Tahun 2019 ini Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku melaksanakan Program Pendataan Sejarah Negeri-Negeri Adat di Pulau Ambon. Saat ini BPNB Maluku telah berhasil menghimpun data sejarah negeri-negeri adat di Leitimur Selatan, yang terdiri dari Negeri Hukurila, Hatalai,Naku, Kilang, Hutumuri, Ema, Rutong dan Negeri Lehari. Pendataan Sejarah Negeri ini untuk memotret keberadaan sejarah negeri-negeri adat yang ada di kota Ambon.

Secara administrasi negeri Hukurila berada pada Kecamatan Leitimur Selatan. Sebagai negeri adat, Hukurila telah memberi dasar pengertian tersendiri bagi asal-usul negeri yang didiami oleh komunitas masyarakat Hukurila. Secara etimologis bahasa lokal mengartikan Hukurilah dengan dua pengertian dasar antara lain  Huku /kumpulan atau sama dengan uli dan pata.  Sementara Rila/lila sama dengan berhamburan. Dengan demikian Hukurila artinya kumpulan orang-orang yang berhamburan datang dari berbagai wilayah atau tempat dan mendiami satu wilayah dan kemudian membenuk komunitas tersendiri.  Manuskrip tradisi lisan orang Hukurila menjelaskan bahwa asal-usul nenek moyang orang Hukurila berasal dari suku Alifuru yang menetap di pulau Seram, yang dahulu di kenal dengan nama serana atau selana. Dalam mitologi  Nunusaku,  orang Hukurila yang hidup di pulau Seram terbagi dalam empat uli/kelompok yakni uli Tuni, Uli Marna, Uli Moni dan Uli Mahu. Keempat uli ini memberi penjelasan utama dalam sejarah komunitas masyarakat Hukurila. Pola pemukiman yang berpindah-pindah sebagaimana definsi hakiki dari nama Hukurila tentu menjadi gambaran bagaimana nenek moyang orang Hukurila mulai dari nunusaku hingga ke Tihulale dan kini menempat wilayah yang kini menjadi pemukiman permanen masyarakat Hukurila.

Negeri Hatalai terletak di bagian Selatan Kota Ambon dan berjarak ± 7 Km dari pusat kota. Negeri Hatalai secara administratif termasuk dalam wilayah pemerintahan kecamatan Leitimur Selatan setelah pemekaran kecamatan tahun 2007. Jarak ke pusat kecamatan ± 15 km dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat, namun tidak tersedia sarana transportasi.Topografi negeri Hatalai berbukit-bukit sehingga banyak rumah penduduk dibagun pada lereng-lereng bukit. Daerah yang datar sulit ditemukan, namun kondisi perbukitan merupakan daerah yang cukup baik bagi pengembangan sumber daya alam khususnya buah-buahan sebagai potensi lokal seperti manggis, salak, langsat, gandaria, dan lain-lain. Sebagaimana telah ditakdirkan oleh Tuhan, manusia itu senantiasa hidup berkelompok sebagai makhluk sosial. Kelompok-kelompok ini kemudian membentuk suku-suku atau clan-clan. Pengelompokan itu bisa berdasarkan keturunan atau geologis dan uga bisa karena kesatuan wilayah tempat tinggal atau territorial. Dasar pengelompokan yang tertua adalah keturunan atau hubungan darah, dan ini dibagi atas 2 yaitu matrilineal yaitu garis keturunan tersusun menurut garis ibu dan patrilineal menurut garis bapak. Susunan masyarakat mulai dari keluarga sebagai unit terkecil. Susunan masyarakat memiliki urutan seperti mataruma, Soa dan Negeri.

Berdasarkan sumber-sumber lisan maupun tulisan yang terdapat di negeri ini bahwa ada tiga gelombang pendatang yang masuk dan membentuk negeri Naku. Datuk-datuk ini berasal dari Jawa, Buton dan Halmahera. Dituturkan bahwa pada waktu dulu, terdapat seorang raja di Pulau Jawa yang bernama Tuhena Hemeong dan isterinya bernama Nyai Serasa. Perkawinan mereka melahirkan dua orang Putera yaitu Jabar dan Ali. Pada suatu ketika Ali meminta dari kedua orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji di Mekah dan permintaanya disetujui. Setelah Ali kembali dari Mekah, ternyata ada kekacauan dinegerinya akibat pertentangan antara agama Hindu dan agama Islam. Ali lalu memutuskan untuk melakukan perjalanannya ke Ambon bersama-sama temanya bernama Saleh yang berasal dari negeri Ureng (Jazirah Leihitu). Di negeri Ureng, Ali kawin dengan seorang wanita yang bernama Pika Kumbang dan melahirkan dua orang putera yaitu Depermata dan Sibori. Setelah dewasa Sibori minta dari kedua orang tuanya untuk pergi merantau. Permintaannya disetujui dan ia diberikan beberapa peralatan seperti: 4 tombak, 2 buah kapseti (topi perang),2 buah salawaku (perisai),1 buah parang, 1 buah tempat bakar dupa, 1 buah kapak, 1 buah tahuri (kulit siput), 1 buah piring, dan 1 buah kendi. Alat-alat ini menurut cerita sampai sekarang masih tersimpan dengan baik di negeri Naku dan dikramatkan oleh penduduk.

Negeri Ema terletak di kaki Gunung Horil, pada ketinggian 150 meter di atas permukaan laut. Keadaan geografisnya meliputi kekayaan tanah, flora dan fauna. Rumphius mencatat bahwa Ema adalah sebuah negeri yang besar di pegunungan, dua mil dari benteng ke arah Tenggara, sekitar setengah jam perjalanan dari pantai diatas sebuah gunung batu, degnan jalan naik yang sulit serta lembah-lembah yang dalam. Sebelah Utara hampir dikelilingi dengna sungai Huwai – Inau yang bermuara di sungai Waihoka yang besar. Jalan-jalannya lebih merupakan batu karang. Di sebelah Utara dan Timur Laut terdapat pegunungan yang tinggi, menurun ke laut merupakan tanjung besar dan curam bernama Hihar yang merupakan pesisir pantai yang sukar dilewati. Negeri Ema mempunyai pantai bersama negeri Hukurila, mereka pernah bermukim disitu karena negerinya terbakar. Dahulu diperintah oleh Simau – Ema yang tua. Kemudian oleh orang Kaya David de Fretes, Ema termasuk dalam persekutuan Ulilima dan menduduki tempat keempat dalam Landraad. Orang – orang kaya Ema mempunyai gelar umum sebagai Simau Ema, salah seorang diantaranya bernama Anthonio Simau. Ia sudah tua sekali dan meninggal tahun 1663, diganti oleh puteranya bernama Thomas Diaz yang memerintah hanya setahun, kemudian diganti oleh Laurenso Diaz, putera bungsu Anthonio Diaz dan sesudah itu oleh David de Fretes Tehahussa. Orang-orang Ema dari matarumah-matarumah tua menjelaskan bahwa moyang-moyang mereka berasal dari Pulau Seram dan Jawa, misalnya matarumah Tupan, Tanihatu, Huwae dan Pary datag dari Taluti (Seram).

Negeri Kilang berada di pegunungan Sirimau maka topografi negeri Kilang membentang dari dataran pegunungan sampai ke pesisir pantai. Negeri Kilang yang sekarang adalah negeri kedua sedangkan negeri yang pertama bernama yang bersifat hunian sementara yang tersebar dari Hahila Rilinitake ke Namseri Sousera. Semenjak didirikan negeri Kialng diberi nama oleh para datuk Waitu itu Sirimalatu, namun seiring waktu berjalan nama Sirimalatu kemudian diganti karena sesuai dengan pengertiannya terlalu bersifat prinsip yang dinilai menguntungkan satu pihak saja, lalu kemudian diganti menjadi sama Sima Latu yang artinya bersama-sama membantu upu latu, nama ini kemudian disederhakan lagi sesuai dengan kejadian sejarah peralihan pemerintahan dari Upu Latu Raja Papua ke Upu Latu Simatau dan menurut kosa kata bahasa tanah disebut Kilang atau Kilang yang artinya negeri keramat yang sangat kuat dan Berjaya/Mulia. Untuk melindungi negeri dari segala gangguan maka di negeri Kilang ada 2 pintu yaitu pintu muka dan pintu belakang, pintu muka mengarah ke laut, arah mana para datuk leluhur datang, untuk itu pintu muka negeri Kilang ditandai dengan sebuah batu nisan yang disebut Batu Papua (lokasinya di atas bukit labuhan Sousela) sedangkan pintu belakang mengarah ke pegunungan yang ditandai dengan sebuah batu nisan yang disebut Batu Krois, kedua batu nisan ini mengandung unsur mistik dan gaib dan sampai sekarang masih dipercayai oleh anak cucu.

Orang-orang Hutumuri menuturkan bahwa datuk-datuk mereka berasal dari Pulau Seram terutama Seram Timur (Hatumeten) dan dari Jawa. Ada tiga orang bersaudara, mereka terlibat dalam peperangan di Hatubanggali. Setelah peperangan usai, ketiganya meneruskan perjalanan dan berlayar ke Selatan. Yang sulung yaitu Katkora (Teminolle) turun dan menetap di Tamilou (Seram). Yang kedua turun di pantai Ouw Pulau Saparua dan menetap di Siri-Sori yaitu Korale (Simapole). Yang bungsu yaitu Kora (Silaloi) meneruskan perjalannya dengan kora-koranya ke Pulau Ambon dan tiba di teluk Baguala Passo. Ia kemudian menjuhu ke pedalaman dan tiba di gunung Maot. Tempat ini merupakan pemukiman orang-orang Hutumuri yang pertam dan negeri Lama ini disebut pula dengan nama Lounusa yang artinya tiba atau mencari Pulau.

Ruton (Rutung) adalah sebuah negeri kecil, satu jam perjalanan dari negeri Hutumuri ke arah Barat. Dahulu terletak setengah jam perjalanan dari pantai. Rutung berasal dari kata “Hatu Rutui” (kumpulan batu). Dikatakan demikian kaena pada waktu dahulu  masyarakat mengumpulkan batu dalam jumlah yang banyak di sekitar tepi pantai bagian Timur untuk mendirikan negeri ini. Menurut cerita bahwa di atas tumpukan batu-batu ini sering diadakan musyawah menyangkut suatu peristiwa. Negeri Rutong dapat disebut pula sebagai negeri berbatu dan masyarakat tidak mengetahui kapan mereka turun ke pantai untuk menetap di negeri Rutong sekarang ini. Sewaktu negeri masih berada di gunung, masing-masing soa telah didiami oleh mata rumah-mata rumah dan mempunyai teon dan gelar.