Penulis : Santy Nurlette, S.Sos, Pamong Budaya Pertama
Sebelum kedatangan portogis di Maluku tahun 1512 sultan Ternate berkuasa sampai ke pulau Ambon dan sekitarnya, suatu ketika datanglah perintah dari sultan Ternate untuk setiap negeri yang dikuasainya supaya mengantar upeti ke Ternate. Maka merekapun pergi ke Ternate dengan menggunakan perahu yang disebut dengan kora-kora, dalam perjalanan pulang dari Ternate tepatnya di perairan pulau buru datanaglah ombak dan gelombang yang tidak bersahabat sehingga membuat kora-kora Passo (kora-kora pattalima) tenggelam mereka berteriak diantara derunya angin dan gemuruhnya ombak tak satupun kora-kora yang menghampiri.
Namun teriakan minta tolong tersebut sayup-sayup terdengar oleh kora-kora negeri Batumerah (pattasiwa) akhirnya mereka dengan susah payah berusaha menghampiri kora-kora pattalima dan segera memberi pertolongan. Satu demi satu diangkut naik ke kora-kora mereka akhirnya semuapun terselamatkan dan merekapum menepi di pantai pulau buru dekat sebuah tanjung.
Mereka duduk di pasir putih, kora-kora pattasiwa mengeluarkan perbekalan mereka yang hampir habis untuk dibagikan kepada orang-orang Passo karena perbekalan mereka semua tenggelam, perbekalan orang-orang Batumerah hanya tinggal untuk jatah satu orang sagu satu lempeng, kelapa satu sisir dan ikan satu ekor, akhirnya sagu satu lempeng itu di patah dua, kelapa dipatah dua demikianpun dengan ikan satu ekor dipatah dua sehingga semuapun bisa makan bersama-sama, rasa harupun muncul dari orang-orang Passo sehingga mereka bermusyawarah dan bermufakat untuk membuat satu ikrar menganagkat persaudaraan diantara mereka.
Merekapun berikrar dan bersumpah dengan membalik batu karang yang ada di tanjung itu. Tetesan darah yang mengalir dari jari-jari mereka karena membalik batu karang tersebut disatukan. Orang Passo mengangkat orang-orang Batumerah sebagai pela kakak dan orang-orang Batumerah mengangkat orang-orang Passo sebagai pela adik sampai batukarang yang dibalik tadi terbalik seperti semula atau sampai akhiri zaman nanti. Bila siapa melanggar sumpah ini maka akan menanggung akibatanya sendiri.
Kisah hubungan Batumerah-Passo ini diungkapkan dalam nyanyian berupa kora-kora versi Batumerah-Passo
Datang Perintah oo
Perintah ke Ternate ee
Kora Hululima bawa upete ee
Tengah-tengah laut dapat ombak besar ee
Kora Hululima dapat tenggelam ee
Sio Kora-kora Pata siwa tolong ee
Lai tanda ee
Patasiwa Hululima mendarat
Di Pantai makan ee
Satu satu lempeng la berpatah dua ee
Ikan satu ekor la berpata dua ee
Angkat perjanjian dua negeri
Patasiwa jadi pela kaka ee
Sioo Hululima jadi pela adik ee
Sio sampe sekarang erat persaudaraan
Tempat terjadinya peristiwa 500 tahun yang silam yang dilakukan oleh datuk-datuk Batumerah dan Passo sampai sekarang masih ada dan tanjung tersebut oleh masyarakat pulau Buru dinamai dengan tanjung Pela bagitupun dengan desa tempat mereka beristirahat untuk makan di sebut desa pela sampai dengan sekarang.
Dengan adanya kisah terjadinya pela antara Batumerah-Passo di Laut Buru, dapat kita mengambil kesimpulan laut bukan sebagai rintangan, kendala, hambatan apalagi pemisah antar satu pulau dengan pulau lain di negara ini tetapi laut dipandang sebagai media pemersatu bangsa, laut sebagai media perhubungan, laut sebagai media sumber daya, laut sebagai media pertahanan dan keamanan, serta laut sebagai media diplomasi.
DAFTAR PUSTAKA
Arsip Kantor Negeri Batumerah
Prof. Dr. Aholiab, S.P.AK.M.Hum dan Fransina S.Sos. M.Si : Ale Rasa Beta Rasa Dalam Konsep Orang Basudara Khususnya Dalam Hubungan Pela Batumerah dan Passo