Prolog : Kebudayaan Daerah Maluku, Unggul Namun Terabaikan

0
2760

IMG20141104160751
kredit Foto Embong Salampessy

Mezak Wakim

Staf Penelti Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon

Refleksi Atas Kongres Kebudayaan Daerah Maluku 2014

Antropolog Belanda Corneles van Vollenhoven dalam karya monumentalnya  Het Adatrcht van Nederlandsch Indie “Hukum Adat Hindia Belanda” , karya ini memunculkan ide Van Vollenhoven membagi wilayah kebudayaan di Indonensia menjadi 19 wujud wilayah kebudayaan berdasarkan pengelompokan etnis di Indonesia. Dalam gagasan ini, Maluku juga di bagi menjadi tiga wilayah budaya yang di bedakan atas kebudayaan Maluku Tengah atau yang di kenal dengan wilayah republiken negeri yang berlandaskan pada konfigurasi kebudayaan raja-raja, Kebudayaan Maluku Tenggara dengan landasan utama kebudayaan kebangsaan, dan kebudayaan Maluku Utara dengan orientasi kebudayaan kesultanan. Tiga pembagian ini sepertinya memberi argumentasi yang pasti akan pengelompokan kebudayaan di daerah Maluku yang bila di manfaatkan akan memberi efek berarti bagi pembangunan kedaerahan di Maluku.

Sangat ironis kini bila membicarakan kebudayaan daerah Maluku, sapa punglah, katongKatong saja, dan sebagainya. Perdebatan-perdebatan ini secara kelokalan sangat merugikan kebudayaan daerah Maluku. Apalagi di tunjang dengan regulasi daerah yang tidak memberi ruang khsusus bagi pelestarian kebudayaan. Anugerah akan pulau-pulau dan subetnis yang kaya akan kebudayaan menjadi Sumber daya yang tidak mampu di kelola untuk kepentingan bersama. Daerah Maluku sejak abad ke 14 telah menjadi wilayah sangat populer dengan menyimpan sejumlah harapan besar bagi perkembangan dunia. Cengkih dan pala yang di gadang-gadang sebagai komuditi awal memuculkan rangkaian sejarah dan budaya di Maluku, kini tidak lagi menjadi primodona kebudayaan daerah Maluku.

Kebudayaan Daerah Maluku : Ladang Peneltian Dunia

Josellin de Jonge dalam pengukuhan Guru Besarnya di Universitas Leiden pada tahun 1935,menyebutkan bahwa Indonesia merupakan model dari keanekaragaman etnograafi yang hampir sempurna melampaui benua Australia. Hal menarik yang di sampaikan Joselin de Jonge adalah ketika menyentil (Seram) Maluku Tengah dalam paparannya sebagai rumah penyelidikan kenakeragaman budaya di Indonesia. Selain itu juga  Naturalis Inggris Alfred Russel Walacea pada tahun 1859-1860 melakukan kunjungan di kepulauan Maluku dan mendapatkan keunikan kebudayaan di Maluku. Kemudian Dieter Bartels antropolog Universitas Yavapai Colege Arizona AS, melakukan penyelidikan atas keunggulan budaya Pela dan Gandong di Maluku Tengah sebagai model kekerabatan antara komunitas Islam Kristen yang juga melapaui  negeri-negeri di Maluku Tengah. Dan karya monumental Frank Cooley (1961) Mimbar dan Takhta yang merupakan disertasinya cukup mengemas keunggulan kebudayaan Maluku Tengah mulai dari struktur pemerintahan tradisional, adat dan lembaga keagamaan. Selain itu juga antropolog Niko de Jonge dan tos van dijk dengan karyanya tentang pulau-pulau yang terlupakan di Indoensia di mana dalam peneltianya mengupas cukup lengkap tentang kebudayaan di daerah Maluku Tenggara. Selain itu juga karya George Everadus Rumpius yang di juluki ilmuwan Maluku melakukan peneltian spesies tumbuhan dan kerang dan menerbitkan karya yang cukup populer D’Ambonsche Rariteitkamer pada tahun 1705.

Hasil penetian ini memicu minat terhadap warisan budaya di Indonesia. Pada tahun 1705, sarjana ini menerbitkan buku berjudul D’Amboinsche Rariteitkamer ini beberapa bagiannya menguraikan tentang temuan kuno seperti kapak batu, kapak perunggu, dan nekara (sejenis genderang) perunggu serta mitos-mitos yang ada di balik benda-benda itu. Sejak itu, banyak peminat benda-benda unik-antik mulai melakukan penelitian dan mengkoleksi tinggalan-tinggalan masa lampau, termasuk batu-batu candi dan benda-benda dari masa prasejarah. Bahkan, pada tahun 1778 berdirilah organisasi peminat dan peneliti benda seni dan antik yang diberi nama Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten enWetenschappen dan disinilah cikal bakal munculnya museum di Indoensia.