PERK DAN PERKENIERS DI KEPULAUAN BANDA

0
816

Penulis : Santy Nurlette, S.Sos – Pamong Budaya Ahli Pertama

Sejarah telah mencatat bahwa tujuan kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia antara abad 15 -16 awalnya hanya sekedar berdagang dan mencari rempah-rempah. Namun tujuan berdagang berubah menjadi keinginan menguasai dan memonopoli seluruh perdagangan yang ada di Indonesia.

               Kepulauan Banda sejak dikenal sebagai the spice island, kepulauan rempah-rempah dengan aroma yang khas, pala (myristica fragrans) menjadi komoditas perdagangan. Orang orang Cina, India, Arab dan Persia yang terlibat dalam perdagangan di Nusantara sejak abad 15-17 M membawa pala sampai ke bandar-bandar niaga di Asia hingga Eropa. Pala menjadi komoditi primadona yang sangat dibutuhkan. Nilai komersilnya mampu melampaui harga emas di pasar perdagangan global.  Hingga wilayah sumber rempah ini paling dicari oleh orang-orang Eropa. Dalam proses pencarian yang panjang akhirnya mereka  menemukan kepulauan Banda. Sejak itu orang-orang Eropa terutama Belanda bertekad melakukan  penerapan monopoli serta rencana pembentukan Banda sebagai salah satu koloni dagang Hindia Timur yang diprakarsai Jacques I’hermite de Jonge  pada tahum 1611 yang kemudian dieksekusi oleh Jan Pieterszoon Coen ketika menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Pada tahun  1621 Coen melakukan genosida  pembantaian keji terhadap penduduk asli Banda yaitu orang Wandan. Mereka  dibunuh dengan keji  hingga ada yang mati kelaparan. Penduduk Banda terpaksa eksodus ke pulau Seram, Nusa Laut,  Kepulauan Kei  (Banda Eli, Elat) dan ada juga yang dibawa ke Batavia, mereka terusir dari negerinya sendiri dan beberapa juga ditawan.    Kepulauan Banda menjadi sepi, hampir-hampir tiada lagi tenaga yang tersisa kebun-kebun pala terbengkalai dan untuk mengatasi kekosongan pulau dan kebutuhan tenaga kerja maka  VOC melakukan  perpindahan penduduk yang berasal dari berbagai suku di Nusantara dan juga berbagai etnis mereka diangkut ke Banda. Ada orang Jawa, Sumatra, Bali, Cina, India, Arab dan sebagainya  yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda yaitu mantan pegawai VOC tingkat bawah, pensiunan serdadu dan kelasi, orang buangan, budak  dan juga kuli kontrak.

         Coen mengambil alih kebun-kebun pala milik rakyat. Mereka yang tidak sempat lari ke luar dipaksakan untuk mengajari pendatang yang baru itu untuk membudidayakan pala  mulai dari proses menanam sampai cara memanen, pengasapan dan pengepakan pala dan fuli (bunga pala) dan disitu Coen menerapkan dan mengembangkan manajemen perkebunan modern yang didasarkan pada kerja budak dan dari sinilah praktik Perkeniers muncul. 

Tanah tanah yang dirampas dari rakyat Banda itu  mereka garap dengan ditanami hampir seluruhnya dengan pohon pala. Perkebunan pala itu disebut dengan perk. Perk yang ada di seluruh kepulauan Banda dibagi menjadi 68 Perk 34 berada di Lonthoir, 31 di Ay dan 3 di Neira dan dipinjamkan kepada Perkenier atau pengelola Perkebunan.  Perkenier ini direkrut dari bekas pegawai kompeni. Setiap Perkenier bisa membeli budak dari VOC dengan harga yang telah ditetapkan. VOC mengatur jumlah produksi, harga jual sampai jumlah tenaga kerja tersedia pada sebuah kebun  (Perk). Dengan demikian, praktik monopoli rempah akan tetap terlindungi.

Seiring dengan berjalannya waktu, produksi pala tidak lagi menjanjikan. Perkeniers ini banyak mengalami pasang surut mulai dari, berganti-gantinya kepemilikan, kebijakan VOC yang menyulitkan, dihapuskan perbudakan tahun 1910, kondisi geografis, serangan wabah penyakit dan sebagainya hingga akhirnya berkecamuk Perang Dunia II (1937-1945) tentara Jepang berhasil mencapai kepulauan Banda dan menguasai semua pulau, sekaligus mentuntaskan kekuasaan Belanda di kepulauan Banda, yang kini diambil alih oleh Jepang.

Ketika Jepang menguasai kepulauan Banda, seluruh Perkenier dan warga keturunan Belanda ditawan oleh Jepang. Kebun-kebun pala diobrak-abrik dan terbengkalai. Banyak pohon pala yang rusak akibat ditebang dan digantikan dengan tanaman-tanaman pangan lainnya. Perkembangan selanjutnya Perken-Perken yang merupakan sumber ekonomi jatuh merosot bahkan runtuh  di tengah peralihan kekuasaan antara pemerintah Jepang ke Indonesia.

        Hingga kini, ada 1 Perk yang masih bisa ditemukan di Desa Walang Banda Besar dan puing-puing dari 2 (dua) Perk peninggalan VOC di Pulau Ay yang situsnya masih bisa dilihat walaupun dalam keadaan rusak parah, yaitu Perk Welvaren dan Matalenco yang hanya tersisa gerbang dan sedikit tembok serta puing-puing Perk, serta beberapa rerentuhan tembok bekas bangunan pengasapan yang menjadi saksi bisu praktik Perkenier dimasa lalu.