HUBUNGAN ANTAR KERAJAAN; GOWA DENGAN WAJO
Bahtiar
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan. Sultan Alauddin/Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221
Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166
Pos-el: bahtiarnadja@yahoo.com
Handphone: 082191676554
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menjelaskan tentang hubungan antara Kerajaan yaitu Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo. Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah dengan memalui empat tahap. Hasil peneiltian dapat dijabarkan bahwa hubungan antar Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo terjadi pasang surut, terkadang baik hubungan itu, namun terkadang terjadi gejolak dan intrik-intrik diatarakeduanya. Meski ada peran Belanda didalamnya, namun peran Kerajaan Bone yang mendominasi,namu bagi Kerajaan Gowa yang dikenal sebagai kerajaan yang tangguh dengan sekutunya Wajo dan Luwu, Kerajaan Gowa juga yang mengajak Bone, Soppeng, dan Wajo memeluk Islam, bahkan dengan perang (musu selleng) tetap mempertahankan kekuasaannya, meskipun terkalahkan pada Perang Makassar (1666-1669) oleh Kerajaan Bone dengan sekutunyaBelanda, Soppeng. Bagi Wajo tetap menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Wajo, bagi Wajo lebih baik bekerjasama dengan Kerajaan Gowa dibanding dengan Kerajaan Bone. Meskipun Kerajaan Wajo sudah tergabung dalam Persekuttuan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng, Wajo), karena bagi Kerajaan Wajo adanya ambisi Arung Palakka yang ingin menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan.
Kata kunci: hubungan, kerajaan, Gowa, Wajo.
PENDAHULUAN
Mari kita simak apa kata Matthes; orang Gowa lebih suka berperang, sebaliknya orang Wajo setia, saudagar yang jujur (Abidin, 1999: 176). Tapi hal ini tidak dapat digeneralissikan, karena sifat atau karakter tidak dari wilayahnya melainkan perorangan. Pandangan Matthes mungkin pengamatannya yang dilakukan saat itu, namun saat ini tidak demikian adanya. Sifat baik dan buruk ada disetiap wilayah. Jika kita berada pada saat itu, mungkin kita dapat memahami bahwa kemungkinan Gowa ingin memperluas hegemoni kekuasannya dengan menaklukkan beberapa kerajaan. Karena semakin banyak kerajaan yang dapat ditaklukkan, maka semakin besar kerajaan itu.
Kerajaan Makassar (sebutan saat itu, karena bergabung Gowa-Tallo) giat memperluas kekuasaan dengan memerangi dan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di wilayah Sulawesi Selatan seperti Garassi, Katingang, Parigi, Siang, Suppa, Sidenreng, Lembangang, Bulukumba, dan Selayar. Sementara kerajaan-kerajaan itu yang dipungut upeti (sabu kati) adalah Bulukumba dan Selayar.Sementara kerajaan-kerajaan bekas kerajaan sekutu Tallo (Maros dan Polombangkeng) dan beberapa Kerajaan yang kuat seperti Salumeko, Bone dan Luwu dijalin perjanjian persahabatan.Politik perluasan kekuasaan itu tampak berkaitan dengan usaha memajukan bandar niaganya, itulah sebabnya sejumlah kerajaan yang giat dalam perdagangan diserang dan ditaklukkan. Tindakan penaklukan itu terkandung harapan kerajaan-kerajaan itu akan mengalihkan kegiatan niaga mereka ke bandar niaga kerajaan kembar itu.
Gowa harus memulai kembali upaya konsolidasi dan memulihkan segenap mekanisme kelembagaan negara yang mengalami kemerosotan yang amat cepat, semenjak Raja Gowa Tunijallo dan terakhir oleh raja Gowa XIII Tunipasulu, masyarakat butta Gowa, dendam kesumat yang berkepanjangan di antara kerajaan-kerajaan Gowa, Bone, Wajo, dan Soppeng menjelang abad XVII masih tetap berkelanjutan. Sedangkan tak putus-putusnya muncul masalah-masalah baru, yaitu datang bangsa Eropa, yang mulai dengan menaklukkan bangsa Portugis atas Semenanjung Malaka (1511).Kejadian itu sangat mempengaruhi keseimbangan keadaan di kawasan timur yang ramai dengan perdagangan rempah-rempah di Maluku.[1]Gowalah yang mula-mula berhadapan dengan masalah kedatangan orang Eropa di kawasan ini.Sebagai negara berkekuatan maritim berusaha mempertahankan keunggulannya di laut.
Pada dasarnya kerajaan-kerajaan pesisir yang ditaklukkan itu melakukan hubungan niagadengan Kerajaan Makassar, akan tetapi mereka tetap giat mengembangkan Bandar niaga mereka masing-masing. Keadaan itu dipandang menghambat usaha untuk mengembangkan dan memajukan perniagaan, sehingga ketika Karaeng Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) menduduki tahta kerajaan dilaksanakan lagi penaklukkan terhadap kerajaan-kerajaan itu.Diantaranya Siang, Bacukiki, Suppa, dan Sidenreng, juga Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Lamatti, Wajo, Duri, Panaikang, Bulukumba, dan berbagai kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone dan kerajaan lainnya. Bone termasuk dalam daftar yang ditaklukkan oleh Tumaparrisi kallonna, namun sebuah bagian dibawahnya menyebutkan bahwa yang menaklukkan Bone adalah Tunipalangga (Poelinggomang, dkk, 2004: 55; Andaya, 2004: 32).
Berbeda dengan kerajaan pendahulunya, raja ini dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan untuk menyatakan ikrar makkanama nu mammio(aku bertitah dan kamu taati) dan mengangkut orang dan barang dari negeri taklukkan ke Bandar niaganya(Wolhoff, G.J dan Abdurrahim, tt: 25).Kebijakan politik Tunipalangga Ulaweng itu, pertama-tama bertujuan memudarkan dan melenyapkan bandar niaga kerajaan-kerajaan lain di wilayah itu.Pengangkutan orang dan barang dari daerah itu menyebabkan kerajaan-kerajaan taklukkan tidak dapat mengembangkan bandar niaga mereka,tindakan itu secara tidak langsung memaksa pedagang-pedagang sebelumnya menjadikan siang, Suppa, Bacukiki, Sidenreng, dan lainnya mengalihkan kegiatan mereka ke wilayah kerajaan itu.Dapat dicatat periode pemerintahannya datang anakhoda Bonang (seorang pedagang dari Jawa) sebagai wakil pedagang-pedagang Melayu (Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor) memohon kepada raja untuk menetap dan berniaga di Bandar niaganya.Pedagang-pedagang Melayu ini sebelumnya menjadikan Siang sebagai koloni dagang, permohonan mereka dipenuhi dan diberi izin untuk menetap di Manggalekanna daerah pemukiman mereka berada di bawah pengawasan syahbandar I Mangngambari Karaeng Mangngewang. Sehingga ia dikenal dengan nama I Daeng ri Manggallekanna, demikian juga pedagang-pedagang Portugis beberapa pedagang dinyatakan telah menetap di bandar niaga kerajaan itu sekitar 1532 mengalihkan dan meningkatkan hubungan niaga. Bahkan pedagang-pedagang Portugis telah mendirikan perwakilan dagang pada masa pemerintahan raja ini. Penerimaan kehadiran pedagang-pedagang itu menunjukkan bahwa pemerintah kerajaan ini mengembangkan bidang perdagangan dengan sistem politik pintu terbuka (Poelinggomang, dkk, 2004: 56).
Sementara Wajo pada saat persetujuan Tellumpocco 1582, Wajo dan Soppeng mengaku sebagai bawahan Gowa. Setelah kekalahan Luwu pada perang melawan Gowa di bawah Tumaparrisi Kallonna, Luwu dipaksa melepaskan pengaruh kekuasaannya terhadap Wajo kepada Gowa.Wajo kemudian bangkit melawan Gowa, namun dengan mudah dikalahkan dan segera dihukum dengan menurunkan derajatnya menjadi status budak dari Gowa (Noorduyn, 1955: 73).Dengan pembaharuan Perjanjian Calleppa, Wajo dan Soppeng lepas dari kekuasaan Gowa dan menetapkan mereka ke bawah pengaruh kekuasaan Bone.Kemudian pada perjanjian Timurung 1582 Bone siap mengangkat kerjaan-kerajaan bawahan ini menjadi status mitra agar memperoleh dukungan penuh untuk melawan Gowa (Andaya,2004: 39).
Politik kekuasaan yang dilakukan oleh raja Makassar I dan II itu tampak diikuti pula pengganti mereka, Raja Gowa II I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatta yang menjadi Raja Makassar III meneruskan perjuangan ayahnya memerangi Kerajaan Bone. Tidak hanya kepada Bone, Wajo dan Soppeng yang selama ini agar tetap setia kepada kekuasaan Butta Gowa mulai diusik, sehingga kedua negeri itu mulai mendekatkan diri ke Tanah Bone.Ini dilakukan Gowa agar Wajo dan Soppeng tetap setia kepada kekuasaan Gowa, oleh sebab itu ketiga kerajaan yang merasa perlu mengantisipasi kekuatan Gowa membentuk suatu persekutuan. Maka tahun 1582, Arumpone La Tenrirawe Bongkange, bersama Arumatoa Wajo, La Mungkace To Damang, serta Datu Soppeng, La Mappaleppe Patolae, menyepakati suatu persekutuan tiga kerajaan di Kampung Banne dalam Wanua Timurung (Bone utara). Maksud utama diadakannya persekutuan ketiga kerajaan itu adalah yang dikenal dengan nama Lamumpatue ri Timurung (penanaman batu Timurung), untuk menentang tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Gowa. Kejadian Mattelumpoccoe (persekutuan tiga negara) itu menimbulkan murka Sombaya ri Gowa, dan mulailah disulut api peperangan kembali kepada tiga kerajaan yang bersekutu itu (Mattulada, 1982: 127; Poelinggomang, dkk, 2004: 56).
Sebagai kerajan Islam pertama di Sulawesi Selatan, Luwu menjadi sekutu Gowa, karena alasan politisi dan religious, Gowa tidak surut perannya sebagai penjaga Islam, dan akhirnya berhasil pada 1609 memaksa Sidenreng memeluk Islam. Setelah keberhasilan ini, kerajaan bugis lainnya mengikuti dengan cepat, Soppeng 1609, Wajo 1610, dan akhirnya penguasa Bone La Tenrirua menyeru rakyat untuk menghindari perang dengan Gowa dan memeluk Islam. Islam menambah dimensi baru dalam tradisi politik di Sulawesi Selatan
Hubungan baik antar Gowa dengan Wajo terjalin pada saat terjadi penyerangan (Perang Makassar 1667-1669), Gowa dibantu oleh Wajo, sedangkan Bone dibantu oleh Soppeng.Wajo senantiasa setia terhadap Gowa, meskipun pada saat Bone memaksakan dengan keras ajaran agama Islam terhadap Wajo, Soppeng, dan lainnya. Namun Wajo menganggap ada unsur lain yang dinginkan oleh Bone, bagi wajo lebih baik setia kepada Gowa. Ini terbukti hingga pada saat terjadinya pengungsian secara besar-besaran setelah Perjanjian Bungaya, beberapa petinggi Kerajaan Gowa memperhatikan keselamatan Wajo.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat di jelaskan pokok permasalahan dalm tulisan ini adalah bgaimana awal hubungan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Wajo, bagaimana perkembangan hubungan keduanya, dan bagaimana akhir hubungan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Wajo. Sedangkan yang menjadi tujuan dalan kajian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana awal hubungan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone, bagaimana poitik yang dintara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo, dan bagaimana akhir hubungan dengan perjanjian-perjanjian antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Wajo.
METODE
Kajian Hubungan antara kerajaan Gowa dengan Wajodilakukan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder, namun karena studi arsip dilakukan tidak banyak data yang di dapat karena periodenya terlalu jauh kebelakang, pleh sebab itu lebih difokuskan pada studi pustaka. Adapun dalam kajian ini menggunakan metode, yaitu metode sejarah dengan tahapan sebagai berikut: Heuristik (pengumpulan data), kritik (ekstern dan intern), Interpretasi (penafsiran), dan Historiografi (penulisan).
Dari sumber-sumber tentang hubungan antar Kerajaan Gowa dan Kerajaan Wajo didapat diantaranya arsip, lontarak, dan buku-buku yang berhubungan dengan topik. Seperti Lontarak Akkarungeng Ri Wajo I terbitan dari Badan Arsip dan Perpustakaan Sulawesi Selatan dan beberapa lontarak lainnya seperti yang terdapat pada buku M. Syarifudin Perjanjian antar Kerajaan, yaitu Perjanjian antar Kerajaan Gowa dan Wajo. Kemudian dari berbagai sumber yang telah didapat kemudian dikritik, agar ditemukan hasil yang mendekati kebenaran. Selanjutnya dilakukan penafsiran terhadap data itu, apakah sudah akuran dan valid.Perkembangan selanjutnya dilakukan adalah menggabungkan data-data itu kemudian dirangkai dalam bentuk tulisan atau cerita/kisah.Inilah yang dinamakan historiografi, sehingga tersusunlah tulisan Hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo.
PEMBAHASAN
AWAL HUBUNGAN GOWA DENGAN WAJO
Mengawali hubungan antara Gowa dengan Bone terjadi pasang surut pada beberapa kesempatan hubungan itu baik, namun dalam kondisi tertentu berubah menjadi kurang baik. Bahkan beberapa kali terlibat dalam perlawanan antar keduanya, seperti pada saat Gowa menyerang Cenrana, Wajo bantu Gowa. Mendahului diadakannya perjanjian Wajo dengan Luwu, bahwa setahun setelah Wajo barat dikalahkan, Sanggaria menggantikan Rajadewa kakaknya sebagai Datu Luwu, karena meninggal dunia.Daeng Lekba menjadi makkedange tana.Setahun dalam jabatan itu, berperanglah Gowa dan Tallo.Dua tahun To Nampek menjabat kearungmatoan, Cenrana diserang Gowa dengan bantuan Bone.Wajo menghindar (tidak mampu Luwu) dalam peristiwa ini, dan Cenrana takluk setelah perang sebulan.Wajo juga tidak membantu Soppeng ketika diserang Gowa dan Bone.Soppeng dikalahkan setelah berperang selama tiga bulan.Setahun setelah Cenrana dikalahkan, datanglah suro DatuLuwu ke Wajo. Informasi KR di atas jelas menunjukkan adanya sisa waktu terjadi, tetapi dialog kedua belah pihak tidak berbeda.
Masih dalam hubungan perang Gowa, Bone melawan Luwu, ketika Wajo hanya tinggal diam tidak membantu Luwu, setelah berhasil merebut Cendrana dalam perjalanan pulang utusan Gowa ditugaskan ke Wajo. Dua tahun setelah kekalahan Luwu, Wajopun diserang oleh Datu Luwu Sangkaria bersama Raja Gowa To Nipalangga serta Raja Bone La Ulio Botek e.Siasat penyerangan diatur di Cendrana oleh ketiga raja tersebut, sebelum armada perahu yang memuat pasukan pihak penyerang itu mendarat di Topaccekdo. Tiga malam mereka bertahan di Topeccedok menunggu kedatangan Jawaban pihak Wajo, oleh karenatidak ada utusan dari Wajo.Kemudian Arungponelah yang mengutus suronya kepada Arung Matoa Wajo To Nampek,pesan yang disampaikan dijawab oleh To Makdualeng.
Inilah yang kau sampaikan (kepada) Arumpone, teguh kesepakatan kami se Wajo, setuju hendaklah berperang melawan datu (Luwu) dan kareng (Gowa).Biarlah yanghidup saja yang mengambil petaruh.Kembalilah suro menyampaikan pesan (itu) kepada Arumpone (berkata Arumpone) jangan begitu pemikiran kerabatku yang ingin habis-habisan.Sebaiknya mengutus (untuk) pakerrusumangek (menyambut dengan membawa persembahan) kepada datu dan karaeng memohon kebaikan lagi negerinya agar orang Luwu dan Makassar kembali ke negerinya oleh karena keberadaan karaeng hanya karena datu yang mengundangnya, undanglah mereka masuk ke Wajo. Arung Betteng To Makdualenglah yang menjawab katanya Inilah yang kau sampaikan suro kepada kerabatku Arumpone itulah yang akan dilakukanoleh Wajo yang dikatakan baik oleh kerabatku sebab tidak mungkin menghendaki keburukan bagiku. Keesokan harinya datanglah orang Wajo menemui Datu Luwu dan Karaeng Gowa. Berkatalah To Makdauleng: Engkau Dipakerrusu nampak datu oleh ataorang Wajo dengan seekor kerbau balar jantan yang belum dikebiri agar engkau dikasihani dan mengambil sedikit (harta benda) tak banyaknya Wajo, tiga orang tiga sampuk, tiga pasang gelang dan kembali ke negerimu, jangan tinggal dihembus angin ditimpa terik matahari. Maka marahlah datu Luwu dan berkata: perlakuan apakah kau perlakukan kepadaku orang Wajo? Ambil kembalilah kerbaumu, karena otakupun tidak memakan balar.Siap siagalah esok engkau menetakku ataukah kuasapi langit negerimu (Syarifuddin, 1989: 268).
Kembalilah orang Wajo ke negerinya, senja itu juga datanglah suronya Arungpone menyampaikan rencana penyerangan keesokan harinya. Pasukan Luwu dan Makassar akan menyerang dari arah barat, sedangkan Bone beserta Soppeng cukup sepasukan kecil (satu bate cakdi) saja yang menghadapinya. Jika akan sudah melakukan pembakaran seranglah, kejarlah terus hingga engkau telah melihat payung kerabatmu Arumpone. Atas informasin ini To Makdauleng menyampaikan kepada Arungpone, bahwa Wajo akan melaksanakan strategi yang disampaikan dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan Bone itu.
Kemudian dinihari, orang Bone dan Soppeng memasuki Wajo dari sebelah timur, dihadapi oleh orang Sidenreng yang datang membantu Wajo. Di saat fajar Luwu dan Gowa datang dari arah barat, dan dihadang oleh orang Wajo.Peperangan berlangsung seru, Raja Gowa dikejar hingga ke sungai, pengusungnya ditetak rajapun dilukai lengan dan telinganya.Datu Luwu dikejar hingga ke perahunya.Lebih dari seribu orang korban dipihak Luwu dan Gowa.Ketika itulah datang utusan Arungpone menyarankan agar Wajo berunding dengan datudankaraeng, karena keduanya telah nataroini sirik alena (merasa sirik).Saran ini dipenuhi oleh Wajo dua hari kemudian.
Dua hari setelah kedatangan suronya Arumpone di Wajo, Arung Matoa menyerah kepada Karaeng Gowa dan DatuLuwu. Berkata Arung Bette To Makdauleng: Kasihanilah saya karaeng, datu agar masing-masing menerima sedikit tidak banyak Wajo satu orang, satu sampuk, satu pasang gelang sebagai tanda semangatnya atamu orang Wajo juga tiga ekor kerbau hitam yang tidak dikebiri agar engkau pulang ke negerimu memakan makanan lezatmu, meminum air jernihmu dan barulah berdarah jika lintah yang menggigit baru akan mati jika dewata yang mengammbil simpanannya. Jangan tinggal dihembus angin disinari terik matahari hanya karena ingin melihat Wajo, sedangkan engkau telah melihatnya. Sekiranya engkau datang dengan salempang sampuk, maka akan salempangsampuk pula atamu orang Wajo menyambutmu, sedangkan (engkau datang) berselempang kanna (menyandang peralatan perang), maka bersalempang kanna pula orang Wajo menyambutmu. Berkatalah karaeng bersamadatu Luwu, telah kuterima perkataanmu itu orang Wajo. Dikatakan pula oleh KaraengGowa, tetapi bagaimana arollamu (kepengikutan, marola=mengikuti) kepada Gowa. Asseseajingengmu Gowa dan Wajo. Berkata To Makdauleng: kepengikutanku kepada Luwu kujadikan kepengikutanku di Gowa. Berkata karaeng: aku tidak mengetahui kepengikutanmu kepada Luwu., maka berkatalah to Makdauleng: anaklah Wajo kepada Gowa. Tidak engkau inginkan anakmu pada keburukanmu, kau sandarkan kebaikan, hidup tidak mati. Dan berkata karaeng: tetapi tidak ada orang yang hidup (terus) tanpa mati, orang Wajo. Berkatalah To Makdauleng, barulah baik, jika dewata yang mengambil simpanannya lalu aku mati disaksikan oleh dewata Esa, ina Gowa serta Luwu, dan anaklah Wajo, maka mengangguklah karaeng dan datu (Syarifuddin, 1989: 269).
Pada 1643 Raja Bone La Maaddaremmeng menyerang Wajo dan Soppeng, kedua kerajaan itu berhasildikalahkan. Arungmatoa Wajo La Isigajeng To Bunne tewas dalam peperangan di Patila., pasukan Wajo dan Sopeng menyingkir ke Maiwa, Sawitto, dan Berru. Menurut Lontarak milik Andi Idjo raja Gowa, bahwa dengan segera raja Gowa Sultan Malikkussaid menyerang Bone melalui Massepe. Dalam serangan itu orang-orang Wajo yang telah menyingkir ikut menyerang, setelah orang Bone dipukul mendur di Belawa (Wajo). La Madderemeng dan sudaranya melarikan diri ke Larompong (Luwu). Setelah tiga tahun di sana La Madaremmeng datang meyerahkan diri ke Gowa, namun saudaranya To senrima tiba di Bone, kemudian melakukan perlawanan terhadap Gowa. Namun pasukan To Sanrima dikalahkan, kemudian ia ditangkap dan dibuang ke Siang (Pangkajenne). Bone mengalami kehancuran, dan tidak mempunyai raja. Raja Gowa menyarankan kepada dewan adat agar mengangkat raja, permintaan Dewan Adat Bone agar Gowa saja merangkap menjadi raja Bone. Namun Sultan Malikkussaid menolak, karena bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Raja Gowa kemudian mengangkat Karaeng Samanna menjadi regent (raja muda), tetapi tugasnya akan dilaksankan oleh To Ballak, Arung Tanete, anggota Dewan Adat Bone, sebagai kadhi (Gowa) atau jannang (Bone) (Abidin, 1999: 189; Patunru, 1983: 33)
Selain hubungan di atas terjadi pula hubungan perkawinan antara kedua kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo, perkawinan petinggi kerajaan yaitu putri Sultan Hasanuddin dengan. Memang terkadang yang menjadikan lebih eratnya sebuah hubungan antar kerajaan dapat lebih kokoh lagi dengan adanya hubungan perkawinan, sehingga lebih erat kekerabatannya. Bahkan pada kondisi tertentu hubungan perkawinan ini bersifat politik, agar dapat melekatkan kedua kerajaan itu.
SEPUTAR PERJANJIANGOWA DENGAN WAJO
Biasanya hubungan antar satu kerajaan bila sudah terjalin dengan baik, maka diikuti dengan suatu perjanjian-perjanjian. Perjanjian ini untuk mengingatkan antar keduanya atas apa yang telah disepakati. Sama halnya dengan Kerajaan Gowa dengan Wajo setelah membina hubungan baik, meskipun juga ada intrik perang, tetapi ada beberapa perjanjian yang menyertai hubungan mereka.
Seperti berikut ini setelah selesai perjanjian antar Gowa dengan Wajo, mereka kembali ke Cenrana. Tiga hari kemudian Raja Gowa menyampaikan kepada Arumpone bahwa ia mengetahui dari To Sanrangeng DatuBaringeng tentang berpihaknya Bone pada Wajo. Hal ini diakui oleh Arumpone, sebagai hukumannya diwajibkan membayar denda sebanyak seratus ekor kerbau. Demikianlah (LSW; 171-177) menggambarkan latar belakang dan lahirnya perjanjian Gowa-Wajo tersebut. Kisah ini dituturkan pula oleh KR ( Noorduyn, 1955; 222), dan VT 261 (tidak berbeda) disatu pihak berbeda dengan LSW di lain pihak, meskipun tidak prinsipil, kecuali tambahan yang lainnya sama dengan perjanjian Wajo-Luwu (butir 2.2.40) dalam KR (Noorduyn, 1955: 222), berikut ini:
Iana kualelau Karaeng, anak engngak ri Gowa, balinna Wajo balinna Gowa. Nakdekualaoko ri musuk, sitinroknik limawajukkik mua kiattaroi bokong, sewali palatukkeng siwali parewekkang. Baddekko mallopio, tessitinroknik, apak tekkuisseng, mallopie. Tudammunak ri bolaku mammanassako pabeta, napabeta barek Gowa mammusuk napada pabeta Wajo. Temmurekduk wesseku, temmulekgak warekkekku, temmitimpak sarewoku, temmusessek balawo ri tampukku.
Artinya:
Adapun yang kumohon karaeng, anaklah saya pada Gowa, musuh Wajo, musuh Gowa.Jika engkau pergi berperang kita beriring, di lengan bajukulah kuisi bekal.Sebelah untuk berangkatku, sebelah untuk memulangkanku.Jika engkau berperahu maka kita tidak beriring, karena aku tidak dapat berperahu.Aku hanya duduk di rumahku mendoakan kemenanganmu.Jika Gowa menang berperang, maka menang pula wajo.Tidak engkau cabut ikatan padiku, tidak kau sikap tikarku, tidak engkau bedah tikus dalam kandangku (Syarifuddin, 1989: 270).
Jika dalam perjanjian Wajo-Gowa sebelumnya (butir 2.2. 41) status Wajo terhadap Gowa adalah anak ina, maka dalam perjanjian berikut adalah ata (Wajo) dan puang (Gowa). Dalam perjanjian yang pertama itu, sebenarnya Wajo Berjaya dalam peperangannya melawan Gowa (atas bantuan terselubung Arungpone) tetapi, atas saran Arungpone Wajo manganriwarani (menyerah berani) kepada Gowa dan Luwu.diakibatkan lahirlah status anak ina tersebut. Bantuan Bone kepada Wajo pada akhirnya diketahui oleh Raja Gowa dari Datu Baringeng, hal ini menyebabkan Bone dijatuhi denda seratus ekor kerbau oleh Gowa.Sebulan setelah kejadian ini, menurut KR (Noorduyn, 1955: 224).Bonepun menyerang dan menaklukkan Baringeng.
Kemudian perjanjian lainnya yang melibatkan Gowa dan Wajo yaitu menyebutkan setahun setelah perselisihan antara orang Otting dengan Sidenreng. Setelah setahun berperang tanpa akhir, Sidenreng meminta bantuan Gowa, sedangkan Otting dibantu oleh Wajo.Wajo dipukul mundur hingga ke Sekkanasu (karena takut terkejar ke Wajo, yang berarti kalah di negerinya sendiri.Dan keesokan harinya mereka ke Anakbanua membawa barang-barang (sebagai timpak sarewo, LSW; 183 menyebutnya sekbukati) kepada Tunipalangga (Raja Gowa X; 1546-1565) (Noorduyn, 1955: 226).
Isi perjanjian menurut versi LSW: 183 adalah sebagai berikut:
Iamami napauda Makdualeng ri karaengnga To Nipalangga amaseangji karaeng Wajo mualai cekaekku mapuenna kuata. Nakedda Tu Nipalangga: ianaritu To Wajo uwarekkeng massek nasakbi dewata seuwae, ataekko kupuang, ianu kusuroakko, iani mepopauk. Makeddai To Makdauleng: Angkana kulle sebawa kupoadecengnge. Makeddai To Nipalangga: ala engkapa tau melorengi wajak anak?
Ini sajalah yang dikatakan To Makdauleng kepada karaeng Tu Nipalangga: kasihanilah Wajo, karaeng, ambillah (harta benda) ku yang sedikit, dan puenglah engkau,dan atalah aku. Maka berkatalah Tu Nipalangga: itulah orang Wajo yang kuoegang erat disaksikan dewata Isa bahwa engkau ata dan aku puang. Berkata To Makdauleng: seabatas kemampuanku dan sepanjang mendayangku kebaikan bagiku. Berkata Tu Nipalangga: apakah ada orang yang menghendaki keburukan bagi anaknya?.
Menurut KR (Noorduyn, 1955: 226)
Nakkeda To Makdauleng: Ammasempak karaeng, mualai cekdekku, kuelliwi saraku mupuang kuata. Nakedda To Nipalangga: kutarimanitu angnganromu, to Wajo. Ianaritu nasakbi dewata seuae, ataekko kupuang, iani kusuroko iani mukadoi. Nakado To Makdauleng: iok karaeng, angkanna kuale nannia kupodocenge.. Nakedda karaenga: naleng engka puang malerengi najak atanna?.
Maka berkatalah To Makdauleng: kasihanilah saya karaeng, ambillah harta benda sedikitku, kubeli kesedihanku, maka puanglah engkau, dan atalah saya. Maka berkata To Nipalangga: telah kuterima penyerahnmu itu, orang Wajo. Itulah yang disaksikan oleh dewata Esa bahwa engkau ata dan aku puang, apa yang kusuruhkan, itu yang engkau setujui. MengangguklahTo Makdauleng: Ya karaeng sebatas kemampuanku, sepnjang mendatangku, kebaikan bagiku. Maka berkata karaeng: adakah yang menginginkan keburukan bagi atanya.
Perjanjian Gowa (Bone-Luwu) dengan Wajo
Menururt LSW: 194-196, perjanjian Gowa disertai Bone dan Luwu dengan Wajo ini melalui suatu proses permintaan Gowa (puang) kepada Wajo (ata), agar memerangi Batulappak. Jika Wajo berhasil menaklukkannya, maka kepadanya dijanjikan untuk menjadikan Batulappak kembali sebagai lilinya, dan akan dibebaskan dari statusnya sebagai ata. Jika gagal statusnya tetap dan tidak diikutsertakan ke Bulo-bulo Sinjai.Wajo berhasil menaklukkan Batulappak dalam sebulan menyerahlah orang Batulappak, Toraja, Duri, dan segenap lilinya, kembali mengikuti (marola) kepada Wajo.Tugas berikutnya adalah bersama Bone dan Luwu menyertai raja Gowa menyerang Bulo-bulo (Syarifuddin, 1989: 273).
Setelah Bulo-bulo ditaklukkan, Wajopun diundang oleh Gowa untuk mengadakan pertemuan (situadengeng) bersama Luwu dan Bone
Naengkana assituduangenna ia eppak, mukeddai karaenge ri Gowa ri arungmatoa: iamai wolirakko seajing, dek wisempa lekengi ininnwana to Wajo-e napalekjaku ri tanae Bulo-bulo, sibawa Arungpone enrennge datue ri Luwu. Nae madecenni masseajing Gowa na Wajo padatoha riolo, mupopalili-I paimeng lilimu angkana, Lamuru, Enrekang, Massenrepuluk, Pitu ri awa, Mario ri awa silokle Bilokka, Wonio, Corowali, muwakettoi messek paimeng ada akkasidengeng ri Topakcekdok. Muakattoi messek paimeng ada assikadongeng ri Topaccekdok. Mualatio mupopalilik-I paimeng angkanna Amali, Lamuru, Mampu, Ujumpuluk.Mualatoi dokok iananre temmawari Baringeng sipalilik, Tanatengge, Lumpullek, Malluseksalok sibawa Patampanuae. Nakkeda Arummatoae: ianaritu adamu karaeng ukatenni massek, uampuk-I ugala-gala, namanak anak appoku. Nakado Karaengnge, Arungpone, Datue ri Luwu, nainappa padanrewek ri wanuanna karaennge arungpone Datu ri Luwu. Nasorok tona Arungmatoae sibawa to Wajo-e sillik ri wanuanna.
Maka ada kesepakatan (pertamanya) berempat, berkatalah Karaeng Gowa kepada Arungmatoa: engkau kuundang kerabat tidak ada lain karena tidak da yang dapat kubalaskan terhadap budi baiknya orang Wajo yang menginjakkan kakiku di negeri Bulo-bulo bersama Arumpone dan Datu Luwu. Maka kini baiklah dikerabatkan (masseajing) Gowa dengan Wajo sebagaimana dahulu, dan engkau jadikan lilikmu (yang dahulu) kembali sebagai lilikmu hingga Lamuru, Enrekang, Massenrempuluk, Pitu ri awa, mari ri awa, berikut Belokka, Wanio Cerowali, dan meneguhkan kembali perjanjian yang kita sepakati di Topaccekdok. Dan engkau ambil pula kembali sebagai palilikmu hingga Amali, Lamuru, Mampu, Ujumpuluk.Dan engkau jadikan pula dokok inanre temmawari (bekal nasi tidak basi) Baringeng beserta segenap paliliknya, Tanatennnga, Lumpulek Mallusek salok bersama Patampanua. Maka berkatalah Arungmatoa: itulah perkataanmu karaeng, kupegang teguh, kupalang, dan kupakai, diwarisi oleh anak cucuku. Mengannguk (setujulah) karaeng, Arungpone, Datu Luwu.Balik pulalah Arungmatoa bersama orang Wajo selilik ke negerinya) (Syarifuddin, 1989: 274).
Seluruh episode yang mendahului perjanjian di atas terdapat juga, dalam KR dan VT 261 adalah tentang waktu terjadinya peristiwa yakni tiga tahun masa pemerintahan Massaoloccik-e sebagai Arung Matoa Wajo. Selain itu perbedaannya hanya perbedaan redaksional yang tidak prinsipil seperti nalatukna situdengeng ia tellu, kuampuk kugala-gala, ia sininna palilikumemang alamanrnni (Noorduyn, 1955: 230-234).
Selain Wajo memiliki beberapa perjanjian dengan kerajaan lain, Wajo juga memiliki permasalahan internal, yaitu adanya konflik diantaran Wajo Barat dengan Wajo Timur. Keduanya diakhiri dengan perjanjian, seperti berikut:
Perjanjian Wajo ri lauk denga Wajo ri aja (Palippu, Datak, To Tinco)
Dalam LSW: 187-189 dikisahkan perselisihan, peperangan, dan perjanjian antara Wajo (Wajo Timur) dengan Palippu, Data, dan Totinco (Wajo Barat). Perselisihannya terjadi dua tahun lebih setelah sekbukatinya Wajo diambil oleh Gowa, merusak hubungan kekerabatan (aseajingeng) kedua belah pihak.Atas bujukan Sidenreng, Wajo timur mengalihkan hubungannya ke Gowa. Usaha pendekatan Wajo telah dilakukan berulang kali tetapi gagal, bahkan menimbulkan perang saudara selama lebih dari setahun dengan korban yang besar (diantaranya: Annyaramparanie, To Sangkawana, pillak Wajo). Peperangan berakhir setelah to Pakerek (Arung Palippu), La Temmattumpuk (arung Datak), dan Daeng Majettak (Arung Totinco) menyerah kepada Wajo: naia jancinna Wajo ri lau Wajo ri aja, anginni Wajo na raukkaju Palippu, Datak, Totinco. (Adapun janjinya Wajo timur dengan Wajo barat, anginlah Wajo dan dedaunan Palippu, Datak Totinco)(Syarifuddin, 1989: 272).
Baik LSW maupun KR (Noorduyn, 1955: 225-226) melukiskan diplomasi bolak balik dengan membawa waramparang secara panjang lebar. Bahkan KR tidak menyinggung materi perjanjiannya,tetapi menyinggung bahwa perang berakhir setelah pergantian dua Arungmatoa (To Giang dan Loccik-e).
Setelah kemenangan, Karaeng Gowa, Arung Matoa Wajo,, dan Datu Luwu bertemu di Baruga Baliya untuk memperbaharui Perjanjian Toppaceddo yang dikenal dalam bahasa bugis singkeru patolae. Tahanan orang Bone dibagi tiga, namun Wajo menolak bagiannya dengan mengatakan bahwa Bone dan Wajo adalah satu negeri. Selain itu Wajo tidak mengambil kesempatan untuk mengambil kembali dari Bone daerah-daerah yang dianggap miliknya seperti Timurung, Amali, Mampu, Silong, Bunne, dan Pammana (Andaya, 2004: 53).
Sehubungan dengan Perjanjian Gowa (Bone dan Luwu) Wajo ini, dalam (LSW: 198-199) dikisahkan bahwa beberapa waktu kemudian (masih dalam masa pemerintahan Massaolocik-e) terjadi sengketa antara Wajo dengan Lamuru (yang semula menjadi lilik Gowa), tetapi dikembalikan ke dalam kekuasaan Wajo, menurut perjanjian Bulo-Bulo. Dalam sengketa ini Gowa membantu Lamuru dan menyampaikan kepada Bone agar tidak ikut campur dalam persoalan ini.Oleh Bone, Gowa diingatkan bahwa peran serta Gowa bertentangan dengan kesepakatan di Bulo-Bulo, sedangkan permintaan Gowa agar Bone tidak ikut campur untuk membantu Gowa merupakan penyimpangan dari perjanjian sitotengenna sukdange lateariduni dan kesepakatan di bola dewatae (di Tamalate) (Syarifuddin, 1989: 275).[2] Bulo-Bulo mengirim 1000 orang ke Makassar membantu Gowa, untuk melancarkan pertempuran di utara (Andaya, 2004: 154).
Wajo selain berhubungan baik dengan Gowa memiki hubungan baik juga dengan Bone dan Soppeng, Ketiga kerajaan ini kemudian membentuk persekutuan yang dinamakan Tellumpoccoe pada 1582. Hubungan damai dengan tanah Bone hanya dapt bertahan selama kurang lebih 10 tahun. Ketegangan-ketegangan baru terjadi ketika tanah Bone kelihatan memperkuat pertahanannya dalam negeri,dengan cara memobilisasi kekuatan-kekuatan pertahanan di wilayah-wilayah perbatasan Wajo dan Soppeng yang selama ini setia kepada kekuasaan Gowa mulai diusuk. Sehingga kedua negeri itu mulai mendekatkan diri ke Tana Bone.Demikianlah maka Raja Gowa melakukan tekanan-tekanan keras kepada Wajo dan Soppeng agar tetap setia pada kekuasaan Gowa.Kira-kira tahun 1582 Arumpone La Tenrirawe Bongkange, bersama Arummatoa Wajo. La Mangkace To Damang serta Datu Soppeng, La Mappaleppe Patolae menyepakati suatu persekutuan tiga kerajaan di persekutuan tiga kerajaan bugis itu yang dikenal dengan nama lamumpatue ri Timurung (penanaman batu di Timurung). Untuk menentang tekanan kemungkinan akan adanya invasi dari Gowa. Kejadian mattelumpoccoe (persekutuan tiga negeri) itu menimbulkan murka sombaya ri Gowa, dan mulai disulut api peperangan kembali kepada tiga kerajaan yang bersekutu itu (Poelinggomang, dkk, jilid 1, 2004: 59).[3]Wajo menolak tawaran Bone dan Soppeng untuk memperbaharui Perjanjian Tellumpoccoe dan memilih untuk memperkuat perjanjian dengan Gowa (Andaya, 2004: 173).
Persaudaraan dan persahabatan yang telah dibina itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus, keretakan hubungan mulai terjadi sehubungan dengan usaha penguasa Kerajaan Bone memperkuat pertahannya dengan cara memobilisasi kekuatan laskarnya di wilayahnya. Kegiatan itu dipandang sebagai usaha untuk memikat Kerajaan Soppeng dan Wajo untuk mengalihkan kesetiaan mereka kepada Bone. Oleh karena itu penguasa Kerajaan Makassar terus melakukan tekanan terhadap dua kerajaan itu penguasa Kerajaan Makassar terus melakukan tekanan terhadap dua kerajaan Soppeng dan Wajo itu melapangkan penguasa Bone berhasil mengalihkan kesetiaan penguasa dua kerajaan itu padanya.
POLITIK DIANTARA GOWA DENGAN WAJO
Strategi politik marak dilakukan sejak zaman kerajaan, karena beberapa kerajaan untuk memperluas wilayahnya menggunakan cara-cara tertentu. Seperti bagaimana Pemerintah Belanda turut campur dalam urusan antar kerajaan, padahal alasan utama Belanda adalah ingin menguasai rempah-rempah di Maluku. Oleh sebab itu, agar dapat menguasai wilayah-wilayah kerajaan yang ada bahkan dengan mengadu domba. Bone pada saat itu yang merasa tidak mampu menandingi Kerajaan Gowa, sehingga dengan cara bekerjasama dengan Belanda untuk menaklukkan Gowa.
Pembentukan persekutuan tiga kerajaan besar itu (mattellumpoccoe) dipandang sebagai suatu tindakan penghinaan terhadap kedudukan Kerajaan Makassar.Oleh karena itu pada tahun 1583 dilancarkan serangan terhadap Kerajaan Wajo, namun serangan itu berhasil dipukul mundur. Oleh laskar Wajo yang mendapat bantuan dari laskar Bone dan Soppeng,hal itu mendorong penguasa Makassar kembali membenahi kekuatan kelaskarannya dan kembali melancarkan serangan terhadap Kerajaan Bone tahun 1585. Serangan ini diharapkan dapat menaklukkan Bone, namun ternyata tidak berhasil. Kegagalan itu mendorong penguasa Makassar kembali bergiat membangun kekuatan kelaskarannya setelah lima tahun mempersiapkan pasukan perang, raja Makassar (raja Gowa XII) tampil memimpin laskarnya untuk menyerang Wajo tahun 1590.
Pada1583 laskar Gowa menyerang Tana Wajo, namun serangan itu dapat dipukul mundur oleh orang Wajo. Dua tahun kemudian menyerang Tana Bone, namun serangan itupun tidak membawa hasil. Dalam tahun 1590 raja Gowa ini memimpin sendiri penyerangan atas Tana Wajo, serangan inipun tidak membawa hasil. Bahkan raja Gowa ke XII, I Manggurai Daeng Mammeta mengalami nasib yang menyedihkan baginda berangkat dari Gowa dengan perahu perang menuju ParePare.Tujuanjalur dari ParePare ia akan memobilisasi pasukan untuk menyerang Wajo,dalam perjalanan itulah baginda diamuk oleh seorang pengikutnya.Yaitu saudara sesusu baginda yang bernama I Lolo Tamakkana sehingga baginda mangkat dalam perjalanan itu,oleh karena itu baginda di gelar Tunijallo (orang yang diamuk).Apa yang menjadi sebab musabab pengamukan atas baginda yang dicintai oleh para pembesar dan rakyat,beliau berada di atas tahta selama kurang lebih 25 tahun (1565-1590) (Poelinggomang, dkk, jilid 1, 2004: 59).
Memasuki abad XVII, keadaan di Sulawesi selatan mengalami perubahan yang besar.Hal itu bukan hanya karena era perdagangan maritim ketika itu telah mengundang pedagang-pedagang dari Eropa, Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Denmark.Tetapi terpenting adalah proses syiar Islam di Sulawesi Selatan. Pada tahun 1605 raja Tallo yang menjabat Mangkubumi kerajaan Makassar, I Malingkang Daeng Manyonri (1593-1636) menjadi muslim dan mendapat nama baru Sultan Abdul Awal dan raja Gowa.Yang menjadi raja Kerajaan Makassar I Malingkaan Daeng Manyonri (1593-1636) menjadi muslim dan mendapat nama baru Sultan Abdullah awal Islam dan raja Gowa yang menjadi raja Kerajaan Makassar, I Mangngarangi Daeng Manrabia (1593-1639) menjadi muslim dengan nama Sultan Alauddin. Penerimaan mereka itu diikuti pula oleh rakyatnya. Dua pemegang kendalai politik Kerajaan Makassar itu telah menjadi muslim menetapkan agama Islam menjadi agama kerajaan, dan berkehendak menyiarkan Islam di seluruh kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Keputusan dan keinginan itu didasarkan oleh keyakinan mereka bahwa Islam adalah agama yang suci dan benar melebihi religi yang dianut sebelumnya.
Kerajaan Gowa menginginkan beberapa kerajaan agar memeluk agama Islam, oleh sebab itu maka kepada Bone, Wajo, dan Soppeng dianjurkan memeluk agama Islam. Namun bagi ketiganya tidak memenuhi keinginan Gowa, maka diputuskan untuk menyerang Bone, Wajo, dan Soppeng. Diambil tindakan memerangi ketiganya, perang ini biasa dikenal dengan musu selleng.
Menurut sumber Bugis, serangan Makassar pertama dirahkan kepada Soppeng melalui Sawitto. Pada tahun 1608, tetapi ditangkis setelah tiga hari pertempuran oleh pasukan gabungan Bone, Soppeng, Wajo. Karaeng Matoaya sendiri menurut sumber yang sama bisa lolos dalam pertempuran, karena nasib mujurnya. Serangan Gowa yang kedua dilancarkan tiga bulan kemudian, dengan persiapan yang perang yang lebih baik dan dibantu oleh Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan Islam yang pertama di Sulawesi Selatan,yang bersekutu dengan Gowa, karena alasan agama dan politik. Sedangkan serangan ketiga pada tahun berikutnya mengarah kepada kekalahan penguasa Soppeng dan masuknya ke dalam Islam untuk pertama kalinya penduduk Sidenreng dan kemudian Soppeng.Dalam musim kemarau berikutnya serangan ini ditujukan terhadap wajo dan kini hanya tinggal sedikit tanda kerjasama di antara negara-negara Bugis non Islam.Mungkin karena syarat-syarat lunak yang ditawarkan oleh Karaeng Matoaya setelah beberapa kali kalah, orang Wajo meminta perdamaian.Tahun 1609, daerah Sidenreng dan Soppeng mulai menerima Islam, Raja Soppeng XIV yang bernama Beowe mengucapkan syahadat.Pada tahun 1610 akhirnya daerah Wajo menerima Islam (Poelinggomang, dkk, jilid 1, 2004: 91).[4]
Ketika Islam masuk di tiga kerajaan Bone, Soppeng, Wajo.Pada masa itu Kerajaan Gowa sebagai kerajaan besar.Pada saat Islam sudah masuk ke Kerajaan Gowa melancarkan sejumlah perang (mususelleng) untuk memaksa beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, agar menerima Islam. Berturut-turut daerah di Islamkan seperti yang ditegaskan oleh Samuel Denis dalam surat kepada Dewan XVII tahun 1612 bahwa raja Gowa dengan paksa telah menundukkan orang-orang Bugis dan kini mereka menjadi moor (Muslim). Soppeng (1609), wajo (1610), Bone (1611) (A. Thomassen A. Theussink van der hoop, N.J. Krom, R.A. Kern: 357; Hamid, dkk, 2007: 124-125). Hal ini juga disebutkan dalam lontarak bilang raja Gowa Tallo:
Setelah berakhir perang Gowa untuk mengIslamkan kerajaan-kerajaan Soppeng, Wajo, dan Bone yang terikat dalam Perjanjian Tellumpoccoe. Maka Bone yang saingan Gowa dalam merebut pengaruh di Sulawesi Selatan dapat dikalahkan pada 1611, setelah terlebih dahulu berturut-turut Sidenreng, Soppeng, Soppeng, dan Wajo menyerah dan menerima Islam. Mulai saat itu Kerajaan Bone praktis berada di bawah pengaruh kekuasaan Gowa yang tumbuh sebagai kerajaan maritim (Abidin, 1999: 185).
Wajo yang merupakan daerah taklukkan Gowa yang berstatus ata (budak) mendapat perlakuan yang sangat baik oleh Gowa. Terlebih-lebih lagi pada waktu Arung Matoa Wajo La Tenri Laik To Sengengeng memperistrikan putri Sultan Hasanuddin. Pada 1640 Bone memaksakan ajaran agama Islam yang keras, namun bagi Wajo beranggapan bahwa ancaman Bone terhadap Wajo bukanlah masalah agama. Tetapi persoalan sekuler, yaitu hendak menaklukkan Wajo, yang menyatakan tidak terikat pada Perjanjian Tellumpoccoe. Wajo merasa aman berkawan dengan Gowa dari pada Bone (Andaya, 1981: 40; Abidin, 1999: 188).
Politik yang moderat Sultan Malikussaid dan Mangkubuni Gowa Karaeng Pattingalloang, sayang sekali tidak diteruskan oleh para penggantinya yaitu Sultan Hasanudin yang diangkat menjadi raja pada 1653, Mangkubumi yang baru Kareng Karunrung (putra Karaeng Pattingalloang) ternyata tidak memiliki kecakapan dan watak seperti ayahnya. Mungkin mereka merasa Kerajaan Gowa yang diwarisi ayahnya sudah terlalu kuat, sehingga tidak perlu bertindak lunak terhadap kerajaan-kerajaan taklukannya (Abidin, 1999: 190).
Begitu besar arti kemenangan Gowa ini, sehingga kekalahan yang diderita pihak lawannya, tidak lagi memberikan kemungkinan kerajaan-kerajaan Bone, Soppeng, wajo dapat bersatu dalam waktu singkat. Dengan kata lain, bahwa kekalahan mereka ini mengakibatkan rusak dan putusnya kembali tali persaudaraan Persekutuan Tellumpoccoe.Pada saat Islamisasi penguasa Wajo terjadi dialog antara Karaeng Matoaya dan penguasa setempat, seperti yang disampaikan dalam hikayat Wajo, KaraengMatoaya bertanya kepada pemimpin Wajo.
Aku berkenan menerima sebuah tongkat kecil dariku, agar kalian mengikuti Gowa masuk Islam dan kalian semua menyembah kepada satu tuhan….to appamole (pimpinan Wajo) menjawab kepada Karaeng Matoaya, kita telah bersumpah syahadat. Paduka dan kami semua akan menyembah satu tuhan. Aku meminta agar beras kami jangan dirampas, tikar kami jangan digelar dan tikus kami jangan dilepaskan dari sarangnya. Maka kami akan mengikuti Gowa, ketika Gowa berperang kami akan mengikuti Gowa dan aku akan menyingsingkan lengan baju, yang satu bagi perjalanan pergi dan yang lain bagi perjalanan pulang. Ketika Gowa menang dalam perang, begitu juga Wajo menjadi pemenanganya. Jika engkau pergi dengan kapal, maka kami tidak akan mengikuti, karena saya tidak bisa berlayar. Aku akan duduk di rumah dengan harapan engkau akan menang, dan jika Gowa menang maka Wajo yang akan menang. Baru kemudian Gowa dan Wajo akan dipisahkan karena tuhan memisahkannya, karaeng berkata Aku sependapat dengan apa yang kau katakan, bangsa Wajo aku memberikan apa yang kalian minta, ketika anda berusaha menghornati Allah Ta’ala dan mengikuti Nabi Muhammad SAW (Poelinggomang, dkk, jilid 1, 2004: 91)
KaraengMatoaya kemudian menghadiahkan kepada para pemimpin Wajo pakaian yang layak untuk sembahyang seperti yang dituntunkan dalam syariat Islamdan lagi menurut sumber Wajo, dia menerima keinginan mereka (orang Wajo) untuk mengadakan pesta besar.Arung Matowa Wajo XV La Sangkuru Patau (1607-1610) setelah memeluk Islam bergelar Sultan Abdurahman (Patunru, 1983: 52).
Karena panjangnya masa pemerintahan KaraengMatoaya dan Sultan Alauddin, ukuran-ukuran yang mereka gunakan untuk berhadapan dengan masalah tertentu memperoleh kekuatan untuk disahkan sebagai ukuran yang digunakan sehari-hari di Gowa dan kerajaan-kerajaan bawahannya. Ketika Karaeng Matoaya diminta untuk menyelesaikan pertengkaran antara ArungMatoa Wajo dan saudara laki-lakinya, dia enggan terlibat karena takut mencampuri hukum adat Wajo (Patunru, 1984: 16; Abidin, 1971: 63; Andaya, 2005: 46)[5]
Salah satu strategi yang tidak terlupakan oleh Speelman dan tata ulang perjanjian dengan raja-raja di Sulawesi Selatan adalah politik adu domba.Itulah sebabnya dalam salah satu butir Perjanjian Bungaya, raja-raja dan kerajaannya masing-masing dibagi dalam dua kelompok.Kelompok pertama adalah kelompok Bugis.Kelompok ini berada di bawah kepemimpinan Kerajaan Bone.Kerajaan-kerajaan yang tergolong dalam kelompok itu adalah Kerajaan Bone, Soppeng, Binamu, Bangkala, Laikang.Keterlibatan kerajaan-kerajaan itu dalam kelompok ini karena mereka memihak kepada Arung Palakka (Bone) dalam Perang Makassar.Sehubungan dengan itu Arung Palakka diberi gelar oleh pengurus Kompeni (VOC) konink der Boegis (raja orang Bugis).Kelompok kedua adalah kelompok Makassar yang berada dalam kepemimpinan raja Gowa. Kerajaan-kerajaan yang tergolong dalam kelompok ini adalah semua kerajaan di Sulawesi Selatan yang berpihak kepada Kerajaan Makassar dalam Perang Makassar yang tidak tergolong dalam kelompok Bugis, antara lain Mandar, Luwu, Wajo, Sidenreng, Agangnionjo, kerajaan-kerajaan Malussetassi, Suppa, Sawitto, Enrekang, dan Toraja (Poelinggomang, dkk, jilid 1, 2004: 132).[6]
Perang di Pasempe antara Gowa dengan Bone pada 1644, sekali lagi Bone terkalahkan. Pemimpin utama Bone, La Tenriaja Tosenrima, Arung Kung dan Daeng Pabila ditahan dan dibawa ke Gowa. Gowa mempertegas kekuasaan terhadap Bone dari daerah bawahan menjadi budak, seluruh keistimewaan yang telah dinikmati Bone dicabut dan seluruh negeri ditempatkan sebagai abdi Gowa. Setelah kemenangan ini Karaeng Gowa, Arung Matoa Wajo, dan Datu Luwu bertemu di Baruga Buliya dan memperbaharui Perjanjian Topaceddo atau Singkeru Patola. Tahanan orang Bone dibagi tiga, namun Wajo menolak bagiannya dengan mengatakan Bahwa Bone dan Wajo adalah satu negeri, selain itu Wajo tidak mengambil kesempatan untuk mengambil kembali dari Bone daerah-daerah yang dianggap miliknya seperti Timurung, Amali, Mampu, Sailong, Bunne, dan Pammna (Andaya, 2004: 53).
Keberhasilan serangan Gowa di daerah pedalaman amat berlawanan dengan kesulitan yang dialami dalam menghadapi Arung Palakka dan Belanda di bagian barat Sulawesi Selatan. Pasukan Makassar di bawah syahbandar Daeng Makkulle, bergerak melewati Soppeng dan membakar semua yang dilaluinya. Tidak ada pasukan bugis di Soppeng, maka rakyat mengungsi ke Tanete dan Segeri, di situ pasukan bugis berkumpul di bawah Arung Belo To Sadeng (Abidin, 2004: 156-157).
Pada 29 Agustus 1669 Gowa mengirim utusan ke Wajo, dia mengirim utusan ke Wajo untuk menawarkan maaf ke wajo, atas peran pada perang yang lalu. Namun utusan ini dihalangi sehingga tidak dapat menyeberangi Sungai Cenrana menuju Wajo. Beberapa bulan kemudian, akhirnya Wajo setuju meneima surat dari Belanda. Meski demikian, situasi tetap tidak berubah, dilaporkan bahwa Karaeng Gowa, Sultan Amir Hamzah mengirim Karaeng Jarannika ke Wajo untuk mendorong rakyatnya agar terus melawan dan mencegah pergerakan Bone ke Wajo. Walaupun telah mengakui berlakunya Perjanjian Bungaya, Gowa telah menawarkan bantuan kepada Wajo (Andaya, 2004: 170).
Sepanjang paruh pertama 1670 Wajo terus mengabaikan atau memandang setiap permintaan dari Kompeni dan Arung Palakka untuk menyerah, Arung Palakka memimpin pasukan bugis untuk menyerang Wajo. Pada 1 Desember 1670 setelah tiga bulan mengepung Tosora, akhirnya Tosora berhasil ditaklukkan. Pada 23 Desember 1670 seluruh pemerintahan Wajo, yang terdiri dari Arung Matoa baru La Palili Tomalu Puanna Gella, Ranreng Tua, Ranreng Talotenreng, Arung Bettempola ditambah para bangsawan yang lebih rendah tiba di Fort Rotterdam.
Pada akhir 1670 penghancuran total Tosora dan perusakan sistematis daerah pinggiran Wajo menambah pertumbuhan arus pengungsi meninggalkan Sulawesi Selatan. Perantauan orang Wajo setelah 1670 skalanya ternyata lebih besar disbanding arus pengungsi dari negeri-negeri di Makassar dan menyebabkan perubahan jumlah penduduk yang mencolok di Sulawesi Selatan (Norduyn, 1955: 128; Andaya, 2004: 261). Kelompok-kelompok yang melakukan migrasi ke seberang begitu banyak hingga armada mereka menyerupai kota terapung. Diantara pemimpin Makassar yang terkenal adalah Karaeng Tallo Sultan Harun Rasyid, Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanuddin, dll.
Beberapa bulan setelah kedatangan Cops pada Januari 1678, Arung Matoa dan Bangsawan Wajo datang ke Fort Rotterdam menegeluhkan perlakuan buruk orang Bone terhadap Wajo. Mereka melaporkan bahwa Arung Palakka telah merebut beberapa wilayah Wajo atas dasar perjanjian yang ditandatangani 1670 setelah kekalahan Wajo di Tosora, wilayah-wilayahnya adalah Pammana, Timurung, Wugi, dan Sengkang (setengah Sengkang masih berada di Wajo. Corp meyakinkan Wajo bahwa ia akan mengembalikan wilayah-wilayah ini. Namun pandangan Wajo terhadap Corp dan Arung palkka adalah satu.Rakyat Wajo bukanlah budak Arung Palakka atau Bone, tapi bawahan dari Kompeni.Menurut pasal 1 perjanjian yang ditandatangani Kompeni dan sekutu-sekutu dengan Wajo pada 23 Desember 1670, bahwa wajo menjadi kerajaan bawahan Kompeni.Corp menegaskan pada Arungmatoa Wajo bahwa sebagai bawahan Kompeni, dia harusnya melaporkan semua tindakan penindasan yang dilakukan Bone terhadap Wajo (Andaya, 2004: 236-237; Mattulada, 1998: 258).Pada 1679, di Jawa Timur terdapat 4000 pengungsi, dalam masalah ini para pengungsi melawan dan tersisih, awalnya dari Sultan Banten dan kemudian Trunajaya, dan ini benar-benar meruntuhkan semua harapan untuk meperoleh bantuan dari penguasa untuk merebut kembali Gowa dan Wajo.
Pada 16 mei 1734 dibawah pimpinan kedua tokoh laskar itu Gowa dan Wajo melakukan serangan ke Kota Makassar, pada pusat-pusat kedudukan Belanda. La Madukelleng menyerang dari Kampung Tamajenne, dan pasukan Karaeng Bontolangkasa menyerang dari Kampung Maricaya. Pertempuran-pertempuran pasukan Gowa dan Wajo melawan Belanda yang mendapat bantuan dari Bone yang berpaling memihak Belanda setelah mendapat perintah dari Ratu Bone Batari Toja yang berada dalam perlindungan Belanda di Makassar. Pertempuran berlangsung beberapa hari lamanya, Istana Arungpone di Bontoala dibumihanguskan. Kekuatan pasukan Gowa dan Wajo mulai tertekan oleh kekuatan Belanda, sehingga mengundurkan diri ke arah selatan kota sambil melakukan perlawanan. Dalam pertempuran Karaeng Bontolangkasa terkena peluru kesasar dari pasukannya sendiri, beliau diungsikan ke Kampung Bontoparang di wilayah Gowa. Lamadukelleng meninggalkan Gowa dan kembali ke Wajo, dan di sana ia mepersiapkan tenaga perang yang lebih tangguh (Mattulada, 1998: 294).
PENUTUP
Kerajaan Gowa muncul sebagai kerajaan besar dan mencapai puncak keemasan pada abad XVII, Kerajaan Gowa terbentuk Sembilan pemerintahan otonom yang disebut bate salapang atau kasuwiyang salapang (gabungan/federasi). Kerajaan Gowa saat mencapai kejayaannya yang lebih popular dengan kerajaan kembar Gowa Tallo. Pada masa kekuasaannya Gowa menaklukkan beberapa kerajaan seperti kerajaan yang tergabung dalam tellmpoccoe(Bone, Soppeng, Wajo)
Khusus Kerajaan Wajo, Kerajaan Gowa memiliki hubungan baik dengan Wajo. Pada saat Kerajaan Bone menyerang Gowa bersama Belanda dan Soppeng.Kerajaan Wajo tidak ikut menyerang Gowa.Namun pada saat Islam masuk menjadi agama kerjaan, karena di Gowa, maka Kerajaan Gowa berkehendak menalkukkan beberapa kerajaaan termasuk Tellumpoccoe, karena beberapa kerajaan tidak mau dijak masuk dan memeluk agama Islam. Oleh sebab itu Kerajaan Gowa memutuskan memerangi Bone, Soppeng, dan Wajo (musu selleng).
Hubungan antara Gowa dan Wajo, terkadang bersahabat, namun bisa menjadi bermusuhan.Namun pada saat Gowa kalah dalam perang Makassar, Otomatis wilayah yang di bawah kekuasaannya berubah menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Bone.Persekutuan Tellumpoccoe pecah, Kerajaan Bone dan Soppeng sudah tidak sehaluan dengan Kerajaan Wajo.Kerajaan Wajo sudah bergabung dengan Kerajaan Makasar di bawah kepemimpinan Kerajaan Gowa.
Melihat hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Wajo merupakan hubungan yang kadang baik, tetapi kadang juga terjadi konflik. Namun keduanya lebih sering terjalin kerjasama yang baik, karena sering saling bantu apabila ada yang membutuhkan. Beberapa perlawanan mereka saling bahu membahu melawan musuh, khususnya Kerajaan Bone yang memang sangat ingin menjadi kerajaan utama di Sulawesi Selatan. Wajo tetap bersama Gowa, walaupun sudah tergabung dalam persekutuan Tellumpoccoe. Bagi Wajo lebih baik bekerajasam dengan Gowa dibanding dengan Bone.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A. Zainal, 1985.Wajo Abad XV-XVII, Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan Dari Lontarak. Bandung: Alumni.
Abidin, A. Zainal, 1999. Capita Selekta Sejarah. Ujung Pandang: Unhas Press.
Badan Arsip Dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2007. Transliterasi Dan Terjemahan Lontarak Akkarungeng Ri Wajo (1).
Hamid, Abdullah, dkk. 2007. Sejarah Bone. Watampone: Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata.
Lontarak Sukkuna Wajo, Milik Andi Makkaraka, disalin kembali oleh Passingkang, berada di tangan Andi Zainal Abidin.
Mattulada. 1998.Sejarah, Masyarakat, Dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.
- D, Sagimun. 1992. Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan Dari Ufuk Timur. Jakarta: Balai Pustaka.
Noorduyn, J. 1955. Een Achtiende-ceuwese kroniek van Wadjo, Buginese Historiografie, s-Gravenhage: N.V. De Nederlandsche Boek-en Stendrukkerij v.h. H. L. Smits.
Patunru, Abdul Razak Daeng. 1983. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Patunru, Abdul Razak Daeng. Sejarah Wajo. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poelinggomang, Edward L, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan.
Syarifuddin, Amier. 1989. Perjanjian Antarkerajaan Menurut Lontarak. Ujung Pandang: Disertasi Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Walhoff, G.J dan Abdurrahim, tt.Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan.
[1] Selama ini Kompeni tertarik berhubungan dengan Sulawesi Selatan hanya ketika bersentuhan dengan rempah-rempah di Maluku. Untuk memperoleh rempah-rempah ini, mereka terpaksa harus berjuang menghadapi kekuasaan Gowa. Tujuan utama Kompeni di Maluku adalah ekonomi, yaitu untuk mengendalikan rempah yang merupakan bagian berharga dari perdagangan mereka.
[2]Menurut tradisi di Sulawesi Selatan, bahwa pada setiap kali ada pergantian raja dan mangkubumi, raja dan mangkubumi dilantik selalu harus memperbaharui perjanjian antar kerajaan. Demikian halnya dengan Karaeng Matoaya meninggal pada 1636 dan Raja Gowa Sultan Alauddin pada 1639, pengganti mereka Raja Gowa Sultan Malikussaid dan mangkubumi memperbaharui Perjanjian Toppaccedok dengan Kedatuan Luwu dan Wajo serta Perjanjian Tellumpoccoe.
[3]Pada pertemuan itu hadir pemegang kendali kekuasaan dari tiga kerajaan itu, yaitu La Tenriruwe Bongkange (raja Bone), La Mungkace Toudamang (Arung Matowa Wajo), dan la Mappaleppe Patolae (datu Soppeng).Tujuan utama pembentukan persekutuan ini adalah untuk saling menmbantu jika mendapat serangan dari pihak Kerajaan Makassar.
[4]Ketiga raja Bugis ini berpegang teguh pada perjanjian Tellumpoccoe yang telah disepakati oleh raja-raja pendahulunya. Penolakan seruan Gowa, karena didasarkan pengalaman perang sebelumnya yang masih mempunyai luka di hati, dendam, dan penderitaan yang belum terhapus. Masih segar ingatan mereka, ketikaq raja Gowa X I Manriogau Karaeng Lakiung, menaklukkan Kerajaan Lamuru, Cenrana, Salemekko, Gantarang, Wajo, Sawitto, Soppeng, dan yang lainnya dalam usaha memperluas kekuasaanya.
[5]Sumber Belanda cenderung menyamakan kekuasaan Arung Matoa Wajo dengan kekuasaan yang dimiliki kerajaan-kerajaan besar lainnya, Arung Matoa sebenarnya jauh dari kekuasaan sebesar itu. Dia dipilih oleh sebuah badan yang terdiri dari para bangsawan penguasa di Wajo yang dikenal dengan empat puluh penguasa (arung patappulo), dan kemudian dipilih oleh Arung Bettempola. Arung ini bersama dengan ranreng tua dan ranreng tallotenreng adalah jabatan keturunan yang mempunyai keistimewaan dan kekuasaan di Wajo, namun yang paling berkuasa adalah Arung Bettempola.
[6]Penataan itu pula yang mendasari dalam salah satu butir perjanjian itu, menempatkan raja Bone dan raja Gowa menjadi sekutu tertua. Hal itu berkenan dengan kedudukan dua raja itu menjadi pemimpin politik, bahwa dua kelompok itu akan bersaing meraih superioritas yang pada gilirannya melemahkan kedudukan kekuasaan mereka. Dalam kondisi demikian, pihak pejabat Kompeni dapat tampil menjadi perantara dan pelindung dari kerajaan-kerajaan sekutu itu.