Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku
Marthen M. Pattipeilohy, S.Sos., Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku, pos-el : marthen.pattipeilohy@yahoo.com

Secara umum masyarakat Maluku mengenal 3 jenis pela yaitu; Pela Keras atau Pela Tuni, Pela Gandong atau Gandong dan Pela Tempat Siri. Pela Keras atau Pela Tuni diartikan sebagai pela murni atau pela sebenarnya (Lokolo, Hal 12, 2005)5.Ikatan-ikatan antar pela mitra dianggap sangat kuat dan jenis pela ini dianggap autentik atau asli.  Pela keras selalu dibentuk dengan mengambil sumpah persaudaraan melalui minum darah dari pemimpin-pemimpin negeri yang turut serta.  Melalui upacara itu kedua belah pihak menjadi saudara sedarah dan diharuskan saling membantu, seolah-olah mereka hadir dari ibu yang sama. Sehingga pengertian yang lebih jelas dari pela keras adalah pantang (tabu) mengotori darah yang mengatur hubungan-hubungan diantara para mitra, sehingga muncul kekuatan luar biasa yang membawa penyelesaian terhadap sebuah persoalan. Secara tradicional hal yang paling mendasar pada jenis pela ini adalah jenis bantuan dalam perang yang melibatkan partisipasi langsung sebagai ikatan atau sekutu sampai pada bantuan material. Jenis pela ini sangat menonjol  ketika masyarakat di Seram, Ambon dan Lease menghadapi periode Hongitochten.

Pela Tempat Siri yang memiliki arti membangun sebuah persahabatan antara beberapa negeri atau komunitas. Pela ini lebih menekankan pada perilaku persahabatan, mengutamakan sikap menghargai orang lain (orang asing) , dengan menggunakan simbol makan sirih.  Secara terdisional siri dikunyah untuk kesenangan sama dengan merokok. Mengunyah sirih bersama-sama adalah tanda persahabatan.  Ketika orang yang tidak dikenal bertemu atau datang ke suatu daerah atau negeri, suguhan sirih merupakan tanda persahabatan, mengandung arti membuka peluang untuk saling mengenal secara utuh, menghindari saling mencurigai, mencegah pertentangan atau perkelahian.  Sehingga secara adat Tempat Siri adalah salah satu pelengkap adat yang selalu disediakan dalam pelaksanaan upacara adat.

 Pela daam penelitian Bartels, merupakan pusat kultur dan alat dari kepercayaan Nunusaku (mitos Nunusaku) disamping sebagai suatu pusat persekutuan ekonomi dan sosial.  Lembaga Pela dibentuk oleh nenek-moyang orang Maluku (Maluku Tengah) bermaksud untuk meniadakan atau mencela perbuatan salah dan memulihkan persaudaraan diantara komunitas yang terikat dalam persekutuan tersebut. Pela menggambarkan segala yang suci bagi suku Ambon (Maluku Tengah). Seorang suku Ambon (Maluku Tengah) menolak mitos Nunusaku sebagai legenda, namun ia masih berpegang kepada kepercayaan budaya pela berarti masih tetap ia menganut nilai-nilai kepercayaan Nunusaku. Penyangkalan terhadap pela sama dengan penolakan eksistensi identitasnya sebagai suku Ambon.

Pela sebagai wujud pranata sosial budaya yang mengelemenir kehidupan persaudaraan dalam khasanah persatuan dan kesatuan, dapat menempatkan posisi sebagai perangkat control sosial (social control). Dalam perwujudan itu pela menempatkan posisi sebagai pemegang modal sosial untuk membentengi perilaku dan kesadaran persaudaraan baik dalam tatanan masyarakat pribumi/lokal (masyarakat adat Maluku Tengah), maupun masyarakat multi etnis. Hal ini merupakan batu loncatan dalam penerapan atau revitalisasi nilai-nilai budaya dalam pela yang disinkroniskan dengan nilai-nilai dalam perilaku kebangsaan Indonesia. Ketika perilaku masyarakat lokal (masyarakat adat Maluku) sebagai pemilik pela mentransferkan nilai-nilaiseperti; kepercayaan, persaudaraan, kerukunan, kejujuran terhadap masyarakat dari etnis lain, secara umum atas kesadaran satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, maka nilai-nilai pela ini akan terlekat dalam falsafah kebangsaan yang mengatur perilaku nasionalisme. Sebaliknya, ketika kaum etnis lain (kaum minoritas) akan terjaga dalam ruang wilayah pela apabila mengenal sekaligus memahami budaya pela secara permanen, akan memberikan nuansa keakraban dan kesitiakawanan sosialsebagai wujud komitmen perilaku nasionalisme diantara suku-suku bangsa di Indonesia.

Nilai kepercayaan (percaya pada sesuatu yang bijak), sebagai wujud perilaku yang diintegrasikan rasa keyakinan pada sesuatu yang dapat menjiwai kehidupan; Nilai persaudaraan merupakan proses dari keyakinan (nilai kepercayaan)  pada pola rasa yang menyatu dalam kehidupan sosial. Nilai kerukunan merupakan proses penyatuan dalam kehidupan sosial. Nilai kejujuran adalah proses dari pola kerukunan yang membentuk kedamaian dan kekekaran sosial.  Nilai-nilai ini akan menjadi sebuah siklus kehidupan sosial yang mampan mengintegrasikan rasa aman, rasa damai dan tentram. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada skets siklus nilaidalam perilaku ber-pela sebagai berikut :

sumber: dokumen pribadi 2013

Pada gambar skets nilai dalam pela, menterjemahkan siklus dari lingkaran nilai perilaku masyarakat dalam sistem pela. Siklus ini dapat berawal dari arah mana saja, misalnya berawal dari perilaku kepercayaan, maka akan melahirkan perilaku pesaudaraan, kerukunan dan kejujuran; kalauberawal dari kejujuran maka akan melahirkan persaudaraan, kerukunan dan keyakinan; kalau berawal dari perilaku persaudaraan maka akan melahirkan perilaku kepercayaan, kejujuran dan kerukunan; sama halnya kalau berawal dari perilaku kerukunan maka akan melahirkan perilaku persaudaraan, kejujuran dan kepercayaan.

Siklus ini akan terwujud dalam situasi apa saja, dimana saja, untuk siapa saja. Ketika setiap orang/masyarakat (anak bangsa) menyadari dan menterjemahkan nilai-nilai ini kedalam perilaku, maka akan menghasilkan komitmen kepribadian bangsa yang utuh, kokoh, perkasa dan bertanggungjawab terhadap kehidupan kebangsaan. Rasa kebangsaan nasionalisme harus diletakan pada dasar kebudayaan bangsa yang di-induksi-kan melalui nilai-nilai global dalam filsafat bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945. (Ditulis oleh: Marthen M. Pattipeilohy, S.Sos dan telah diterbitkan di surat kabar “KABAR TIMUR” Selasa, 12 September 2017 )