahirkan anak yang bernama La Pawelloi. La Pawelloi kemudian kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri, anak dari We Dalaitang dengan suaminya La Sangkawana dan melahirkan anak yang bernama La Parenrengi Bau Ila dan E Siseng Bau Polo. Sedangkan La Tatta Petta Ambarala kawin dengan seorang Melayu yang bernama Encik Sitti Mainong yang kemudian melahirkan anak yang bernama Daeng Patobo. Daeng Patobo kawin dengan La Maddiolo Daeng Pabeta dan melahirkan anak yang bernama Bumihari (Hamid,2007: 216).
Selanjutnya hubungan kekerabatan antara Bone dan Suppa,dapat ditelusuri melalui garis keturunan dari cucu La Tammasonge, yaitu Arumpone La Tenritappu Toappaliweng Mangkau ri Bone yang ke-23 (1775-1812), kawin dengan We Padaulang dan melahirkan anak sebanyak 13 orang.[4] Anak keenam yang bernama La Tenrisukki Arung Kajuara To Malompona Bone kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenrilipu atau We Maddika Arung Alitta. Perkawinan mereka melahirkan seorang anak perempuan yang bernama We Tenri Awaru Pancaitana Besse Kajuara. Beliau kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Parenrengi Aumpugi, Raja Bone ke-27 (1845-1857). Beliau kemudian yang menjadi raja Bone ke-28 (1857-1860) menggantikan suaminya dan pada akhir kariernya, beliau juga pernah menjadi Datu Suppa yang ke-20 menggantikan La Tenrilengka datu Suppa ke-17 (1837-1862).
We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara dikatakan bersepupu satu kali dengan suaminya La Parenrengi, sebab ayah La Parenrengi ialah La Mappaewa Arung Lompu yang kawin dengan putri dari Muhammad Rasyid Arung Maiwa. La Mappaewa Arung Lompu putra mahkota di Sidenreng bersaudara dengan La Tenrisukki Arung Kajuara yang kawin dengan saudara dekatnya yang bernama We Tenrilipu atau We Maddika Daeng Matana putri dari We Maddilu Arung Kaju dan La Kuneng Arung Belawa Utara, Datu Suppa ke-16 (1812-1837), dan juga Datu Sawitto. Ketika Besse Kajuara dilantik menjadi Arumpone ke-28 (1857-1860), sebelumnya telah terjadi konflik antara Bone dengan Pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan. Ketika terjadi perang tersebut, We Tenri Awaru Besse Kajuara sebagai Ratu di Bone, dibantu oleh pamannya sendiri yang bernama La Cibu To Lebae Datu Sawitto ke-19 dan juga menjadi Punggawa Bone (Lontarak Akkarungeng Bone: 159-162).
Dari perkawinan We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Arumpone, dengan La Parenrengi Arumpugi, maka lahir anaknya yang bernama We Cella atau Bungasingkerru atau We Tenripaddanrengyang kelak dilantik menjadi Arung Alitta yang ke-6. Sumange Rukka (meninggal waktu beliau dalam pelarian ke Ajatappareng). We Sikati dilantik menjadi Arung Ugi yang diwarisi dari ayahnya dan meninggal sebelum menikah. Satu lagi putrinya yang bernama We Bubeng yang nantinya menjadi Datu Suppa ke-19 (1874-11901) menggantikan ibunya. Beliau kemudian kawin dengan La Rumpang Datu Pattojo putra dari La Onro Datu Lompulle dan We Ceccu Arung Ganra dan Arung Belawa, namun beliau tidak dikaruniai seorang anak ( Lontarak Akkarungeng Suppa:45).
Anak beliau yang bernama We Cella atau Bungasingkerru alias We Tenripaddanreng Arung Alitta ke-6, kawin dengan Raja Gowa I Makkulau Karaeng Lembang Parang Raja Gowa ke-34 (1895-1906). Dan setelah dilantik menjadi raja Gowa, maka ia diberi gelar Sultan Husain dan baginda bersama Dewan Bate Salapang menandatangani suatu perjanjiann dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 28 September 1895. Baginda kawin dengan I Tenripaddanreng Arung Alitta, putri dari raja Bone ke-27, La Parenrengi Arumpugi MatinroE ri Ajabenteng dengan Ratu Bone ke-28, We Tenri Awaru Pancaitana Besse Kajuara yang menjadi Datu Suppa ke-18 (1862-1874. Perkawinan We Cella dengan Sultan Husain,lahir dua anak, yang pertama bernama La Tenrisukki Andi Mappanyukki raja Bone ke-32 dan 34 dan Datu Suppa yang ke-20 (pada periode yang berbeda). Anaknya yang kedua bernama La Pangoriseng Bau Tode Arung Alitta yang ke-17 (Patunru,1969: 109 dan Lontarak Akkarungeng Alitta): 37).
La Pangoriseng kawin dengan saudara dekatnya yang bernama We Seno Karaeng Lakiung, putri dari We Batari Arung Berru dan Muhammad Karaeng Beroanging. We Batari adalah saudara dari raja Gowa atau ayahanda La Pangoriseng. We Seno dan La Pangoriseng mempunyai dua orang anak, namun keduanya wafat sebelum menikah. Sedangkan La Mappanyukki Datu Suppa ke-20 dan Arumpone ke-32 dan 34, kawin dengan We Maddelu Petta Daeng Bau, putri dari We Sugiratu Balotong Karaeng Tanete dan La Parenrengi Tinggimae Datu Suppa yang ke-22. Dari perkawinan ini, beliau tidak dikaruniai seorang anak hingga We Maddelu wafat. Selanjutnya La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan seorang putri Gallarang Tombolo dan melahirkan seorang anak yang bernama La Pangerang.
La Tenrisukki atau Andi Mappanyukki kawin sebanyak empat kali. Isteri pertamanya adalah sepupu sekalinya yang bernama We Maddilu, yaitu anaknya dari La Parenrengi Karaeng Tinggimae dengan We Sugiratu I Ballotong yaitu anak dari I Mallingkaan Karaeng Katangka Somba di Gowa. Isteri keduanya bernama I Batasi yang kemudian melahirkan Lapangerangi atau yang lebih dikenal dengan nama Andi Pangerang Pettarani. Ketika Andi Mappanyukki menjabat sebagai Mangkau di Bone, maka Laparenrengi atau Andi Pangerang Pattarani diangkat menjadi arung Macege di Bone. Pengangkatan tersebut dilakukan sebab ketika itu, Andi Pabbenteng sebagai arung di Macege ditangkap dan dihukum sebab telah melakukan pembunuhan terhadap sepupu satu kalinya yang bernama Daeng Patobong yang telah mempermalukan dirinya ( Tenri Gau, 2007: 62-63).
Untuk ketiga kalinya Lantenrisukki atau Andi Mappanyukki kawin lagi di Sidenreng dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Besse Bulo, anak dari Sadapotto addatuang Sidenreng dengan We Beda addatuang Sawitto. Dari perkawinan ini, lahir anaknya tiga orang yang masing-masing bernama: pertama, Abdullahi, gelar Bau Massepe yang kemudian menjadi datu di Suppa ke-26. Kedua, We Rukiyah, Bau Bocco dengan gelar Karaeng Balla Tinggi, kemudian menjadi addatuang di Sawitto yang ke-25 atau yang terakhir. Ketiga, We Passulle, gelar datu Bule’E.
Setelah isterinya We Besse Bulo meninggal dunia, maka Andi Mappanyukki kawin lagi dengan sepupu satu kalinya yang bernama I Mannenne Karaeng Ballasari. Isterinya adalah anak dari I Maggulingga La Bangkung Karaeng Pompong dengan I Nakko Karaeng Panaikang. Dari perkawinan ini, beliau dikaruniai anak sebanyak 5 orang, yaitu; 1) We Tenripadang, gelar Opu Datu dan kawin dengan Payungnge ri Luwu yang bernama La Pattiware Jemma BaruE, gelar Opu Toappamane Wara-WaraE dan melahirkan seorang anak yang bernama Datu Alamsyah gelar Opu Mpelai Tello Boccona, 2) Toappo,3) Laparenrengi, 4) Toappasawe, dan 5) I Bau (Tenri Gau, 2007:46).
Setelah penguasaan langsung secara menyeluruh wilayah Sulawesi Selatan pada tahun 1905 oleh Belanda, dan memandang kelompok bangsawan sebagai kelompok tandingan utama. Kelompok bangsawan adalah kelompok yang merasa dirugikan secara langsung, baik dari segi politik, maupun dari segi ekonomi akibat beralihnya kekuasaan ke tangan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk dapat menghadapi dan mengatasi tanggapan penolakan dan perlawanan dari kelompok itu dan untuk dapat memperkuat serta mempertahankan kekuasaan, Pemerintah Hindia Belanda menerapkan pemerintahan militer-sipil,berusaha untuk mendekati dan menguasai kelompok bangsawan, maksudnya agar dapat menggunakan mereka untuk mempengaruhi para bangsawan lainnya dan masyarakat umumnya agar mengakui kedudukan kekuasaannya (Poelinggomang, 2004: 139).
Bagi bangsawan yang bersedia untuk kerjasama diberikan kedudukan dalam pemerintahan dan diperluas pengaruhnya. Sedangkan bangsawan yang memperlihatkan sikap penolakan dan menentang dikejar dan ditawan, jika perlu diasingkan dengan alasan demi keamanan dan ketentraman. Contoh bangsawan yang mendapat perlakuan istimewa dari Belanda sebab mau bekerjasama adalah Karaeng Mangeppe yang pada awal kehadiran Belanda menyerahkan diri dan selanjutnya diberikan jabatan sebagai kepala pemerintahan di Wajo. Sementara bangsawan yang menolak kerjasama adalah Andi Mappanyukki dan Karaeng Bontonompo,mereka kemudian ditangkap dan diasingkan. Tetapi pada masa pemerintahan Gubernur Quarles de Quarles, ia mengusulkan agar kedua bangsawan itu dibebaskan dari pengasingannya dan dikembalikan ke Makassar, tujuannya adalah agar kedua bangsawan itu dapat diajak kerjasama dan dapat mempengaruhi bangsawan lainnya.[5]
Namun beberapa waktu kemudian, Andi Mappanyukki bersedia menerima jabatan sebagai Arumpone, itu pun setelah pemerintah Hindia Belanda memulihkan kedudukan bekas Kerajaan Bone tahun 1931 menjadi daerah berpemerintahan sendiri dengan mengembalikan kalompoang kerajaan yang pada waktu penyerangan 1905 disita dan diangkut ke Jakarta. Ketika Andi Mappanyukki telah dilantik menjadi Arumpone, maka beliau didampingi oleh isterinya yang bernama I Mannenne. Beliau juga pernah menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu naik haji ke Tanah Suci, Mekah. Ketika beliau kembali dari Tanah Suci, maka yang menjadi Gubernur Sulawesi adalah anaknya yang bernama Lapangerangi atau Andi Pangerang Pattarani, yaitu anak dari isterinya yang bernama I Batasi Daeng Taco. Berdasarkan permintaan rakyat Bone melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bone, La Mappanyukki diangkat menjadi Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bone yang pertama sampai pensiun.
Kalau kita mencermati silsilah tersebut di atas, tampak bahwa awal mula terjadinya hubungan kekerabatan dan politik antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan, diawali dari perkawinan tomanurung dengan tomanurung lainnya. Begitu pula dengan munculnya stratifikasi sosial syarakat dalam masyarakat, dimulai sejak adanya tomanurung. Pada periode tomanurung inilah munculnya politik awal suatu kerajaan di Sulawesi Selatan yang mulai tertata dengan baik. Kerajaan Sawitto dengan nyata memulai hubungan kekerabatannya dengan Kerajaan Suppa ketika tomanurung Lababange kawin dengan tomanurung We Tipulinge yang menurunkan anak cucu sebagai pewaris tahta kerajaan secara turun temurun pada Kerajaan Suppa dan Sawitto.
Namun berbeda halnya dengan Kerajaan Bone, hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Suppa tidak diawali dari munculnya tomanurung, tetapi diawali karena adanya kawin mawin antara bangsawan dengan bangsawan atau antara raja dengan bangsawan kedua kerajaan. Begitu juga hubungan politik antara keduanya tidak diawali sejak adanya tomanurung akan tetapi dimulai ketika telah terjadi kawin mawin. Selain itu juga dapat terjadi karena adanya penguasaan wilayah dari kerajaan yang satu dengan kerajaan lainnya. Banyak juga terjadi adanya hubungan politik antar kerajaan karena diciptakan untuk sesuatu hal. Misalnya; Konfederasi Ajatappareng yang dibentuk pada 1532 (Pabbicara, 2006:125) dan pada 1582 ( Rasyid,1985: 88). Persekutuan ini dibentuk dengan tujuan untuk membangunhubungan ekonomi dan politik serta perrtahanan bersama.
Menyangkut tahun pembentukan persekutuan itu, disebutkan bahwa tidak lama setelah terjadinya penaklukan Kerajaan Sidenreng oleh Luwu (1508). Dengan begitu dapat dipastikan bahwa persekutuan itu lahir sebelum Suppa, Sawitto dan Alitta diserang oleh Raja Gowa, Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) (Amir, 2013:52). Perbedaan tahun terbentuknya persekutuan itu memang dapat terjadi sebab sumber-sumber yang menjadi acuan tidak ada yang menyebutkan secara pasti. Sumber lokal berupa lontarak juga tidak menyebutkan, tetapi jika dianalisis pada dua angka tahun yang disebutkan, maka seharusnya jatuh pada 1523. Alasannya karena pada tahun itu Kerajaan Suppa, Sawitto dan Alitta belum dikuasai oleh Gowa. Oleh karena itu, tidak memungkinkan ketiga kerajaan itu untuk membentuk persekutuan sebab telah menjadi lili Gowa dan pasti tidak mendapat restu dari Gowa.
Selain Persekutuan Ajatappareng yang dibentuk untuk membangun hubungan politik adalah Persekutuan TellumpoccoE yang dibentuk pada 1582 (Nur, 2010:68). Persekutuan ini beranggotakan tiga kerajaan besar ketika itu, yaitu; Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng dan Kerajaan Wajo). Salah satu tujuan utama dibentuknya persekutuan ini adalah untuk membendung arus perluasan wilayah politik Kerajaan Gowa yang ketika itu sedang mengalami perkembangan politik dengan menyerang Kerajaan Wajo 1583 atau setahun, namun tidak berhasil. Penyerangan Gowa atas wilayah Ajatappareng tidak pernah berhasil, meskipun telah empat kali diserang. Kerajaan Gowa baru berhasil menaklukkan Tellumpoccoe ketika menjadikan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Alauddin atau I Mangerangi Daeng Manra’bia (Latief, 2014: 8-9)
KESIMPULAN
Hubungan antar kerajaan-kerajaan lokal di Sulawesi Selatan bagaikan lingkaran setan yang tak ada putusnya. Kondisi ini dilatari dari kenyataan bahwa sebenarnya nenek moyang orang-orang Sulawesi Selatan berasal dari satu rumpun keturunan. Pola hubungan antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya terjadi karena adanya kawin mawin antara bangsawan-bangsawan dengan para bangsawan, antara bangsawan dan rakyat kebanyakan serta antara rakyat biasa dengan rakyat biasa. Itulah sebabnya kadangkala kita melihat ada bangsawan Bone menjadi raja di Gowa, begitu juga sebaliknya. Atau bangsawan Bone menjadi raja di Suppa pada satu masa dan pada masa yang lain ia menjadi raja lagi di Bone. Hal ini dapat dilihat pada kasus We Tenriawaru Besse Kajuara yang pada awalnya menjadi raja di Bone, kemudian ia tinggalkan Kerajaan Bone, lalu menjadi raja di Suppa.
Sebaliknya, Andi Mappanyukki yang pada awalnya menjadiDatu di Suppa, lain waktu ia menjadi raja di Bone. Begitu pula dengan Kerajaan Sawitto yang memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Kerajaan Suppa. Beberapa raja yang pernah memerintah di Sawitto, juga merangkap jabatan sebagai datu di Suppa. Raja yang dimaksud adalah; We Pancaitana Datu Suppa ke-7, juga sebagai Addatuang Sawitto ke-7; We Passulle sebagai Datu Suppa ke- 8; juga menjadi Addatuang Sawitto ke-8; Todani Arung Bakke bahkan merangkap jabatan raja pada lima kerajaan di Ajatappareng sekaligus; La Doko sebagai datu Suppa ke-14 dan juga merangkap jabatan sebagai Addatuang Sawitto ke-15. Bahkan raja yang lebih awal juga merangkap jabatan yaitu La Teddunglompo menjabat sebagai addatuang Sawitto ke-2, merangkap juga sebagai datu Suppa ke-2.
Rangkap jabatan sebagai raja pada masa kerajaan rupanya sudah lama terjadi, hal ini terutama yang dilandasi oleh adanya perkawinan politik yang dijalankan oleh para penguasa. Hal ini disadari sepenuhnya bahwa hal itu dimaksudkan untuk memperkokoh hubungan kekerabatan para bangsawan atau raja. Meskipun demikian, bukanlah jaminan bahwa adanya hubungan kekerabatan yang sangat dekat tidak akan menimbulkan konflik di antara mereka sendiri. Contoh kasus ketika Perang Makassar terjadi antara Kerajaan Gowa dengan Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone dan Kerajaan Soppeng. Juga bagaimana ketika Kerajaan Gowa menyerang Kerajaan Suppa hanya karena persoalan pemutusan hubungan peminangan antara anak raja Gowa dengan anak Datu Suppa. Atau ketika Kerajaan Sidenreng berkonflik dengan Kerajaan Sawitto yang dibantu oleh Kerajaan Bone. Dari kasus-kasus itu, menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan yang sangat dekat sekalipun tidak menjamin hubungan antara kedua kerajaan akan terhindar dari masalah konflik.
Daftar Pustaka
Andaya, Leonard. 2013. Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17. Makassar : Penerbit Ininnawa.
Depdikbud.1978. Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sasrtra Indonesia di Daerah.
Hamid, Abu. dkk. 2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Pendidikan Nasional.
La Mallongeng, Asmad Riadi.2007. Catatan Harian Raja Bone. Makassar: La Macca.
Latief, Abd. 2012. “ Konderasi Ajatappareng 1812-1906; Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan”. Malaysia: Disertasi Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia, Bangi.
Lontarak Akkarungeng Alitta.
Lontarak Akkarungeng Bone.
Lontarak Akkarungeng Sawitto.
Lontarak Akkarungeng Sidenreng.
Lontarak Akkarungeng Suppa.
Mattulada. 1999. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.
Pabbicara, Burhanuddin.2006. “ Persekutuan LimaE Ajatappareng Abad XVI” . Makassar: Tesis Magister, Universitas Negeri Makassar.
Patunru. 1969. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Poelinggomang, Edwar.2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar. Jogyakarta : Ombak.
Rasyid, Darwas. 1985. Sejarah Daerah Tingkat II Kabupaten Pinrang. Ujung Pandang: Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional.
Tenrigau, Andi Anzis.2007.” Lontarak Suppa (Silsilah Kerajaan Suppa dan Hubungannya dengan kerajaan Tallu Bocco.
[1] Versi tradisi lisan tidak menyebutkan adanya benda-benda yang menyertai kehadiran mereka seperti halnya yang terjadi di Sulawesi pada umumnya, yaitu gaukang. Gaukang ini biasa berbentuk benda apa saja dan berbeda dengan benda lainya dan sangat disakralkan oleh pendukungnya. Benda gaukang itu kemudian diberikan tempat khusus sebagai penghargaan atasnya. Biasanya penemu gaukang inilah yang dipercayakan sebagai pemimpin komunitas tersebut, sebab menjadi juru bicara dari gaukang itu. Dari sinilah dikatakan permulaan adanya komunitas yang disebut komunitas gaukang itu.
[2] Mengenai pengiriman kedua orang pendeta tersebut di atas, tidak diketahui dengan pasti tahun berapa, begitu juga Antonie de Payva yang dinyatakan dalam beberapa sumber bahwa kedatangannya terjadi pada tahun 1543, sementara dalam lontarak Suppa, hal itu dinyatakan terjadi pada tahun 1544 atau selisih satu tahun.
[3] Nama Sitti Safiah anak Arung Letta sebagai salah satu isteri La Tammasonge Arumpone, agak berbeda dengan yang disebutkan dalam lontarakBilang Raja Bone dengan apa yang tertulis di dalam silsilah Raja-Raja Kerajaan Bone yang dibuat oleh Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang yang dibuat pada tahun 1975 berdasarkan sumber dari Kantor Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Bone tahun 1968. Dalam Lontarak Bilang Raja Bone, terulis bahwa nama anak La Temmasonge dari Sitti Sapiah bernama La Kasi Daeng Manjarungi Puanna La Tenro Ponggawa Bone, kawin dengan We Yabbang, sedangkan pada silsilah raja-raja Bone tertulis Balele DatuE ri Ulaweng yang kawin dengan Lage Arung Gona. Ataukah kedua orang anak La Tammasonge tersebut tidak sama, sebab beliau memiliki 80 orang anak dari beberapa orang ibu. Kalau dicermati kedua nama itu nampaknya memang tidak sama, sebab melihat nama-nama dari keturunannya juga berbeda.
[4] Dalam Silsilah Raja-Raja Kerajaan Bone, ditulis bahwa saudara dari La Tenrisukki Tomalompona Bone mempunyai saudara sebanyak enam orang, tiga di antaranya pernah menjadi raja atau Mangkau di Bone. Mereka itu adalah La Mappatunru Sultan Muhammad Ismail Muh. Tajuddin sebagai raja Bone ke-24 (1812-1823). Selanjutnya adalah I Mani Arung Data Sultana Saleh Mahdi Rajituddin (1823-1835) sebagai Ratu Bone ke-25 dan La Mappasaling Sultan Adam Najamuddin Matinroe ri Sala’sana Raja Bone ke-26 (1835-1845).
[5] Andi Mappanyukki ditawari jabatan oleh Belanda, namun beliau menolak usulan Pemerintah Belanda untuk bekerjasama itu dengan alasan bahwa kekuatannya tidak memadai lagi untuk jabatan yang ditawarkan itu. Apalagi jika beliau mengingat banyak kerugian yang ditimbulkan akibat penyerangan pada tahun 1905. Dan ketika itu, benda-benda kebesaran kerajaan tidak berada di istana kerajaan sebab pada waktu penyerangan itu telah diambil oleh Belanda lalu dibawa ke Batavia untuk disimpan di Museum.