Konsumsi Kebudayaan dan Pilpres 2014

0
2103

Pattileamonia Marthen, SE

Staf Balai Pelestarin Nilai Budaya Ambon

Kecenderungan sebuah partai politik umumnya memiliki sikap dan pola yang menunjukan bahwa mengkonsumsi kebudayaan sudah menjadi metode yang dilakukan untuk menjadi sukses dalam pesta demokrasi. Maka dari itu, terlihat bahwa pola hidup konsumsi yang berlebihan diantara dilema dan permasalahan-permasalahan ekonomi negara yang sedang berkembang. Teori Mike Featherstone, “Budaya Konsumen” bahwa hubungan penggunaan benda-benda dan cara-cara untuk menggambarkan sesuatu guna yang membedakan individu atau kelompok dalam sikap dan perilaku gaya hidup yang rasional pada sebuah konteks tertentu. Menurut Tomlinson, “konsumsi adalah suatu proses yang penting untuk dikaji karena konsumsi adalah suatu bentuk siklus dimana barang-barang yang melekat pada acuan individu yang dapat diidentifikasikan dengan stiap orang dan yang dapat menjadi ciri-ciri kepribadian, tanda identitas dan menandakan hubungan antara pribadi dan kewajiban. The Word of Man (1959), yang membedakan adanya tiga gejala kebudayaan atau tiga wujud kebudayaan antara lain, (1). Ideas, (2). Activities, (3). Artifacts. Dalam rangka mengaplikasikan teori wujud kebudayaan seperti yang diurutkan diatas, mesti yang menjadi prioritas utama adalah Artifacts (sembako atau uang) karena untuk menerapakan wujud kebudayaan mestinya menyesuaikan dengan kondisi pemilihan umum di Indonesia, dimana gizi atau barang telah menjadi fokus utama masyarakat Indonesia dari pada  visi dan misi para politisi maupun kandidat atau kedua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Pada kenyataannya partai politik, kandidat dan bahkan masyarakat mengprioritaskan ketersediaan baliho, perangkat kampanye sembako serta uang.

Kebudayaan merupakan suatu kompleksativitas atau kelakuan pola dalam masyarakat adalah wujud gejala yang kedua (activities). Faktanya, pengurus partai, calon/kandidat dan tim sukses nampak begitu pintar dan jeli mengambil hati masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat, elit partai, ormas, penguasa, LSM, akademisi dan lembaga survey bahkan pihak penyelenggara pemilu. Broker politik pun tak ketinggalan untuk berkomunikasi dengan elit partai politik atau tim pemenangan dan calon presiden dan calon wakil presiden untuk mendapatkan sejumlah uang dan barang, kemudian akan disalurkan ke masyarakat pemilih. Metode ini cukup terkesan baik antara kandidat dan komponen masyarakat. Hal tersebut sangat berpeluang untuk mencapai tujuan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Ketiga, wujud kebudayaan kompleks nilai-nilai, norma-norma dan hukum yang ada pada wujud kebudayaan pertama (ideas), yang mestinya berfungsi untuk mengontrol dan mengatur pola kelakuan manusia telah melemah. Unsur yang tertinggal dalam wujud kebudayaan pertama dan banyak digunakan politisi yaitu kompleks ide-ide dan gagasan. Hal ini tak kalah penting mereka gunakan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden juli mendatang. Ide-ide atau gagasan yang cerdas dari elit partai atau kandidat dapat dirangkum sebagai sebuah visi dan misi, kemudian akan dikemas sehingga dalam bentuk slogan-slogan dan iklan yang akan dimuat pada media-media cetak maupun media elektronik. Konsep pencitraan yang dilakukan secara baik akan dapat membuat mesyarakat pemilih jatuh hati terhadap upaya-upaya yang dilakukan tersebut. Tipe menjual ide-ide sosial semacam ini menjadi budaya dan wajib digunakan para politisi sebagai sebuah cara mengambil hati masyarakat pemilih untuk dikemudian hari atau tanggal 9 juli mendatang akan menjatuhkan pilihannya saat pencoblosan. Hal tersebut dikarenakan oleh ide-ide yang berlian yang dipublikasikan melalui media tadi mampu dikenal masyarakat. Perlengkapan atribut kampanye yang telah disiapkan oleh para politisi dengan jumlah yang besar pastinya harga atribut pun besar, ada lagi jasa konsultan politik dan lembaga survey yang dibayarkan. Dari semua pembiyaan ini partai politik ataupun politisi tentunya tidak mengeluarkan dana yang sedikit. Para kandidat atau calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu melakukan hal ini biasanya hanyalah para politisi pengusaha, karena mereka dapat menggunakan kewenangan dan berbagai fasilitas yang dimanfaatkan guna mencapai tujuan politiknya dan ketersediaan dana yang banyak bagi politisi pengusaha. Hal ini merupakan bukti nyata bahwa konsumsi kebudayaan material (uang dan barang) telah menjadi fokus utama dalam konteks dewasa ini yang wajib dilakukan oleh para politisi partai politik maupun calon presiden dan calon wakil presiden.

SejakOrde Lama, Orde Baru hingga Era Reformasi, kita sepertinya masih terus diperhadapkan dengan praktik “money politics”. Tadinya banyak kalangan berharap bahwa dibawah pemerintahan reformasi fase sejarah “money politics” yang panjang segera berakhir. Kenyataannya justru menyeruak seiring dengan system keterbukaan yang sedang dibangun.
Yang harus diwaspadai adalah adanya pemikiran para politisi bahwa permainan “money politics” sudah termasuk kebudayaan yang harus dipakai, dipraktikan juga untuk memenangkan pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 juli mendatang. Mengapa? Karena mereka bias saja punya asumsi bahwa “money politics” telah diterima masyarakat Indonesia pada umumnya. Populasi kelas menengah bawah jumlahnya jauh lebih besar ketimbang jumlah kelas menengah atas. Kelas yang terakhir pun tak seluruhnya menolak praktik “money politics”. Artinya, besarnya jumlah rakyat Indonesia yang sudah “permisif” terhadap fenomena “haram” ini dianggapnya sebagai “pendukung kebudayaan”. Sikap permisif sebagian masyarakat Indonesia terhadap praktik money-politics bias meluas hingga mentradisi. George Simmel (1997) dalam penulisannya mengatakan bahwa mengkonsumsi kebudayaan telah membentuk konstruksi masyarakat, dan menimbulkan budaya baru dalam masyarakat. Dengan kata lain, terjadi pergeseran dari masyarakat konsumen menjadi budaya konsumen. Oleh karena itu diharapkan, pelaksanaan politik dalam menyelenggarakan kehidupan Negara yang memiliki harkat dan martabat hendaknya dikembalikan kepada akar budaya bangsa, dan tetap memperhatikan aturan hukum dan etika politik serta nilai-nilai norma yang berlaku. Sehingga pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan berlangsung pada tanggal 9 juli mendatang dapat melahirkan pemimpin bangsa yang memiliki moralitas dan integritas mampu membawa nama harum Bangsa Indonesia di mata dunia.

Artikel ini telah dimuat dalam Harian Surat Kabar Maluku  Siwalima: 30 Mei 2014