Seminar Internasional dengan tema :Konflik dan Kekerasan: Rekonstruksi Sejarah dan Resolusi Budaya”, yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan bekerja sama dengan dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dan Balitbang Agama Makassar, telah berlangsung pada 27 – 29 Agustus 2019 yang lalu di Hotel Aryaduta Makassar. Sebanyak 33 makalah dibahas dalam tujuh subtema, yaitu; 1) Kerangka dan Perspektif Baru Memahami Kekerasan; 2) Negara Kolonial, Otoritas Lokal dan Kriminalitas; 3) Revolusi Indonesia: Kemerdekaan, Kontestasi Kuasa dan Kekerasan; 4) Kekerasan anti komunis dan kebangkitan Orde Baru; 5) Teror dan Kekerasan Terhadap Penganut Agama: Masalah dan Pemecahannya; 6) Konflik dan perjuangan agraria; negara, kuasa usaha dan politik hegemoni; 7) Pilkada, politik identitas dan kekerasan budaya.
Seminar dibuka oleh Faisal, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, dan dilanjutkan dengan pidato pembukaan melalui video oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud. Dalam pidato pembukaannya, Hilmar Farid menyampaikan permohonan maaf sekaligus apresiasi atas berlangsungnya seminar dengan tema Konflik dan Kekerasan, yang menurutnya sangat penting dan aktual dengan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, beragam suku dan bahasa, adalah fakta dan menjadikan kekerasan rentan terjadi. Sepanjang sejarah bangsa kita, kekerasan dan konflik memang kerap terjadi. Bahkan di beberapa tempat membentuk lapisan-lapisan kekerasan yang bahkan tumpang tindih antara satu periode dengan periode yang lain. Kekerasan kerap terjadi antara yang merasa sebagai penduduk asli dan yang dicap sebagai pendatang. Keragaman kita jika tidak dikelola dengan baik akan selalu menjadi ancaman seperti ini di masa mendatang. Dan untuk mengatasi persoalan ini riset, pendalaman informasi dan rekomendasi sangat diperlukan, yang salah satunya dapat ditempuh melalui kegiatan seminar. Di samping itu, tentu ada upaya-upaya pendekatan keamanan dan pendekatan kesejahteraan.
Lebih lanjut Hilmar Farid menyampaikan bahwa peningkatan keamanan dan kesejahteraan, juga tidak otomatis diikuti dengan transormasi kultural menjadi orang yang lebih baik, lebih toleran dan seterusnya. Tapi ada beberapa hal khusus yang perlu dilakukan untuk bisa menumbuhkan dan memperkuat rasa nasional kita. Dan salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah terkait dengan cara fikir. Karena seringkali kerangka berfikir intoleran itu justru mengcopy cara berfikir Belanda terhadap orang indonesia di masa lalu. Jika boleh ada catatan, yang perlu diingat adalah Konflik dan kekerasan itu laten sifatnya dalam masyarakat yang memiliki perbedaan. Bahkan dalam masyarakat yang homogen pun, gesekan-gesekan sering terjadi dalam masyarakat kita. Tantangannya sekarang adalah bukan bagaimana menghapus konflik itu atau bagaimana menghapus perbedaan itu, karena itu adalah hal yang hampir tidak mungkin kita lakukan. Konflik itu sendiri tidak mungkin bisa dihindari, tapi ekses dan bagaimana menghadapinya yang harus dikelola.
Kegiatan seminar ini diharapkan memberi kontribusi dalam memecahkan masalah yang begitu kompleks. Tujuannya bukan untuk mencari penyelesaian sekali jadi. Tapi yang diinginkan adalah menjadi diskusi yang sangat leluasa, sambil menguji pikiran-pikiran yang berkembang di antara kita. Langkah-langkah konkrit yang diusulkan juga harus dipertimbangkan dengan matang, apakah memang masuk akal atau tidak. Keterlibatan berbagai pihak diharapkan bisa memberi kontribusi yang beragam dalam hal pemajuan kebudayaan di Sulawesi Selatan.
Resolusi yang dihasilkan dari seminar ini adalah sebagai berikut:
- Pentingnya historiografi Indonesia memproduksi pemahaman terhadap kompleksitas kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.
- Pentingnya membangun kejujuran dalam mengkaji, memahami dan menerima beban sejarah sebagai akar dan strategi resolusi konflik dan bina damai.
- Pentingnya mengakomodir hukum adat sebagai solusi untuk mencegah dan mengatasi kekerasan budaya.
- Diperlukan pemahaman keberagaman budaya untuk meminimalisir kekerasan yang terjadi dalam masyarakat.
- Penting melihat kembali kearifan lokal dalam mencegah dan mengatasi konflik dan kekerasan
- Memanfaatkan modal sosial dan nilai-nilai luhur dalam upaya meningkatkan pemahaman dan menciptakan ruang bersama bagi setiap individu/kelompok sebagai bagian dari komunitas dan masyarakat dalam menempati “rumah bersama” (Indonesia)