MAKASSAR : DARI KOTAPRAJA KE KOTAMADYA
(1959 – 1971)
Rismawidiawati
Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan
Jalan Sultan Alauddin / Tala salapang Km 7 Makassar, 90221
Telepon 08114004015
Pos-el: rismawidiawati@gmail.com
Abstrak
Makassar sebagai kota tak terelakkan mengalami perubahan, namun tulisan sejarah khususnya tentang perubahan-perubahan yang dialami oleh Makassar masih sangat jarang dijumpai. Perubahan yang terjadi di Kota Makassar inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut khususnya yang menyangkut tentang peralihan dari Kotapraja menjadi Kotamadya Makassar. Di dalam penelitian dan penulisan artikel ini digunakan metode histroris yaitu suatu metode yang khsusus digunakan dalam penetlitian sejarah. Dimana metode ini memiliki empat tahapan, yaitu Heuristik, Kritik, Interpretasi, Historiografi. Penulis menemukan bahwa Makassar diangkat menjadi kotapraja pada tahun 1959 berdasarkan Undang-Undang No. 29 tahun 1959 dan terbentuknya Kotamadya Makassar didasarkan pada Undang-Undang No. 8 tahun 1965. Perubahan ini merupakan rangkaian usaha pemerintah untuk lebih menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan pertimbangan bahwa perubahan tersebut akan membawa pertumbuhan bagi daerah yang dimaksud. Dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintahan daerah tersebut juga didasarkan oleh kondisi daerah, baik kondisi keamanan maupun perhubungan. Kotamadya Makassar merupakan kota yang tumbuh dan berkembang setelah melewati berbagai proses yang cukup panjang, yang mana setelah melewati berbagai hambatan dan rintangan, pemerintah dan masyarakat melihat perlu untuk menjadikan Makassar sebagai sebuah kotamadya baik itu dilihat dari sejarahnya maupun tingkat perekonomian dan pendidikannya.
Kata Kunci: Kotapraja, Makassar, Kotamadya
PENDAHULUAN
Makassar atau Mangkasara adalah sebuah nama kota yang terbilang legendaris yang mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia pada umumnya dan Sulawesi pada khususnya. Selain itu bermakna pula sebagai nama suku (etnis) bangsa Indonesia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mattulada (1991: 15) bahwa konsepsi Makassar atau Mangkasara mengandung pengertian sebagai berikut :
- Makassar sebagai group etnish, (suku bangsa Indonesia yang berdiam di pesisir selatan yang mempunyai bahasa dan peradaban sendiri, yang hidup sampai sekarang.
- Makassar sebagai sebutan kepada kerajaan kembar Gowa-Tallo dengan nama Kerajaan atau Kesultanan Makassar, sebagai sebuah kerajaan yang paling berpengaruh di Sulawesi Selatan atau di bagian Timur Indonesia dalam abad XVI-XVII.
- Makassar sebagai Ibukota Kerajaan Bandar Niaga yang tumbuh setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dalam tahun 1511 dan dijadikan pusat terdepan Kerajaan Makassar yang mewadahi Benteng-benteng Somba Opu, Panakkukang dan Ujung Pandang (Mattulada, 1991 : 15).
Dari pengertian di atas, maka yang banyak dibahas sebagai tema dalam artikel ini adalah Makassar sebagai sebuah ibu kota kerajaan, Bandar Niaga yang kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan.
Pada abad ke-16 sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511) nama Makassar dikenal sebagai salah satu Bandar Besar yang namanya tersohor ke seluruh penjuru dunia. Makassar juga dikenal sebagai nama ibu kota kerajaan kembar Gowa-Tallo. Kerajaan ini berabad-abad menjadi salah satu kerajaan yang paling terkenal di Timur Nusantara dan Memiliki hubungan perdagangan dengan berbagai negara di dunia.
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, Makassar menjadi ibu kota provinsi Sulawesi. Provinsi ini kemudian dikembangkan menjadi empat Provinsi, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Karena itu nama Makassar menjadi sangat penting keberadaannya dalam sejarah nasional. Nuansa kultural yang termaktub di dalam nama Makassar sangatlah kental. Makassar adalah simbol yang sarat makna bagi masyarakat yang tinggal di daerah ini.
Secara administratif Pemerintah Hindia Belanda baru menguasai Sulawesi Selatan pada tahun 1906, sehingga pada saat itu pula, baru dapat menjalankan sistem pemerintahannya secara langsung. Khusus mengenai pemerintah Daerah Kota Makassar, berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903, oleh Pemerintah Hindia Belanda dicetuskan Ordonansi 12 Maret 1906 Staatsblad Nomor 171 Tahun 1906 yang memberikan status otonomi dengan pemerintah sendiri. Terhitung mulai tanggal 1 April 1906 disebut dengan “Geemente Makassar”, sedang walikotanya nanti tahun 1918 baru diangkat. Perkembangan selanjutnya, berdasarkan Staatsblad Nomor 719 Tahun 1938 Gemeente Makassar dinaikkan tingkatannya menjadi Staadgeemente. Status ini berlangsung hingga tibanya Pemerintah Jepang.
Kota Makassar ditetapkan sebagai pusat Pemerintahan Jepang yang meliputi daerah Kalimantan dan Indonesia Timur di bawah kekuasaan “Kaigun” (Angkatan Laut Jepang). Semua urusan pemerintahan ditujukan untuk kepada keperluan militer Jepang.
Setelah Jepang menyerah kepada Tentara Sekutu pada tahun 1945, pemerintah Belanda dengan NICA-nya, kembali berusaha mengausai Kota Makassar. Berdasarkan Overgangs Besluit Algemeen Bestur Nederland Indie (Koninklijk Besluit Nederland Staatsblad D 65, Indische Staatsblad No. 1 tahun 1944), Belanda menyusun kembali pemerintahan di Indonesia. Untuk pemerintahan kota masih berstatus Ordoordinansi Stads Gemeente tahun 1937-1938, diambil sebagai dasar dan khususnya Kota Makassar, diberi nama Geemente Makassar.
Dalam Negara Indonesia Timur yang dibentuk pada tanggal 24 Desember 1946, dan Republik Indonesia Serikat yang dibentuk pada tanggal 27 Desember 1949 tetap memakai nama Geemente Makassar. Nanti pada bulan Mei 1950, setelah dilebur menjadi negara Republik Indonesia Serikat, maka Geemente Makassar dirubah menjadi Kota Besar Makassar (KBM). Selanjutnya melalui Undang-undang No. 29 Tahun 1959, Kota Besar Makassar menjadi Daerah Tingkat II Kotapraja Makasar.
Berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 1965 Lembaran Negara tahun 1964 No. 94, Kota Makassar ditetapkan sebagai ibukota Sulawesi Selatan. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1965, Daerah Tingkat II Kotapraja Makassar diubah lagi menjadi Daerah Tingkat II Komadya Makassar. Dan pada tahun 1971 Kotamadya Makassar diubah namanya menjadi Kotamadya Ujung Pandang. Perubahan yang terjadi di Kota Makassar inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut khsuusnya yang menyangkut tentang peralihan dari Kotapraja menjadi Kotamadya Makassar. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan pokok di dalam tulisan ini adalah “Bagaimana sebenarnya proses peralihan Makassar dari Kotapraja menjadi Kotamadya”. Untuk menjawab permasalahan pokok tersebut juga diurai dampak peralihan Makassar dari Kotapraja menjadi Kotamadya terhadap masyarakat.
Sesuai dengan permasalahan tersebut di atas, maka ruang lingkup dalam artikel ini adalah proses perubahan Makassar dari Kotapraja menjadi Kotamadya. Dengan memilih batasan temporal waktu tahun 1959 sampai 1971, dimana tahun 1959 tepatnya tanggal 4 Juli 1959 dikeluarkannya Undang-Undang No. 29 tentang Pembentukan Daerah otonomi Tingkat II dengan perincian empat buah daerah Kotamadya termasuk di dalammnya Kotamadya Makassar. Sedangkan tahun 1971 merupakan tahun dimana Kotamadya Makassar berubah namanya menjadi Kotamadya Ujung Pandang.
METODE
Di dalam penelitian dan penulisan artikel ini digunakan metode histroris yaitu suatu metode yang khsusus digunakan dalam penetlitian sejarah. Dimana metode ini memiliki empat tahapan sebagai berikut :
- Heuristik, jakni kegiatan menghimpun djedjak-djedjak masa lampau.
- Kritik, jakni menjelidiki apakah djedjak itu sedjati baik bentuk maupun isinja.
- Interpretasi, jakni menetapkan makna dan saling hubungan yang diperoleh sedjarah itu.
- Penjadjian, jakni menjampaikan sintesa jang diperoleh dalam bentuk kisah sedjarah. (Nugroho Notosusanto, 1971 : 17).
Keempat tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Heuristik
Heuristik atau pengumpulan data atau sumber merupakan tahapan kerja pertama pada artikel ini yang diarhkan pada penjajakan atau pengumpulan sumber yang mempunyai kausalitas dan masalah yang diteliti. Pengumpulan data pada tahap heuristik dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
- Penelitian Kearsipan
Penelitian kearsipan dilakukan dengan cara mengkaji beberapa arsip atau dokumen yang menyangkut tentang Kota Makassar, salah satunya adalah Arsip tentang Struktur Pemerintahan Kota Makassar No. Reg. 57. Selain itu mendatangi Kantor Walikota untuk mencari data-data mengenai surat keputusan pengalihan Makassar dari Kotapraja ke Kotamadya, maupun Undang-Undang Peraturan Pemerintah tentang Kota Makassar.
- Penelitian Kepustakaan
Dalam tahap ini penulis berusaha mengumpulkan sumber-sumber berupa buku makalah atau tulisan lain yang berkaitan dengan permasalahan. Buku-buku itu seperti Makassar dalam Sejarah (Mattulada, 1991) dan Makassar doeloe, Makassar kini dan Makassar yang akan datang (Udhin Palisuri, 2000).
- Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan dilakukan dengan cara mendatangi langsung lokasi yang diteliti untuk melakukan wawancara atau Tanya jawab terhadap orang-orang yang dapat memberikan keterangan data yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Penelitian lapangan ini dimaksudkan untuk medapatkan data yang lebih akurat. Salah satu bentuk penelitian lapangan yaitu dengan mendatangi lokasi-lokasi seperti Pelabuhan Makassar dan Benteng Rotterdam.
- Kritik Sumber
Pada tahap ini, sumber yang telah dikumpulkan pada kegiatan heuristik dilakukan penyaringan atau penyeleksian. Kegiatan ini dilakukan pada dasarnya untuk mengetahui apakah sumber tersebut sejati atau palsu. Salah satu bentuk penyeleksian atau kritik yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan sumber-sumber yang ada kemudian akan ditarik benang merah dari data yang ada. Untuk hal tersebut dilakukan kritik ekstern maupun intern, sebagaimana diuraikan berikut ini :
- Kritik ekstern
Kritik ekstern atau kritik luar dilakukan untuk meneliti keaslian sumber, apakah sumber tersebut valid, asli atau tiruan.
- Kritik intern
Kritik intern atau kritik dalam dilakukan untuk meneliti sumber yang berkaitan dengan masalah penelitian dan penulisan artikel ini.
- Interpretasi
Setelah kritik sumber selesai, kemudian dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh terhadap bentuk penjelasan terhadap fakta tersebut seobyektif mungkin. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Louis Gootschalk (1986 :24) sebagai berikut :
Fakta-fakta itu merupakan lambang atau wakil daripada suatu yang pernah nyata ada, tetapi fakta itu tidak memiliki kenyataan obyektif sendiri. Dengan kata lain fakta itu hanya terdapat dalam pikiran pengamat atau sejarawan. Karenanya disebut subyektif, yakni tidak memihak sumber bebas dari seseorang, sesuatu pertama kali harus menjadi obyek ia harus mempunyai eksistensi yang merdeka.
Dengan demikian sangat diperlukan kehati-hatian atau integritas seorang penulis untuk menghindari interpretasi yang subyektif terhadap fakta.
- Historiografi
Setelah melalui tahapan tersebut di atas, maka proses akhir dari penelitian ini adalah penulisan sejarah atau rekonstruksi kembali apa yang terjadi dalam bentuk kisah sejarah secara menyeluruh menurut urutan kejadiannya. Berdasarkan tahapan ini, maka terbentuklah kisah sejarah yang diupayakan seobyektif mungkin dan memenuhi kriteria ilmiah. Menurut Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomiharjo (1985 : 28) sebagai berikut :
Penulisan sejarah adalah puncak dari segala-galanya sebab apa ynag dituliskan itulah sejarah yang histoire recite, sejarah bagaimana yang dikisahkan yang mencoba mnegungkap histoire realite, sejarah sebagaimana teradi dan hasil penulisan inilah yang disebut dengan historiografi.
PEMBAHASAN
Peralihan dari Kotapraja ke Kotamadya
Perubahan Makassar dari kotapraja ke kotamadya melalui proses sejarah yang cukup panjang. Perubahan tersebut adalah upaya untuk lebih meningkatkan ke arah yang lebih dan menemukan bentuk pemerintahan yang cocok bagi suatu daerah yang bersangkutan termasuk diantaranya dengan membentuk daerah-daerah otonom dalam runag lingkup di negara Indonesia ini.
Pembentukan daerah otonom sebenarnya bertujuan untuk memberdayakan rakyat agar ikut serta dalam mengurus kepentingan daerah sebagaimana yang dikemukakan oleh The Liang Gie (1967 : 242) bahwa :
Pembentukan daerah otonom pada dasarnya bersendikan atas kerakyatan, yaitu memberi kesempatan kepada rakyat ikut serta mengemudikan negara dan mengurus kepentingan daerahnya. Di wilayah Timur Indonesia menurut riwayatnya mula-mula dibina daerah swapraja yang menjalankan pemerintahan dengan tradisi yang telah ada dengan sekedar pembaruan.
Melihat pentingnya pemberian hak otonom kepada setiap daerah, maka salah satu bentuk dari pelaksanaannya dibentuklah daerah-daerah swatantra dengan maksud untuk lebih memberikan otonomi kepada daerah-daerah yang bersangkutan, termasuk di dalamnya daerah Makassar. Pembentukan daerah swatantra Makassar ini berdasar pada Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 tentang pembubaran daerah Sulawesi Selatan dan pembagian wilayahnya dalam daerah-daerah swatantra yang tingkatannya disamakan dengan kabupaten. Peraturan Pemerintah tersebut dikeluarkan dan disesuaikan dengan kondisi perkembangan pemerintahan di Propinsi Sulawesi pada umumnya dan pertimbangan kondisi keamanan dan perhubungan pada khususnya.
Dijadikannya Makassar menjadi wilayah daerah swatantra Sulawesi Selatan yang berdasar pada Peraturan Pemerintah No, 34 Tahun 1952 tidak sepenuhnya merupakan jalan keluar yang terbaik untuk perkembangan kota ini selanjutnya, disebabkan pertentangan politik yang menghebat yang menghendaki agar daerah Gowa selekas-lekasnya dikeluarkan dari lingkungan kekuasaan daerah Makassar dan dibentuk menjadi daerah otonom tersendiri.
Untuk mengatasi pertentangan-pertentangan politik itu, maka dipandang perlu sambil menunggu berlakunya undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang berlaku untuk seluruh daerah Indonesia, membubarkan daerah Makassar dan membentuk Gowa, Maros, Pangkajene Kepulauan, Jeneponto, dan Takalar masing-masing sehingga”Daerah” dimaksud dalam Undang-undang dan Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 masing-masing menjadi daerah otonom.
Karena keadaan tersebut di atas maka dikeluarkan Undang-Undang No. 1/1957 yang pelaksanaannya secara kongkrit nanti terwujud 2 tahun kemudian yaitu pada tanggal 4 Juli 1959 setelah disahkannya Undang-Undang No. 29 Tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi termasuk di dalamnya pembentukan Kotapraja Makassar.
Dengan berdasar pada Undang-Undang No. 29 Tahun 1959, maka Makassar menjadi Daerah tingkat II Kotapraja Makassar. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah berusaha lagi untuk lebih menyempurnakan aturan perundang-undangan daerah sehingga pada tahun 1965 dikeluarkanlah Undang-Undang No. 8 tentang pembentukan Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar.
Perubahan tersebut merupakan rangkaian usaha pemerintah untuk lebih menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah uang disesuaikan dengan kondisi perkembangan setiap daerah dan pertimbangan kondisi keamanan dan perhubungan pada khususnya. Dari proses peralihan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejalan dengan perkembangan kota Makassar pemerintah berusaha untuk lebih memperbaiki keadaan kota Makassar melalui aturan perundang-undangan dengan harapan agar akan tumbuh suatu daerah otonom yang yang akan mengangkat nama Indonesia di mata dunia.
Setelah menyimak latar belakang terbentuknya Kotamadya Makassar di atas maka sebaiknya dijelaskan pengertian dari kotapraja dan kotamadya itu sendiri. Menurut Ensiklopedi Bahasa Indonesia bahwa pengertian dari kotapraja adalah daerah dan pemerintahan kota yang setingkat dengan kabupaten. Sedangkan kotamadya adalah : kota yang merupakan ibu kota daerah tingkat dua (setingkat dengan kabupaten). Kotamadya ini wilayahnya dikepalai oleh seorang walikota.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat perbedaaan dari kotapraja dan kotamadya itu sendiri yang nampak bahwa perbedaannya tidak terlalu jauh, dan dapat dikatakan bahwa perubahan Makassar dari kotapraja ke kotamadya merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam melihat perkembangan suatu kota. Menurut analisa penulis bahwa istilah kotapraja digunakan pada masa sebelum pemerintahan Orde Baru berlangsung, sedangkan istilah kotamadya itu sendiri baru muncul setelah pemerintahan Orde Baru khususnya di daerah Sulawesi.
Kotamadya Makassar pada Tahun 1965-1971
Pada periode ini, Makassar diwarnai oleh upaya perbaikan kondisi politik. Pada periode ini pula terjadi dua peristiwa besar dalam sejarah tanah air, yang sangat besar pengaruhnya dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara yaitu : (1) berhasilnya ditumpas pemberontakan DI/TII/Kahar Muzakkar pada bulan April 1965, dan (2) terjadinya Gerkan 30 September PKI yang dapat ditumpas dalam waktu singkat oleh ABRI dan rakyat. Penyelesaian konflik politik itu sungguh sangat besar artinya dalam stabilitas dan dinamika pembangunan bangsa. Seperti halnya bagi pemerintahan rakyat kota Makassar, sudah dapat lebih mencurahkan perhatiannya terhadap pembangunan daerahnya.
Kota Makassar dijadikan basis penentuan strategi pembangunan kegiatan gerilya ; karena itu, kota ini pulalah yang dianggap paling aman, oleh karena itu penduduk sekitar kota terpaksa mengungsi ke kota Makassar, dan mencari sanak keluarga untuk ditempati menumpang. Dengan demikian pertambahan penduduk cukup cepat. Pada tahun 1950, penduduk kota Makassar sekitar 230.000 jiwa, pada tahun 1960 sudah mencapai sekitar 380.000 jiwa, dan masih banyak lagi penduduk yang tidak di daftar karena berharap segera akan kembali ke kampung halaman apabila keamanan telah pulih kembali. Oleh karena itu tidak mustahil kalau penduduk kota Makassar tahun 1960 itu diperkirakan mencapai 40.000 jiwa.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota Makassar sulit dibendung, dan bahkan bila semakin gencar operasi militer makin besar pula perpindahan penduduk tersebut. Pertambahan penduduk kota Makassar menyebabkan munculnya pemukiman-pemukiman baru. Tempat-tempat yang kosong diisi dengan rumah-rumah darurat dengan tidak memperhatikan segi kesehatan. Timbul pula semacam kompleks pemukiman asal daerah tertentu ; misalnya pemukiman orang Duri (Enrekang) di Maricaya, pemukiman orang Palopo di Jl. Diponegoro dan Balangboddong, dan sebagainya.
Keadaan penduduk yang memenuhi kota Makassar dengan berbagai masalahnya terus berlangsung hingga tahun 1967 penduduk yang berasal dari pedesaan seharusnya kembali ke kampung halamannya masing-masing, namun hal tersebut tidak terjadi. Hal itu disebabkan karena selama mereka berada di Makassar, anak-anak mereka memasuki sekolah yang fasilitasnya relatif lebih baik dari desa atau juga karena telah mendapat lapangan pekerjaan. Selain itu lahan pertanian yang mereka tinggalkan dahulu sudah terjual atau kembali menjadi hutan. Hal tersebut yang menjadi faktor penyebab penduduk desa tidak mau kembali ke kampung mereka atau meninggalkan kota Makassar.
Sementara itu organisasi dan sistem mekanisme pemerintahan Kotamadya Makassar mengadakan semacam integrasi unit urusan peemrintahan umum dengan urusan pemerintahan otonom ke dalam pemerintahan daerah Kotamadya Makassar, sehingga menjadi suatu integrasi staf unit.
Dalam kerangka organisasi administratif, penyediaan biaya adalah faktor penting. Setelah tuntasnya peristiwa G 30 S, di Indonesia telah tercapai suatu stabilitas politik yang relatif mantap, dan hal ini memungkinkan bagi berbagai kesatuan administratif untuk memulai suatu pekerjaan jangka panjang di Makassar adalah besar.
Sebagai suatu kotamadya, Makassar tidak mempunyai banyak sumber untuk meningkatkan pendapatan, oleh karena itu, kota ini benar-benar amat tergantung pada penerimaan dari sumber-sumber pemerintahan pusat melalui pemerintah propinsi.
Pola pembangunan yang dilaksanakan di Kotamadya Makassar pada tahun 1965-1967 terkenal dengan program 3 K dengan sasaran memberantas : kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan. Pola pembangunan ini dimaksudkan oleh pemerintah kota dengan harapan dengan terberantasnya 3 K tersebut, maka pemerintah kota telah mencapai suatu peletakan dasar yang fundamental untuk tahap pembangunan selanjutnya.
Program pemberantasan 3 K itulah yang menjadi program jangka pendek yang dilaksanakan di Kotamadya Makassar khususnya oleh PEMDA untuk mencapai sasaran seanjutnya, yaitu kehidupan sederhana yang berkecukupan. Kehiudpan layak yang dimaksud menurut kondisi pada waktu itu ialah apabila terpenuhi secara minimal kebutuhan hidup yang meliputi : cukup lapangan kerja, ukup perumahan, cukup air minum/listrik, cukup pendidikan/kesehatan, cukup perhubungan, dan cukup hiburan.
Dengan adanya Program 3 K di atas yang merupakan program jangka pendek pembangunan di Kotamadya Makassar, maka landasan strategis pemerintah adalah pertama-tama berusaha agar rancangan program jangka pendek itu tercapai dan terpenuhi, setelah itu baru melangkah lebih lanjut mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang berjangka panjang yaitu menjadikan kotamadya ini sebagai kota 5 dimensi yaitu : kota dagang, kota budaya, kota industri, kota akademik, dan kota pariwisata.
Dalam waktu yang relatif pendek kota 5 dimensi ini secara prospektif akan dicapai yang merupakan suatu langkah yang sangat maju untuk mencapai kota metropolitan karena secara geografis ditinjau dari segi strategis, politik, ekonomi benar-benar dapat menjamin tercapainya kota 5 dimensi yang dimaksud. Namun kenyataan yang dihadapi pemerintah daerah adalah masalah luas wilayah yang sudah tidak seimbang dengan perkembangan kota. Berbagai upaya telah dilakukan termasuk upaya perluasan wilayah, akan tetapi Pemerintah Daerah Tingkat II Gowa keberatan atas usul tersebut. Karena itu keinginan untuk memperluas daerah Kotamadya Makassar diambil alih oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dan ditingkatkan menjadi perluasan daerah ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 20 Mei 1966 telah dikemukakan oleh sejumlah 41 orang anggota DPRD-GR Propinsi Sulawesi Selatan dengan juru bicara Ir. Syamsuddin Abbas dan kawan-kawan tentang usul perluasan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan dengan mengemukakan pertimbangan sebagai berikut :
“1) bahwa kota Makassar adalah suatu pintu gerbang untuk Indonesia bagina timur, 2) Bahwa kota Makassar meruapakan pelabuhan yang mempunyai banyak fdasilitas fisik dan buruh-buruh terlatih serta telah dipersiapkan untuk menjadi interport (pintu masuk) umum yang selanjutnya menjadi bounded ware house untuk Indonesia bagian timur, 3) Bahwa kota Makassar sebagai ibu kota propinsi Sulawesi Selatan telah banyak mengalami perkembangan, baik sebagai kota industri (lebih-lebih untuk masa mendatang), 4) Akibat kekacauan 15 tahun di daerah ini, maupun perkembangan kota Makassar sendiri telah menyebabkan makin padatnya penduduk antara lain karena urbaniasi, 5) Atas nama dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka sewajarnyalah kalau kota Makassar sebagai ibu kota selalu dapat mengikuti dinamika pembangunan yang terus menerus dengan pesatnya serta didasarkan atas Undang-Undang dan peraturan yang berlaku”. (Departemen Dalam Negeri Prop. Sulawesi Selatan 1991 : 506).
Usul ini kemudian diikuti oleh penjelasan Walikotamadya daerah Makassar yaitu Kol. H. M. Dg. Patompo dalam sidang DPRD Sulawesi Selatan tanggal 28 Juli 1970. pada umumnya anggota dewan sependapat dengan pemerintah kota akan urgensi perluasan ibu kota propinsi Sulawesi Selatan ini sehingga dibentuklah panitia kerja perluasan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Selatan Nomor 60/II/70 tanggal 28 Februari 1970.
Setelah diadakan beberapa pertemuan, dicapai suatu keputusan untuk pola operasi perluasan kota Makassar sebagai ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan dimana digambarkan tiga kemungkinan yang dapat diterapkan ialah : Pengurangan batas-batas daerah sekitar kotamadya Makassar, pemasukan dalam ibu kota propinsi tanpa mengurangi batas daerah, pembangunan yang meluas.
Hasil keputusan rapat berikutnya adalah membentuk unit kerja mengenai perluasan daerah, sehingga pada bulan April 1970 diadakanlah rapat antara bupati yang berbatasan wilayahnya dengan daerah kotamadya Makassar yaitu Bupati Gowa, Maros, Pangkajene Kepulauan, dan Walikota Makassar. Dalam rapat tersebut telah dicapai kata sepakat untuk merubah batas-batas daerah diperlukan untuk perluasan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan dengan syarat nama Makassar diubah menjadi nama Ujung Pandang sesuai dengan apa yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 pada pasal II Bab 2, dan pasal III Bab 3.
Adapun bunyi PP No. 51 tahun 1971 yaitu sebagai berikut :
Pasal II, Bab 2 tentang perubahan batas daerah :
(1). Daerah Kotamadya Makassar diperluas dengan memasukkan sebagian daerah dari :
- Kabupaten Gowa, yang meliputi desa-desa :
- Barombong ;
- Karuwisi ;
- Panaikang;
- Tello-Baru ;
- Antang ;
- Tamangappa ;
- Jongaya ;
- Rappocini ;
- Maccini Sombala ;
- Mangasa ;
- Kabupaten Maros, yaitu meliputi desa-desa :
- Bira ;
- Daya ;
- Tamalanrea ;
- Bulurokeng ;
- Sudiang ;
- Kabupaten Pangkajene dan kepulauan yang meliputi desa-desa :
- Barrang Caddi ;
- Barrang Lompo ;
- Perjuangan / Kodingareng.
Sedangkan bunyi Pasal III Bab 3 mengenai perubahan nama Kotamadya Makassar yaitu “Kotamadya Makassar sesudah diperluas daerahnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah ini dirubah namanya menjadi Kotamadya Ujung Pandang”. (Sumber ; PP No. 51 Tahun 1971).
Pada periode ini pula yaitu sejak berubahnya Makassar menjadi sebuah kotamadya, pemerintah berusaha meningkatkan pembangunan sarana perkotaan, tetapi yang menjadi kendala atau hambatan terbatasnya sumber pendapatan daerah di kota Makassar. Sumber-sumber keuangan yang ada tidak dapat mengatasi biaya-biaya yang diperlukan baik biaya rutin, terlebih-lebih dana untuk pembangunan sarana-sarana sosial yang mendesak seperti sekolah dasar yang perlu di rehabilitasi dan dibangun, jalan-jalan yang rusak berat hampir diseluruh bagian kota. Untuk mengatasi masalah ini yang oleh pemerintah kota dianggap sangat mendesak dan kritis, maka pada tahun 1969 pemerintah kota mengadakan sumber keuangan yang inkonvensional dalam bentuk Lotto (Lotere Toralisator), semacam undian dengan bayaran/hadiah 40 kali lipat dari modal awal peserta.
Dengan diadakannya undian seperti ini, maka pemerintah mendapat kecaman, khususnya berasal dari tokoh-tokoh agama dan politik yang mempersamakan dengan judi. Karena adanya reaksi dari masyarakat yaitu menolak penyelenggaraan undian tersebut, maka pada tahun 1972 dihapuskan.
Demikianlah usaha pemerintah dalam menata kota Makassar sebagai sebuah kotamadya yang pada tahun 1971, Kotamadya Makassar diubah namanya menjadi Kotamadya Ujung Pandang yang berdasar pada PP No. 51 tahun 1971.
Dampak Terbentuknya Kotamadya Makassar
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1965, Daerah Tingkat II Kotapraja Makassar diubah menjadi Daerah Tingkat II Kotamadya Makassar. Setelah perubahan tersebut pemerintah Kotamadya Makassar berusaha untuk memperbaharui keadaan kota dengan melalui penataan dan usaha perbaikan ekonomi rakyat. Dari perubahan ini diharapkan mampu membawa Makassar menjadi kota yang lebih maju dari sebelumnya dan mampu memberikan pembaharuan di kota Makassar yang mana sebelumnya di daerah ini banyak terjadi peristiwa-peristiwa yang menghambat petumbuhan kota. (Wawancara, Saftia, 13 Oktober 2002).
Dengan berubahnya Makassar menjadi sebuah kotamadya, maka ini merupakan suatu awal babakan baru dalam sejarah kota Makassar. Sebagaimana dikemukakan pada penjelasan terdahulu bahwa perubahan ini diharapkan mampu membawa Makassar menjadi sebuah kota yang lebih maju, maka pemerintah di Makassar berusaha mengadakan perbaikan-perbaikan baik di bidang pemerintahan, tata kota, perekonomian, pendidikan dan bidang-bidang lainnya yang dianggap perlu.
Di bidang ekonomi pemerintah kota menerapkan pola pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, yang mana pola pembangunan jangka pendek yang diterapkan yaitu Program 3 K yang memberantas 3 unsur yaitu : kemiskinan, kemelaratan, dan kebodohan. Sedangkan program jangka pangjangnya yaitu menjadikan Kotamadya Makassar sebagai kota 5 dimensi yaitu kota dagang, kota budaya, kota industri, kota akademik, dan kota pariwisata. Kesemua program itu diharapkan agar mampu memberantas dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat kota. (Wawancara, Syamsuddin ; 3 Desember 2002).
Untuk menciptakan suasana yang mendukung atau menunjang bagi terwujudnya pembangunan kota Makassar yang baik, maka kegiatan perekonomian diupayakan untuk dapat memberikan kesempatan kerja yang memadai bagi penduduk kota. Untuk itu kebijaksanaan lain yang ditempuh oleh pemerintah kota adalah menyusun dan memelihara ekonomi perkotaan yang kuat dan efisien dengan salah satu sumber pendapatan kota yaitu mengadakan pungutan pajak terhadap pedagang-pedagang dan para pengusaha yang akan meningkatkan pendapatan pemerintah kota. Kegiatan lainnya yaitu berusaha menciptakan lapangan pekerjaan yang akan meningkatkan taraf hidup masyarakat kota Makassar. Di sektor perdagangan, diadakan pula pengembangan berbagai took, kios, maupun warung yang kesemuanya dilakukan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat kota.
Dampak lain yang dapat terlihat setelah Makassar menajdi kotamadya yaitu berkembangnya Makassar sebagai sebuah kota yang besar yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi yang mana banyak penduduk desa yang mengadakan urbanisasi ke Kota Makassar baik itu karena alasan pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Peningkatan jumlah penduduk yang begitu besar menjadikan daerah pemerintah kota harus menghadapi kendala lainnya yaitu banyaknya pemukiman-pemukiman kumuh yang dibangun oleh masyarakat pendatang.
Di bidang pendidikan, nampak adanya perbaikan sarana dan prasarana pendidikan yaitu dibangunnya beberapa sekolah dan dicetaknya berbagai tenaga pengajar untuk mengajar di sekolah-sekolah yang membutuhkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perkembangan sekolah tingkat dasar dan menengah di Sulawesi Selatan tahun 1950-1975. Berikut ini sebagai dasar untuk membandingkan jumlah sekolah mulai dari tahun 1950-1975.
Tabel. Perkembangan sekolah tingkat dasar dan menengah di Sulawesi Selatan 1950-1975
No | Jenis Sekolah | 1950 | 1960 | 1969 | 1972 |
1
2 3 |
Sekolah Dasar
SLTP SLTA |
981
15 8 |
2.808
140 57 |
4.211
287 142 |
4.230
378 193 |
Jumlah | 1.004 | 3.005 | 4.640 | 4.791 |
Sumber : Koentjaraningrat (ed). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djakarta, 1971 hal 280.
Demikianlah perkembangan sekolah di Sulawesi Selatan umumnya dan Makassar khususnya.
Di bidang transportasi dapat dilihat bahwa pemerintah kota Makassar mulai menata kota beserta jalan-jalan raya dengan menitikberatkan pada pengaturan jalan, sirkulasi dan mobilitas kegiatan kota yang dikaitkan dengan bentuk struktur kota.
Usaha pengembangan dan pembangunan sarana transportasi khususnya di kota Makassar secara tidak langsung akan memperlancar proses kegiatan masyarakat dan menambah banyaknya masyarakat yang ingin pindah ke Makassar.
Sedangkan di bidang pemerintahan, pemerintah kotamadya Makassar mengadakan semacam intergrasi unit urusan-urusan pemerintahan otonom ke dalam pemerintah daerah kotamadya Makassar, sehingga menjadi suatu integrasi staf unit. Oleh karena itu susunan organisasi sekretariat daerah Kotamadya Makassar yang disahkan oleh gubernur kepada daerah tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan dengan susunan organisasinya seperti di bawah ini :
- Sekretariat Daerah terdiri dari :
- Sub Direktorat yang merupakan general staf (staf umum)
- Bagian-bagian yang merupakan staf pelayanan
- Kelompok pembantu pribadi walikota
- Sub bagian-bagian sandi dan telekomunikasi
- Bendaharawan
- Sub direktorat terdiri enam sub yaitu :
- Sub Direktorat Pemerintahan
- Sub Direktorat Ketertiban Umum
- Sub Direktorat Pembangunan
- Sub Direktorat Keuangan
- Sub Direktorat Perekonomian
- Sub Direktorat Kesejahteraan Rakyat
- Bagian-bagian terdiri dari bagian umum, personalia, hukum, dan bagian perwakilan rakyat daerah.
- Tiap-tiap sub direktorat dan bagian-bagian ini terbagi lagi atas seksi-seksi dan sub-sub bagian sesuai kebutuhan. (H. M. Daeng Patompo : 50).
Susunan organisasi kesekretariatan Kotamadya Makassar di atas diharapkan mampu memperbaharui keadaan pemerintahan.
PENUTUP
Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diangkat adalah sebagai berikut :
- Terbentuknya Kotamadya Makassar didasarkan pada Undang-Undang No. 8 tahun 1965 yang merupakan rangkaian usaha pemerintah untuk lebih menyempurnakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah dengan pertimbangan bahwa perubahan tersebut akan membawa pertumbuhan bagi daerah yang dimaksud. Dikeluarkannya Undang-Undang Pemerintahan daerah tersebut juga didasarkan oleh kondisi daerah tersebut baik kondisi keamanan maupun perhubungan. Kotamadya Makassar merupakan kota yang tumbuh dan berkembang setelah melewati berbagai proses yang cukup panjang, yang mana setelah melewati berbagai hambatan dan rintangan, pemerintah dan masyarakat melihat perlu untuk menjadikan Makassar sebagai sebuah kotamadya baik itu dilihat dari sejarahnya maupun tingkat perekonomian dna pendidikannya.
- Proses terbentuknya Makassar menjadi kotamadya melalui proses yang cukup panjang. Makassar diangkat menjadi kotapraja pada tahun 1959 berdasarkan Undang-Undang No. 29 tahun 1959. pembentukan daerah kotapraja merupakan realisasi dari tuntutan masyarakat dalam rangka membentuk daerah otonom dalam ruang lingkup wilayah Indonesia. Ini dimaksudkan agar rakyat dapat lebih berpartisipasi dalam pemerintahan. Realisasi dari keinginan tersebut maka dibentuklah daerah-daerah swatantra salah satunya Makassar, yang pada awal kemerdekaan bergelar kota besar, kemudian berlanjut pada tahun 1959 berganti menjadi kotapraja. Perubahan tersebut berdasarkan pada perkembangan yang terjadi di Makassar, mulai dari jumlah penduduk, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya, maka pada tahun 1965, Makassar diangkat sebagai Kotamadya.
- Dampak yang ditimbulkan setelah Makassar diangkat menjadi kotamadya antara lain :
- Bidang Ekonomi
Setelah Makassar diangkat menjadi kotamadya, pemerintah berusaha memperbaiki kehidupan perekonomian rakyat, salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan menerapkan pola pembangunan 3 K yaitu memberantas 3 unsur baik itu kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan. Program ini dilaksanakan dengan berusaha untuk menciptakan lapangan kerja yangbaru dan berusaha meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat agar supaya dapat bersaing dan berkompetisi dalam dunia usaha nantinya.
- Bidang Sosial Budaya
Dengan dijadikannya Makassar menjadi sebuah kotamadya dan menjadi pusat berbagai aktivitas kehidupan, maka banyak penduduk yang bermigrasi ke sana dengan berbagai alasan, baik karena alasan mencari pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya menjadikan Makassar sebagai sebuah kota yang heterogen yang penuh dengan persaingan. Setiap masyarakat yang datang membawa budaya mereka masing-masing sehingga menjadikan Makassar menjadi sebuah kota yang unik dibandingkan kota yang lainnya. Akibat lainnya yaitu karena asal mereka berbeda-beda, maka yang muncul adalah persaingan yang menonjolkan keindividualan masing-masing person.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Abdurrahman Surjoddiharjo, 1985, Ilmu Sejarah dan Historiografi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badan Litbang, 1985, Pelaksanaan Undang-undang No, 5 Tahun 1974, Jakarta: Departemen Dalam Negeri
Badan Pusat Statistik, 2000, Kota Makassar Dalam Angka 1999.
Bardosono, Mayor, 1955, Peristiwa di Sulawesi Selatan 1950, Jakarta: Yayasan Pustaka Militer
Burhamsah, 1979, Sulawesi Selatan Dalam Periode Rencana Pembangunan Lima tahun, Ujung Pandang
Gottschalk, Louis, 1986, Mengerti Sejarah (Terjemahan Nugraha Notosusanto), Jakarta:UI Pers
John, L. D., 1981. Arus dari Bawah ke Atas, Jakarta : Gramedia.
Mappagiling, Rasyid, 1980, Monografi Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI
Mattulada, 1991, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah, Ujung Pandang: Hasanuddin University Perss
Mattulada, e.t. al, 1976, Biografi Budaya Daerah Sulawesi Selatan: Ujung Pandang, Proyek IDKD Departemen P dan K
Maulana, Amiruddin, 2000, Posisi Makassar Dalam Bisnis, Jakarta: Yayasan Lentera
Mc Taggart, W Donald, 1976, Kebijaksanaan Pembangunan Kota di Indonesia,: Jakarta
- Paloma, Margaret, 1984, Sosiologi Kontenporer, Jakarta: Rajawali
Notosusanto, Nugroho, 1971, Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah, Jakarta : Dephankam
Palisuri, Udin, 2000, Makassar Doelo, Makassar Kini, Makassar Nanti, Makassar Yayasan Losari
Patompo, Dg H.M, 1976, Rahasia Menyingkap Tabir Kegelapan, Ujung Pandang
Sekretariat Negara RI, 1971. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 1-97, Jakarta
Soekanto, Soejono, 1992, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Grafindo Persada.
Sekretariat Wilayah Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan, 1988, Sulawesi Selatan Dalam Perkembangan Tata Pemerintahannya, Ujung Pandang.
Tahir, Mitjojo, dkk, 1971, Dokumen Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sulawesi tenggara, Kendari.